11: KORBAN BALAS DENDAM KELUARGA!
SEMENTARA itu, di gedung Pangeran Lu Kok Kong terjadi hal yang hebat. Telah lama sebelum pangeran itu pulang dari istana, di dekat gedung Pangeran Lu berkelebat dua sosok bayangan orang yang luar biasa cepatnya sehingga seorang ahli sekalipun akan sukar melihat mereka. Hanya kadang-kadang saja bayangan itu berkelebat, tanpa dapat dilihat di mana sebenarnya orang yang memiliki bayangan itu.
“Suhu, dia lama amat pulangnya. Apakah kita tidak lebih baik menyusulnya ke istana?” terdengar suara seorang di antara mereka yang ternyata adalah seorang pemuda tampan gagah dengan suara lembut.
Kakek yang merupakan bayangan kedua menggelengkan kepala dan berkata, “Sabarlah, dia pasti akan pulang. Istana sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Terlampau besar resikonya untuk menyerbu ke sana. Tentu saja kita tidak perlu takut menghadapi para perajurit pengawal, akan tetapi kalau sampai kita ketahuan dan dikeroyok puluhan orang pengawal sebelum urusan kita beres, bukankah hal itu akan menghambat pekerjaan kita bahkan mungkin akan menggagalkan usaha kita?”
Pemuda itu mengangguk-angguk, membenarkan pendapat gurunya. “Maafkan teecu (murid), Suhu. Tadi teecu terburu nafsu dan kurang sabar,” katanya dan kakek itu tersenyum.
Tak lama kemudian terdengar suara roda kendaraan kereta yang ditarik dua ekor kuda besar memasuki halaman yang luas dan pintu kereta terbuka. Pangeran Lu Kok Kong dengan pakaian kebesaran yang indah turun dari kendaraannya dan berjalan masuk diiringkan para pelayan yang menyambutnya. Langkahnya tegap dan wajahnya yang masih tampan itu berseri ketika dia melihat sembilan orang selir dan isterinya menyambutnya di ruangan dalam.
Setelah membagi senyum kepada semua isterinya, Pangeran Lu mencari-cari dengan pandang matanya dan bertanya. “Di mana Siang Ni?”
Pangeran ini memang selalu menanyakan puterinya kalau dia pulang dan puteri kesayangan itu tidak tampak. Apalagi dia tahu bahwa Siang Ni tadi telah meninggalkan rumah sebelum dia pergi ke istana kaisar. Dan dia juga melihat betapa wajah selirnya yang termuda dan tersayang, muram seperti orang yang gelisah dan bersedih.
Pertanyaan itu pun dia tujukan kepada Sui Hong sambil melangkah ke arah kamar isterinya yang paling muda itu. Sui Hong mengikuti suaminya dari belakang dan isteri-isterinya yang lain mengundurkan diri ke kamar masing-masing.
“Di mana Siang Ni?” Pangeran Lu kembali bertanya setelah mereka berada di dalam kamar.
“Apakah Paduka belum bertemu dengannya?” Sui Hong balas bertanya dengan wajah khawatir.
Pangeran Lu Kok Kong menggelengkan kepalanya. “Apakah yang telah terjadi? Engkau kelihatan gelisah.”
“Ia tadi... bertanya tentang riwayatku, tentang ayah bunda dan saudara-saudaraku...”
“Hemm... lalu bagaimana?” suaminya mendesak sambil mengerutkan alisnya.
Mendengar pertanyaan ini, Sui Hong menangis. “Ia mendesak terus... agaknya sudah curiga sejak lama dan saya... saya akhirnya tidak dapat menolak lagi, terpaksa saya bercerita tentang semua hal yang telah terjadi dahulu...”
Pangeran Lu menjadi pucat seketika. “Apa? Kauceritakan juga tentang Panglima Kong...?”
Sui Hong menggelengkan kepala sambil menggigit bibirnya menahan tangis. “Aihh... kalau saja permintaan saya sejak dahulu Paduka penuhi... kalau saja Paduka sudah membalaskan sakit hati keluarga saya kepada Panglima Kong dan Siang Ni tidak menjadi muridnya, mungkin tidak akan terjadi hal ini...”
Pangeran Lu maklum apa yang dimaksudkan isterinya. Dia menghela napas panjang lalu berkata lembut. “Hong-moi (Dinda Hong), sejak dahulu engkau pun tahu bahwa kedudukan Panglima Besar Kong Tek Kok amat kuat. Tentu saja aku dapat menjatuhkannya melalui tangan Kaisar. Akan tetapi pengikutnya amat banyak, di belakangnya berdiri pasukan yang ratusan ribu jumlahnya. Selain kepandaian silatnya sendiri amat tinggi, juga dia memiliki banyak perwira pembantu yang lihai. Menghadapi kekuatan seperti itu, mengingat akan kedudukanku, tidak selayaknya kalau aku memusuhinya. Kekuatan seperti itu amat dibutuhkan untuk mempertahankan berdirinya Kerajaan Goan, amat penting bagi negara dan bangsa Mongol, maka permintaanmu dahulu itu terpaksa tidak dapat kulaksanakan. Apalagi kalau diingat bahwa dialah orang yang telah menjodohkan kita, bukan? Karena itu pula, diam-diam aku membiarkan anak kita Siang Ni menjadi muridnya.”
Sui Hong menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan kecemasan dan kebingungan. “Saya dapat menerima alasan Paduka itu, maka sampai sekian lamanya saya membungkam dan tidak pernah mengganggu Paduka dengan urusan itu. Akan tetapi sekarang Siang Ni sudah dewasa, sudah pandai berpikir dan pandai sekali berusaha rriembuka rahasia keluarga saya. Kalau nanti ia datang dan mendesak Paduka, lalu bagaimana baiknya?”
“Hemm, jangan khawatir, serahkan saja hal itu kepadaku...”
Tiba-tiba Pangeran Lu dan Pouw Sui Hong terkejut bukan main ketika dari atas berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam kamar itu telah berdiri seorang pemuda. Begitu pemuda itu bergerak maju, tangan kirinya sudah mencengkeram leher baju Pangeran Lu Kok Kong, lalu ditariknya mendekat.
“Engkau yang bernama Lu Kok Kong?” bentak pemuda itu dengan suara mengandung penuh kebencian.
Pangeran Lu mencoba untuk meronta, akan tetapi tangan yang mencengkeram leher bajunya itu kuat bukan main sehingga dia tidak mampu bergerak.
“Siapakah engkau orang muda yang kurang ajar?” Pangeran Lu balas membentak. “Lepaskan atau aku akan menyuruh para pengawal menangkapmu!”
Akan tetapi pemuda itu tersenyum mengejek. “Panggillah semua anjingmu! Mereka yang pingsan tidak akan mampu mendengarmu. Hayo jawab, benarkah engkau yang bernama Lu Kok Kong?”
“Benar, dan engkau ini siapa? Apa kehendakmu? Lepaskan aku!”
Wajah yang tampan itu tiba-tiba berubah menjadi beringas dan suaranya mendesis di telinga Pangeran Lu.
“Dengarlah, hai anjing busuk! Mengapa keluarga Pouw dari So-couw dibasmi Kaisar? Hayo jawab!”
Sui Hong mengeluarkan seruan kaget. Nyonya ini sejak tadi telah berdiri menggigil dengan sepasang mata terbelalak memandang pemuda itu. Ia hampir saja mengeluarkan jeritan ngeri ketika melihat betapa wajah pemuda itu seperti pinang dibelah dua dengan wajah kakaknya yang sudah tewas. Benar-benar tidak ada bedanya dengan wajah Pouw Keng In, kakaknya. Hal ini membuatnya terkesima sehingga ia hanya terbelalak memandang bengong dan tidak dapat mengeluarkan suara.
Pemuda itu mengerling kepadanya, akan tetapi hanya sekejap mata saja, kemudian kembali mendesak Pangeran Lu. “Hayo katakan, mengapa keluarga Pouw dibasmi? Apa kesalahan keluarga Pouw di So-couw itu?”
Pangeran Lu Kok Kong bukan seorang penakut. Biarpun dalam cengkeraman pemuda itu dia sama sekali tidak berdaya, suaranya masih tenang ketika ia menjawab. “Keluarga itu bermaksud memberontak, maka pemerintah menjatuhkan hukuman mati kepada mereka.”
“Dasar anjing penjajah! Panglima yang memimpin pasukan pembasmi keluarga Pouw itu, siapa namanya? Cepat kau sebutkan namanya!”
Dalam keadaan lain, kiranya Pangeran Lu Kok Kong tidak akan mau mengaku karena dia bukan seorang yang berjiwa pengecut dan pengkhianat. Akan tetapi sekarang keadaannya lain. Dia pikir lebih baik kalau dia berterus terang sehingga dapat memancing pemuda ini agar mendatangi Panglima Kong Tek Kok. Kalau pemuda ini berani mendatangi gedung Panglima Kong, pasti dia akan dapat ditangkap atau dibunuh!
“Panglima itu adalah Kong Tek Kok. Dialah yang membasmi keluarga Pouw. Akan tetapi aku tidak melakukan sesuatu dalam pelaksanaan hukuman itu. Mengapa engkau datang menghinaku? Siapakah engkau?”
Pemuda itu tertawa, wajahnya yang tampan kelihatan menyeramkan. “Engkau, bandot tua masih menanyakan lagi dosamu? Seorang gadis keluarga Pouw ditawan dan diberikan padamu, menjadi permainanmu, engkau hina sehingga tewas di tanganmu! Masih juga engkau bertanya lagi?” Sambil berkata demikian, pemuda itu mencabut pedangnya. “Orang macam engkau ini harus mampus!”
“Jangan...! Dia tidak bersalah...!” Sui Hong menjerit dan menubruk maju. Akan tetapi terlambat karena pedang itu sudah berkelebat dan tahu-tahu leher Pangeran Lu telah terpenggal!
Sui Hong hanya menubruk jenazah yang bagian lehernya masih menyemburkan darah! Melihat ini Sui Hong menjerit keras dan roboh pingsan. Darah suaminya mengenai muka dan pakaiannya sehingga menimbulkan pemandangan yang amat mengerikan.
Pemuda itu melompat keluar kamar melalui jendela, lalu dengan gerakan ringan sekali dia melompat ke atas genteng.
“Bangsat jangan lari!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Siang Ni cepat melakukan pengejaran.
Gadis itu baru saja tiba di rumahnya dari istana kaisar dan alangkah heran dan kagetnya ketika melihat beberapa orang perajurit penjaga menggeletak kaku tertotok di pinggir pintu depan. Cepat ia lari dan kebetulan sekali ia melihat bayangan seorang pemuda melayang ke atas genteng. Maka ia pun cepat membentak dan mengejar dengan lompatan kilat ke atas genteng.
Akan tetapi ternyata gerakan pemuda yang dikejarnya itu amat cepat. Siang Ni mengeluarkan panah tangan yang selalu dibawa di samping pedangnya. Menyambitkan panah tangan merupakan keahlian gurunya dan ia pun sudah mempelajarinya dengan baik.
“Penjahat, berhenti kau atau rasakan panah tanganku!”
Namun pemuda itu tidak mempedulikan gertakan ini dan terus berloncatan di atas wuwungan rumah. Siang Ni menyambitkan panahnya. Tiga batang panah menyambar ke arah tubuh belakang pemuda itu, mengarah tengkuk, punggung, dan pinggang!
Pemuda itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan cepat dia memutar pedangnya, sambil berpok-sai (bersalto) di udara. Dengan gerakan yang amat hebat ini dia pun dapat terhindar dari serangan panah. Dia mengeluarkan seruan kagum dan menghentikan larinya, berdiri menghadapi Siang Ni.
Sinar lampu dari bawah dan cahaya bintang di langit hanya memberi penerangan remang-remang saja, namun Siang Ni dapat melihat jelas bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
“Siapa engkau yang begini kurang ajar berani memasuki rumah orang dengan pedang di tangan dan menotok para perajurit jaga?” bentak Siang Ni yang juga tadi terkejut sekali melihat orang yang dikejarnya mampu menghindarkan diri dari serangan tiga batang anak panahnya. Tidak sembarang orang mampu menghindarkan diri dari serangan anak panahnya itu.
Pemuda itu tersenyum, agaknya tertarik kepada gadis remaja yang lincah galak dan juga lihai itu. Gerakannya ketika mengejarnya, juga serangan anak panahnya yang amat berbahaya tadi, sudah nnenunjukkan bahwa gadis remaja ini lihai bukan main.
“Engkau menanyakan namaku ada urusan apakah? Kalau engkau ingin berkenalan denganku, perkenalkanlah, namaku Suma Cun Giok.”
Siang Ni membanting kaki kirinya, terdengar suara keras dan genteng yang diinjaknya itu hancur berkeping-keping!
“Bangsat tak tahu malu! Siapa sudi berkenalan denganmu? Aku melihat engkau keluar dari gedung membawa pedang, apakah engkau seorang maling yang hendak mencuri?”
“Huh, siapa mau mencuri? Aku datang mencari musuh besarku, si keparat hidung belang Lu Kok Kong dan...”
Akan tetapi Siang Ni sudah membentak marah sekali dan pedangnya berkelebat cepat menusuk tenggorokan Suma Cun Giok. Mendengar ayahnya dimaki keparat hidung belang, tanpa ingin tahu lebih jauh urusannya, ia tidak dapat menahan diri lagi dan langsung menyerang dengan jurus mematikan!
Melihat gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, Suma Cun Giok cepat melangkah mundur sambil menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg......!!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya melompat ke belakang dengan kaget. Pertemuan kedua pedang tadi membuat tangan mereka yang memegang gagang pedang tergetar hebat!
Suma Cun Giok maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Akan tetapi dia tidak ingin bertempur melawan gadis remaja yang cantik lincah menarik ini. Pula karena tugasnya belum selesai, dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan wuwungan gedung itu.
“Jahanam, jangan lari!” Siang Ni mengejar sambil melepas panah tangan yang dapat dihindarkan oleh Cun Giok.
Pada saat itu, terdengar jerit tangis dari dalam gedung. Siang Ni terkejut dan terpaksa menghentikan pengejarannya, lalu melompat kembali ke bawah dan berlari cepat memasuki gedung. Di ruangan depan ia melihat dua orang penjaga juga menggeletak pingsan tertotok.
“Keparat...!” Gadis itu memaki marah dan merasa mendongkol bahwa tadi ia tidak sempat merobohkan pemuda itu. Ia lalu berlari masuk dengan hati gelisah, karena ratap tangis yang didengarnya kini semakin riuh dan datangnya dari kamar ayah ibunya. Hati gadis yang sebelumnya tak pernah mengenal rasa takut itu mulai cemas dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ngeri ia membayangkan apa yang terjadi di dalam kamar ayah ibunya darimana terdengar ratap tangis yang memilukan itu.
Ketika Siang Ni tiba di depan pintu kamar ayah ibunya dan melihat bahwa yang menangis itu adalah para ibu tirinya dan beberapa orang pelayan wanita yang memenuhi kamar itu, ia segera menerobos masuk dan mendorong beberapa orang pelayan ke kanan kiri. Akhirnya ia dapat melihat apa yang ditangisi mereka itu.
Wajah Siang Ni seketika pucat, matanya terbelalak melihat tubuh ayahnya menggeletak di atas lantai dalam keadaan mengerikan sekali. Kepala ayahnya terpisah dari leher dan ibunya juga menggeletak berlepotan darah di dekat ayahnya!
Siang Ni tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Digosok-gosoknya kedua matanya dan dipandangnya sekali lagi ayah ibunya yang menggeletak mandi darah di lantai itu. Kedua kakinya mulai menggigil, matanya berkunang-kunang dan ia menubruk maju.
“Ayah...! Ibu...!” Siang Ni memeluk tubuh mereka, tidak peduli pakaian dan kedua tangannya penuh darah yang belum membeku. Didekapnya tubuh ayah ibunya, digoyang-goyangkan dan dipanggil-panggilnya. Kemudian ia terasa agak lega melihat ibunya siuman dan ternyata ibunya tidak terluka, hanya berlepotan darah ayahnya, seperti juga ia. Akan tetapi ibunya seperti orang kehilangan kesadaran, matanya memandang kosong, mulutnya tak mampu bersuara.
“Ibu...! Apa yang telah terjadi...?” Kemudian ia memeluk ayahnya. “Ayah, siapakah yang melakukan ini...?” Tiba-tiba ia teringat akan pemuda yang tadi diserangnya, maka ia menjadi beringas.
“Keparat jahanam keji! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” bentaknya nyaring sekali, mengejutkan semua orang yang berada di situ.
Kemudian ia mencabut pedangnya dan melompat keluar seperti orang gila, menerjang mereka yang menghalang sehingga beberapa orang pelayan terpelanting jatuh. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan tubuhnya berkelebat keluar dari gedung itu...