12: PANGLIMA PEMBASMI KELUARGA POUW
BAGAIKAN seekor burung garuda marah, Siang Ni melayang ke atas genteng dan ia berlari ke arah di mana ia bertemu dengan pemuda yang mengaku bernama Suma Cun Giok itu. Setelah tiba di sana, ia tidak melihat bayangan seorang pun. Ia tercengang dan bingung. Ke mana ia harus mengejar? Ke mana perginya pemuda yang telah membunuh ayahnya itu? Ia termangu, kemudian terbayang di depan matanya keadaan ayah dan ibunya. Ia memejamkan kedua matanya dan air mata menitik deras seperti air hujan.
“Ayaaaah... Ibu...!” Tersedulah Siang Ni dan hampir saja ia terguling dari atas genteng. Kedua kakinya menggigil dan seluruh tubuh gemetar. Dengan jerit memilukan ia melompat turun dan menerobos masuk lagi ke dalam kamar maut itu, menangis tersedu-sedu sambil memeluk tubuh ayah dan ibunya bergantian. Pemandangan yang amat mengharukan ini membuat para ibu tirinya makin riuh meratap dan menangis, bahkan beberapa orang di antaranya ada yang jatuh pingsan sehingga suasananya semakin memilukan.
********************
“Teecu (murid) sudah berhasil menewaskan Pangeran Lu Kok Kong yang jahat dan mata keranjang itu, Suhu. Sudah terbalas kiranya sakit hati Bibi Pouw Sui Hong yang menjadi korbannya,” kata Suma Cun Giok kepada suhunya setelah mereka bertemu di atas genteng. “Hampir saja teecu terlibat dalam perkelahian dengan seorang gadis remaja yang lihai sekali. Entah siapa gadis itu, teecu tidak mau melayaninya berkelahi, khawatir kalau Suhu terlalu lama menunggu teecu di sini,” demikian Suma Cun Giok menceritakan pelaksanaan tugasnya untuk membalas dendam keluarga Pouw.
Pemuda yang membunuh Pangeran Lu Kok Kong itu adalah Suma Cun Giok, putera mendiang Pouw Keng In. Dia melakukan perjalanan bersama suhunya, yaitu Suma Tiang Bun, pendekar patriotik yang tinggi ilmunya. Seperti telah kita ketahui, guru dan murid ini telah menolong keluarga Siok di kota Ci-bun, bahkan kemudian mereka mengantar Nona Siok Eng menuju ke Propinsi Shan-tung dan atas persetujuan gurunya, dia ditunangkan dengan gadis itu.
Setelah meninggalkan keluarga Siok yang kini tinggal bersama mantu sulungnya di Shan-tung, Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok, murid atau anak angkatnya itu, melakukan perjalanan ke kota raja. Terlebih dahulu Suma Tiang Bun mengajak muridnya ke So-couw untuk melakukan penyelidikan tentang keluarga Pouw.
Tanpa banyak kesulitan mereka dapat mengumpulkan dari para penduduk yang sudah puluhan tahun tinggal di situ. Mereka dapat mendengar cerita para penduduk tua tentang terbasminya keluarga Pouw oleh pasukan Kerajaan Mongol.
Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu, dan seperti pada umumnya orang suka sekali membumbui setiap cerita tentang sebuah peristiwa yang tersiar melewati mulutnya menurut komentar, pendapat dan pandangan yang sesuai dengan seleranya sendiri.
Maka apa yang didengar oleh Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok sudah simpang siur dan kacau, yang terkadang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Akan tetapi pada pokoknya, guru dan murid itu mendengar betapa seluruh keluarga Pouw telah dibunuh, dan hanya seorang gadis bernama Pouw Sui Hong yang tidak dibunuh, melainkan ditawan.
Akan tetapi, demikian menurut berita yang mereka dapatkan, keadaan Pouw Sui Hong yang dahulu menjadi bunga tercantik kota So-couw itu lebih menyedihkan lagi, karena gadis itu dibawa ke kota raja dan menjadi permainan para bangsawan di kota raja. Kemudian Pouw Sui Hong terjatuh ke tangan Pangeran Lu Kok Kong yang terkenal mata keranjang dan akhirnya gadis yang bernasib malang itu mati penuh kesengsaraan di gedung Pangeran Lu itu. Demikianlah berita yang didengar oleh Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Cun Giok mendengar cerita mereka itu. Dendam sakit hati berkobar dalam kepalanya lalu membara dalam dadanya. Dendam kebenciannya pertama-tama ditujukan kepada Pangeran Lu Kok Kong yang sudah merusak kehidupan bibinya, dan dendamnya yang kedua ditujukan kepada panglima pasukan yang belum diketahui siapa orangnya karena di antara para penduduk So-couw yang memberi keterangan padanya, tak seorang pun mengenal siapa adanya panglima pasukan pembasmi itu.
Demikianlah, bersama gurunya Cun Giok pergi ke kota raja. Karena belum tahu siapa adanya panglima pasukan pembasmi keluarganya, Suma Cun Giok lebih dulu mendatangi gedung Pangeran Lu Kok Kong yang tentu saja amat mudah dicari. Gurunya hanya menanti di atas genteng kalau-kalau muridnya terancam bahaya.
Setelah dia melihat muridnya berhasil memasuki gedung tanpa banyak kesukaran dan membantu merobohkan beberapa orang perajurit yang menjaga di luar, Suma Tiang Bun meninggalkan gedung dan menanti muridnya agak jauh sehingga dia tidak melihat ketika Siang Ni menyerang Cun Giok.
Seperti telah diceritakan, setelah menewaskan Pangeran Lu Kok Kong dan menghindarkan perkelahian dengan gadis remaja cantik yang menyerangnya, Cun Giok menemui suhunya dan menceritakan hasil pembalasan dendamnya.
“Dan tahukah engkau siapa yang memimpin pasukan pembasmi keluarga orang tuamu?” tanya Suma Tiang Bun.
“Sudah, Suhu. Menurut orang she Lu itu, panglima keparat itu adalah seorang panglima besar bernama Kong Tek Kok.”
Mendengar nama ini, Suma Tiang Bun tampak terkejut. “Dia...?”
“Kenalkah Suhu kepadanya?”
Suma Tiang Bun menggelengkan kepalanya. “Bagaimana aku bisa mengenal orang macam itu? Akan tetapi aku sudah mendengar namanya. Dia adalah seorang panglima besar yang kabarnya memiliki ilmu silat yang tinggi dan tangguh sekali. Bagaimana keluargamu sampai terbasmi oleh dia?”
“Siapa tahu kalau dahulu pangkatnya tidak setinggi sekarang, Suhu.”
“Mungkin juga. Kabarnya dia lihai sekali. Kita harus berhati-hati.”
Mereka lalu pergi untuk mencari keterangan di mana adanya gedung tempat tinggal Panglima Besar Kong Tek Kok. Seperti juga Pangeran Lu, Panglima Kong Tek Kok adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali di kota raja. Maka mudah saja bagi guru dan murid itu untuk mendapatkan keterangan di mana gedungnya.
********************
Malam itu telah larut, menjelang tengah malam. Biarpun penduduk kota raja sudah banyak yang menutup pintu rumah dan juga semua toko sudah tutup serta keadaan di jalan umum sudah sepi karena jarang ada penduduk yang keluyuran di waktu tengah malam begitu, namun tampak banyak sekali pasukan dan para perwira pengawal istana hilir mudik di jalan-jalan raya.
Dari sikap dan wajah mereka dapat diduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Melihat ini, tanpa bertanya para penduduk cepat-cepat menutup pintu rumah dan bersembunyi dalam kamar.
Memang para pengawal istana itu sedang menghadapi tugas berat. Berita tentang terbunuhnya Pangeran Lu Kok Kong cepat tersiar dan seluruh tenaga pasukan pengawal dikerahkan untuk menangkap pembunuh itu yang diduga masih berkeliaran di dalam kota raja.
Juga Kong Tek Kok, panglima besar yang sedang enak-enak mencari angin di ruangan belakang, mengalami peristiwa hebat. Panglima ini tentu saja sudah mendengar tentang pembunuhan atas diri Pangeran Lu. Akan tetapi dia tidak begitu memusingkan, dan tidak mau bersusah-payah mencari sendiri pembunuh itu, melainkan memerintahkan bawahannya untuk bekerja keras mengerahkan pasukan mencari, mengejar dan menangkap pembunuh itu.
Dia sendiri enak-enak mencari angin di ruangan belakang, duduk bersandar di kursi dan seorang selirnya memegang kipas bulu, mengipasinya. Memang pada waktu itu musim panas membuat hawa di dalam rumah tak tertahankan panasnya.
Kong Tek Kok sudah kelihatan tua, akan tetapi masih gagah dan tubuhnya yang tinggi besar itu tampak kokoh kuat. Dia memakai baju tipis sutera, dan kepalanya tidak bertopi dan rambutnya digelung ke atas agar lehernya tidak tertutup.
Akan tetapi sebagai seorang panglima besar yang tahu bahwa banyak sekali musuh negara yang ingin membunuhnya dan maklum akan bahaya yang selalu mengintainya, di mana pun dia berada, dalam keadaan beristirahat sekalipun, di atas meja dekatnya selain terdapat secawan arak yang masih penuh karena baru diisi, juga terdapat panah tangannya dan sepasang pedangnya!
Seorang selir muda memijit-mijit kakinya dan seorang lagi mengipasinya. Panglima itu tampak mengantuk, kedua matanya dipejamkan untuk lebih menikmati tiupan angin dan pijatan kakinya. Kalau sekiranya yang terancam bahaya atau yang diserbu penjahat itu istana kaisar, tentu Kong Tek Kok tidak akan enak-enak seperti itu. Pasti dia akan turun tangan sendiri menjaga keselamatan kaisar sekeluarganya dan menangkap penjahat. Akan tetapi sekarang yang terbunuh hanya Pangeran Lu. Dia tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Pangeran Lu Kok Kong, kecuali bahwa puteri pangeran itu menjadi muridnya.
Teringat kepada Siang Ni, panglima itu tersenyum aneh. Akhir-akhir ini dia amat tertarik kepada muridnya. Kalau dulu dia tertarik dan suka karena muridnya itu berbakat dan cerdik, dapat memahami tiap ilmu silat baru yang dipelajarinya dengan cepat, sekarang dia amat tertarik dan suka sekali kepada muridnya itu karena kini muridnya yang mulai dewasa tampak begitu cantik jelita menggairahkan.
Para selirnya sama sekali tidak ada daya tariknya kalau dibandingkan dengan kecantikan muridnya itu. Tentu saja perasaan tergila-gila ini ditahannya saja karena betapapun juga, Kong Tek Kok belum begitu gila untuk berani bermain gila terhadap puteri tunggal Pangeran Lu Kok Kong yang berpengaruh di istana Kaisar.
Kini, begitu terbunuhnya Pangeran Lu oleh penjahat membuat Panglima Kong Tek Kok termenung. Setelah pangeran itu tidak ada di dunia, dan Siang Ni adalah muridnya, hemmm, kiranya hasrat hatinya itu tidak akan demikian sukar lagi, tidak sesukar mencapai bintang di langit!
Inilah pula sebabnya mengapa panglima ini seakan-akan tidak peduli menghadapi peristiwa pembunuhan yang menggemparkan kota raja itu dan dia enak-enak saja duduk makan angin di ruangan belakang gedungnya.
Akan tetapi, tiba-tiba Panglima Kong Tek Kok mendorong selirnya yang mengipasinya sehingga wanita itu jatuh terpelanting dan kaki panglima itu menendang selir yang memijati kakinya sehingga selir itu pun roboh. Dengan cepat sekali Panglima Kong Tek Kok menggulingkan tubuhnya dari tempat duduknya. Gerakan ini memang tepat sekali karena terdengar suara keras ketika tempat duduknya itu pecah berantakan terkena sambaran sebuah pelor besi yang besar dan berat!
“Keparat jangan curang!” serunya sambil menyambar senjatanya, yaitu sepasang pedang dan anak panah tangan yang terletak di atas meja.
Sebagai jawaban atas teriakannya itu, dari atas genteng melayang turun dua bayangan orang yang gerakannya cepat dan ringan sekali bagaikan dua ekor burung saja. Bayangan dua orang itu melayang turun ke arah belakang rumah.
Dengan berani Kong Tek Kok melompat melalui pintu belakang dan di lain saat dia telah berhadapan dengan dua orang yang sudah berdiri menanti di kebun belakang rumahnya. Lampu yang tergantung di situ cukup terang sehingga Panglima Kong dapat melihat wajah dua orang itu dengan jelas.
Mereka adalah seorang kakek yang sikapnya gagah dan seorang pemuda yang tampan. Mereka berdiri dengan sikap tenang dan memandang kepada Panglima Kong Tek Kok dengan sinar mata tajam. Kong Tek Kok memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal mereka.
Hatinya agak gentar juga melihat kakek yang sikapnya tenang dan penuh wibawa itu. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang sudah banyak mengalami pertempuran besar, dia terlalu percaya akan kepandaian sendiri dan dia bersikap tenang. Dia dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang dari dunia kang-ouw, maka Panglima Kong menahan kemarahannya dan bersikap agak sopan. Dia menjura dan menegur.
“Siapakah kalian, dari golongan mana dan ada keperluan apa malam-malam begini datang berkunjung dengan cara yang tidak bersahabat?”
Pemuda itu, Suma Cun Giok, melangkah maju dan melintangkan pedang di depan dada, telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Panglima Kong dan dengan suara yang mengandung kebencian dia bertanya. “Apakah engkau Panglima Kong Tek Kok?”
Panglima Kong tersenyum mengejek. Tentu saja dia memandang rendah pemuda di depannya itu. “Benar, akulah orangnya yang disebut Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok, juga ada yang menyebutkan julukan Si Panah Sakti!” Dia mengangguk-angguk sombong, lalu balas bertanya. “Dan engkau ini orang muda lancang kurang ajar, siapakah engkau dan ada keperluan apa masuk ke sini seperti maling?”
“Jahanam keji, ingatkah engkau kepada keluarga Pouw di So-couw?” Cun Giok bertanya marah.
“Keluarga Pouw? Yang mana?” Tentu saja Panglima Kong tidak dapat mengingat begitu saja karena hal itu sudah lewat selama dua puluh tahun.
Akan tetapi Suma Cun Giok menganggap panglima itu berpura-pura, maka dengan mengejek dia menyambung. “Benar-benarkah engkau lupa atau pura-pura lupa? Engkau membasmi keluarga Pouw di So-couw, membunuh Ayah Ibuku dengan anak panah di sungai dan menawan Bibiku yang kemudian engkau jual kepada Pangeran Lu...!” Suma Cun Giok tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking marahnya.
Wajah Panglima Kong Tek Kok berubah dan pandang matanya menaruh curiga, agaknya dia tidak percaya. “Mereka sudah habis semua, tidak ada anak... bagaimana engkau mengaku anak mereka?”
“Keparat jahanam! Thian tidak mengijinkan engkau membasmi seluruh keluarga dan Ibuku tidak tewas oleh anak panahmu. Aku ditakdirkan lahir untuk membalas dendam setinggi gunung sedalam lautan ini kepadamu! Terimalah pembalasanku!”
Setelah berkata demikian, Suma Cun Giok langsung menyerang, menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan musuh besarnya. Karena amat benci dan marah kepada panglima itu, dalam gebrakan pertama saja Cun Giok sudah mengeluarkan serangan maut yang amat berbahaya. Pedang di tangannya bukan menusuk sembarangan saja.
Gerakan pedangnya didorong tenaga sakti yang menimbulkan getaran yang membuat ujung pedangnya tampak menjadi beberapa buah, sukar diduga ke arah mana pedang itu hendak menyerang. Inilah jurus Sian-jin Sia-ciok (Dewa Memanah batu), sebuah jurus pilihan dari ilmu pedang warisan leluhur Suma yang amat hebat.
Akan tetapi Panglima Kong Tek Kok adalah seorang ahli silat yang selain tinggi tingkat ilmunya, juga sudah memiliki banyak pengalaman bertempur. Tenaga saktinya amat kuat, gerakannya cepat dan pandang matanya tajam sehingga dia dapat menghadapi serangan Cun Giok itu dengan tenang. Sambil tersenyum mengejek dia mengangkat pedang di tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyedot.
“Hemm, engkau yang membunuh Pangeran Lu Kok Kong? Bagus, engkau datang menyerahkan diri!” katanya mengejek.
Dua pedang bertemu dan alangkah terkejut hati Cun Giok ketika pedangnya menempel pada pedang kiri lawan dan betapa pun dia mengerahkan tenaga menarik, pedangnya tidak dapat terlepas!
Pada saat itu pedang di tangan kanan Panglima Kong meluncur, menusuk ke arah dada Cun Giok dan panglima itu tertawa bergelak. Dalam pengerahan lweekang (tenaga dalam) masih dapat tertawa bergelak membuktikan betapa hebatnya tingkat kepandaian panglima itu. Suma Tiang Bun yang menonton dari samping juga kaget melihat kelihaian Panglima Kong Tek Kok.
Cun Giok terancam namun dia tidak gentar. Bahkan dia lalu menyerang dengan tangan kirinya, dipukulkan ke arah lambung lawan dengan mengerahkan tenaga saktinya sedangkan kaki kanannya menendang ke arah bawah perut! Tanpa mempedulikan tusukan pedang kanan lawan sebaliknya malah membalas dengan dua serangan maut berarti bahwa pemuda itu sudah nekat dan siap untuk mengadu nyawa dan mati bersama dengan musuh besarnya!
Melihat kenekatan ini, Panglima Kong terkejut dan mengeluarkan seruan kaget. Kalau dia melanjutkan serangannya, biarpun mungkin dia dapat menggagalkan pukulan pemuda itu ke arah lambungnya, namun belum tentu dia dapat menghindarkan diri dari tendangan maut itu. Memang belum tentu hal itu akan dapat membunuhnya, namun setidaknya dia akan terluka.
Tentu saja dia tidak mau terluka walaupun pedangnya pasti akan menewaskan lawan. Sambil berseru keras dia menarik kembali kedua pedangnya dan memutar sepasang pedang itu di depan tubuhnya untuk membabat lengan yang memukul dan kaki yang menendangnya.
Cun Giok yang memiliki gerakan lincah itu cepat melompat ke belakang menghindarkan diri. Kedua serangan mautnya itu sebaliknya malah terancam karena kalau dia lanjutkan, lengan kiri dan kaki kanannya tentu akan menjadi buntung.
“Orang she Kong! Kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk, jangan menghina orang muda. Akulah lawanmu!” seru Suma Tiang Bun yang dengan gerakan kilat tahu-tahu sudah melompat dan menghadapi panglima itu.
Kong Tek Kok bersikap waspada karena dia dapat menduga bahwa kini dia berhadapan dengan seorang lawan berat. Dia menatap wajah Suma Tiang Bun, lalu pandang matanya bergerak dari atas ke bawah dan dia berkata,
“Melihat kepandaianmu, engkau tentu seorang tokoh besar di dunia kang-ouw. Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhiku? Sepanjang ingatanku, di antara kita tidak pernah terjadi permusuhan.”
“Kong Tek Kok, memang di antara engkau dan aku pribadi tidak pernah terjadi permusuhan. Akan tetapi sudah terlalu banyak kejahatan engkau lakukan terhadap orang-orang tidak berdosa. Terutama sekali apa yang telah kau lakukan terhadap keluarga Pouw, benar-benar keji sekali. Aku Suma Tiang Bun sejak dahulu paling benci melihat kejahatan dan biarpun kepandaianku tidak berarti, namun akan kucurahkan semua untuk menentang kejahatan. Orang muda ini adalah putera tunggal dari keluarga Pouw yang kau basmi dan aku adalah gurunya dan juga ayah angkatnya. Maka sudah semestinya kalau aku membelanya dan melawanmu sebagai musuh besar yang harus dibasmi!”
Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan kelihatan lambat, Suma Tiang Bun mengeluarkan sebatang pedang yang bercahaya keemasan dari balik jubahnya.
Melihat sikap kakek yang amat tenang dan gerakannya mencabut pedang itu sudah menunjukkan bahwa ilmu pedang kakek itu tentu amat dahsyat, Panglima Kong mencoba untuk membela diri dengan kata-kata sebelum menggunakan senjata.
“Suma Tiang Bun, kita sudah tua sama tua, sudah cukup kenyang makan garam. Kurasa engkau pun tidak begitu bodoh untuk mengetahui bahwa semua yang kulakukan terhadap keluarga Pouw bukan lain hanyalah pelaksanaan tugasku sebagai seorang panglima pasukan kerajaan, bahkan aku hanya melaksanakan perintah. Mengapa engkau menyeret hal ini menjadi permusuhan perorangan?”
“Kong Tek Kok, pandai benar engkau hendak menutupi kejahatanmu dengan selimut tugas! Kau kira aku tidak bisa membedakan baik buruknya pelaksanaan tugas? Yang kau lakukan terhadap keluarga Pouw, juga terhadap keluarga-keluarga patriot bangsa yang lain bukan sekadar pelaksanaan tugas, melainkan kekejamah yang tiada taranya. Kalau hanya melaksanakan tugas, seharusnya engkau menangkapi mereka lalu mengajukan depan pengadilan, baru di sana diputuskan apakah mereka bersalah dan pantas dihukum ataukah tidak. Akan tetapi engkau membasmi mereka, membunuh orang-orang tanpa dosa, anak-anak, orang-orang tua, kau basmi, harta benda mereka kaurampok, engkau membakari rumah mereka, menculik gadis-gadis. Apakah engkau masih hendak menyangkal?”
“Manusia sombong!” Panglima Kong Tek Kok memaki marah lalu menerjang maju sambil membentak nyaring sekali. Bentakan ini merupakan pekik tanda bahaya bagi para perajurit pengawal yang berada di sekitar gedung itu!
Suma Tiang Bun tidak berani memandang rendah menghadapi serangan sepasang pedang yang digerakkan amat cepat dan kuat itu. Pedang di tangan kakek ini adalah sebuah pedang pusaka yang disebut Kim-kong-kiam (Pedang Sinar Emas). Dengan merendahkan tubuh dia mengangkat pedangnya dan menangkis serangan pertama lawannya. Gerakannya ini dilakukan sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dengan maksud hendak mematahkan pedang lawan dengan pedang pusakanya.
“Singgg... Traanggg!!”
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang bertemu di udara. Keduanya tergetar dan melangkah mundur. Pedang kanan di tangan Panglima Kong tidak menjadi patah, bahkan rusak sedikit pun tidak!
*** Maaf! Ada bagian yang hilang! ***
Namun setiap sambaran kilat merupakan tangan maut yang siap mencabut nyawa. Sinar kuning emas dari Kim-kong-kiam dikeroyok dua gulungan sinar putih dari Bhok Siang-kiam. Dari gerakan mereka timbul angin dingin bersiutan dan lampu teng yang tergantung di atas sampai bergoyang-goyang!
Untuk beberapa lamanya Suma Cun Giok terkesima dan kagum menonton pertandingan ini. Kemudian, melihat betapa gurunya belum dapat mendesak lawan, dia berseru keras dan menyerbu ke dalam pertempuran dengan penuh kebencian terhadap panglima itu.
Kini pertandingan menjadi semakin hebat. Suara pedang bertemu pedang menimbulkan suara nyaring berdencing memecah kesunyian malam, disusul bunga api yang berpijar dan pecah berhambutan. Tingkat kepandaian Cun Giok, walaupun belum dapat mengimbangi tingkat gurunya, sudah cukup tinggi.
Agaknya hanya dalam hal sin-kang saja dia masih kalah kuat, namun kecepatan gerakannya sudah dapat menyamai kecepatan gurunya. Kalau saja tadi dia tidak terburu nafsu karena dendamnya, kiranya tidak mungkin dalam segebrakan saja dia terdesak oleh Panglima Kong.
Setelah Suma Cun Giok maju membantu dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi satu dengan gulungan sinar pedang gurunya, maka gulungan dua sinar putih dari pedang Kong Tek Kok mulai terdesak mundur.
Kalau tadinya dua gulungan sinar pedang putih itu panjang dan lebar tanda bahwa kedua pedangnya lebih banyak melakukan serangan bertubi-tubi dan mengurung tubuh Suma Tiang Bun, kini gulungan dua sinar pedangnya mulai menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia hanya dapat mempertahankan diri, lebih banyak menangkis daripada menyerang...