06: ENGKAU... ENGKAU BISA TERBANG!
BEBERAPA pekan kemudian setelah terjadinya keributan di kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui itu, di sebuah dusun di Propinsi Shan-tung, dalam sebuah rumah sederhana, kakek aneh itu bersama muridnya, pemuda yang tampan gagah, sedang bercakap-cakap dengan Siok Kan.
Siok Eng, gadis remaja yang cantik manis itu, melayani mereka, menghidangkan minuman dan mukanya kemerahan ketika ia mengerling dan pandang matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu. Siok Kan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek berambut putih itu, akan tetapi kakek itu cepat memegang kedua pangkal lengannya dan menyuruhnya bangkit.
“Tidak perlu bersikap seperti ini, Saudara Siok. Di antara kita sesama manusia, setiap ada kesempatan dan kemampuan, harus saling menolong.”
“Lo-enghiong, baru sekarang seolah terbuka mataku yang buta, tidak melihat bahwa Lo-enghiong berdua adalah pendekar budiman yang menjadi dewa penolong kami sekeluarga. Tidak hanya saya dan puteri saya yang masih hidup tertolong oleh Lo-enghiong berdua, bahkan anak saya Siok Li yang sudah mati, jenazahnya masih diselamatkan dan dirawat. Sungguh budi Lo-enghiong amat besar dan tidak mungkin kami dapat membalasnya. Karena itu, untuk membalas budi, saya ingin menyerahkan puteri saya Siok Eng kepada Lo-enghiong agar dijodohkan dengan murid Lo-enghiong. Dengan demikian anak saya ini dapat melayani ji-wi (Anda Berdua) sekadar membalas budi yang Lo-enghiong limpahkan kepada kami.”
Ketika itu Siok Eng baru muncul dari dalam membawa baki berisi makanan. Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya itu, kedua tangan gadis ini menggigil, mukanya menjadi merah sekali dan nyaris baki itu jatuh kalau saja pemuda itu tidak cepat melompat dan menyambar baki yang sudah terlepas dari tangan Siok Eng.
Mereka berdiri saling pandang. Pertemuan pandang yang hanya beberapa detik itu bagi mereka berdua mengandung arti yang mendalam dan membekas di hati masing-masing. Siok Eng segera lari masuk dan meninggalkan baki itu di tangan Si Pemuda.
Kakek itu dan Siok Kan tertawa gembira dan pemuda itu menoleh, memandang mereka dan mukanya berubah merah. “Cun Giok, engkau tentu tidak keberatan, bukan?” kata kakek itu.
Suma Cun Giok, pemuda itu, tersipu dan sejenak dia tidak mampu menjawab. Kemudian, setelah menaruh baki itu di atas meja, dia berkata dengan gagap.
“Ini... eh, hal ini terserah kepada... yang menjadi guru dan ayah...!”
“Ha-ha-ha!” kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. “Gurumu tidak keberatan, dan ayahmu... dia setuju sepenuhnya!”
Siok Kan merasa girang sekali sungguhpun dia merasa agak heran mendengar kakek itu mengatakan bahwa ayah pemuda itu juga menyetujui perjodohan itu. Bagaimana dapat mengatakan setuju kalau orangnya tidak berada di situ? Akan tetapi dia tidak peduli dan segera mengangkat cawan, mengajak tamu atau calon besannya itu mengeringkan secawan arak untuk merayakan ikatan jodoh itu. Setelah itu baru dia bertanya.
“Bolehkah saya mengetahui siapa gerangan ayah dari Suma Sicu (Orang Gagah Suma) ini?”
Kakek itu menjawab, suaranya sungguh-sungguh. “Ayahnya adalah Suma Tiang Bun, yaitu aku sendiri.”
Siok Kan tertegun dan bengong. Akhirnya Suma Tiang Bun berkata, “Harap Saudara Siok jangan mengherankan hal ini, biarlah kuceritakan riwayat Cun Giok yang akan menjadi mantumu.” Kakek itu lalu menceritakan pengalamannya ketika dulu dia menolong seorang nyonya muda dari air Sungai Huai seperti yang telah diceritakan di bagian depan kisah ini.
“Demikianlah, semenjak lahirnya, Cun Giok hidup bersamaku, maka sudah sepatutnya kalau dia juga menjadi anakku? Dia adalah anakku, juga muridku, dan sebelum kami dapat menemukan siapa sebetulnya ayah kandungnya, dia ini tetap sebagai puteraku, she (marga) Suma, Suma Cun Giok.”
Ketika Suma Tiang Bun bercerita secara singkat di depan Siok Kan tentang riwayatnya, Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar cerita itu dan tiap kali dia mengingat akan riwayatnya yang aneh, dia merasa penasaran sekali. Menurut cerita gurunya, ibu kandungnya ditolong gurunya ketika hanyut di Sungai Huai dalam keadaan mengandung. Siapakah ibu kandungnya? Dan siapa pula ayah kandungnya?
Selama tujuhbelas tahun dia berada dalam asuhan Suma Tiang Bun, dibantu oleh Thio Ma, janda yang bekerja sebagai bidan itu. Sejak berusia lima tahun, dia digembleng oleh Suma Tiang Bun, diberi pelajaran silat dan sastra. Biarpun dalam hal kesusastraan dia masih jauh tertinggal kalau dibandingkan gurunya, namun dalam hal ilmu silat, Suma Tiang Bun sendiri sampai seringkali merasa heran. Kemajuan Cun Giok pesat sekali. Bocah itu memiliki bakat yang luar biasa sehingga kini, dalam usianya yang baru tujuhbelas tahun, boleh dikatakan kepandaiannya hampir seimbang dengan tingkat gurunya.
Siok Kan dan puterinya, Siok Eng, yang melakukan perjalanan jauh menuju Propinsi Shan-tung dikawal oleh Cun Giok, tadinya sama sekali tidak menduga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, biarpun sudah dikawal Cun Giok, mereka masih merasa amat khawatir dan selalu merasa ketakutan. Mereka khawatir kalau-kalau kaki-tangan keluarga Bhong yang didukung oleh pembesar-pembesar setempat itu akan melakukan pengejaran, juga takut kalau-kalau akan bertemu orang jahat dalam perjalanan.
Dua hari setelah melakukan perjalanan cepat dan tanpa henti sehingga mereka merasa kelelahan, terutama sekali Siok Kan dan Siok Eng, mereka tiba di kota Ceng-si-kwan. Mereka berdua mengeluh kepada Cun Giok, menyatakan bahwa mereka lelah sekali, maka terpaksa mereka lalu menyewa kamar di sebuah rumah penginapan di kota itu.
Mereka bertiga tidak menarik perhatian karena Siok Eng menyamar sebagai pria dan ia tampak sebagai seorang pemuda remaja yang tampan. Menjelang tengah malam, Cun Giok mendengar suara derap kaki banyak kuda di depan rumah penginapan, lalu terdengar orang bercakap-cakap lantang.
Dari percakapan itu, Cun Giok maklum bahwa mereka adalah pasukan yang datang dari Lan-hui, yang bertugas melakukan pengejaran terhadap Siok Kan dan Siok Eng. Juga dia mendengar bahwa yang datang itu merupakan pasukan kecil terdiri dari enam orang jagoan yang hendak mencari bala bantuan dulu sebelum menangkap para buronan besok pagi-pagi.
Mendengar semua ini, Cun Giok tetap tenang. Sama sekali dia tidak gentar menghadapi mereka. Biarpun dikeroyok puluhan orang perajurit Mongol, dia tidak merasa gentar. Akan tetapi, kalau dia teringat bahwa Siok Kan dan Siok Eng adalah orang-orang biasa yang lemah, dia merasa khawatir akan keselamatan mereka. Kalau dia besok menghadapi pengeroyokan banyak musuh, bagaimana dia dapat melindungi dua orang itu?
Dia cepat mengambil keputusan. Dikemasinya barang-barang bawaannya, kemudian dia keluar dari dalam kamarnya melalui jendela dan di lain saat dia sudah melompat ke atas genteng rumah penginapan itu. Dia memperhitungkan bahwa dia berada tepat di atas kamar yang ditiduri Siok Kan yang bersebelahan dengan kamar Siok Eng. Dibukanya genteng dan setelah mematahkan beberapa batang kayu penyangga genteng, dia melompat turun ke dalam kamar yang gelap itu.
Dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dia dapat tiba di lantai kamar tanpa mengeluarkan suara. Ketika dia melangkah, biarpun sudah berhati-hati, karena kamar itu gelap, kakinya tertumbuk bangku hingga menimbulkan suara, walaupun cepat dia memegang bangku itu sehingga tidak sampai terguling.
“Siapa...?” terdengar suara menegur.
Berdebar rasa jantung dalam dada Cun Giok ketika dia mendengar suara itu. Suara Siok Eng! Dia telah keliru memasuki kamar gadis itu! Padahal sebetulnya dia ingin memasuki kamar Siok Kan. Dia menjadi bingung dan malu sekali. Akan tetapi mengingat akan pentingnya hal yang harus dia sampaikan kepada ayah dan anak itu, terpaksa dia memberanikan diri dan menjawab lirih.
“Sstt... Nona Siok, harap jangan ribut...”
“Eh? Engkau... Giok-ko (Kakak Giok)? Engkau... mau apa dan... bagaimana dapat masuk ke sini...?” gadis itu berbisik dengan suara gemetar.
Di dalam kegelapan itu Cun Giok dapat membayangkan betapa gadis itu menggigil ketakutan. Dia tersenyum dan mukanya terasa panas saking malunya.
“Aku turun dari atas genteng. Nona, jangan salah sangka dan maafkan, aku kira ini kamar ayahmu. Ketahuilah, ada bahaya besar mengancam. Para pengejar dari Lan-hui datang hendak menangkap kita.”
“Ahh...!”
“Jangan takut, cepat engkau berkemas dan keluar dari kamar ini, jangan sampai terlambat.”
Gadis ini bingung sekali. Ia hendak turun dari pembaringan, akan tetapi mengingat bahwa ia hanya memakai pakaian dalam, ia tidak jadi turun.
“Koko...”
“Ya, kenapa...?”
“Engkau keluarlah dulu...”
“Keluar? Mengapa? Cepatlah berkemas, Nona, tiada waktu untuk menunda...” Cun Giok mendesak.
“Aku... aku hendak memakai pakaian dulu... kumaksud... pakaian laki-laki...” Sukar sekali bagi Siok Eng untuk mengatakan bahwa ia hanya mengenakan pakaian dalam sehingga ucapannya menjadi kacau tidak karuan.
Cun Giok tersenyum dan merasa lucu. “Aih, Nona, di tempat begini gelap, melihat hidungku sendiri pun tidak tampak, mengapa engkau takut? Biarpun aku berada di sini, aku tidak dapat melihatmu. Cepatlah!”
Terdengar gadis itu menghela napas berulang-ulang, kemudian terdengar berkereseknya pakaian yang dikenakan secara tergesa-gesa sehingga bahkan memperlambat karena beberapa kali ia salah pakai dan terbalik! Akhirnya Siok Eng mengeluarkan napas lega.
“Sudah selesai, Giok-ko,” katanya lirih.
“Buntalan pakaian sudah dibawa?”
“Sudah.”
“Nah, sekarang harap engkau tenang, Nona. Aku terpaksa akan memondongmu dan melompat keluar melalui jendela.”
“Apa...?” Siok Eng terlupa saking kagetnya sehingga suaranya keras dan terdengar suara berdebuk karena buntalan yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke atas lantai.
“Dengar baik-baik, Nona. Kita harus pergi dari tempat ini secara sembunyi dan jangan sampai ada yang tahu, Oleh karena itu, aku harus membawamu melompat naik ke atas genteng dan lari keluar kota secara diam-diam.”
“Ahh… apa engkau... bisa...?”
“Percayalah dan kaulihat saja nanti. Sudah siapkah engkau?”
“Tapi... tapi, ah, bagaimana ini, Koko? Aku malu. Bagaimana kalau ada orang melihat...?”
“Nona Siok Eng, ini bukan main-main, mengapa harus malu? Pula, siapa yang akan nrielihat di tengah malam begini? Apa engkau ingin kita terkepung dan tertangkap?”
“Baiklah, akan tetapi... biar kunyalakan lilin dulu. Begini gelap...”
“Sstt, jangan! Kalau dinyalakan akan mendatangkan kecurigaan orang. Pula, bukankah kalau terang engkau menjadi lebih malu?”
Gadis itu menarik napas panjang, agaknya sukar sekali baginya untuk mengambil keputusan. Siapa orangnya yang tidak akan malu kalau hendak dipondong seorang pemuda!
“Baiklah, Giok-ko,” katanya akan tetapi hampir ia menjerit dan cepat ia menarik kembali tangannya yang tadi digerakkan ke depan dan di dalam kegelapan itu, tangannya tanpa disengaja meraba... muka Suma Cun Giok!
Pemuda ini juga hampir tidak dapat menahan kegelian hatinya, hampir dia tertawa. Akan tetapi dia dapat menahan perasaannya menghadapi gadis yang dianggapnya lucu ini.
“Maaf, Nona Siok...”
“Eh, Giok-ko, mengapa engkau menyebut aku Nona? Kalau begitu, aku akan menyebutmu Tuan!” Gadis itu mencela.
“Habis harus menyebut apa?”
“Aku menyebutmu Koko (Kakak), tentu engkau tahu sepatutnya menyebut aku apa.”
“Ah, baiklah, Eng-moi (Adik Eng). Sekarang bersiaplah engkau, aku akan memondongmu!” katanya dan tiba-tiba Siok Eng merasa dirinya telah dipondong oleh lengan yang amat kuat. Lebih hebat lagi, ia merasa tubuhnya terayun ketika pemuda itu melompat keluar dari jendela yang telah dibukanya.
Bagaimana di dalam kegelapan pemuda itu dapat bergerak demikian leluasa dan cepat? Dan bagaimana pemuda yang kelihatannya begini lemah lembut, ternyata kini dapat memondongnya dengan mudah dan dapat melompat sedemikian cepatnya? Siok Eng merasa heran bukan main, akan tetapi di samping keheranannya, juga timbul perasaan lain yang aneh dan membuatnya kagum, tersipu malu dan jantungnya berdebar. Akan tetapi setelah Cun Giok melompat ke atas genteng dan membawanya berlari secepat terbang, gadis itu memejamkan matanya. Berkali-kali ia berbisik.
“Koko, bagaimana mungkin hal ini terjadi? Tidak mimpikah aku? Engkau melompat ke atas genteng! Engkau... engkau bisa terbang...!” Akan tetapi di dalam hatinya, gadis ini semakin kagum dan tertarik.
“Koko, engkau... engkau hebat...” katanya setelah Cun Giok menurunkannya di luar kota, di bawah sebuah jembatan tinggi agar kalau kebetulan ada orang lewat di tengah malam itu, tidak akan kelihatan.
“Moi-moi, engkau tunggulah sebentar di sini. Aku akan pergi menjemput ayahmu.” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah tubuh Cun Giok dari depan Siok Eng.
“Hebat... dia hebat... dia... pendekar...” gadis itu duduk di atas sebuah batu dan melamun. Kalau saja pikirannya tidak penuh oleh bayangan Cun Giok, tentu ia akan merasa takut dan ngeri ditinggal seorang diri di tempat yang sunyi dan gelap itu.
Seperti yang dialami Siok Eng, Siok Kan juga terheran-heran dan kagum bukan main ketika Cun Giok membawanya ke luar kota pada tengah malam itu. Kini barulah ayah dan anak itu tahu bahwa pemuda lemah lembut yang tampaknya seperti seorang kutu buku itu ternyata memiliki kepandaian yang amat hebat. Di dalam hatinya, Siok Kan merasa bahagia sekali karena kini dia membayangkan bahwa puterinya akan terlindung selama hidupnya sebagai isteri pemuda yang amat lihai ini.
Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Siok Kan menyampaikan keinginan hatinya menjodohkan Siok Eng dengan Cun Giok dan diterima baik oleh Suma Tiang Bun sebagai guru dan orang tua pemuda itu.
Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok tidak tinggal lama di rumah mantu Siok Kan di Shan-tung. Mereka hanya tinggal sehari di situ. Untuk tanda ikatan jodoh, Suma Cun Giok menyerahkan sebatang pedang yang biasanya dia sembunyikan di balik baju luarnya. Sedangkan Siok Eng menyerahkan sebuah perhiasan tusuk sanggul perak berukir daun pohon Yang-liu (cemara) yang biasanya ia pakai di sanggul rambutnya.
Kemudian berangkatlah kakek dan pemuda itu meninggalkan Cin-yang, kota di Propinsi Shan-tung di mana kini Siok Kan tinggal menumpang di rumah mantunya, suami dari anak sulungnya. Biarpun semenjak kecil Cun Giok sudah menganggap ayah kepadanya, namun Suma Tiang Bun bukanlah seorang yang mementingkan diri sendiri. Setelah Cun Giok berusia lima belas tahun, dengan terus terang dia menceritakan riwayat anak itu.
“Tunggulah tiga tahun lagi, Anakku. Tiga tahun lagi, setelah semua kepandaianku kau kuasai, kita bersama akan menyelidiki siapa sebenarnya Ayahmu dan mengapa pula Ibumu yang malang nasibnya itu hanyut di Sungai Huai.”
Kemudian, setelah tiba saat yang telah dijanjikan itu, Suma Tiang Bun mengajak Cun Giok pergi untuk mulai menyelidiki siapa ayah kandung pemuda itu. Dalam perjalanan inilah mereka melihat peristiwa yang menimpa keluarga Siok sehingga guru dan murid itu selain membasmi kejahatan Bhong-kongcu dan kaki tangannya, juga menyelamatkan Siok Kan dan puterinya.
Ketika Siok Kan mengusulkan perjodohan, Suma Tiang Bun menyetujuinya. Hal ini bukan hanya karena dalam penilaiannya, Siok Eng cukup cantik jelita dan baik budi pekertinya, melainkan juga dia dapat menduga bahwa anak angkatnya itu agaknya tertarik kepada Siok Eng.
Selain itu, dia ingin agar anak angkatnya itu tidak mudah terpikat oleh kecantikan wanita lain dan selalu ingat bahwa dia telah bertunangan dan kelak harus kembali ke Shan-tung menjemput calon isterinya. Kakek ini khawatir kalau anak angkat atau murid yang amat dikasihinya itu kelak akan menjadi seperti ia, membujang seumur hidup! Pula, dia diam-diam berharap untuk mendapat kesempatan menimang seorang cucu!
********************
Sejak jaman dahulu, biarpun kerajaan demi kerajaan jatuh bangun dan berganti-ganti, sebuah hal yang agaknya sudah membudaya dan yang mencemaskan rakyat, selalu terjadi dan terulang. Setelah balatentara Mongol menduduki Tiongkok, hal ini bahkan makin sering terjadi.
Peristiwa yang selalu mencemaskan hati rakyat itu adalah pengumpulan dan pemilihan Siu-li (Gadis Cantik) untuk dijadikan pelayan atau dayang istana yang sesungguhnya tiada lain adalah menjadi pengisi harem istana kaisar atau para pangeran.
Pasukan pengawal istana yang dipimpin seorang perwira tinggi ditugaskan untuk mengumpulkan Siu-li. Mereka mencari gadis-gadis cantik di kota dan dusun. Masih baik nasib gadis puteri orang kaya yang dapat menyelamatkan gadisnya dengan cara menyogok komandan pasukan. Mereka yang tidak mampu menyogok, terutama gadis-gadis dusun, sama sekali tidak berdaya. Mereka akan dibawa oleh pasukan itu entah ke mana!
Alasannya memang gadis itu dibutuhkan oleh Istana Kaisar, akan tetapi kenyataannya, banyak yang tidak sampai ke istana kaisar, melainkan 'dijual' kepada para bangsawan, pangeran, atau hartawan yang mampu membelinya dengan harga tinggi!
Pasukan istana yang menerima tugas mengumpulkan Siu-li tentu saja tidak jalan sendiri mencari ke mana-mana. Bagi mereka mudah saja. Komandan pasukan, seorang perwira tinggi tinggal menghubungi para kepala daerah dan memesan kepada mereka. Di kota A memesan sepuluh orang gadis cantik, di kota B sepuluh orang pula, demikian seterusnya di kota-kota dan dusun-dusun lainnya, seperti orang memesan domba-domba gemuk saja!
Dan bagaimana cara kerja para pembesar setempat yang menerima pesanan itu? Tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini, kesempatan untuk menambah simpanan selir muda yang cantik dan menambah isi peti uang mereka. Mereka ini memeras uang, merampas gadis orang, semua dilakukan dengan dalih yang amat kuat, yaitu atas nama kaisar yang ingin mengambil gadis yang terpilih itu sebagai Siu-li!
Tidak dapat disangkal bahwa terdapat banyak di antara gadis-gadis itu maupun orang tua mereka, yang mengajukan diri secara sukarela. Banyak gadis yang bahkan ingin sekali diterima menjadi Siu-li, karena memang harus diakui bahwa kedudukan Siu-li atau dayang istana bukanlah kedudukan yang tidak enak.
Kalau awak sedang mujur ada harapan mereka sebagai bunga-bunga yang sedang mekar itu 'dipetik' oleh kaisar dan menjadi selir resmi yang tercinta. Atau setidaknya, oleh kaisar mereka akan 'dihadiahkan' kepada seorang pembesar yang berjasa dan menjadi selir pembesar itu. Bagi orang tua yang mata duitan tentu saja hal ini pun amat diharapkan dan disukai, karena anaknya mungkin akan menjadi sumber uang dan kehormatan.