10: RIWAYAT KELUARGA IBU TERSAYANG
BIBIR yang merah membasah dan bentuknya manis indah itu cemberut, mata kanannya disipitkan, pundaknya digoyang-goyang dan matanya menjadi basah. Dulu diwaktu kecil, semua ini masih ditambah dengan kedua kaki kecil itu dibanting-banting, sikap ngambek dan manjanya tampak.
“Ibu, aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah remaja, hampir dewasa, sudah dapat berpikir panjang, menggunakan akal dan pertimbangan dengan masak. Ibu tahu pula bahwa aku murid seorang panglima besar dan aku memiliki kekuatan dan kemampuan, bukan seorang gadis lemah berpenyakitan yang tidak berdaya. Oleh karena itu, biarpun Ibu selalu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu bahwa di balik riwayat hidup Ibu ada sesuatu yang hendak Ibu sembunyikan dari aku. Bukankah begitu? Kalau tidak demikian, mengapa Ibu tidak pernah mau terus terang bercerita tentang keluarga Ibu, siapa ayah bunda Ibu, dari mana asal kampung halaman dan bagaimana pula Ibu bisa berada di sini menjadi isteri yang kesembilan dari seorang pangeran, yaitu ayah Lu Kok Kong?”
“Ssttt... Anakku... diamlah...!” Tiba-tiba Sui Hong menangis sedih.
Siang Ni memeluk ibunya dan ikut menangis. “Ampun Ibu, aku tidak bermaksud menyakiti hati Ibu. Akan tetapi kasihanilah Anakmu ini, Ibu. Ceritakanlah agar aku tidak menjadi sakit karena penasaran mengingat akan riwayat Ibu yang masih gelap itu.”
Sui Hong menghela napas panjang, kemudian ia menghapus air matanya dan berkata lirih dan lembut. “Baiklah, Anakku. Kelak akhirnya engkau pun akan mengetahui juga, karena biarpun tidak mendengar dari mulut Ibumu sendiri, orang lain tentu akan bercerita kepadamu. Tidak ada rahasia yang dapat ditutup rapat untuk selamanya, pasti akan tiba masanya terbuka.”
Dengan girang Siang Ni lalu duduk di samping ibunya dan siap mendengarkan cerita ibunya dengan penuh perhatian.
“Nenek moyang Ibumu sesungguhnya bukan orang-orang berderajat rendah.” Sui Hong mulai bercerita dengan suara bersemangat dan bangga. “Keluarga Pouw semenjak ratusan tahun lalu terkenal sebagai keluarga keturunan bangsawan, bangsawan tinggi yang selain mengabdi kepada negara, juga amat dikenal sebagai pahlawan-pahlawan bangsa, patriot-patriot sejati yang berjiwa besar. Dahulu rakyat di seluruh tanah air mengenal dua saudara Pouw yang hebat. Pouw Goan Keng menjadi Menteri Kesusastraan yang dipuja karena kepandaiannya, sedangkan adiknya Pouw Cong Keng menjadi panglima yang terkenal gigih menghadapi barisan bangsa Kin. Pendeknya pada masa itu, di seluruh negeri tidak ada seorang ahli sastra yang melebihi kakek besarmu Pouw Goan Keng dan tidak ada seorang ahli perang yang melebihi kakek besarmu Pouw Cong Keng.”
Sepasang mata Siang Ni bersinar, mukanya berseri karena ia ikut bangga mendengar akan kehebatan nenek moyang ibunya. Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena tidak ingin mengganggu cerita ibunya.
“Kakek buyutmu bernama Pouw Bun juga bukan orang sembarangan karena dahulu pernah menjabat kedudukan Jaksa di kota raja. Sayang sekali kakek dan nenekmu meninggal dunia karena sakit ketika ibumu masih kecil. Oleh karena itu, Ibumu dan paman besarmu yang bernama Pouw Keng In tinggal bersama kakek dan nenek buyutmu. Juga paman besarmu Pouw Keng In adalah seorang pencinta bangsa dan dia membuktikan perasaan dan jiwa patriotnya melalui tulisan-tulisannya, berupa sajak-sajak yang bersemangat. Akan tetapi... nasib sudah ditentukan oleh Thian, malapetaka hebat menimpa keluarga Pouw...” Wajah Sui Hong tampak muram dan berduka sekali karena semua peristiwa dahulu terbayang kembali di depan matanya.
“Nasib buruk apakah yang telah menimpa keluarga kita itu, Ibu?”
“Ketika hal itu terjadi, Ibumu ini masih muda remaja, sedikit lebih tua daripada engkau, Siang Ni. Malapetaka itu diawali perbuatan seorang pelayan kakekmu bernama Can Sui yang menaruh hati kepada Ibumu dan mau berbuat kurang ajar. Dia dimarahi dan diusir dari rumah. Jahanam itu yang tadinya mengagumi sajak-sajak patriotik Paman besarmu, lalu membawa beberapa tulisan sajak itu kepada pejabat pemerintah Kerajaan Goan. Tentu saja keluarga Pouw lalu dituduh memberontak karena sajak-sajak patriotik itu menyatakan ketidakrelaan hati Paman besarmu melihat tanah air dijajah bangsa Mongol. Akibatnya, rumah kakekmu diserbu pasukan pemerintah. Kakakku Pouw Keng In dan isterinya yang sedang mengandung tua, bersama aku melarikan diri dari kejaran pasukan yang ganas itu. Adapun Kakek dan Nenekku tidak mau meninggalkan rumah dan mereka rela tewas bersama hancurnya rumah kami. Kami bertiga, Kakak Pouw Keng In dan isterinya yang bernama Tan Bi Lian, dan aku sendiri yang melarikan diri...”
Sampai di sini Sui Hong tak dapat menahan isak tangisnya. Ia teringat betapa kakak dan kakak iparnya telah menjadi korban anak panah.
“Bagaimana selanjutnya, Ibu?” Siang Ni bertanya, mukanya berubah kemerahan seperti orang marah. Memang gadis ini marah sekali kepada orang yang bernama Can Sui, pengkhianat yang sudah menghancurkan kehidupan keluarga ibunya.
“Kasihan paman besarmu Pouw Keng In dan isterinya..., mereka telah menjadi korban anak panah ketika kami bertiga dengan nekat menyeberangi sungai. Aku melihat anak panah menancap di tubuh kakakku dan isterinya dan mereka hanyut terbawa air sungai...” Sui Hong menutupi matanya dengan kedua tangan seolah hendak menutupi bayangan peristiwa yang amat menyedihkan itu.
“Kejam sekali!” Siang Ni berseru dan tampak marah sekali. “Ibu, manusia macam apakah yang melakukan perbuatan keji itu?”
“Dia seorang panglima, Siang Ni, pemimpin dari pasukan yang mengejar kami.”
“Siapakah dia, Ibu? Masih ingatkah siapa orangnya?”
Tentu saja Sui Hong masih ingat dengan baik siapa adanya panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Kong Tek Kok, panglima besar yang sampai sekarang masih tinggal di kota raja dan panglima itu bahkan telah menjadi guru Siang Ni!
Mengingat akan kedudukan Panglima Kong Tek Kok dan kelihaiannya, apalagi kini telah menjadi guru Siang Ni, Sui Hong tidak berani berterus terang. Ia khawatir puterinya akan menjadi nekat dan bagaimana mungkin puterinya mampu melawan Panglima Kong Tek Kok yang menjadi gurunya sendiri?
“Aku masih ingat orangnya, akan tetapi tidak tahu namanya. Mungkin dia sudah tewas dalam perang. Orang jahat tidak akan selamat, Anakku.”
“Ah, sayang. Kalau Ibu tahu siapa orangnya, aku ingin sekali mencarinya dan membalas dendam atas kekejamannya terhadap keluarga Ibu. Apakah yang membunuh Kakek dan Nenek buyut juga orang itu?”
“Tentu saja, karena dia yang memimpin pasukan itu.”
“Jahanam keparat! Kemudian bagaimana, Ibu? Bagaimana Ibu sendiri dapat terbebas dari bahaya maut itu?”
Sui Hong menarik napas panjang. “Mungkin karena pada waktu itu Ibumu ini dianggap berwajah cantik...”
“Sampai sekarang pun Ibu tetap merupakan wanita tercantik di kota raja!” kata Siang Ni bangga sambil menatap wajah ibunya yang memang masih tampak jelita.
Kembali Sui Hong menarik napas panjang. “Itulah salahnya. Kalau saja wajahku buruk, kiranya nasibku tidak seburuk itu.”
“Mengapa Ibu berkata demikian?” Siang Ni merasa penasaran. “Bukankah Ibu sekarang hidup bahagia bersama ayah dan aku?”
Sui Hong merangkul anaknya. “Memang begitulah, Siang Ni. Sekarang aku merasa berbahagia, asal saja engkau tidak mengalami segala kesengsaraan yang telah dialami Ibumu, aku sudah merasa senang dan tidak mengharapkan apa-apa lagi.”
“Akan tetapi bagaimana lanjutan cerita tadi, Ibu? Aku ingin sekali mendengar bagaimana Ibu lolos dari bahaya maut. Bukankah tadi Ibu menceritakan bahwa Ibu sedang menyeberangi sungai bersama Paman Pouw Keng In dan Bibi Tan Bi Lian yang tewas terkena anak panah?”
“Aku agaknya memang belum ditakdirkan mati dan masih harus melanjutkan riwayat hidupku. Pemimpin pasukan itu agaknya tertarik kepadaku dan dia lalu menolongku dari sungai dan menawanku.”
“Hemm, aku sekarang mengerti!” Siang Ni berseru dan Sui Hong kaget sekali, mengira bahwa anaknya entah bagaimana caranya sudah mengetahui tentang pembunuh keluarga Pouw.
“Apa yang kau mengerti, Siang Ni?” tanyanya cemas.
Siang Ni tersenyum. “Aku dapat menduga kelanjutan ceritamu, Ibu. Tentu sebelum pemimpin pasukan itu berbuat jahat terhadap Ibu, Ayah muncul dan menolong Ibu dari tangannya! Bukankah begitu, Ibu? Ataukah salah dugaanku?”
Sui Hong menarik napas lega. Memang demikianlah sebaiknya, tidak ada alasan lain yang lebih tepat untuk menceritakan kepada anaknya bagaimana ia bisa menjadi isteri kesembilan dari Pangeran Lu Kok Kong!
“Engkau cerdik sekali, Siang Ni. Memang, tadinya panglima itu hendak menjadikan aku selirnya akan tetapi aku menolak keras. Untungnya ayahmu mengetahui akan hal itu dan dia berhasil menolongku terbebas dari tangan panglima itu. Kemudian karena ayahmu tidak mempunyai keturunan, dia lalu melamar aku. Aku sendiri, untuk membalas budinya, menerima lamarannya. Demikianlah, Siang Ni. Engkau sekarang tahu betapa menyedihkan riwayatku, maka selama ini aku tidak pernah menceritakannya kepadamu. Untuk apa menggali kenangan lama yang menyedihkan? Keluargaku dahulu, keluarga Pouw, telah musnah. Akan tetapi aku sekarang bukan anggauta keluarga Pouw lagi, dan kita berdua adalah anggauta keluarga Lu.”
“Akan tetapi, Ibu, aku harus mencari jahanam yang menjadi biang keladi musnahnya keluarga Pouw itu! Di manakah kini jahanam Can Sui itu berada, Ibu? Bagaimana pula orangnya, apakah dia memiliki kepandaian silat yang tinggi?”
Sui Hong menggelengkan kepalanya. “Dia orang biasa, tidak pandai ilmu silat dan setelah peristiwa itu, dia menghilang dan aku tidak pernah mendengar lagi tentang dia.”
“Hemm, kalau begitu, aku akan mencari panglima keparat yang telah membunuh Kakek dan Nenek buyut, juga Paman dan Bibi. Aku harus membunuhnya! Ibu, ceritakan padaku bagaimana orangnya? Apakah Ibu tahu dia di mana sekarang dan apakah ilmu silatnya sangat tinggi?”
“Tentu saja, kalau tidak bagaimana dia bisa menjadi panglima yang memimpin pasukan besar. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa dia dan di mana tinggalnya. Aku pun tidak tahu apakah dia masih hidup ataukah sudah mati...”
Tiba-tiba Siang Ni melompat berdiri sehingga Sui Hong terkejut. Gadis remaja itu menampar kepalanya sendiri, matanya bersinar-sinar.
“Ah, mengapa aku begini bodoh? Kalau Ibu tidak tahu, tentu Ayah mengetahuinya. Bukankah Ayah yang dahulu menolong itu dan menyelamatkan lbu dari tangannya? Ibu, aku hendak menyusul Ayah dan bertanya kepadanya tentang musuh besar itu!”
Sui Hong mengerutkan alisnya. Ia merasa khawatir sekali melihat sikap anaknya. Tentu saja Pangeran Lu Kok Kong tahu siapa sebenarnya musuh besar yang telah membasmi keluarga Pouw. Akan tetapi ia maklum bahwa suaminya tidak akan mau menceritakan siapa orang itu kepada Siang Ni, apalagi karena agaknya suaminya memang tidak menghendaki dilakukannya balas dendam kepada panglima yang kini malah menjadi guru Siang Ni itu. Biarpun demikian, kalau anak ini terus mendesak ayahnya yang amat menyayang puterinya itu, bagaimana?
“Siang Ni, engkau jangan tergesa-gesa. Ayahmu sedang menghadap Sribaginda Kaisar di Istana, kalau sekarang tidak sedang dalam persidangan, tentu sedang mengadakan pembicaraan penting dengan para pembesar lain. Bagaimana engkau berani mengganggunya? Tunggulah kalau Ayahmu sudah pulang, nanti engkau boleh bicara perlahan-lahan. Aku pun sangsi apakah Ayahmu tahu siapa orang itu.”
“Mustahil kalau Ayah tidak tahu! Aku sudah tidak sabar lagi menanti, Ibu. Ayah terkadang sampai jauh malam baru pulang. Biar aku mencarinya sekarang!” Tanpa dapat dicegah lagi gadis itu keluar dari gedung dan berjalan cepat mencari ayahnya di istana kaisar.
Di kota raja, Lu Siang Ni sudah amat dikenal, bahkan di lingkungan istana, gadis ini pun dikenal. Semua penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang istana mengenal baik Siang Ni. Maka ketika ia tiba di situ, tanpa kesulitan Siang Ni diperkenankan memasuki pintu gerbang. Waktu itu, matahari telah turun ke barat dan cuaca sudah mulai remang.
Setelah bertanya ke sana-sini, akhirnya Siang Ni mendapat keterangan bahwa ayahnya sudah keluar dari istana dan sedang mengadakan pembicaraan dengan Pangeran Sun, seorang pangeran tua yang menjadi penasehat kaisar di waktu itu.
Siang Ni merasa kecewa. Gadis ini maklum bahwa Pangeran Sun yang tua itu amat keras dalam tata-tertib istananya, bahkan lebih tertib daripada istana kaisar sendiri. Pangeran Sun mempergunakan tangan besi dalam aturan rumah tangganya sehingga tidak seperti di istana lain, di istana Pangeran Sun ini ia tidak bisa bertindak seenaknya.
Dengan berkeras, para penjaga menolaknya untuk masuk. Mereka minta maaf dan mempersilakan nona itu menunggu ayahnya di kamar tunggu yang berada di depan. Ia tidak diperbolehkan masuk begitu saja mengganggu pembicaraan penting antara ayahnya dan Pangeran Sun.
Perundingan dua orang pangeran itu amat penting dan siapapun juga tidak boleh mengganggu sebelum Pangeran Sun memberi tanda. Penjaga yang berani mengganggu dan memasuki kamar perundingan pangeran tua itu, tanpa ampun lagi pasti akan dipecat, bahkan mungkin sekali dihukum!
Karena tidak sabar menanti di situ tanpa mengetahui kapan ayahnya akan keluar, Siang Ni lalu meninggalkan gedung Pangeran Sun. Daripada duduk menunggu di situ lebih baik berjalan-jalan di kompleks perumahan istana yang amat indah itu, melihat-lihat kebun bunga yang indah atau mengunjungi beberapa orang puteri pangeran yang dikenalnya.
Akan tetapi pada saat itu, para puteri sudah menyembunyikan diri di dalam kamar masing-masing dan Siang Ni merasa tidak enak kalau mengganggu mereka dengan kunjungan resmi. Gadis ini lalu mencari tempat sunyi dan melompat ke atas genteng!
Memang sejak kecilnya Siang Ni terkenal bandel dan nakal. Apalagi setelah ia memiliki kepandaian silat. Sering kali ia berlari-larian di atas genteng istana yang tebal kuat dan enak dipakai tempat berlari-larian! Seringkali ia dikejar para pengawal karena mereka mengira ia seorang penjahat yang hendak mencuri atau mengacau di istana.
Akan tetapi setelah para pengawal tahu bahwa gadis itu bukan lain adalah murid tunggal Panglima Besar Kong Tek Kok yang mereka takuti, tidak ada orang berani mengganggunya. Apalagi di samping menjadi murid Panglima Kong, gadis itu juga puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh besar di kota raja!
Setelah berada di atas genteng, Siang Ni menjadi gembira sekali. Angkasa yarg sudah gelap tampak indah seperti beluderu hitam dihias ribuan bintang seperti permata manikam yang gemerlapan. Ia lalu mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari ke sana-sini dengan cepat sekali.
Dahulu ketika ia mulai belajar ilmu berlari cepat, suhunya pernah mengajaknya berlari-larian di atas genteng rumah-rumah gedung istana ini dan memang tidak ada tempat lain yang lebih baik untuk berlatih lari di atas genteng. Gedungnya besar-besar dan tinggi-tinggi, dan letaknya sambung menyambung. Gentengnya tebal kuat dan letaknya yang tinggi rendah itu merupakan tempat yang baik sekali untuk melatih ilmu meringankan tubuh.
Saking gembiranya bermain-main di tengah udara antara langit berbintang dan puncak-puncak pohon yang tumbuh di dekat bangunan atau di taman-taman bunga, bagaikan seekor burung yang lincah gembira, Siang Ni lupa akan maksud kedatangannya di istana. Lupa bahwa ia sedang menunggu ayahnya untuk segera menanyakan tentang orang yang telah membasmi keluarga Pouw.
Tiba-tiba berkelebat bayangan tiga orang yang memiliki gerakan cepat. Siang Ni menghentikan larinya dan menghadapi tiga orang itu dan ternyata mereka adalah tiga orang pengawal istana. Para pengawal istana ini berpakaian gagah dengan topi dihias bulu burung garuda, pakaian mereka seragam dan di pinggang mereka tergantung pedang.
Melihat bahwa yang berdiri di depan mereka adalah Lu Siang Ni, tiga orang pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata,
“Selamat malam, Lu-siocia. Kami tidak bemaksud mengganggu, hanya kami ingin tahu siapa yang berlari-larian di atas genteng. Kami bertugas jaga malam dengan kawan-kawan di malam ini.”
Siang Ni tersenyum ramah. “Tidak apa, aku sedang iseng dan mencari angin karena tidak sabar menanti ayah yang sedang bercakap-cakap di gedung Sun Ong-ya. Apakah kalian melihat ayah sudah pulang?”
Serentak mereka menjawab. “Sudah, Lu-siocia. Kami melihat Lu Ong-ya sudah lama meninggalkan istana dan kendaraannya sudah lama keluar dari pintu gerbang istana.”
Siang Ni tertegun. Saking gembiranya tadi, ia sudah lupa waktu. Sudah berapa lamakah ia berada di atas genteng dan berlari-lari tadi? “Oh, terima kasih, aku hendak menyusul ayah kalau begitu!”
Setelah berkata demikian, ia lalu menggerakkan kedua ujung kakinya dan tubuhnya melesat dengan gerakan indah, melayang turun dari atas wuwungan dengan cara membuat pok-sai (salto), kedua kaki dirapatkan, kedua lengan direntangkan dan tubuhnya melengkung seperti busur. Setelah tiba di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, tubuhnya merupakan bayangan hitam yang berkelebat lenyap dalam kegelapan.
Tiga orang pengawal yang berada di atas genteng memandang kagum sekali, kemudian mereka saling pandang dengan mata bersinar.
“Aduh hebatnya Nona itu...” kata yang pertama.
“Amat cantik jelita dan gagah...” kata yang kedua.
“Gerakan melompat tadi bukan main indahnya, sepuluh tahun lagi mempelajarinya, belum tentu aku sanggup meniru gerakan seperti tadi,” kata yang ketiga.
Kemudian mereka termenung, tenggelam dalam lamunan masing-masing sambil memandang ke atas, ke angkasa penuh bintang. Bagi mereka, Siang Ni seolah-olah merupakan sebuah di antara ribuan bintang itu. Indah dipandang, boleh dikenang, akan tetapi sukar dicapai tangan...!
********************