PEDANG ULAR MERAH JILID 23
"Kebetulan sekali, saudara Sim, memang kami membutuhkan tenaga bantuan orang-orang gagah seperti kau ini. Aku girang sekali bahwa yang menyuruh kau datang membantu adalah Lui-kong jiu Keng Kin Tosu dan Pat-jiu Toanio yang sudah kukenal baik. Bahkan akupun mengenal baik suhumu Lui Thian Sianjin. Pihak musuh mempunyai banyak sekali pembantu yang pandai dan kedudukan mereka amat kuat. Susahnya, dalam waktu kacau ini, ada saja yang menjadi gangguan. Orang -orang jahat pada muncul dan memancing ikan di air keruh. seperti halnya gerombolan Sorban Merah yang bersembunyi di dalam hutan sebelah barat itu. Benar-benar menjemukan! Mereka itu memang benar melakukan penyerbuan secara diam-diam terhadap fihak pemberontak, akan tetapi aku paling tidak suka dengan bantuan pasukan liar itu. Tanpa dipimpin, mereka itu bukan merupakan bantuan, bahkan mengacaukan rencanaku."
Tiong Han mendengarkan dengan sabar jenderal tua yang pandai bicara ini. Atau tetapi mendengar disebutnya Sorban Merah ia menjadi tertarik sekali.
"Siapakah yang menjadi kepala Sorban Merah ini, goanswe?"
"Siapa tahu? Gerombolan liar ini macam itu siapa yang perduli? Akan tetapi mereka itu benar-benar mengacaukan rencanaku. Sebetulnya aku memang sengaja memancing pasukan pemberontak agar terus bergerak ke selatan tanpa diganggu. Kalau mereka sudah menyeberangi Sungai Sungari barulah aku akan memotong jalan pulang mereka sehingga dengan leluasa kita boleh membasminya. Siapa tahu Sorban Merah gerombolan liar itu merusak rencana, melakukan serbuan-serbuan sendiri yang tidak berarti sehingga menimbulkan kecurigaan barisan pemberontak yang hendak bergerak ke selatan!"
"Mengapa tidak membubarkan mereka saja?'" tanya Tiong Han.
"Itulah sukarnya. Biarpun jumlah mereka tidak banyak namun ternyata rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lihai dan kalau digunakan kekerasan, amat tidak baik. Mereka bukan musuh dan kalau sampai terjadi pertempuran berarti kita mencari musuh baru. Ini tidak bijaksana sekali."
"Goanswe, maafkan kalau aku lancang. Akan tetapi, aku bersedia untuk menemui kepala mereka dan membujuknya agar supaya tidak bertindak menurut kehendak sendiri."
Gak goanswe memandang tajam. "Kau sanggup?”
Tiong Han tersenyum. "Tentu saja, goanswe. Malahan, kalau tidak salah aku tahu siapa orang yang menjadi pemimpin mereka. Biarlah aku berangkat besok pagi-pagi dan dalam sehari saja aku akan sanggup membuat laporan yang memuaskan. Kedua orang guruku tidak percuma mengirim aku ke sini, Goanswe."
Jenderal itu tidak tersenyum, akan tetapi wajahnya yang nampak keren dan galak itu berseri, "Baiklah, besok pagi kau pergi dan sekarang mengasolah!"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong Han sudah masuk ke dalam hutan sebelah barat perbentengan bala tentara jenderal Gak. Benar saja seperti keterangan yang ia dengar sebelumnya, hutan itu amat luas dan liar di sana sini nampak gunung-gunung kecil yang menjadi benteng di pinggir Sungai Sungari yang lebar.
Beberapa kali Tiong Han melihat bayangan orang berkelebat di balik pohon yang besar-besar, akan tetapi ditunggu-tunggu tak seorangpun nampak muncul. Tiong Han tersenyum dan melanjutkan perjalanan, masuk makin dalam di hutan itu, bayangan-bayangan orang makin banyak, akan tetapi tetap saja tidak ada orang muncul. Matanya yang tajam dapat melihat betapa bayangan-bayangan itu benar-benar mengenakan Sorban Merah yakni ikat kepala terbuat daripada kain merah, dan pada pinggang mereka tergantung golok.
Biarpun bayangan-bayangan itu berkelebat cepat dan ia hanya melihat sekejap mata saja namun ia telah dapat melihat dengan jelas. Hatinya makin berdebar. Tak salah lagi, melihat pakaian dan ikat kepala mereka orang-orang ini adalah anak buah dari sumoinya!
Bagaimanakah mereka yang dulu tinggal di Heng-yang ini bisa sampai di tempat ini? Dan bukankah sumoinya yakni Can Kui Hwa, dan suaminya, Siok Un Leng telah pindah ke kota raja? Karena orang-orang itu main bersembunyi saja, dan ditunggu-tunggu tak juga ada yang muncul akhirnya Tiong Han menjadi hilang sabar.
“Perkumpulan Sorban Merah yang pernah kukenal biasanya terdiri dari orang-orang gagah. Akan tetapi yang sekarang berada di hutan ini mengapa begini pengecut tidak berani bertemu dengan orang? Apakah yang sekarang ini Sorban Merah palsu?”
Baru saja ia menutup mulutnya, dari depan, belakang, kanan dan kiri bersiutan bunyi anak panah yang menyambarnya dari balik pohon-pohon. Tiong Han menggeser kakinya sehingga keadaan tubuhnya berubah. Dengan gerakan ini ia dapat mengelakkan diri dari sambaran panah dari belakang dan depan.
Adapun dua batang anak panah dari kanan kiri, dengan cara yang amat mengagumkan dapat ditangkapnya dengan kedua tangan. Tiong Han mempergunakan tenaga jari-jari tangannya mematahkan dua batang anak panah itu yang lalu dilemparkannya ke atas tanah kemudian ia berseru Iagi.
"Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin Sorban Merah, bukan untuk mencari permusuhan! Beginikah caranya Sorban Merah menyambut datangnya tamu? Hayo keluarlah pemimpin Sorban Merah ataukah kalian menghendaki aku turun tangan?" Ucapan ini sekaligus merupakan sesalan, bujukan, dan juga ancaman.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dan sesosok bayangan hitam melompat keluar dari balik sebatang pohon besar. Setelah bayangan ini berada di depan Tiong Han, pemuda itu meIihat bahwa di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berwajah galak dan gagah sekali. Orang ini berpakaian ringkas berwarna hitam dengan sorban warna merah darah dan golok besarnya tergantung di pinggang.
"Pemuda liar dari manakah berani sekali memasuki wilayah kami dan mengeluarkan omongan besar?” bentak orang bersorban merah ini.
Tiong Han tersenyum dan cepat memberi hormat sambil menjura. "Sahabat, aku adalah seorang utusan dari benteng Gak goanswe. Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin dari Sorban Merah."
Orang itu memandang dengan mata curiga dan mulutnya menyeringai dengan mengejek. Ternyata ia tidak mau percaya akan keterangan Tiong Han.
“Kau? Utusan dari Jenderal Gak? Siapa mau percaya obrolanmu ini? Pakaianmu bukan seperti seorang perwira atau perajurit. Jangan kau mencoba membohongi aku!” Kemudian dengan sikap mengancam ia memandang tajam dan berkata, "Lebih baik kau mengaku bahwa kau adalah seorang mata-mata dari barisan pemberontak!”
"Kau benar-benar galak, sahabat. Sebaliknya, kau ini siapakah? Apakah kau juga seorang anggaota Sorban Merah?" tanya Tiong Han sambil memandang ke arah sorban yang berwarna merah darah itu.
Sepasang mata yang lebar dari orang itu terputar merah. "Anggota biasa? Dengar, pemuda bermata buta, aku adalah pemimpin pasukan Sorban Merah yang pada saat ini telah mengurungmu! Aku adalah Louw Tek si Kerbau Besi, orang yang telah menewaskan banyak sekali anggota pemberontak. Hayo lekas berlutut kurantai dan kubawa menghadap kepada ketua kami!"
Tiba-tiba Tiong Han tertawa geli. "Kukira pemimpin seluruh kesatuan Sorban Merah tidak tahunya hanya pemimpin pasukan kecil saja. Eh, Low twako, aku bukan seorang taklukan. Aku adalah utusan dari Jenderal Gak. Hayo jangan kau main-main dan lekas antarkan aku kepada ketuamu."
"Orang yang tidak mempunyai kepandaian tidak boleh dipercaya menjadi utusan Jenderal Gak dan sama sekali tidak patut menghadap ketua kami sebagai tamu. Kalau kau dapat menahan kedua kepalan tanganku, baru kau boleh menghadap sebagai tamu ketua kami." Sambil berkata demikian, Louw Tek memperlihatkan sepasang tinjunya yang besar dan kuat.
Tiong Han tersenyum, "Begitukah? Baiklah kau boleh mempergunakan kepalanmu yang seperti tahu lunaknya itu untuk memukulku sampai dua kali pukulan, akan tetapi kaupun harus dapat mempertahankan diri dari pukulan balasanku."
"Boleh!” Si Kerbau Besi menantang. "Siapa yang roboh, dia kalah!”
Memang Louw Tek ini selain kasar dan jujur, juga mempunyai kesukaan berkelahi dengan siapa saja yang ditemuinya, dan sebelum dikalahkan, ia tidak akan dapat merobah sikapnya yang memandang ringan.
Tiong Han berdiri tegak dan mengangkat dada. "Pukullah sesuka hatimu!"
Sebelum memukul, Louw Tek memandang ke sekeliling lalu berkata dengan suara keras, "Kawan-kawan perhatikan baik-baik, kalian menjadi saksi. Kalau orang ini bermain curang, tentu dia mata-mata pemberontak dan lekas hujani anak panah!”
Kemudian ia menghadapi Tiong Han, memasang kuda-kuda dan berseru keras,"Awas pukulan!" Kedua lengannya bergerak cepat dan...
Bukk! Bukk...!" dua kali kepalan tangannya bergantian jatuh di dada Tiong Han.
Akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mengejapkan mata menerima pukulan-pukulan itu. Tentu saja Si Kerbau Besi menjadi heran sekali.
"Sudah kau pukulkah? Ah, aku tidak merasa sama sekali."
"Pemuda sombong, coba kurasakan pukulan tanganmu yang seperti bubur itu!" kata Louw Tek dengan muka merah dan ia memperteguh kuda-kudanya, melambungkan perut dan dadanya sambil menahan napas!
Tiong Han menjadi geli sekali. "Kau benar-benar seperti kerbau, bukan kerbau besi, melainkan kerbau tanah lempung! Awas, rebahlah!"
Sambil berkata demikian, Tiong Han mendorong dada orang itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sedikit tenaga dalamnya. Louw Tek mempertahankan diri, akan tetapi sia-sia saja. Ia merasa seakan-akan diseruduk seekor gajah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting ke belakang seperti sehelai daun kering tertiup angin!
Terdengar seruan marah dan dari balik pepohonan berlompatan keluar orang-orang bersorban merah yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Mereka ini mengurung Tiong Han dengan sikap mengancam, bahkan ada beberapa orang telah menghunus golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Mundur semua!”
Hebat sekali pengaruh bentakan ini, karena bagaikan disengat ular berbisa, orang-orang itu melompat ke belakang dengan terkejut, lalu berdiri dengan tegak dan sikap menghormat. Bahkan Louw Tek yang masih meringis-ringis kesakitan sambil mengurut pantatnya yang menimpa batu ketika terjatuh tadi, kini sudah berdiri tegak dengan sikap hormat.
Tiong Han menengok dan alangkah girangnya ketika ia melihat Kui Hwa dan Un Leng berlari mendatangi sambil tertawa-tawa. Di belakang mereka berlari pula sepasukan Sorban Merah yang diantaranya banyak sudah mengenal Tiong Han.
"Suheng…!” Kui Hwa girang sekali dan berlari-lari menghampiri kakak seperguruannya. Juga Un Leng menghampiri Tiong Han sambi1 tersenyum girang.
"Sumoi! Saudara Un Leng! Sudah kuduga akan melihat kalian di sini." kata Tiong Han dengan girang sambil memegang tangan Kui Hwa dan Un Leng.
Louw Tek dan kawan-kawannya berdiri bengong dan menjadi pucat, akan tetapi Tiong Han yang melirik ke arah mereka berkata kepada suami istri pemimpin pasukan Sorban Merah itu.
"Sumoi, anak buahmu benar-benar teliti sekali. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan mereka bahwa aku tidak bermaksud buruk. Benar-benar kau mempunyai pasukan yang berdisiplin, sumoi."
Bukan main girang dan bersyukurnya hati Louw Tek dan anak buahnya mendengar ucapan Tiong Han ini.
"Pangcu (ketua), enghiong (orang gagah) ini adalah utusan dari Jenderal Gak!" kata Louw Tek kepada Kui Hwa. "Akan tetapi sebelum mempercayainya dengan membuta, saya telah mencobanya dulu, tidak tahu bahwa dia adalah suheng dari pangcu. Mohon maaf."
"Tidak apa, tidak apa. Lekas atur penjagaan dan biarkan kami bertiga bercakap-cakap di sini."
Setelah semua orang pergi, Kui Hwa lalu menuturkan kepada Tiong Han bahwa dia dan suaminya, Un Leng, telah pindah ke kota raja. Akan tetapi, ketika mereka mendengar bahwa ada barisan penjaga tapal batas utara memberontak, ia lalu bersama suaminya mengumpulkan semua bekas anggauta Sorban Merah dan membentuk pasukan untuk melakukan perang gerilya dan mengganggu barisan pemberontak itu.
"Dengan jalan ini aku hendak menebus semua kesalahan-kesalahanku yang dahulu twa-suheng." kata Kui Hwa.
"Bukan itu saja, memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai putera ibu pertiwi untuk mengabdi dan membela tanah air, mengusir pengacau-pengacau yang hendak merusak keamanan negara dan bangsa." kata Un Leng.
Tiong Han menjadi terharu sekali. "Kalian memang orang-orang yang baik dan pantas sekali menjadi suami istri. Akan tetapi, sumoi, mengapa kau dan suamimu tidak mau menggabungkan pasukanmu dengan pasukan pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Gak? Bukankah dengan persatuan, maka kekuatan akan menjadi lebih besar?”
"Siapa yang dapat mempercayai barisan pemerintah, suheng? Barisan pemberontak yang bergerak dari utara pun tadinya barisan pemerintah. Sesungguhnya, pada waktu sekarang ini sukar sekali untuk membedakan mana pemberontak dan mana pengawal negara yang setia!"
Tiong Han menghela napas, kemudian berkata, "Kata-katamu memang merupakan kenyataan yang amat pahit, sumoi. Akan tetapi, percayalah kepadaku bahwa Jendral Gak benar-benar adalah seorang panglima yang berjiwa besar dan setia kepada negara. Kalau tidak, masa kedua orang guruku menyuruh aku datang kepadanya?"
Setelah Tiong Han menuturkan riwayatnya secara singkat, Kui Hwa dan suaminya tidak membantah lagi dan berbondong-bondonglah anggota Sorban Merah yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu berbaris mengikuti Tiong Han, Kui Hwa, dan Un Leng menuju ke benteng tentara pemerintah.
Tentu saja Jenderal Gak menjadi tertegun melihat betapa pemuda itu benar telah kembali pada senja harinya sambil membawa serta semua anggota Sorban Merah. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa pemimpin pasukan gerilya ini bukan lain adalah sumoi sendiri dari Tiong Han, ia tertawa bergelak.
"Memang murid-murid dari Lui Thian Sianjin di Kim-liong-pai ternyata gagah perkasa dan berjiwa patriot sejati. Hanya sayangnya aku mendengar bahwa ada juga murid dari orang tua itu yang murtad dan sesat."
"Murid itu adalah adik kembarku, Goanswe!" kata Tiong Han.
Jenderal Gak memandang tajam sekali dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
"Sesungguhnya aku sudah tahu akan hal itu, saudara Sim yang baik. Jawabmu yang singkat tadi, yang menyatakan pengakuanmu, sekarang melenyapkan keraguan hatiku. Tadinya aku curiga dan sangsi sebagaimana yang harus kulakukan sebagai seorang petugas yang berhati-hati. Aku curiga kepadamu, karena siapa tahu kalau-kalau kau tidak memihak kepada adik kandungmu sendiri? Nah sekarang kujelaskan bahwa adikmu yang jahat itu sekarang bahkan menjadi tangan kanan dari pemimpin pemberontak."
Hal ini sama sekali tidak pernah diduga-duga oleh Tiong Han, maka mendengar keterangan ini hampir saja ia melompat.
"Apa? Dan belum lama ini aku bertemu dengan dia dibenteng panglima Oei!"
"Justru Oei ciangkun atau Oei Sun itulah pemberontaknya! Dia adalah bekas pemimpin Pek-lian-kauw, sekarang mengadakan pemberontakan dengan bantuan Go bi Ngo-koai tung yang sesungguhnya dahulu adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Dan celakanya, sekarang adikmu sendiri, Ang coa kiam yang namanya terkenal itu menjadi pembantunya pula.
Ketika Tiong Han mengerling ke arah Kui Hwa, ia melihat adik seperguruannya ini hanya duduk mendengarkan sambil menundukkan mukanya.
Jenderal Gak yang banyak pengalaman dalam hal peperangan dan memiliki siasat yang lihai, sengaja melakukan gerakan memancing yang disebut 'memancing serigala memasuki perangkap'. Ia hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja terhadap barisan Oei Sun, dan pasukan-pasukan kecil inipun dipimpin oleh perwira-perwira rendahan, pertempuran dilakukan sambil mundur sehingga Oei Sun makin besar hati dan mengejar terus ke selatan.
Bahkan dengan sengaja Jenderal Gak lalu membuat pertahanan yang amat lemah di sebelah utara Sungai Sungari hanya terdiri dari seribu orang tentara. Di tempat itu, Jenderal Gak menyuruh orang-orangnya membuat perahu sebanyak-banyaknya untuk memancing Oei Sun. Ternyata pancingannya ini berhasil dan Oei Sun yang mendengar tentang pembuatan perahu ini, diam-diam merasa girang sekali.
"Jenderal Gak ternyata seorang yang bodoh." katanya sambil tertawa, "kita ingin menyeberang dan sekarang dia yang membuatkan perahu. Ha ha ha!" Juga Go bi Ngo koai tung tidak mempunyai dugaan buruk.
"Biarkan mereka membuat perahu sampai banyak dan cukup, baru kita datang merampasnya." kata Thian It Tosu.
Tentu saja percakapan mereka ini terjadi di luar tahunya Tiong Kiat yang masih belum sadar bahwa ia telah salah memilih tempat. Pemuda ini kurang memperhatikan keadaan kawan-kawannya, bahkan ia tidak memperdulikannya lagi. Yang penting baginya ialah bermain dengan Ang Hwa, memburu binatang bersenda gurau atau bermain pedang!
Kurang lebih tiga pekan kemudian, ketika perahu-perahu yang dibuat oleh orang-orang jenderal Gak sudah banyak, menyerbulah barisan yang dipimpin oleh Oei Sun sendiri. Karena barisan ini jauh lebih besar jumlahnya, juga karena barisan jenderal Gak sudah dipesan lebih dulu agar jangan banyak melakukan perlawanan dan mengundurkan diri melalui darat di sepanjang lembah Sungai Sungari sambil meninggalkan semua perahu, maka pertempuran tidak berjalan lama dan semua perahu telah dapat terampas oleh Oei Sun! Korban yang jatuh tidak banyak, karena memang pasukan-pasukan pembuat perahu itu tidak melakukan perlawanan gigih.
Demikianlah, dengan girang sekali pasukan-pasukan Oei Sun lalu mempergunakan perahu-perahu itu untuk menyeberangi sungai dan mendaratlah mereka semua di pantai selatan dengan selamat. Dengan semangat penuh dan harapan besar Oei Sun lalu menggerakkan barisannya maju ke selatan!
Sama sekali Oei Sun tidak menduga tidak lama setelah barisannya menyeberangi Sungai Sungari, nampak pasukan-pasukan lain yang besar jumlahnya berkumpul dan membuat pertahanan di tepi sungai sebelah selatan. Inilah barisan-barisan yang sengaja disediakan oleh Jenderal Gak untuk menghadang jalan pulang dari barisan pemberontak itu apabila kelak dipukul mundur!
Tiga hari kemudian, barulah barisan pemberontak yang jumlahnya telah meliputi sepuluh ribu orang itu menghadapi perlawanan hebat dari Jenderal Gak! Nampak puluhan ribu tentara kerajaan berbaris menghadang perjalanan di sebelah selatan. Bendera kerajaan berkibar-kibar dan bendera besar yang bertuliskan huruf 'Gak', amat megahnya berkibar di mana-mana, tanda bahwa barisan-barisan itu berada di bawah pimpinan Jenderal Gak.
Melihat besarnya barisan musuh Oei Sun lalu membuat aba-aba berhenti dan pasukannya lalu diatur membuat pertahanan yang kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang beberapa orang perajurit penyelidik yang dengan wajah pucat membuat laporan bahwa terdapat banyak sekali tentara musuh di belakang, di kanan dan di kiri. Pendeknya, secara tidak terduga sekali barisan mereka telah terkepung oleh barisan-barisan yang besar jumlahnya dari tentara kerajaan yang mengibarkan bendera Gak!
"Jahanam besar! Jenderal Gak telah memancing dan memperdayai! Kita harus melawan mati-matian dan memerintahkan membuat tenda-tenda dan sekitar tempat itu dikurung oleh penjaga-penjaga yang merupakan benteng penjagaan amat kuat.
Sementara itu, Tiong Han yang menyaksikan kelihaian siasat dari Jenderal Gak ini, merasa amat kagum. Ia mengerti bahwa memang dalam sebuah perang besar, tidak boleh terlalu menurutkan perasaan sendiri atau dipengaruhi oleh urusan pribadi. Kalau tadinya ia berlaku nekad dan menerjang benteng musuh untuk mencari adiknya, tentu siasat dari Jenderal Gak ini akan terancam bahaya dan musuh mungkin akan merasa curiga. Setelah keadaan musuh terkurung, ia lalu menghadap Jenderal Gak dan bertanya.
"Gak goanswe, mengapa tidak terus memukul hancur mereka saja? Mau menanti apa lagi? Aku sudah tidak sabar untuk segera membekuk adikku yang jahat!"
Gak goanswe tersenyum, "Saudara Sim, Pasukan-pasukan yang kita kurung itu tadinya adalah anak buah dari barisan kerajaan sendiri, jadi kawan-kawanku juga. Sekarang mereka diselewengkan oleh Oei Sun, mungkin dalam keadaan tidak sadar, atau dalam keadaan terpaksa. Mengapa mesti membasmi mereka semua? Barisan-barisan itu merupakan tubuh dan ekor dari seekor ular. Ke mana saja kepalanya bergerak, tubuh dan ekor akan mengikutinya. Kalau yang menjadi biang keladinya dapat dibasmi kurasa semua prajurit itu akan dapat diinsafkan dari kesesatan mereka. Buat apa harus bunuh-membunuh antara saudara dan kawan-kawan sendiri?”
"Habis apakah yang akan dilakukan sekarang? Apakah menanti sampai mereka mencari jalan keluar dengan kekerasan?"
Jenderal itu menggeleng-geleng kepalanya. "Kita kurung mereka dengan rapat sampai mereka kehabisan ransum. Kalau mereka mencari jalan keluar, kita pukul mereka kembali lagi di dalam kurungan. Kita akan mengurung terus sampai mereka menyerah, yakni Oei Sun dan kaki tangannya."
"Jadi kita memberi syarat, yakni penyerahan diri dari Oei Sun dan kaki tangannya?"
Jenderal tua itu mengangguk. "Dan kaulah yang akan menjadi utusanku!"
"Aku?"
"Ya, kaulah orangnya saudara Sim. Tidak ada utusan yang lebih baik daripada engkau sendiri. Kau pandai menjaga diri dan kalau seandainya mereka mengganggumu dan menahanmu, barulah aku akan turun tangan. Akan tetapi kurasa Oei Sun takkan begitu bodoh mengorbankan keselamatannya untuk mengganggumu seorang."
"Baik, Gak-goanswe. Akan tetapi…"
"Tentang adikmu?”
"Ya, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan dia? Bolehkah aku turun tangan?”
Gak-goanswe menggelengkan kepalanya. "Jangan saudara Sim. Hal itu hanya akan mengakibatkan pertempuran dan kedudukanmu sebagai utusan terancam. Utusan tidak boleh diserang dan juga tidak boleh menyerang fihak tuan rumah. Ingat, kita dalam keadaan perang, tidak boleh menurutkan nafsu hati mengurus urusan pribadi."
Tiong Han menarik napas panjang, "Baiklah, akan kuperhatikan baik-baik."
Demikianlah, setelah menerima pesanan-pesanan dari Gak-goanswe bagaimana harus bicara terhadap Oei Sun, pada pagi hari keesokan harinya Tiong Han berangkat. Ia mengenakan pakaian ringkas warna putih dengan leher baju biru, ikat kepala hijau muda. Ia tidak membawa senjata karena memang semenjak menerima gemblengan ilmu silat dari Pat jiu Toanio dan Lui kong-jiu tak perlu lagi ia mengandalkan bantuan senjata! Yang dibekalnya hanyalah sehelai bendera putih yang bertuliskan huruf GAK dan dibawahnya bertuliskan huruf UTUSAN.
Dengan gerakan kaki ringan dan cepat sekali Tiong Han memasuki daerah terkepung. Markas dari Oei Sun terletak sedikitnya lima lie dari tempat kepungan dan untuk menuju ke markas kepala pemberontak itu, Tiong Han harus melalui daerah berhutan yang cukup liar. la berjalan sambil membayangkan bagaimana nanti penerimaan Tiong Kiat kalau bertemu dengannya. la masih sukar untuk dapat percaya bahwa adiknya itu kini telah menjadi pembantu kepala pemberontak.
Ia dapat mengenal watak Tiong Kiat. Memang benar semenjak kecil adiknya ini nakal, mudah marah, akan tetapi gembira dan tidak licik. Harus diakui bahwa setelah dewasa Tiong Kiat mempunyai watak buruk dan mata keranjang akan tetapi adiknya itu diam-diam masih menjunjung tinggi ayah mereka. Sejak kecil Tiong Kiat begitu bangga nampaknya apabila membicarakan ayah mereka yang kabarnya dahulu menjadi panglima gagah!
"Tiong Kiat, Tiong Kiat… sekali ini aku tidak dapat mengampunimu…" keluhnya.
Ia maklum bahwa kalau sekali lagi bertanding, ia pasti akan dapat memukul mati adiknya itu, karena ilmu-ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari kedua orang gurunya yang baru memang khusus untuk memecahkan Ang-coa kiam.
la tahu dengan baik bagaimana harus mengalahkan Tiong Kiat, dan pukulan-pukulan yang dipelajarinya bukanlah pukulan biasa-biasa, melainkan pukulan-pukuIan maut yang takkan dapat ditahan pula oleh Tiong Kiat!
Ketika ia telah tiba di pinggir hutan dan puncak-puncak tenda barisan pemberontak telah nampak samar-samar, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi. Cepat Tiong Han lari ke tempat itu dan alangkah terkejut dan herannya ketika ia melihat tiga orang sedang berhadapan, yakni Eng Eng, Tiong Kiat, dan seorang nyonya cantik yang tidak dikenalnya! Bagaimana Eng Eng bisa sampai di tempat itu?
Marilah kita mengikuti sebentar perjalanan Eng Eng sebelum tiba di tempat itu yang membuat Tiong Han berdiri di belakang pohon sambil berdiri bengong saking herannya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan Eng Eng bersama ayah angkatnya, yakni Piloko kepala suku bangsa Cou, turun dari gunung di mana seluruh keluarga Cou bertahan dari serangan orang-orang Ouigour dan lain-lain.
Piloko mengajak anak angkatnya menuju ke kota raja untuk menghadap kaisar dan menyampaikan protes tentang bantuan tentara kerajaan yang menyerang orang-orang Cou membantu orang Ouigour bertindak sewenang-wenang.
Tanpa banyak halangan kedua orang ini tiba di kota raja dan dengan mudah Piloko yang sudah dikenal itu diterima oleh Kaisar Tai Cung sendiri. Sebagai anak angkat Piloko, Eng Eng juga diperkenankan masuk menghadap kaisar sehingga gadis ini menjadi bingung dan sungkan-sungkan memasuki ruangan yang indah dan menghadapi keagungan kaisar itu.
Akan tetapi, apa yang mereka dengar dari kaisar benar-benar merupakan guntur di siang hari. Dari kaisar, Piloko dan Eng Eng mendengar tentang pemberontakan Oei Sun dan bahwa tentara kerajaan yang membela Huayen-khan itu sebetulnya adalah pemberontak-pemberontak yang bersama Huayen-khan merencanakan penyerbuan ke kota raja!
Akan tetapi kaisar menghibur mereka sambil menyatakan bahwa kini barisan besar yang dipimpin oleh Gak goanswe telah mulai bergerak untuk menghancurkan pemberontak itu berikut tentera yang dipimpin oleh Huayen-khan. Bahkan dianjurkan kepada Piloko untuk menggabungkan anak buahnya dengan Gak goanswe untuk bersama-sama memerangi para pemberontak dan orang orang Ouigour.
Piloko keluar dari istana kaisar dengan hati lega ternyata bahwa kaisar tidak memusuhi bangsanya. Akan tetapi Eng Eng keluar dengan hati panas sekali. Kebenciannya terhadap Tiong Kiat memuncak setelah ia mengetahui bahwa pemuda yang dibencinya itu ternyata adalah seorang pemberontak.
Ia minta kepada ayah angkatnya agar supaya pulang lebih dulu, karena ia hendak menyusul Jenderal Gak dan hendak membantunya menghancurkan pemberontak. Pertemuan Eng Eng dengan kaisar membangunkan semangatnya, demikian katanya kepada Piloko. Padahal yang benar merupakan dorongan kepadanya ialah keinginannya hendak membalas dendam kepada Tiong Kiat dan ia merasa kuatir kalau-kalau ia didahului oleh orang lain!
Kalau sampai barisan pemberontak itu dapat dihancurkan oleh Gak goanswe dan Tiong Kiat binasa dalam perang, bukankah ia selamanya akan merasa kecewa tidak dapat membalas orang itu dengan kedua tangannya sendiri?
Piloko tidak merasa keberatan sungguhpun ia merasa menyesal tidak dapat mengawani anak angkatnya itu karena keluarga-keluarga Cou di atas bukit itu harus dilindunginya, maka berangkatlah Eng Eng menuju ke utara terus mencari barisan-barisan dari Jenderal Gak. Ketika ia melihat dan mendengar betapa barisan pemberontak itu telah terkurung di sebelah selatan Sungai Sungari, ia menjadi girang sekali.
Tentu Tiong Kiat berada di dalam daerah terkurung itu, pikirnya. Lebih baik aku mendahului Jenderal Gak, sebelum pemberontak diserang dan dihancurkan, aku lebih dulu memasuki daerah terkurung untuk mencari jahanam itu!
Dengan pikiran ini, Eng Eng lalu mempergunakan kepandaiannya di waktu malam gelap ia menerobos masuk ke dalam daerah kepungan tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang mengepung daerah itu. Gadis yang berani ini lalu melewati malam di dalam hutan dan begitu malam gelap telah terusir pergi oleh sinar pagi, ia lalu keluar dan hutan untuk mulai usahanya mencari Tiong Kiat.
Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa hari itu harus terjadi peristiwa besar-besaran. Dengan cara kebetulan sekali, pada pagi hari itu Huayen-khan dan Ang Hwa naik kuda memasuki hutan itu berdua saja. Eng Eng segera bersembunyi dan diam-diam menghampiri mereka ketika kedua orang ini menahan kuda dan turun lalu bercakap-cakap di bawah pohon-pohon yang rindang.
"Ang Hwa, ternyata Oei Sun yang tolol itu telah membawa kita kepada kehancuran! Seluruh barisan telah terkurung. Kita harus berdaya untuk melepaskan diri, isteriku.”
"Enak saja kau bicara. Bagaimana kita bisa melepaskan diri dalam keadaan terkurung seperti ini? Paling baik kita berusaha sekuat tenaga untuk membantu Oei ciangkun mencari jalan keluar!"
"Bodoh! Mana bisa kita melawan Gak goanswe? Tidak tahukah kau bahwa Gak goanswe memiliki kepandaian tinggi dan para perwiranyapun gagah perkasa? Lebih baik begini, Ang Hwa, aku dan kau diam-diam melarikan diri dan menyerah kepada Gak goanswe?"
"Tentu saja kita akan dihukum sebagai pemberontak."
"Belum tentu. Kita bisa menggunakan alasan bahwa kita telah dibodohi oleh Oei Sun dan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw itu."
Sebelum Ang Hwa menjawab, berkelebat bayangan biru dan tahu tahu Tiong Kiat telah berdiri di hadapan mereka! Wajah pemuda ini membuat Huayen khan memandang pucat.
"Pengkhianat, apa katamu tadi?" pemuda ini membentak. Ternyata bahwa kepandaiannya yang tinggi membuat kedatangannya tidak diketahui oleh Huayen khan dan Ang Hwa.
Tentu saja Eng Eng yang masih bersembunyi dapat mengetahui kedatangan pemuda ini dan hatinya berdebar keras. Ingin sekali ia melompat keluar dan menyerang pemuda yang dibencinya ini, akan tetapi ia hendak melihat dulu apakah yang akan terjadi antara tiga orang itu. Ternyata bahwa sampai saat itupun Tiong Kiat masih belum sadar bahwa yang mengurung mereka adalah tentara kerajaan yang asli.
Menurut keterangan Oei Sun, yang mengurung adalah tentara Gak yang memberontak dan mereka menanti datangnya bala bantuan yang datangnya dari kota raja! Dan tadi ia hanya mendengar sebagian saja ucapan Huayen khan yakni bagian di mana Huayen Khan menyatakan hendak menyerah kepada Jenderal Gak. Tentu saja ia menjadi marah sekali.
Ketika Ang Hwa melihat munculnya kekasihnya ini, ia cepat mendekati Tiong Kiat, merangkul lengannya dan dengan manja dan genit ia berkata, "Tua bangka ini hendak mengkhianati kita dan hendak menyerah kepada musuh!"
Huayen khan tertawa bergelak dan kumisnya berdiri saking marahnya. "Perempuan busuk dan rendah!" makinya. Ia ingin mengeluarkan banyak kata-kata, akan tetapi hanya terengah-engah saking marahnya. Cepat ia mengeluarkan busurnya dan segera tersusul oleh suara menjepretnya lima batang anak panah ke arah Ang Hwa!
Tiong Kiat sudah maklum akan kelihaian anak-anak panah kepala suku Ouigour ini maka sejak tadi ia telah mencabut pedangnya. Sekali cabut ia telah mengeluarkan dua buah pedang, yakni pedang Ang coa kiam di tangan kanan dan pedang Hui-liong kiam di tangan kiri.
Di tempat persembunyiannya, Eng Eng menjadi pucat, ia mengenal pedang yang dulu dibawa oleh Tiong Han. Sekarang pedang ini berada di tangan Tiong Kiat. Apakah yang telah terjadi dengan Tiong Han??
Dengan sekali menggerakkan kedua pedangnya, semua anak panah dari Huayen khan dapat dipukul jatuh oleh Tiong Kiat yang tertawa menyindir. "Huayen-khan, kau benar-benar pengecut besar! Ternyata kau hanya pandai menggunakan anak-anak panah terhadap kawan sendiri. Pengkhianat dan pengecut!"
"Orang she Sim! Kaulah yang pengecut dan manusia tidak tahu malu! Telah lama kau mempermainkan istri orang, apakah hal ini patut dilakukan oleh seorang gagah? Ha ha ha, manusia macam kau mau menganggap diri sebagai seorang gagah seorang patriot, seorang perwira… ha ha ha, seorang perwira? Sungguh lucu!" Ia menggerakkan kedua tangannya lagi dan menjepretlah gendewanya, melayangkan Iima buah anak panah lagi, ke arah Tiong Kiat dengan hebatnya.
Tiong Kiat yang menjadi amat merah mukanya mendengar makian dan ejekan tadi memutar kedua pedangnya dengan cepat dan setelah lima batang anak panah itu dapat diruntuhkan, ia lalu menyerbu ke depan sambil berseru,
"Huayen khan, manusia hina dina! Kubunuh kau, bangsat tua bangka!"
"Benar, Sim-taihiap, bunuh saja monyet tua ini. Aku sudah bosan melihat macamnya!” kata Ang Hwa yang juga menjadi merah mukanya.
Huayen khan kembali tertawa bergelak, mencabut golok besarnya dan melawan mati-matian. Akan tetapi memang ia bukan tandingan Tiong Kiat yang kini sudah memiliki Ang coa kiamsut seluruhnya. Baru belasan jurus saja Huayen khan tak kuat melawan lagi dan ketika Tiong Kiat menyerangnya dengan gerak tipu Ang coa kan goat (Ular Merah Mengejar Bulan) terdengar teriakan ngeri dan Huayen khan roboh mandi darah dengan ulu hati tertembus pedang Ang coa kiam!
Kepala suku bangsa Ouigour ini tewas pada saat itu juga, menjadi korban daripada keserakahannya sendiri hendak menguasai Tiongkok dengan mengorbankan istrinya sendiri menjadi permainan orang!
Ang Hwa menjadi girang sekali dan nyonya muda yang cantik ini lalu memeluk dan merangkul leher Tiong Kiat, dan diciumnya muka pemuda itu dengan penuh kasih sayang.
"Koko yang baik, sekarang aku bisa menjadi isterimu!” katanya dengan manja dan genit.
Pada saat itu, Eng Eng yang sudah tak dapat menahan sebalnya menyaksikan peristiwa yang amat rendah itu, melompat keluar dengan pedang di tangannya.
"Iblis bermuka manusia, orang she Sim, di sinilah aku harus melenyapkan kau dari muka bumi. Manusia tak tahu malu, yang membunuh orang dengan kejam setelah bermain gila dengan istrinya! Cih, di dunia tidak ada keduanya laki-laki macam kau yang bermoral bejat ini!”
Tiong Kiat tidak saja amat terkejut ketika melihat Eng Eng muncul, juga dampratan gadis ini membuat ia menjadi pucat dan tertegun. Ia menggerakkan pundaknya sehingga pelukan dan rangkulan kedua tangan Ang Hwa terlepas. Dengan muka merah Tiong Kiat berkata kepada Eng Eng.
"Ah kiranya Suma siocia! Aku... Jangan menyangka yang bukan-bukan, nona. Orang ini... dia adalah Huayen khan yang hendak memberontak dan mengkhianati kawan-kawan sendiri. Dia hendak menyerahkan diri kepada pemberontak dan... dan…" Tiong Kiat menjadi bingung dan gagap karena tiba-tiba teringat bagaimanakah nona Suma Eng ini bisa masuk ke daerah yang terkurung itu!
"Pandai saja memutar lidah! Kau kira aku tidak mendengar semua yang diucapkan tadi? Kau kira aku tidak tahu bahwa perempuan kotor ini adalah isteri dari orang yang kau bunuh itu? Dan bahwa kau membunuhnya karena hendak merebut isterinya? Dan bahwa kau adalah seorang pemberontak yang hina dina, seorang yang sepuluh kali lebih patut dihukum gantung?”
Untuk sesaat Tiong Kiat tak dapat menjawab dan pada saat itulah muncul Tiong Han yang cepat menyembunyikan diri di belakang pohon dengan muka terheran-heran! Ketika Tiong Han tiba di tempat itu, Tiong Kiat masih belum dapat menjawab dan pemuda itu masih memandang kepada Eng Eng dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
Eng Eng sendiri dengan pedang di tangan, mukanya merah sekali dan matanya bersinar-sinar menyeramkan. Adapun Ang Hwa masih berdiri dekat Tiong Kiat, karena nyonya ini terkejut sekali ketika tadi Tiong Kiat merenggut dan melepaskan tangannya yang memeluk leher pemuda itu.
Tiong Han mendengarkan dengan sabar jenderal tua yang pandai bicara ini. Atau tetapi mendengar disebutnya Sorban Merah ia menjadi tertarik sekali.
"Siapakah yang menjadi kepala Sorban Merah ini, goanswe?"
"Siapa tahu? Gerombolan liar ini macam itu siapa yang perduli? Akan tetapi mereka itu benar-benar mengacaukan rencanaku. Sebetulnya aku memang sengaja memancing pasukan pemberontak agar terus bergerak ke selatan tanpa diganggu. Kalau mereka sudah menyeberangi Sungai Sungari barulah aku akan memotong jalan pulang mereka sehingga dengan leluasa kita boleh membasminya. Siapa tahu Sorban Merah gerombolan liar itu merusak rencana, melakukan serbuan-serbuan sendiri yang tidak berarti sehingga menimbulkan kecurigaan barisan pemberontak yang hendak bergerak ke selatan!"
"Mengapa tidak membubarkan mereka saja?'" tanya Tiong Han.
"Itulah sukarnya. Biarpun jumlah mereka tidak banyak namun ternyata rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lihai dan kalau digunakan kekerasan, amat tidak baik. Mereka bukan musuh dan kalau sampai terjadi pertempuran berarti kita mencari musuh baru. Ini tidak bijaksana sekali."
"Goanswe, maafkan kalau aku lancang. Akan tetapi, aku bersedia untuk menemui kepala mereka dan membujuknya agar supaya tidak bertindak menurut kehendak sendiri."
Gak goanswe memandang tajam. "Kau sanggup?”
Tiong Han tersenyum. "Tentu saja, goanswe. Malahan, kalau tidak salah aku tahu siapa orang yang menjadi pemimpin mereka. Biarlah aku berangkat besok pagi-pagi dan dalam sehari saja aku akan sanggup membuat laporan yang memuaskan. Kedua orang guruku tidak percuma mengirim aku ke sini, Goanswe."
Jenderal itu tidak tersenyum, akan tetapi wajahnya yang nampak keren dan galak itu berseri, "Baiklah, besok pagi kau pergi dan sekarang mengasolah!"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong Han sudah masuk ke dalam hutan sebelah barat perbentengan bala tentara jenderal Gak. Benar saja seperti keterangan yang ia dengar sebelumnya, hutan itu amat luas dan liar di sana sini nampak gunung-gunung kecil yang menjadi benteng di pinggir Sungai Sungari yang lebar.
Beberapa kali Tiong Han melihat bayangan orang berkelebat di balik pohon yang besar-besar, akan tetapi ditunggu-tunggu tak seorangpun nampak muncul. Tiong Han tersenyum dan melanjutkan perjalanan, masuk makin dalam di hutan itu, bayangan-bayangan orang makin banyak, akan tetapi tetap saja tidak ada orang muncul. Matanya yang tajam dapat melihat betapa bayangan-bayangan itu benar-benar mengenakan Sorban Merah yakni ikat kepala terbuat daripada kain merah, dan pada pinggang mereka tergantung golok.
Biarpun bayangan-bayangan itu berkelebat cepat dan ia hanya melihat sekejap mata saja namun ia telah dapat melihat dengan jelas. Hatinya makin berdebar. Tak salah lagi, melihat pakaian dan ikat kepala mereka orang-orang ini adalah anak buah dari sumoinya!
Bagaimanakah mereka yang dulu tinggal di Heng-yang ini bisa sampai di tempat ini? Dan bukankah sumoinya yakni Can Kui Hwa, dan suaminya, Siok Un Leng telah pindah ke kota raja? Karena orang-orang itu main bersembunyi saja, dan ditunggu-tunggu tak juga ada yang muncul akhirnya Tiong Han menjadi hilang sabar.
“Perkumpulan Sorban Merah yang pernah kukenal biasanya terdiri dari orang-orang gagah. Akan tetapi yang sekarang berada di hutan ini mengapa begini pengecut tidak berani bertemu dengan orang? Apakah yang sekarang ini Sorban Merah palsu?”
Baru saja ia menutup mulutnya, dari depan, belakang, kanan dan kiri bersiutan bunyi anak panah yang menyambarnya dari balik pohon-pohon. Tiong Han menggeser kakinya sehingga keadaan tubuhnya berubah. Dengan gerakan ini ia dapat mengelakkan diri dari sambaran panah dari belakang dan depan.
Adapun dua batang anak panah dari kanan kiri, dengan cara yang amat mengagumkan dapat ditangkapnya dengan kedua tangan. Tiong Han mempergunakan tenaga jari-jari tangannya mematahkan dua batang anak panah itu yang lalu dilemparkannya ke atas tanah kemudian ia berseru Iagi.
"Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin Sorban Merah, bukan untuk mencari permusuhan! Beginikah caranya Sorban Merah menyambut datangnya tamu? Hayo keluarlah pemimpin Sorban Merah ataukah kalian menghendaki aku turun tangan?" Ucapan ini sekaligus merupakan sesalan, bujukan, dan juga ancaman.
Tiba-tiba terdengar seruan keras dan sesosok bayangan hitam melompat keluar dari balik sebatang pohon besar. Setelah bayangan ini berada di depan Tiong Han, pemuda itu meIihat bahwa di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang berwajah galak dan gagah sekali. Orang ini berpakaian ringkas berwarna hitam dengan sorban warna merah darah dan golok besarnya tergantung di pinggang.
"Pemuda liar dari manakah berani sekali memasuki wilayah kami dan mengeluarkan omongan besar?” bentak orang bersorban merah ini.
Tiong Han tersenyum dan cepat memberi hormat sambil menjura. "Sahabat, aku adalah seorang utusan dari benteng Gak goanswe. Aku datang untuk bertemu dengan pemimpin dari Sorban Merah."
Orang itu memandang dengan mata curiga dan mulutnya menyeringai dengan mengejek. Ternyata ia tidak mau percaya akan keterangan Tiong Han.
“Kau? Utusan dari Jenderal Gak? Siapa mau percaya obrolanmu ini? Pakaianmu bukan seperti seorang perwira atau perajurit. Jangan kau mencoba membohongi aku!” Kemudian dengan sikap mengancam ia memandang tajam dan berkata, "Lebih baik kau mengaku bahwa kau adalah seorang mata-mata dari barisan pemberontak!”
"Kau benar-benar galak, sahabat. Sebaliknya, kau ini siapakah? Apakah kau juga seorang anggaota Sorban Merah?" tanya Tiong Han sambil memandang ke arah sorban yang berwarna merah darah itu.
Sepasang mata yang lebar dari orang itu terputar merah. "Anggota biasa? Dengar, pemuda bermata buta, aku adalah pemimpin pasukan Sorban Merah yang pada saat ini telah mengurungmu! Aku adalah Louw Tek si Kerbau Besi, orang yang telah menewaskan banyak sekali anggota pemberontak. Hayo lekas berlutut kurantai dan kubawa menghadap kepada ketua kami!"
Tiba-tiba Tiong Han tertawa geli. "Kukira pemimpin seluruh kesatuan Sorban Merah tidak tahunya hanya pemimpin pasukan kecil saja. Eh, Low twako, aku bukan seorang taklukan. Aku adalah utusan dari Jenderal Gak. Hayo jangan kau main-main dan lekas antarkan aku kepada ketuamu."
"Orang yang tidak mempunyai kepandaian tidak boleh dipercaya menjadi utusan Jenderal Gak dan sama sekali tidak patut menghadap ketua kami sebagai tamu. Kalau kau dapat menahan kedua kepalan tanganku, baru kau boleh menghadap sebagai tamu ketua kami." Sambil berkata demikian, Louw Tek memperlihatkan sepasang tinjunya yang besar dan kuat.
Tiong Han tersenyum, "Begitukah? Baiklah kau boleh mempergunakan kepalanmu yang seperti tahu lunaknya itu untuk memukulku sampai dua kali pukulan, akan tetapi kaupun harus dapat mempertahankan diri dari pukulan balasanku."
"Boleh!” Si Kerbau Besi menantang. "Siapa yang roboh, dia kalah!”
Memang Louw Tek ini selain kasar dan jujur, juga mempunyai kesukaan berkelahi dengan siapa saja yang ditemuinya, dan sebelum dikalahkan, ia tidak akan dapat merobah sikapnya yang memandang ringan.
Tiong Han berdiri tegak dan mengangkat dada. "Pukullah sesuka hatimu!"
Sebelum memukul, Louw Tek memandang ke sekeliling lalu berkata dengan suara keras, "Kawan-kawan perhatikan baik-baik, kalian menjadi saksi. Kalau orang ini bermain curang, tentu dia mata-mata pemberontak dan lekas hujani anak panah!”
Kemudian ia menghadapi Tiong Han, memasang kuda-kuda dan berseru keras,"Awas pukulan!" Kedua lengannya bergerak cepat dan...
Bukk! Bukk...!" dua kali kepalan tangannya bergantian jatuh di dada Tiong Han.
Akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mengejapkan mata menerima pukulan-pukulan itu. Tentu saja Si Kerbau Besi menjadi heran sekali.
"Sudah kau pukulkah? Ah, aku tidak merasa sama sekali."
"Pemuda sombong, coba kurasakan pukulan tanganmu yang seperti bubur itu!" kata Louw Tek dengan muka merah dan ia memperteguh kuda-kudanya, melambungkan perut dan dadanya sambil menahan napas!
Tiong Han menjadi geli sekali. "Kau benar-benar seperti kerbau, bukan kerbau besi, melainkan kerbau tanah lempung! Awas, rebahlah!"
Sambil berkata demikian, Tiong Han mendorong dada orang itu dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sedikit tenaga dalamnya. Louw Tek mempertahankan diri, akan tetapi sia-sia saja. Ia merasa seakan-akan diseruduk seekor gajah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terpelanting ke belakang seperti sehelai daun kering tertiup angin!
Terdengar seruan marah dan dari balik pepohonan berlompatan keluar orang-orang bersorban merah yang jumlahnya tiga puluh orang lebih. Mereka ini mengurung Tiong Han dengan sikap mengancam, bahkan ada beberapa orang telah menghunus golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Mundur semua!”
Hebat sekali pengaruh bentakan ini, karena bagaikan disengat ular berbisa, orang-orang itu melompat ke belakang dengan terkejut, lalu berdiri dengan tegak dan sikap menghormat. Bahkan Louw Tek yang masih meringis-ringis kesakitan sambil mengurut pantatnya yang menimpa batu ketika terjatuh tadi, kini sudah berdiri tegak dengan sikap hormat.
Tiong Han menengok dan alangkah girangnya ketika ia melihat Kui Hwa dan Un Leng berlari mendatangi sambil tertawa-tawa. Di belakang mereka berlari pula sepasukan Sorban Merah yang diantaranya banyak sudah mengenal Tiong Han.
"Suheng…!” Kui Hwa girang sekali dan berlari-lari menghampiri kakak seperguruannya. Juga Un Leng menghampiri Tiong Han sambi1 tersenyum girang.
"Sumoi! Saudara Un Leng! Sudah kuduga akan melihat kalian di sini." kata Tiong Han dengan girang sambil memegang tangan Kui Hwa dan Un Leng.
Louw Tek dan kawan-kawannya berdiri bengong dan menjadi pucat, akan tetapi Tiong Han yang melirik ke arah mereka berkata kepada suami istri pemimpin pasukan Sorban Merah itu.
"Sumoi, anak buahmu benar-benar teliti sekali. Tidak mudah bagiku untuk meyakinkan mereka bahwa aku tidak bermaksud buruk. Benar-benar kau mempunyai pasukan yang berdisiplin, sumoi."
Bukan main girang dan bersyukurnya hati Louw Tek dan anak buahnya mendengar ucapan Tiong Han ini.
"Pangcu (ketua), enghiong (orang gagah) ini adalah utusan dari Jenderal Gak!" kata Louw Tek kepada Kui Hwa. "Akan tetapi sebelum mempercayainya dengan membuta, saya telah mencobanya dulu, tidak tahu bahwa dia adalah suheng dari pangcu. Mohon maaf."
"Tidak apa, tidak apa. Lekas atur penjagaan dan biarkan kami bertiga bercakap-cakap di sini."
Setelah semua orang pergi, Kui Hwa lalu menuturkan kepada Tiong Han bahwa dia dan suaminya, Un Leng, telah pindah ke kota raja. Akan tetapi, ketika mereka mendengar bahwa ada barisan penjaga tapal batas utara memberontak, ia lalu bersama suaminya mengumpulkan semua bekas anggauta Sorban Merah dan membentuk pasukan untuk melakukan perang gerilya dan mengganggu barisan pemberontak itu.
"Dengan jalan ini aku hendak menebus semua kesalahan-kesalahanku yang dahulu twa-suheng." kata Kui Hwa.
"Bukan itu saja, memang sudah menjadi kewajiban kita sebagai putera ibu pertiwi untuk mengabdi dan membela tanah air, mengusir pengacau-pengacau yang hendak merusak keamanan negara dan bangsa." kata Un Leng.
Tiong Han menjadi terharu sekali. "Kalian memang orang-orang yang baik dan pantas sekali menjadi suami istri. Akan tetapi, sumoi, mengapa kau dan suamimu tidak mau menggabungkan pasukanmu dengan pasukan pemerintah di bawah pimpinan Jenderal Gak? Bukankah dengan persatuan, maka kekuatan akan menjadi lebih besar?”
"Siapa yang dapat mempercayai barisan pemerintah, suheng? Barisan pemberontak yang bergerak dari utara pun tadinya barisan pemerintah. Sesungguhnya, pada waktu sekarang ini sukar sekali untuk membedakan mana pemberontak dan mana pengawal negara yang setia!"
Tiong Han menghela napas, kemudian berkata, "Kata-katamu memang merupakan kenyataan yang amat pahit, sumoi. Akan tetapi, percayalah kepadaku bahwa Jendral Gak benar-benar adalah seorang panglima yang berjiwa besar dan setia kepada negara. Kalau tidak, masa kedua orang guruku menyuruh aku datang kepadanya?"
Setelah Tiong Han menuturkan riwayatnya secara singkat, Kui Hwa dan suaminya tidak membantah lagi dan berbondong-bondonglah anggota Sorban Merah yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu berbaris mengikuti Tiong Han, Kui Hwa, dan Un Leng menuju ke benteng tentara pemerintah.
Tentu saja Jenderal Gak menjadi tertegun melihat betapa pemuda itu benar telah kembali pada senja harinya sambil membawa serta semua anggota Sorban Merah. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa pemimpin pasukan gerilya ini bukan lain adalah sumoi sendiri dari Tiong Han, ia tertawa bergelak.
"Memang murid-murid dari Lui Thian Sianjin di Kim-liong-pai ternyata gagah perkasa dan berjiwa patriot sejati. Hanya sayangnya aku mendengar bahwa ada juga murid dari orang tua itu yang murtad dan sesat."
"Murid itu adalah adik kembarku, Goanswe!" kata Tiong Han.
Jenderal Gak memandang tajam sekali dengan pandang mata penuh selidik, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
"Sesungguhnya aku sudah tahu akan hal itu, saudara Sim yang baik. Jawabmu yang singkat tadi, yang menyatakan pengakuanmu, sekarang melenyapkan keraguan hatiku. Tadinya aku curiga dan sangsi sebagaimana yang harus kulakukan sebagai seorang petugas yang berhati-hati. Aku curiga kepadamu, karena siapa tahu kalau-kalau kau tidak memihak kepada adik kandungmu sendiri? Nah sekarang kujelaskan bahwa adikmu yang jahat itu sekarang bahkan menjadi tangan kanan dari pemimpin pemberontak."
Hal ini sama sekali tidak pernah diduga-duga oleh Tiong Han, maka mendengar keterangan ini hampir saja ia melompat.
"Apa? Dan belum lama ini aku bertemu dengan dia dibenteng panglima Oei!"
"Justru Oei ciangkun atau Oei Sun itulah pemberontaknya! Dia adalah bekas pemimpin Pek-lian-kauw, sekarang mengadakan pemberontakan dengan bantuan Go bi Ngo-koai tung yang sesungguhnya dahulu adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang dikejar-kejar oleh pemerintah. Dan celakanya, sekarang adikmu sendiri, Ang coa kiam yang namanya terkenal itu menjadi pembantunya pula.
Ketika Tiong Han mengerling ke arah Kui Hwa, ia melihat adik seperguruannya ini hanya duduk mendengarkan sambil menundukkan mukanya.
Jenderal Gak yang banyak pengalaman dalam hal peperangan dan memiliki siasat yang lihai, sengaja melakukan gerakan memancing yang disebut 'memancing serigala memasuki perangkap'. Ia hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja terhadap barisan Oei Sun, dan pasukan-pasukan kecil inipun dipimpin oleh perwira-perwira rendahan, pertempuran dilakukan sambil mundur sehingga Oei Sun makin besar hati dan mengejar terus ke selatan.
Bahkan dengan sengaja Jenderal Gak lalu membuat pertahanan yang amat lemah di sebelah utara Sungai Sungari hanya terdiri dari seribu orang tentara. Di tempat itu, Jenderal Gak menyuruh orang-orangnya membuat perahu sebanyak-banyaknya untuk memancing Oei Sun. Ternyata pancingannya ini berhasil dan Oei Sun yang mendengar tentang pembuatan perahu ini, diam-diam merasa girang sekali.
"Jenderal Gak ternyata seorang yang bodoh." katanya sambil tertawa, "kita ingin menyeberang dan sekarang dia yang membuatkan perahu. Ha ha ha!" Juga Go bi Ngo koai tung tidak mempunyai dugaan buruk.
"Biarkan mereka membuat perahu sampai banyak dan cukup, baru kita datang merampasnya." kata Thian It Tosu.
Tentu saja percakapan mereka ini terjadi di luar tahunya Tiong Kiat yang masih belum sadar bahwa ia telah salah memilih tempat. Pemuda ini kurang memperhatikan keadaan kawan-kawannya, bahkan ia tidak memperdulikannya lagi. Yang penting baginya ialah bermain dengan Ang Hwa, memburu binatang bersenda gurau atau bermain pedang!
Kurang lebih tiga pekan kemudian, ketika perahu-perahu yang dibuat oleh orang-orang jenderal Gak sudah banyak, menyerbulah barisan yang dipimpin oleh Oei Sun sendiri. Karena barisan ini jauh lebih besar jumlahnya, juga karena barisan jenderal Gak sudah dipesan lebih dulu agar jangan banyak melakukan perlawanan dan mengundurkan diri melalui darat di sepanjang lembah Sungai Sungari sambil meninggalkan semua perahu, maka pertempuran tidak berjalan lama dan semua perahu telah dapat terampas oleh Oei Sun! Korban yang jatuh tidak banyak, karena memang pasukan-pasukan pembuat perahu itu tidak melakukan perlawanan gigih.
Demikianlah, dengan girang sekali pasukan-pasukan Oei Sun lalu mempergunakan perahu-perahu itu untuk menyeberangi sungai dan mendaratlah mereka semua di pantai selatan dengan selamat. Dengan semangat penuh dan harapan besar Oei Sun lalu menggerakkan barisannya maju ke selatan!
Sama sekali Oei Sun tidak menduga tidak lama setelah barisannya menyeberangi Sungai Sungari, nampak pasukan-pasukan lain yang besar jumlahnya berkumpul dan membuat pertahanan di tepi sungai sebelah selatan. Inilah barisan-barisan yang sengaja disediakan oleh Jenderal Gak untuk menghadang jalan pulang dari barisan pemberontak itu apabila kelak dipukul mundur!
Tiga hari kemudian, barulah barisan pemberontak yang jumlahnya telah meliputi sepuluh ribu orang itu menghadapi perlawanan hebat dari Jenderal Gak! Nampak puluhan ribu tentara kerajaan berbaris menghadang perjalanan di sebelah selatan. Bendera kerajaan berkibar-kibar dan bendera besar yang bertuliskan huruf 'Gak', amat megahnya berkibar di mana-mana, tanda bahwa barisan-barisan itu berada di bawah pimpinan Jenderal Gak.
Melihat besarnya barisan musuh Oei Sun lalu membuat aba-aba berhenti dan pasukannya lalu diatur membuat pertahanan yang kuat. Akan tetapi tiba-tiba datang beberapa orang perajurit penyelidik yang dengan wajah pucat membuat laporan bahwa terdapat banyak sekali tentara musuh di belakang, di kanan dan di kiri. Pendeknya, secara tidak terduga sekali barisan mereka telah terkepung oleh barisan-barisan yang besar jumlahnya dari tentara kerajaan yang mengibarkan bendera Gak!
"Jahanam besar! Jenderal Gak telah memancing dan memperdayai! Kita harus melawan mati-matian dan memerintahkan membuat tenda-tenda dan sekitar tempat itu dikurung oleh penjaga-penjaga yang merupakan benteng penjagaan amat kuat.
Sementara itu, Tiong Han yang menyaksikan kelihaian siasat dari Jenderal Gak ini, merasa amat kagum. Ia mengerti bahwa memang dalam sebuah perang besar, tidak boleh terlalu menurutkan perasaan sendiri atau dipengaruhi oleh urusan pribadi. Kalau tadinya ia berlaku nekad dan menerjang benteng musuh untuk mencari adiknya, tentu siasat dari Jenderal Gak ini akan terancam bahaya dan musuh mungkin akan merasa curiga. Setelah keadaan musuh terkurung, ia lalu menghadap Jenderal Gak dan bertanya.
"Gak goanswe, mengapa tidak terus memukul hancur mereka saja? Mau menanti apa lagi? Aku sudah tidak sabar untuk segera membekuk adikku yang jahat!"
Gak goanswe tersenyum, "Saudara Sim, Pasukan-pasukan yang kita kurung itu tadinya adalah anak buah dari barisan kerajaan sendiri, jadi kawan-kawanku juga. Sekarang mereka diselewengkan oleh Oei Sun, mungkin dalam keadaan tidak sadar, atau dalam keadaan terpaksa. Mengapa mesti membasmi mereka semua? Barisan-barisan itu merupakan tubuh dan ekor dari seekor ular. Ke mana saja kepalanya bergerak, tubuh dan ekor akan mengikutinya. Kalau yang menjadi biang keladinya dapat dibasmi kurasa semua prajurit itu akan dapat diinsafkan dari kesesatan mereka. Buat apa harus bunuh-membunuh antara saudara dan kawan-kawan sendiri?”
"Habis apakah yang akan dilakukan sekarang? Apakah menanti sampai mereka mencari jalan keluar dengan kekerasan?"
Jenderal itu menggeleng-geleng kepalanya. "Kita kurung mereka dengan rapat sampai mereka kehabisan ransum. Kalau mereka mencari jalan keluar, kita pukul mereka kembali lagi di dalam kurungan. Kita akan mengurung terus sampai mereka menyerah, yakni Oei Sun dan kaki tangannya."
"Jadi kita memberi syarat, yakni penyerahan diri dari Oei Sun dan kaki tangannya?"
Jenderal tua itu mengangguk. "Dan kaulah yang akan menjadi utusanku!"
"Aku?"
"Ya, kaulah orangnya saudara Sim. Tidak ada utusan yang lebih baik daripada engkau sendiri. Kau pandai menjaga diri dan kalau seandainya mereka mengganggumu dan menahanmu, barulah aku akan turun tangan. Akan tetapi kurasa Oei Sun takkan begitu bodoh mengorbankan keselamatannya untuk mengganggumu seorang."
"Baik, Gak-goanswe. Akan tetapi…"
"Tentang adikmu?”
"Ya, bagaimanakah kalau aku bertemu dengan dia? Bolehkah aku turun tangan?”
Gak-goanswe menggelengkan kepalanya. "Jangan saudara Sim. Hal itu hanya akan mengakibatkan pertempuran dan kedudukanmu sebagai utusan terancam. Utusan tidak boleh diserang dan juga tidak boleh menyerang fihak tuan rumah. Ingat, kita dalam keadaan perang, tidak boleh menurutkan nafsu hati mengurus urusan pribadi."
Tiong Han menarik napas panjang, "Baiklah, akan kuperhatikan baik-baik."
Demikianlah, setelah menerima pesanan-pesanan dari Gak-goanswe bagaimana harus bicara terhadap Oei Sun, pada pagi hari keesokan harinya Tiong Han berangkat. Ia mengenakan pakaian ringkas warna putih dengan leher baju biru, ikat kepala hijau muda. Ia tidak membawa senjata karena memang semenjak menerima gemblengan ilmu silat dari Pat jiu Toanio dan Lui kong-jiu tak perlu lagi ia mengandalkan bantuan senjata! Yang dibekalnya hanyalah sehelai bendera putih yang bertuliskan huruf GAK dan dibawahnya bertuliskan huruf UTUSAN.
Dengan gerakan kaki ringan dan cepat sekali Tiong Han memasuki daerah terkepung. Markas dari Oei Sun terletak sedikitnya lima lie dari tempat kepungan dan untuk menuju ke markas kepala pemberontak itu, Tiong Han harus melalui daerah berhutan yang cukup liar. la berjalan sambil membayangkan bagaimana nanti penerimaan Tiong Kiat kalau bertemu dengannya. la masih sukar untuk dapat percaya bahwa adiknya itu kini telah menjadi pembantu kepala pemberontak.
Ia dapat mengenal watak Tiong Kiat. Memang benar semenjak kecil adiknya ini nakal, mudah marah, akan tetapi gembira dan tidak licik. Harus diakui bahwa setelah dewasa Tiong Kiat mempunyai watak buruk dan mata keranjang akan tetapi adiknya itu diam-diam masih menjunjung tinggi ayah mereka. Sejak kecil Tiong Kiat begitu bangga nampaknya apabila membicarakan ayah mereka yang kabarnya dahulu menjadi panglima gagah!
"Tiong Kiat, Tiong Kiat… sekali ini aku tidak dapat mengampunimu…" keluhnya.
Ia maklum bahwa kalau sekali lagi bertanding, ia pasti akan dapat memukul mati adiknya itu, karena ilmu-ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari kedua orang gurunya yang baru memang khusus untuk memecahkan Ang-coa kiam.
la tahu dengan baik bagaimana harus mengalahkan Tiong Kiat, dan pukulan-pukulan yang dipelajarinya bukanlah pukulan biasa-biasa, melainkan pukulan-pukuIan maut yang takkan dapat ditahan pula oleh Tiong Kiat!
Ketika ia telah tiba di pinggir hutan dan puncak-puncak tenda barisan pemberontak telah nampak samar-samar, tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi. Cepat Tiong Han lari ke tempat itu dan alangkah terkejut dan herannya ketika ia melihat tiga orang sedang berhadapan, yakni Eng Eng, Tiong Kiat, dan seorang nyonya cantik yang tidak dikenalnya! Bagaimana Eng Eng bisa sampai di tempat itu?
********************
Marilah kita mengikuti sebentar perjalanan Eng Eng sebelum tiba di tempat itu yang membuat Tiong Han berdiri di belakang pohon sambil berdiri bengong saking herannya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan Eng Eng bersama ayah angkatnya, yakni Piloko kepala suku bangsa Cou, turun dari gunung di mana seluruh keluarga Cou bertahan dari serangan orang-orang Ouigour dan lain-lain.
Piloko mengajak anak angkatnya menuju ke kota raja untuk menghadap kaisar dan menyampaikan protes tentang bantuan tentara kerajaan yang menyerang orang-orang Cou membantu orang Ouigour bertindak sewenang-wenang.
Tanpa banyak halangan kedua orang ini tiba di kota raja dan dengan mudah Piloko yang sudah dikenal itu diterima oleh Kaisar Tai Cung sendiri. Sebagai anak angkat Piloko, Eng Eng juga diperkenankan masuk menghadap kaisar sehingga gadis ini menjadi bingung dan sungkan-sungkan memasuki ruangan yang indah dan menghadapi keagungan kaisar itu.
Akan tetapi, apa yang mereka dengar dari kaisar benar-benar merupakan guntur di siang hari. Dari kaisar, Piloko dan Eng Eng mendengar tentang pemberontakan Oei Sun dan bahwa tentara kerajaan yang membela Huayen-khan itu sebetulnya adalah pemberontak-pemberontak yang bersama Huayen-khan merencanakan penyerbuan ke kota raja!
Akan tetapi kaisar menghibur mereka sambil menyatakan bahwa kini barisan besar yang dipimpin oleh Gak goanswe telah mulai bergerak untuk menghancurkan pemberontak itu berikut tentera yang dipimpin oleh Huayen-khan. Bahkan dianjurkan kepada Piloko untuk menggabungkan anak buahnya dengan Gak goanswe untuk bersama-sama memerangi para pemberontak dan orang orang Ouigour.
Piloko keluar dari istana kaisar dengan hati lega ternyata bahwa kaisar tidak memusuhi bangsanya. Akan tetapi Eng Eng keluar dengan hati panas sekali. Kebenciannya terhadap Tiong Kiat memuncak setelah ia mengetahui bahwa pemuda yang dibencinya itu ternyata adalah seorang pemberontak.
Ia minta kepada ayah angkatnya agar supaya pulang lebih dulu, karena ia hendak menyusul Jenderal Gak dan hendak membantunya menghancurkan pemberontak. Pertemuan Eng Eng dengan kaisar membangunkan semangatnya, demikian katanya kepada Piloko. Padahal yang benar merupakan dorongan kepadanya ialah keinginannya hendak membalas dendam kepada Tiong Kiat dan ia merasa kuatir kalau-kalau ia didahului oleh orang lain!
Kalau sampai barisan pemberontak itu dapat dihancurkan oleh Gak goanswe dan Tiong Kiat binasa dalam perang, bukankah ia selamanya akan merasa kecewa tidak dapat membalas orang itu dengan kedua tangannya sendiri?
Piloko tidak merasa keberatan sungguhpun ia merasa menyesal tidak dapat mengawani anak angkatnya itu karena keluarga-keluarga Cou di atas bukit itu harus dilindunginya, maka berangkatlah Eng Eng menuju ke utara terus mencari barisan-barisan dari Jenderal Gak. Ketika ia melihat dan mendengar betapa barisan pemberontak itu telah terkurung di sebelah selatan Sungai Sungari, ia menjadi girang sekali.
Tentu Tiong Kiat berada di dalam daerah terkurung itu, pikirnya. Lebih baik aku mendahului Jenderal Gak, sebelum pemberontak diserang dan dihancurkan, aku lebih dulu memasuki daerah terkurung untuk mencari jahanam itu!
Dengan pikiran ini, Eng Eng lalu mempergunakan kepandaiannya di waktu malam gelap ia menerobos masuk ke dalam daerah kepungan tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang mengepung daerah itu. Gadis yang berani ini lalu melewati malam di dalam hutan dan begitu malam gelap telah terusir pergi oleh sinar pagi, ia lalu keluar dan hutan untuk mulai usahanya mencari Tiong Kiat.
Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa hari itu harus terjadi peristiwa besar-besaran. Dengan cara kebetulan sekali, pada pagi hari itu Huayen-khan dan Ang Hwa naik kuda memasuki hutan itu berdua saja. Eng Eng segera bersembunyi dan diam-diam menghampiri mereka ketika kedua orang ini menahan kuda dan turun lalu bercakap-cakap di bawah pohon-pohon yang rindang.
"Ang Hwa, ternyata Oei Sun yang tolol itu telah membawa kita kepada kehancuran! Seluruh barisan telah terkurung. Kita harus berdaya untuk melepaskan diri, isteriku.”
"Enak saja kau bicara. Bagaimana kita bisa melepaskan diri dalam keadaan terkurung seperti ini? Paling baik kita berusaha sekuat tenaga untuk membantu Oei ciangkun mencari jalan keluar!"
"Bodoh! Mana bisa kita melawan Gak goanswe? Tidak tahukah kau bahwa Gak goanswe memiliki kepandaian tinggi dan para perwiranyapun gagah perkasa? Lebih baik begini, Ang Hwa, aku dan kau diam-diam melarikan diri dan menyerah kepada Gak goanswe?"
"Tentu saja kita akan dihukum sebagai pemberontak."
"Belum tentu. Kita bisa menggunakan alasan bahwa kita telah dibodohi oleh Oei Sun dan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw itu."
Sebelum Ang Hwa menjawab, berkelebat bayangan biru dan tahu tahu Tiong Kiat telah berdiri di hadapan mereka! Wajah pemuda ini membuat Huayen khan memandang pucat.
"Pengkhianat, apa katamu tadi?" pemuda ini membentak. Ternyata bahwa kepandaiannya yang tinggi membuat kedatangannya tidak diketahui oleh Huayen khan dan Ang Hwa.
Tentu saja Eng Eng yang masih bersembunyi dapat mengetahui kedatangan pemuda ini dan hatinya berdebar keras. Ingin sekali ia melompat keluar dan menyerang pemuda yang dibencinya ini, akan tetapi ia hendak melihat dulu apakah yang akan terjadi antara tiga orang itu. Ternyata bahwa sampai saat itupun Tiong Kiat masih belum sadar bahwa yang mengurung mereka adalah tentara kerajaan yang asli.
Menurut keterangan Oei Sun, yang mengurung adalah tentara Gak yang memberontak dan mereka menanti datangnya bala bantuan yang datangnya dari kota raja! Dan tadi ia hanya mendengar sebagian saja ucapan Huayen khan yakni bagian di mana Huayen Khan menyatakan hendak menyerah kepada Jenderal Gak. Tentu saja ia menjadi marah sekali.
Ketika Ang Hwa melihat munculnya kekasihnya ini, ia cepat mendekati Tiong Kiat, merangkul lengannya dan dengan manja dan genit ia berkata, "Tua bangka ini hendak mengkhianati kita dan hendak menyerah kepada musuh!"
Huayen khan tertawa bergelak dan kumisnya berdiri saking marahnya. "Perempuan busuk dan rendah!" makinya. Ia ingin mengeluarkan banyak kata-kata, akan tetapi hanya terengah-engah saking marahnya. Cepat ia mengeluarkan busurnya dan segera tersusul oleh suara menjepretnya lima batang anak panah ke arah Ang Hwa!
Tiong Kiat sudah maklum akan kelihaian anak-anak panah kepala suku Ouigour ini maka sejak tadi ia telah mencabut pedangnya. Sekali cabut ia telah mengeluarkan dua buah pedang, yakni pedang Ang coa kiam di tangan kanan dan pedang Hui-liong kiam di tangan kiri.
Di tempat persembunyiannya, Eng Eng menjadi pucat, ia mengenal pedang yang dulu dibawa oleh Tiong Han. Sekarang pedang ini berada di tangan Tiong Kiat. Apakah yang telah terjadi dengan Tiong Han??
Dengan sekali menggerakkan kedua pedangnya, semua anak panah dari Huayen khan dapat dipukul jatuh oleh Tiong Kiat yang tertawa menyindir. "Huayen-khan, kau benar-benar pengecut besar! Ternyata kau hanya pandai menggunakan anak-anak panah terhadap kawan sendiri. Pengkhianat dan pengecut!"
"Orang she Sim! Kaulah yang pengecut dan manusia tidak tahu malu! Telah lama kau mempermainkan istri orang, apakah hal ini patut dilakukan oleh seorang gagah? Ha ha ha, manusia macam kau mau menganggap diri sebagai seorang gagah seorang patriot, seorang perwira… ha ha ha, seorang perwira? Sungguh lucu!" Ia menggerakkan kedua tangannya lagi dan menjepretlah gendewanya, melayangkan Iima buah anak panah lagi, ke arah Tiong Kiat dengan hebatnya.
Tiong Kiat yang menjadi amat merah mukanya mendengar makian dan ejekan tadi memutar kedua pedangnya dengan cepat dan setelah lima batang anak panah itu dapat diruntuhkan, ia lalu menyerbu ke depan sambil berseru,
"Huayen khan, manusia hina dina! Kubunuh kau, bangsat tua bangka!"
"Benar, Sim-taihiap, bunuh saja monyet tua ini. Aku sudah bosan melihat macamnya!” kata Ang Hwa yang juga menjadi merah mukanya.
Huayen khan kembali tertawa bergelak, mencabut golok besarnya dan melawan mati-matian. Akan tetapi memang ia bukan tandingan Tiong Kiat yang kini sudah memiliki Ang coa kiamsut seluruhnya. Baru belasan jurus saja Huayen khan tak kuat melawan lagi dan ketika Tiong Kiat menyerangnya dengan gerak tipu Ang coa kan goat (Ular Merah Mengejar Bulan) terdengar teriakan ngeri dan Huayen khan roboh mandi darah dengan ulu hati tertembus pedang Ang coa kiam!
Kepala suku bangsa Ouigour ini tewas pada saat itu juga, menjadi korban daripada keserakahannya sendiri hendak menguasai Tiongkok dengan mengorbankan istrinya sendiri menjadi permainan orang!
Ang Hwa menjadi girang sekali dan nyonya muda yang cantik ini lalu memeluk dan merangkul leher Tiong Kiat, dan diciumnya muka pemuda itu dengan penuh kasih sayang.
"Koko yang baik, sekarang aku bisa menjadi isterimu!” katanya dengan manja dan genit.
Pada saat itu, Eng Eng yang sudah tak dapat menahan sebalnya menyaksikan peristiwa yang amat rendah itu, melompat keluar dengan pedang di tangannya.
"Iblis bermuka manusia, orang she Sim, di sinilah aku harus melenyapkan kau dari muka bumi. Manusia tak tahu malu, yang membunuh orang dengan kejam setelah bermain gila dengan istrinya! Cih, di dunia tidak ada keduanya laki-laki macam kau yang bermoral bejat ini!”
Tiong Kiat tidak saja amat terkejut ketika melihat Eng Eng muncul, juga dampratan gadis ini membuat ia menjadi pucat dan tertegun. Ia menggerakkan pundaknya sehingga pelukan dan rangkulan kedua tangan Ang Hwa terlepas. Dengan muka merah Tiong Kiat berkata kepada Eng Eng.
"Ah kiranya Suma siocia! Aku... Jangan menyangka yang bukan-bukan, nona. Orang ini... dia adalah Huayen khan yang hendak memberontak dan mengkhianati kawan-kawan sendiri. Dia hendak menyerahkan diri kepada pemberontak dan... dan…" Tiong Kiat menjadi bingung dan gagap karena tiba-tiba teringat bagaimanakah nona Suma Eng ini bisa masuk ke daerah yang terkurung itu!
"Pandai saja memutar lidah! Kau kira aku tidak mendengar semua yang diucapkan tadi? Kau kira aku tidak tahu bahwa perempuan kotor ini adalah isteri dari orang yang kau bunuh itu? Dan bahwa kau membunuhnya karena hendak merebut isterinya? Dan bahwa kau adalah seorang pemberontak yang hina dina, seorang yang sepuluh kali lebih patut dihukum gantung?”
Untuk sesaat Tiong Kiat tak dapat menjawab dan pada saat itulah muncul Tiong Han yang cepat menyembunyikan diri di belakang pohon dengan muka terheran-heran! Ketika Tiong Han tiba di tempat itu, Tiong Kiat masih belum dapat menjawab dan pemuda itu masih memandang kepada Eng Eng dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
Eng Eng sendiri dengan pedang di tangan, mukanya merah sekali dan matanya bersinar-sinar menyeramkan. Adapun Ang Hwa masih berdiri dekat Tiong Kiat, karena nyonya ini terkejut sekali ketika tadi Tiong Kiat merenggut dan melepaskan tangannya yang memeluk leher pemuda itu.