Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 01

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar tanpa bayangan jilid 01
Sonny Ogawa

01: PENGKHIANATAN SEORANG PELAYAN
SEMENJAK sejarah berkembang, Tiongkok kenyang oleh pengalaman perang saudara yang timbul tiada hentinya dari masa ke masa. Daerahnya yang amat luas, rakyatnya yang amat banyak, ditambah pula dengan perbedaan iklim dan taraf hidup antara satu dan lain daerah, terutama antara daerah utara dan selatan, selalu menimbulkan pertengkaran dan peperangan antara raja yang satu dengan raja yang lain.

cerita silat online karya kho ping hoo

Wangsa atau dinasti (kerajaan) timbul tenggelam dan tidak pernah ada kebangkitan suatu kerajaan yang tidak disambut pemberontakan-pemberontakan di sana sini. Pemberontakan yang dilakukan oleh pihak yang tidak setuju dengan kerajaan baru atau oleh kerajaan sebelumnya yang dijatuhkan. Akan tetapi setiap kali perang berkobar, rakyat kecillah yang paling menderita.

Tiap kali terjadi perang, berarti pemerintah yang berkuasa sibuk dengan pertahanan daerah dari serbuan musuh dari luar sehingga pemerintah kurang memperhatikan keadaan di dalam, di mana kekacauan selalu timbul tiap ada kesempatan. Pasukan keamanan pemerintah dikerahkan untuk menghadapi musuh sehingga penjaga keamanan hanya sedikit atau lemah sekali.

Kesempatan ini dipergunakan orang-orang jahat, perampok-perampok dan maling untuk beraksi dengan beraninya dan di waktu seperti itu, hukum rimbalah yang berlaku. Dalam keadaan seperti ini, para ahli silat yang lebih beruntung karena mereka memiliki kepandaian bela diri yang dapat diandalkan untuk menjaga keselamatan keluarga dan harta benda mereka.

Penderitaan paling hebat yang dialami rakyat dalam waktu peralihan kekuasaan adalah dalam masa kebangkitan bangsa Mongol. Semenjak bangsa Mongol bangkit dan menyerang Cina sampai hancurnya Kerajaan Sung dan berdirinya Kerajaan Goan pada tahun 1279, rakyat menderita hebat akibat kekejaman sepak terjang pasukan Mongol. Tidak hanya penderitaan lahir saja yang dialami rakyat, siksaan, pembunuhan semena-mena, perampasan harta benda, akan tetapi juga penderitaan batin.

Sebelumnya, kaisar-kaisar yang jatuh bangun selama ini adalah kaisar bangsa sendiri atau paling banyak hanya suku bangsa yang berlainan, akan tetapi tetap bangsa Han juga. Baru sekarang Cina diduduki oleh penjajah dari luar, oleh bangsa lain, yaitu bangsa Mongol yang tinggal jauh di sebelah utara dan hal ini tentu saja merupakan penderitaan batin yang amat menyakitkan bagi rakyat.

Oleh karena itu, perlawanan rakyat yang membantu sisa tentara Kerajaan Sung lama, tidak pernah berhenti dan peperangan tidak pernah padam. Namun, bala tentara Mongol memang amat kuat, bahkan sempat menjelajah dan menalukkan negara-negara di Timur Tengah dan Europa!

Selain memiliki bala tentara yang amat kuat, juga celaka bagi rakyat, tidak sedikit jumlahnya para pengkhianat dan anjing-anjing penjilat penjajah yang mempergunakan kesempatan itu untuk menjual negara dan bangsa demi mengejar kesenangan dan kekayaan.

Dengan telunjuk mereka yang hitam, para pengkhianat rendah itu menunjuk para pejuang dan melapor kepada penjajah sehingga para patriot bangsa itu ditangkap, disiksa, digantung atau disembelih di hadapan rakyat untuk melemahkan semangat perlawanan mereka. Dengan mulut mereka yang berbisa, para pengkhianat itu berbisik di telinga para pembesar Mongol dan di lain saat, keluarga para patriot ditangkap, dibunuh, bahkan para wanitanya diperkosa dan semua harta benda mereka dirampas.

Tidak dapat disangkal bahwa kaisar pertama dalam Kerajaan Goan, yaitu Kubilai Khan, telah berjasa memperindah kota raja yang baru, Peking. Istana yang indah didirikan di atas pundak rakyat. Terusan-terusan digali antara Sungai Yang-ce dan Sungai Huang-ho sehingga air sungai dapat dihubungkan untuk mengangkut segala keperluan yang diperlukan, akan tetapi air sungai semenjak itu pun mengalir bersama keringat dan darah rakyat.

Untuk dapat melaksanakan semua pekerjaan besar ini, rakyat Cina, terutama yang miskin tidak mampu menyogok pembesar, diperas dan ditindas, dikerja-paksakan dengan teramat kejam, melebihi kuda atau kerbau, sehingga akibatnya banyak sekali rakyat yang tewas karena penyakit atau karena kelaparan dalam kerja paksa yang kejam itu.

Tidak akan ada habisnya kalau diceritakan betapa hebat penderitaan rakyat di waktu tanah air berada dalam kekuasaan penjajah asing. Sampai beberapa tahun semenjak pemerintahan Goan berdiri menguasai Cina, kekejaman dan kebuasan para pembesar Mongol terjadi setiap hari di seluruh negeri.

Kota So-couw terletak di perbatasan Propinsi Kiang-si dan An-hui, di sebelah barat terusan yang sedang digali oleh rakyat yang melakukan kerja paksa. Karena penggalian terusan itu membutuhkan tenaga jutaan manusia, maka pemerintah menjulurkan tangannya sampai jauh ke pedalaman dan menyeret orang-orang kota dan dusun untuk dikerja-paksakan. Kota So-couw tidak terkecuali. Apalagi kota ini letaknya tidak jauh dari terusan, maka penduduk kota inilah yang lebih dulu terkena operasi atau garukan.

Di kota So-couw tinggal keluarga Pouw yang amat dikenal. Semua orang di So-couw menghormati keluarga itu yang bukan saja merupakan keluarga tertua di So-couw, melainkan juga karena keluarga Pouw yang kaya raya selalu membantu rakyat jelata, menyumbangkan harta, tenaga, maupun pikiran.

Siapa tidak mengenal Pouw Goan Keng yang dahulu pernah menjadi Menteri Kesusastraan dari Kerajaan Sung? Siapa tidak tahu. bahwa adiknya, Pouw Cong Keng, telah gugur sebagai pahlawan ketika memimpin barisan Song menggempur Kerajaan Kin di utara?

Kemudian ada lagi, Pouw Bun yang sekarang telah menjadi seorang kakek tua dan tinggal di gedungnya yang terletak di kota So-couw, dahulu pernah menjabat pangkat Kok-hoa (Kepala Pengawas) yang amat jujur dan adil. Pekerjaannya adalah menentukan lulus tidaknya seorang yang mengikuti ujian kesusastraan untuk mencapai gelar siucai (sastrawan) di kota raja.

Padahal pada waktu jaman Kerajaan Sung, seperti juga pada waktu kerajaan-kerajaan lain yang terdahulu, amat sukar menjadi pejabat pemerintah yang jujur. Kebejatan akhlak para pejabat pemerintah, atau lebih tepat lagi para penguasa, membuat rakyat beranggapan bahwa mencari pejabat yang jujur dan adil, sama sukarnya dengan mencari intan, sedangkan menemukan penguasa yang korup dan sewenang-wenang, sama mudahnya dengan menemukan batu di sungai saking banyaknya! Pendeknya, keluarga Pouw terkenal sebagai keluarga yang sejak dulu kaya raya, terpelajar, patriotik dan cinta tanah air dan bangsa, juga amat dermawan!

Pada waktu itu, di dalam rumah gedung besar yang bentuknya kuno dari keluarga Pouw di So-couw, yang menjadi penghuninya adalah Pouw Bun yang sudah berusia sekitar tujuhpuluh tahun, isterinya yang sudah tua pula, Pouw Keng In dan isterinya, lalu adiknya, Pouw Sui Hong yang cantik jelita berusia delapanbelas tahun dan belum menikah. Pouw Keng In dan Pouw Sui Hong adalah cucu dari Pouw Bun. Baru setahun Pouw Keng In menikah dengan Tan Bi Lian yang cantik dan yang pada waktu itu telah mengandung tua.

Ayah Keng In dan Sui Hong telah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu karena sakit. Pouw Seng Ki, ayah mereka itu, terlalu berduka dan sakit hatinya melihat serbuan orang-orang Mongol yang mengganas dengan kejam. Batinnya tertekan hebat sehingga dia jatuh sakit dan meninggal. Isterinya menyusul suaminya tiga tahun kemudian, meninggalkan dua orang anaknya, Keng In dan Sui Hong, dalam peliharaan kakek dan nenek mereka yang sudah tua.

Karena Kakek Pouw Bun adalah seorang yang terpelajar, ahli sastra yang banyak pengetahuannya, maka Keng In dan Sui Hong mendapat pendidikan kesusastraan yang cukup mendalam. Mereka hidup dalam suasana yang damai dan tenteram. Setiap hari kalau tidak menulis syair, membaca kitab, tentu bermain musik atau bercakap-cakap tentang sejarah kuno atau tentang agama. Selain itu, Pouw Keng In juga mengurus sawah ladang milik kakeknya.

Pada waktu itu, harta kekayaan keluarga Pouw sudah banyak menyusut karena ketika terjadi perang penyerbuan barisan Mongol ke daerah itu, keluarga Pouw telah mempergunakan sebagian besar harta mereka untuk menolong para korban perang, menyumbang biaya pengobatan, makan, pakaian, bahkan mendirikan pondok-pondok sebagai pengganti mereka yang kehilangan rumah karena dibakar pasukan Mongol. Biarpun kini tidak kaya raya, namun sebagian dari hasil sawah ladang itu masih mereka berikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan agar tidak mati kelaparan.

Biarpun kini bukan hartawan yang hidup dalam kemewahan, namun Kakek dan Nenek Pouw, Pouw Keng In dan isterinya Tan Bi Lian, dan Pouw Sui Hong, hidup dalam keadaan tenang tenteram. Akan tetapi segala apa pun di dunia ini tidak kekal keadaannya. Apabila saatnya tiba, atau dengan lain perkataan apabila Tuhan menghendaki demikian, pasti akan terjadi perubahan, baik itu perubahan ke arah kesengsaraan maupun perubahan ke arah kebahagiaan.

Pouw Sui Hong adalah seorang gadis remaja berusia delapan belas tahun yang cantik jelita dan menggairahkan. Juga ia amat pandai menulis sajak, menulis huruf berkembang, melukis, memainkan alat musik yang-kim (kecapi) dan mengerjakan kerajinan tangan lain. Suara nyanyiannya pun amat merdu, dan semua itu ditambah lagi sikapnya yang lemah lembut, tutur sapanya yang halus dan wajahnya yang cerah.

Maka, tidak aneh kalau ia dijadikan buah mimpi oleh semua pemuda di So-couw dan dijuluki Bunga So-couw. Tidak hanya para pemuda bangsawan dan hartawan yang tergila-gila kepadanya, akan tetapi juga para pemuda petani, para pemuda miskin biarpun tidak mempunyai harapan sama sekali, tetap memujanya dan seringkali bermimpikan gadis itu. Di antara mereka ini terdapat seorang pemuda yang menjadi pelayan rumah keluarga Pouw sendiri.

Pemuda ini bernama Can Sui dan sejak kecil dia sudah bekerja sebagai pelayan di rumah itu maka sejak kecil dia telah mengenal Sui Hong. Akan tetapi sebagai seorang pelayan, dia tidak berani menyatakan cintanya kepada Sui Hong sungguhpun dalam hatinya dia sudah tergila-gila kepada gadis itu dan seringkali dia menyesali keadaan dirinya sendiri.

"Bukankah aku juga seorang manusia? Apa bedanya antara aku dan Siocia (Nona) sebagai manusia? Hanya kebetulan saja aku menjadi pelayannya, akan tetapi aku dilahirkan menjadi seorang miskin bukan atas kehendakku, seperti juga Siocia terlahir menjadi puteri keluarga kaya juga bukan atas kehendaknya..." Demikian pelayan itu mengeluh.

Setelah dewasa, cintanya terhadap Sui Hong menjadi berahi yang berkobar-kobar dan akhirnya dia tidak kuat lagi menahan desakan gelora nafsu berahinya dan dia menjadi mata gelap dan lupa diri. Bagaikan seorang maling pada suatu saat, lewat tengah malam, dia membongkar daun pintu kamar Sui Hong dan memasuki kamar itu!

Ketika dia menjulurkan tangan meraba tubuh Sui Hong, gadis itu menjerit-jerit ketakutan dan seisi rumah terbangun. Pouw Keng In yang berlari memasuki kamar adiknya, melihat Can Sui di situ dan Sui Hong yang duduk di atas pembaringannya, tampak pucat dan menggigil ketakutan. Dia dapat menduga apa yang terjadi. Akan tetapi Keng In memang cerdik sekali. Dia harus dapat menjaga kehormatan nama adiknya, maka ketika semua pelayan bermunculan di situ sambil membawa lentera, dia cepat menampar pipi Can Sui sambil memaki.

"Bangsat rendah! Sejak kecil setiap hari engkau makan nasi di rumah keluarga kami, siapa kira selama ini kami memelihara seorang maling! Baiknya Pouw Siocia melihatmu, kalau tidak tentu engkau akan berhasil menggondol barang-barang berharga lalu minggat! Bangsat, kalau tidak ingat bahwa engkau sejak kecil bekerja di sini, tentu aku akan memukulmu sampai mati. Sekarang, bawa semua barangmu dan pergi dari saat ini, jangan engkau berani menginjakkan kaki di pekarangan kami lagi!"

Demikianlah, berkat kecerdikan Pouw Keng In, urusan itu dilupakan orang dan nama baik keluarga itu tidak ternoda. Semua orang membicarakan peristiwa malam itu sebagai usaha pencurian yang hendak dilakukan Can Sui dan sama sekali tidak ada yang menyangka bahwa pemuda itu memasuki kamar Pouw Siocia dengan niat lain sama sekali!

Tidak hanya para pelayan dan orang luar yang mengira bahwa perkara itu adalah kecil dan sudah habis sampai di situ saja, bahkan semua anggauta keluarga Pouw sendiri sudah melupakan urusan itu. Akan tetapi siapa kira bahwa urusan yang dianggap sepele itu akan berekor panjang, bahkan akan menjadi sebab dari perubahan hebat yang akan terjadi pada keluarga Pouw.

Memang sudah mengalir dalam darah keturunan keluarga Pouw, juga Pouw Keng In biarpun sejak kecil hanya belajar sastra, ternyata dia pun memiliki darah patriot yang cukup kuat. Dia merasa penasaran dan juga berduka kalau ingat betapa tanah air bangsanya dikangkangi oleh penjajah Mongol.

Perasaan ini mudah sekali dilihat dari percakapan sehari-hari, atau dari sajak-sajak yang ditulis Keng In dan digantungkan dalam kamarnya. Tentu saja Keng In tidak berani berterang menyatakan kebenciannya terhadap pemerintah Kerajaan Goan, dan hanya menyatakan kebenciannya itu di depan para sahabat, anggauta keluarga, terkadang kepada para pelayan dalam rumah.

Bahkan ketika tidak jauh dari So-couw timbul pemberontakan terhadap pemerintah Mongol, Keng In menulis sajak banyak sekali dan dibagikan kepada para pejuang untuk membakar semangat mereka. Hal ini dilakukannya dengan diam-diam. Yang mengetahuinya hanyalah anggota keluarga, sahabat baik dan para pelayan yang sudah dipercaya saja.

Sudah barang tentu Can Sui pelayan yang tergila-gila kepada Sui Hong itu pun tahu akan hal ini, bahkan dia dipercaya karena dahulu dia pun merupakan seorang di antara mereka yang kagum dan suka akan sajak tulisan Pouw Keng In dan menyimpannya pula beberapa helai.

Malapetaka itu datang tepat sepuluh hari sejak Can Sui diusir dari rumah keluarga Pouw. Pada pagi hari itu, dua orang dengan muka pucat memasuki gedung keluarga Pouw lewat pintu belakang dan mereka berbisik-bisik kepada para pelayan. Tidak lama kemudian Pouw Keng In muncul dan mengajak dua orang itu masuk.

Mereka adalah dua orang Han (pribumi) yang bekerja sebagai pelayan rumah dan kantor pembesar kota So-couw. Mereka datang secara sembunyi dan setelah berada di dalam ruangan dalam gedung bersama Keng In, mereka berkata dengan lirih.

"Pouw Kongcu (Tuan Muda Pouw), celaka...! Lekas melarikan diri, cepat...! Ah, celaka sekali...!"

Wajah Pouw Keng In yang tampan berubah agak cemas, akan tetapi dia masih dapat bersikap tenang dan bertanya lembut. "Apakah yang telah terjadi? Tenanglah kalian dan ceritakan dengan jelas..."

"Tepat lari! Bawa semua keluarga. Tak lama lagi tentu pasukan pemerintah datang untuk menangkap Pouw Kongcu sekeluarga!"

"Apa...?" Keng In terbelalak. "Mengapa? Apa alasannya?"

"Keluarga Pouw akan ditangkap, dituduh pemberontak!"

Kini Keng In mengerti bahwa hal ini bukanlah mustahil, maka segera dia bertanya. "Siapa orangnya yang mengadukan kepada pemerintah?"

"Can Sui, dia membawa sajak-sajak buatan Kongcu beberapa bulan yang lalu. Harap lekas lari, Kongcu, kami berdua tidak dapat lama berada di sini..." Dua orang itu lalu pergi meninggalkan gedung mengambil jalan dari pintu belakang.

Dapat dibayangkan betapa cemas dan bingung rasa hati Pouw Keng In. Pada masa itu, semua orang, biar anak kecil sekalipun, tahu belaka apa artinya ditangkap pasukan pemerintah, apalagi kalau dituduh sebagai pemberontak. Siksa, hukum mati, rampas harta benda!

Ketika Keng In mengabarkan hal ini kepada keluarga Pouw, Tan Lian dan Sui Hong menangis dan tubuh mereka menggigil ketakutan. Akan tetapi Kakek Pouw Bun dan isterinya, menerima berita itu dengan sikap tenang. Sepasang mata kakek dan nenek itu mencorong penuh api kemarahan.

"Keng In, kau bawa isterimu dan adikmu pergi ke selatan, ke kota Nan-king. Cepat, di sana kau cari Liu Bok Eng atau keluarganya, mereka pasti akan menolongmu!" kata Pouw Bun.

"Akan tetapi bagaimana dengan Kong-kong (Kakek) sendiri dan Nenek...?"

"Kami sudah tua, Keng In. Aku bahkan akan merasa bangga kalau di samping kakekmu dapat menghadapi anjing-anjing Mongol itu dan mati di tangan mereka bagi kami lebih terhormat dan menyenangkan. Biarlah kami yang mengorbankan tubuh tua renta ini demi keselamatan anak cucu dan bangsa!"

Benar-benar ucapan yang gagah sekali yang keluar dari bibir nenek yang sudah ompong itu. Memang, keluarga Pouw sejak dahulu berjiwa patriotik dan gagah berani.

Dengan hati pilu, karena keadaan mendesak dan dia pikir memang permintaan kakek dan neneknya ini tepat untuk menyelamatkan yang muda-muda, Keng In lalu mempersiapkan tiga ekor kuda, membawa pakaian sekadar pengganti dan uang bekal. Kemudian dengan tergesa-gesa dan cepat, setelah mereka berlutut dan menangis di depan kaki Kakek Pouw Bun dan isterinya, Keng In, Bi Lian, dan Sui Hong menunggang kuda melarikan diri keluar kota menuju ke selatan.

Masih untung bahwa Bi Lian dan Sui Hong bukanlah wanita-wanita yang tidak biasa menunggang kuda. Seringkali mereka belajar menunggang kuda dari Keng In, maka kini mereka tidak ragu-ragu lagi untuk membalapkan kuda melarikan diri. Akan tetapi yang patut dikasihani adalah Bi Lian.

Nyonya muda ini sedang mengandung delapan bulan, maka dapat dibayangkan betapa sengsaranya melarikan diri seperti itu. Tangan kanan memegang kendali kuda, tangan kiri menekan dan melindungi perut, wajahnya pucat sekali dan kadang-kadang ia menggigit bibir sendiri menahan rasa nyeri akibat guncangan-guncangan di atas kuda.

Pilu rasa hati Keng In melihat keadaan isterinya itu dan terpaksa dia memperlambat larinya kuda. Dia melarikan kudanya berendeng dengan kuda isterinya dan melihat betapa keadaan isterinya semakin payah, dia menghentikan kudanya dan menyuruh isterinya dan adiknya berhenti pula.

Kemudian dia pindah ke atas kuda isterinya dan duduk di belakangnya. Dengan memeluk tubuh isterinya yang duduk di depan, kini Keng In dapat membalapkan kuda itu lebih cepat. Sui Hong memegang kendali kuda Keng In karena kuda itu perlu dibawa untuk menggantikan kuda yang membawa dua orang manusia itu, yang tentu saja tidak akan dapat bertahan lama.

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.