08: DENDAM SELIR KESEMBILAN PANGERAN
PANGERAN Lu Kok Kong memeluk selirnya itu dengan penuh kasih sayang dan menghiburnya. “Sui Hong, engkau tidak melihat hikmat kebaikan yang tersembunyi di balik peristiwa yang buruk. Semua hal yang terjadi di dunia ini sudah dikehendaki Thian (Allah). Buktinya, kalau saja Panglima Kong Tek Kok tidak melakukan tugas itu, apakah kita dapat saling bertemu dan menjadi suami isteri? Betapapun juga, kita patut berterima kasih kepada Panglima Kong untuk dua hal. Pertama, dia menaruh kasihan kepadamu dan tidak membunuhmu dan yang kedua, dia mempertemukan kita. Kalau lain panglima yang melakukan tugas itu, mungkin sekali engkau sudah ikut tewas dan kita tidak dapat saling berjumpa! Nah, hentikan kesedihanmu dan kita lupakan saja semua yang telah lalu.”
Dalam kesedihannya, hampir saja Sui Hong menjawab bahwa ia lebih suka mati bersama dengan keluarganya. Akan tetapi ia menahan kata-katanya itu karena ia harus mengakui bahwa setelah menjadi isteri Pangeran Lu Kok Kong, timbul rasa cinta kepada suaminya yang selalu bersikap baik dan meruperlihatkan kasih sayangnya itu.
Setelah melahirkan puterinya, Sui Hong sudah tidak begitu ingat lagi akan hal itu dan ia juga tidak pernah mendesak lagi kepada suaminya untuk membalaskan dendam sakit hatinya kepada Panglima Kong Tek Kok.
Pangeran Lu Kok Kong yang cerdik juga diam saja, bahkan dia tidak memberitahu isterinya ketika secara diam-diam dia menyuruh puterinya yang diberi nama Lu Siang Ni berguru kepada Panglima Kong Tek Kok. Dia hanya memberitahu bahwa Siang Ni di samping belajar ilmu sastra, juga belajar ilmu silat kepada guru silat yang pandai di istana. Tadinya Sui Hong merasa keberatan puterinya disuruh belajar ilmu silat, akan tetapi Pangeran Lu Kok Kong dengan cerdik berkata,
“Sui Hong, ilmu silat adalah olah raga yang menyehatkan tubuh dan membesarkan semangat. Pula, biarpun anak kita seorang perempuan, kalau ia pandai ilmu silat, kelak tidak ada orang yang berani bermain gila dan mengganggunya. Coba saja pikir dan pertimbangkan, bukankah akan baik sekali bagi Siang Ni kalau ia pandai membela diri?”
Akhirnya Sui Hong mengalah dan membiarkan pendidikan puterinya diatur oleh suaminya. Kehidupan yang serba kecukupan, terhormat dan penuh kesenangan membuat Sui Hong menjadi tidak acuh. Baginya, asal ia melihat anaknya dan suaminya hidup berbahagia, ia pun merasa puas dan bahagia.
Demikianlah, Lu Siang Ni menjadi murid Panglima Kong Tek Kok, panglima yang menduduki tempat tinggi berkat bantuan Pangeran Lu Kok Kong yang merasa berhutang budi kepadanya karena panglima itu telah mempersembahkan Sui Hong yang kemudian menjadi selir tercinta, bahkan yang dapat melahirkan keturunannya.
Mula-mula Panglima Kong Tek Kok hanya menurunkan ilmu silat kepada Lu Siang Ni secara iseng-iseng saja, karena dia merasa sungkan kepada Pangeran Lu Kok Kong. Kalau saja anak itu bukan puteri Pangeran Lu, pasti dia tidak sudi menerimanya sebagai muridnya. Akan tetapi dia terkejut dan juga girang bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa Siang Ni memiliki bakat yang luar biasa baiknya dalam ilmu silat. Bahkan puteranya yang lima tahun lebih tua daripada Siang Ni, yang bernama Kong Sek, biarpun juga berbakat, namun masih kalah cerdas oleh Siang Ni.
Setelah melihat bakat besar ini, timbul harapan dan kegembiraan dalam hati Panglima Kong dan beberapa tahun kemudian, Siang Ni telah menjadi muridnya yang amat dia sayang. Dalam usia empat belas tahun saja, kepandaian Siang Ni telah meningkat demikian cepatnya sehingga dalam latihan silat, ia dapat membuat suhengnya, yaitu Kong Sek, menjadi kewalahan dan terdesak.
Melihat ini, Panglima Kong menjadi semakin bersemangat memberi pelajaran kepada Siang Ni sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, gadis remaja ini telah menjadi seorang ahli silat yang pandai dan lihai, terutama sekali ilmu pedangnya. Siang Ni amat dimanja, baik oleh ayah bundanya yang amat mencintanya, maupun oleh semua ibu tirinya, yaitu isteri dan para selir ayahnya yang tidak mempunyai anak.
Selain orang serumah termasuk para pelayan yang mencintanya, juga gurunya, Panglima Kong amat sayang kepadanya. Boleh dibilang semua orang yang dekat dengan keluarga Pangeran Lu, tentu memperlihatkan sikap sayang kepada Siang Ni, baik yang sungguh-sungguh sayang maupun yang hanya pura-pura, mengingat bahwa gadis remaja itu adalah puteri Pangeran Lu Kok Kong yang berkuasa.
Mereka yang benar-benar suka dan sayang disebabkan karena puteri pangeran itu memang lincah gembira dan ramah terhadap semua orang, tidak sombong dan suka mengulurkan tangan mereka yang membutuhkan. Akan tetapi karena semua orang bersikap manis kepadanya dan merasa dimanja, Siang Ni menjadi lincah dan agak binal! Andaikata ia bukan puteri seorang pangeran Mongol, tentu orang-orang akan menganggap ia seorang gadis liar.
Sudah sering ibunya marah kepadanya, namun tetap saja Siang Ni melanggar larangan ibunya dan seringkali gadis remaja ini keluar dari rumah dan bermain-main sampai jauh, bukan hanya jauh dari rumah, terkadang bahkan keluar kota raja. Dengan kudanya yang berbulu putih, gadis remaja ini seringkali tampak membalapkan kudanya keluar kota, meninggalkan debu mengebul tinggi di belakang kudanya.
Selain suka keluyuran keluar kota. Siang Ni juga berbeda dari puteri-puteri bangsawan lainnya. Kalau para puteri bangsawan berwatak tinggi hati dan tidak sudi mendekati rakyat kecil, apalagi bergaul, Siang Ni sudah biasa beramah-tamah dengan rakyat.
Bahkan tidak jarang terlihat gadis remaja ini dijamu makan di rumah sebuah keluarga petani miskin dan gadis ini makan masakan sederhana di dusun sambil bersenda-gurau, kemudian sebelum pergi ia meninggalkan sepotong uang emas kepada keluarga itu. Inilah sebabnya maka Siang Ni amat dikenal rakyat di kota maupun di desa sekitar kota raja, dan diam-diam ia dikagumi dan disukai rakyat.
Setelah meninjau sepintas lalu riwayat gadis remaja aneh dari kota raja itu, maka tidak mengherankan kalau pedagang keliling itu segera mengenal Siang Ni ketika gadis itu mempermainkan perwira gemuk berkumis tebal dan menolong Cong Siu Hwa, gadis kota Pao-ting yang dipaksa untuk dijadikan Siu-li. Mari sekarang kita ikuti perjalanan Lu Siang Ni.
Seperti kita ketahui, gadis remaja itu setelah memberi hajaran keras kepada perwira gemuk berkumis tebal dan memaksanya mengembalikan Cong Siu Hwa ke rumah orang tuanya, lalu pergi mengunjungi rumah Kui-thaijin, pembesar yang memberi perintah mengumpulkan para gadis cantik untuk dijadikan Siu-li.
Kui-thaijin adalah seorang pembesar angkatan baru. Baru beberapa bulan dia diangkat menjadi kepala daerah di Pao-ting. Setelah berusia limapuluh tahun baru dia dapat lulus ujian di kota raja. Hal ini pun bukan berkat kepintarannya, melainkan karena dia menggunakan cara licik, yaitu memberi uang sogokan kepada Ko-khoa (Kepala Ujian) di kota raja.
Pada jaman itu, seperti juga terjadi dalam jaman-jaman sebelumnya dan jaman berikutnya sampai sekarang, sogok menyogok dan suap menyuap dilakukan manusia segala bangsa dan segala negara. Kecurangan Kui-thaijin berhasil dan dia dibikin lulus oleh Ko-khoa dengan mendapat pujian.
Oleh karena itu, maka kaisar yang menganggap dia pandai melihat hasil ujiannya, orang she Kui ini diangkat menjadi Kepala Daerah di Pao-ting. Sebetulnya, bukan Kaisar yang mengangkatnya, melainkan ada pembesar yang menangani urusan pengangkatan jabatan ini. Kaisar hanya menyetujuinya saja.
Karena maklum bahwa apabila dia ingin memperoleh kedudukan baik, dia harus berani 'menyogok' atasan, maka begitu tiba di Pao-ting, sebulan kemudian dia lalu memerintahkan perwira yang bertugas di bawah pangkatnya, untuk mengumpulkan duapuluh empat orang gadis tercantik di Pao-ting untuk 'dipersembahkan' kepada kaisar.
Tentu saja dalam urusan ini dia berdalih bahwa kaisar yang menghendaki penambahan Siu-li dari Pao-ting dan dia hanya melaksanakan perintah. Tentu saja hal ini tidak benar dan sesungguhnya semua itu adalah kehendaknya sendiri yang ingin mengambil hati kaisar, orang pertama dan terbesar di Cina waktu itu.
Para pembesar lainnya, termasuk perwira gemuk berkumis tebal itu, bukan tidak dapat menduga akan isi hati dan akal pembesar baru Kui ini, akan tetapi mereka pun tiada bedanya dengan Pembesar Kui. Mereka pun hendak mempergunakan kesempatan ini untuk membantu dan mengambil hati Pembesar Kui yang menjadi atasan mereka, maka dengan senang hati perwira gemuk berkumis tebal itu pun melaksanakan perintah Kui-thaijin dengan senang hati.
Penguasa atasan seyogianya menjadi pemimpin dan tauladan bawahannya. Kalau tangan para atasan kotor, bagaimana mungkin mengharapkan tangan bawahan mereka bersih? Kalau tangan seorang penguasa atasan bersih, pasti dia akan bertindak dan menegur bawahannya yang bertangan kotor sehingga para bawahannya takut mengotori tangan mereka. Akan tetapi kalau tangan atasan sendiri kotor, tentu dia akan merasa sungkan dan malu untuk menindak bawahannya yang bertangan kotor.
Sebagai hasil pengumpulan gadis-gadis cantik di Pao-ting, di rumah gedung Pembesar Kui sudah penuh dengan gadis-gadis cantik yang dikumpulkan dari berbagai dusun daerah Pao-ting, juga terdapat gadis-gadis kota Pao-ting sendiri. Ada duapuluh tiga orang gadis muda berusia antara limabelas sampai tujuhbelas tahun dikumpulkan di ruangan tengah yang luas.
Menarik sekali untuk memperhatikan sikap dan gerak-gerik mereka ini. Rata-rata mereka adalah gadis-gadis cantik yang memiliki kecantikan melebihi gadis pada umumnya. Mereka merupakan gadis-gadis pilihan. Sebagian besar di antara mereka mengenakan pakaian mereka yang paling indah. Mereka pun mempersolek diri dengan bedak dan gincu, sikap mereka dibuat-buat sehingga tampak halus menarik dan kalau melenggang bagaikan pohon yang-liu (cemara) tertiup angin.
Sebagian besar dari duapuluh tiga orang gadis itu tampak gembira dan sengaja memamerkan kecantikan atau menonjolkan kelebihannya dengan maksud agar dapat terpilih, baik terpilih oleh pembesar yang mengumpulkan mereka, oleh atasannya, oleh Kaisar, atau oleh siapa saja yang kiranya berkedudukan tinggi!
Gadis-gadis itu tidak dapat terlalu disalahkan. Pada masa itu, dan mungkin juga sampai masa kini, para orang tua siang malam menimang-nimang anak perempuan mereka dengan kata-kata harapan agar kelak anak mereka menjadi isteri atau selir pembesar tinggi yang kaya raya, kalau mungkin menjadi selir kaisar.
Karena sejak kecil dijejali harapan orang tua mereka seperti itulah maka di dalam hati mereka, para gadis itu membayangkan bahwa kebahagiaan hidup mereka hanya dapat diujudkan sesuai dengan harapan mereka, yaitu apabila mereka menjadi isteri atau selir orang-orang berpangkat tinggi yang kaya raya!
Akan tetapi, ada enam orang di antara duapuluh tiga orang gadis itu yang kelihatan berduka, bahkan ada yang sejak dibawa ke tempat itu menangis tersedu-sedu. Mereka ini berkerumun di sudut ruangan, saling rangkul dan saling menghibur. Akan tetapi apakah artinya hiburan orang senasib?
Pada saat itu, Pembesar Kui duduk di ruangan depan, bercakap-cakap dengan para pembesar bawahannya dan mereka tampak gembira sekali.
“Bagus, bagus!” kata Kui-thaijin setelah minum arak dari cawannya. “Hong-siang (Kaisar) tentu akan senang sekali melihat semua gadis itu. Apalagi kalau melihat puteri keluarga Cong yang sudah terkenal cantik sebagai Bunga Pao-ting.”
Seorang pembesar bawahannya yang belum begitu tua dan memiliki mata seperti mata burung, mengangguk-angguk dan mengacungkan ibu jarinya.
“Memang gadis keluarga Cong itu hebat sekali, Thaijin!” katanya. “Semua gadis yang sudah dikumpulkan di sini sekarang, kalau dibandingkan dengan kecantikan Nona Cong, mereka hanya pantas menjadi pelayannya. Pendeknya, kalau Nona Cong itu diberi pakaian sutera putih, tiada ubahnya seperti Kwan Im Pouw-sat (Dewi Kwan Im)!”
Para pembesar lain yang berada di situ mengeluarkan pujian masing-masing, tentu saja terutama sekali untuk menyenangkan hati Kui-thaijin, atasan mereka.
“Saya setiap hari membeli tahu, bukan hanya karena tahu buatan keluarga Cong memang enak sekali, melainkan terutama sekali karena saya yakin bahwa tahu-tahu itu tentu bekas disentuh tangan Nona Cong maka menjadi begitu... hmmm... begitu lezat!”
Kembali mereka tertawa-tawa, kemudian seorang di antara empat orang pembesar bawahan Kui-thaijin itu berkata,
“Kui-thaijin sudah beristeri akan tetapi selir Thaijin belum cukup banyak, mengapa tidak menahan saja Nona Cong di sini untuk Thaijin sendiri? Hong-siang tidak akan tahu dan pula, bukankah gadis-gadis lain itu pun cukup cantik menggiurkan?”
Kui-thaijin tertawa, akan tetapi telunjuknya diangkat dan ditudingkan ke arah pembesar itu sambil berkata, “Hemm, kalau saja ada telinga istana mendengar ucapanmu itu...”
Wajah pembesar yang mengajukan usul tadi berubah pucat sekali. Dia maklum bahwa sekali saja Kui-thaijin melaporkan ucapannya itu ke istana, dia akan mendapat celaka besar! Buru-buru dia bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada atasannya itu.
“Kui-thaijin, harap maafkan saya. Saya tadi hanya bicara main-main. Sebetulnya kalau memang Thaijin menginginkan tambahan selir, saya mempunyai simpanan beberapa bunga cantik yang belum dipetik di taman saya.”
Dengan ucapan ini dia bermaksud bahwa dia pun mempunyai beberapa orang gadis simpanan di gedungnya yang hendak dipersembahkan kepada atasannya itu. Kui-thaijin tertawa bergelak sambil minum araknya dari cawan.
“Ha-ha-ha, dan bagaimana dengan puterimu? Aku mendengar bahwa puterimu itu pun amat jelita...”
Wajah pembesar itu berubah merah sekali. “Hal itu... ah... maksud saya anak saya itu... ia amat buruk rupa dan bodoh...”
Tiba-tiba dari luar masuk seorang gadis remaja yang cantik dan berpakaian indah. Gadis itu adalah Lu Siang Ni yang menerobos dengan nekat memasuki gedung itu. Beberapa orang penjaga di depan pintu menghadangnya dan seorang di antara mereka menegur dengan kata-kata menggoda.
“Eh, Nona manis, engkau hendak mencari siapakah? Apakah engkau hendak mohon menjadi Siu-li?”
Siang Ni tersenyum manis sekali. Ia tidak marah oleh teguran itu yang dianggapnya sebagai main-main yang tidak menyinggung perasaan. Baginya, menjadi Siu-li adalah soal biasa yang sudah dihadapinya sehari-hari di lingkungan istana.
“Memang aku hendak bertemu dengan Pembesar Kui untuk bicara tentang pengiriman Siu-li ke istana,” jawabnya dengan ramah dan manis.
Mendengar ucapan dan melihat sikap Siang Ni yang manis dan melihat kecantikannya yang menggiurkan, para penjaga itu menjadi ceriwis dan timbul kekurangajaran mereka.
“Aduh, Nona manis. Gadis secantik engkau sungguh sayang kalau menjadi Siu-li. Engkau akan menderita kedinginan di istana karena terlalu banyak sainganmu,” kata seorang.
“Eh, Nona manis. Daripada engkau menderita di sana, lebih baik engkau ikut saja dengan aku. Aku masih perjaka tulen dan belum menikah!” kata yang lain sambil cengar-cengir memasang aksi.
Beberapa orang bahkan dengan lancang sekali mencoba untuk mencolek dan meraba tubuh gadis itu. Kini timbul kemarahan dalam hati Siang Ni.
“Hemm, kalian mulai kurang ajar!” bentaknya.
“Aduh galaknya! Akan tetapi makin galak malah makin cantik dan lucu. Bukankah begitu, kawan-kawan?” seru seorang penjaga lain.
“Betul sekali! Nona manis, mari bersenang-senang dengan kami saja kalau engkau ingin benar mendapatkan kawan pria,” kata mereka.
Saat itulah ditentukannya nasib para penjaga itu. Memang benar kata-kata para bijak di jaman dahulu bahwa sikap dan kata-kata merupakan jembatan licin yang dapat menjebloskan manusia ke dalam jurang petaka. Begitu mengeluarkan sikap dan kata-kata .yang tidak sopan dan kurang ajar, para penjaga itu sudah menentukan nasib yang akan mereka alami.
“Kalian anjing-anjing tak tahu malu!” bentak Siang Ni dan di lain saat kaki dan tangannya bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar.
Dalam sekejap mata saja, lima orang penjaga itu roboh tanpa sempat mengeluarkan suara lagi. Mereka menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, sakit-sakit rasanya seluruh tubuh mereka akan tetapi mereka tidak dapat mengeluarkan suara!
Siang Ni tersenyum mengejek sambil menepuk-nepuk kedua tangan seperti orang membuang debu yang menempel di telapak tangan. Kemudian ia melangkah masuk gedung itu tanpa mempedulikan lagi lima orang penjaga itu.
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya Pembesar Kui dan empat orang bawahannya yang sedang duduk makan minum di ruangan depan sambil bercakap-cakap itu ketika mereka melihat masuknya seorang gadis remaja cantik jelita dari luar tanpa ada laporan dari para penjaga.
Akan tetapi saking kagumnya melihat kecantikan Siang Ni, Pembesar Kui terpesona dan berseru, “Aduh, betapa cantik jelitanya gadis ini! Siapakah ia? Apakah termasuk seorang diantara calon Siu-li?”
Akan tetapi, tiga orang bawahannya yang sudah lama menjabat pangkat mereka dan sudah seringkali pergi ke kota raja dan mengenal Lu Siang Ni, menjadi pucat mendengar kata-kata Kui-thaijin. Mereka memberi isyarat kepada atasan mereka dengan kedipan mata disertai suara...
“Sstt... Sstt...” dengan maksud agar Kui-thaijin menutup mulutnya. Akan tetapi Kui-thaijin tidak mengerti akan isyarat mereka, bahkan ketika melihat Siang Ni menghampiri ke tempat mereka dengan senyum manis sekali dan lenggang yang mengairahkan, dia segera bangkit berdiri dan mengucapkan kata-kata merayu.
“Nona manis, apakah engkau bidadari dari kahyangan? Siapakah namamu dan bantuan apakah yang dapat kulakukan untukmu? Katakanlah, manis!”
Siang Ni melihat bahwa pembesar itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun, matanya juling dan daun telinganya kecil seperti telinga tikus, dan pada muka dan sikapnya jelas sekali tampak ciri-ciri watak yang licik dan buruk.
“Apakah kamu yang bernama Kui Leng dan menjadi Kepala Daerah di Pao-ting ini?” tanya Siang Ni sambil menyipitkan mata kanannya.
Inilah kebiasaan yang lucu dari Siang Ni sejak kecil. Kalau ia memikirkan sesuatu, atau sedang dikuasai perasaan marah atau malu, otomatis mata kanannya menyipit dan tampak lucu dan manis sekali!
Melihat wajah gadis remaja itu, Kui-thaijin semakin tertarik dan sambil menyeringai dia berkata lagi. “Benar sekali, Nona manis. Aku adalah Kui-thaijin, Kepala Daerah yang baru di kota ini. Engkau siapakah, siapa orang tuamu dan ada keperluan apakah engkau datang berkunjung...?”