13: PENGORBANAN SEORANG AYAH ANGKAT
KEPANDAIAN tiga orang ahli silat ini sudah mencapai tingkat tinggi sehingga kalau orang biasa yang menonton pertempuran itu dari jauh, yang kelihatan tentu hanya gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dan orangnya tidak tampak saking cepatnya gerakan pedang-pedang itu seakan-akan menyelimuti tubuh mereka.
Kepandaian Panglima Kong Tek Kok benar-benar hebat. Biarpun dikeroyok dua, sebegitu jauh dia masih dapat membuat pertahanan yang amat kuat. Diam-diam Suma Tiang Bun harus mengakui bahwa kalau dia maju seorang diri melawan panglima ini, dia tidak akan mampu mengalahkannya. Akan tetapi dengan bantuan muridnya, dia mulai mendesak Panglima Mongol itu dengan itu dengan serangan-serangan kilat yang amat dahsyat.
Kembali Panglima Kong Tek Kok mengeluarkan bentakan yang terdengar seperti pekik burung garuda. Tiba-tiba terdengar bunyi pekik yang sama dari jauh, disusul lagi pekikan serupa dari pelbagai jurusan. Suara itu susul-menyusul dan akhirnya terdengar dekat sekali, riuh rendah bagaikan puluhan ekor burung garuda datang menyerbu.
Suma Tiang Bun tahu apa artinya semua itu. Dia mempercepat gerakan pedangnya dengan maksud untuk cepat merobohkan Panglima Kong. Demikian pula Suma Cun Giok melakukan hal yang sama. Akan tetapi usaha mereka sia-sia. Biarpun mereka berdua dapat mendesak lawan dan sudah pasti akhirnya akan dapat merobohkan Panglima Kong, namun agaknya kemenangan itu tidak akan dapat dicapai dalam waktu singkat.
Sementara itu, gemuruh suara pekikan tadi sudah semakin dekat dan di lain saat bermunculan beberapa orang yang berpakaian seperti pengawal istana dengan topi terhias bulu burung garuda. Gerakan mereka gesit dan lincah tanda bahwa mereka ini rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi.
“Cun Giok, kita pergi!” Suma Tiang Bun membentak.
Kakek yang sudah berpengalaman luas ini segera dapat memaklumi bahwa dia dan muridnya berada dalam ancaman bahaya. Menghadapi Panglima Kong Tek Kok seorang saja mereka masih belum juga dapat merobohkannya. Apalagi kalau ditambah banyak pengawal yang memiliki kepandaian tinggi.
Dia pun dapat menduga bahwa sebentar lagi tentu akan datang pengawal yang lebih banyak jumlahnya dan kalau sudah demikian, dia dan muridnya tidak akan dapat lolos dari maut. Sekarang masih ada harapan bagi Cun Giok untuk meloloskan diri dan dia yang akan melindungi dan mencegah musuh melakukan pengejaran terhadap muridnya.
“Tidak, Suhu!”
“Lari! Ini perintahku! Pergi dan kau cari Susiok-couwmu (Paman Kakek Gurumu), ceritakan semua!” Suma Tiang Bun membentak.
Mendengar ini, Cun Giok tidak berani membantah lagi. Hatinya tidak karuan rasanya karena kalau dia lari, dia dapat menduga bahwa gurunya pasti akan mengalami bencana! Air matanya menetes turun dan pedangnya bergerak cepat sekali menerjang para pengawal yang sudah mulai mengeroyok.
Terdengar teriakan mengaduh dan seorang pengawal melompat mundur dengan wajah pucat. Pangkal lengannya tergores pedang Cun Giok. Ini saja sudah menunjukkan bahwa kepandaian pengawal itu cukup tinggi sehingga serangan nekat dan dahsyat dari Cun Giok tadi hanya dapat menggores kulit pangkal lengannya saja.
“Cun Giok, pergi...!” Suma Tiang Bun membentak lagi dan kakek ini memutar pedangnya sedemikian dahsyatnya sehingga Panglima Kong Tek Kok terkejut dan melompat mundur. Pedang Sinar Emas berkelebat dan seorang pengawal yang mencoba untuk menghadang Cun Giok roboh mandi darah. Selanjutnya Suma Tiang Bun meninggalkan Panglima Kong dan mengamuk, pedangnya menyambar-nyambar para pengawal yang mengeroyok Cun Giok.
Para pengawal terkejut dan terbukalah jalan keluar bagi pemuda itu. Cun Giok maklum akan maksud gurunya. Kakek itu hendak berkorban agar dia dapat selamat dan kelak dapat membalaskan sakit hatinya kepada musuh besar yang amat tangguh itu. Kalau dia teringat betapa gurunya yang juga menjadi ayah angkatnya itu selalu mencintanya, menjadi pengganti ayah bundanya, hampir Cun Giok tidak tega untuk meninggalkannya.
Akan tetapi pemuda ini pun maklum bahwa kalau dia berkeras tidak mau lari, dia dan suhunya pasti akan tewas di situ sehingga dendam yang mendalam terhadap Panglima Kong Tek Kok tidak akan pernah dapat dibalas!
“Selamat tinggal, Suhu! Kelak teecu akan membalaskan sakit hati Suhu!” teriaknya dengan suara mengandung isak, kemudian dia melompat ke atas genteng.
Beberapa sinar meluncur cepat dan terdengar bersiut ketika tiga batang anak panah menyambar dari tangan Panglima Kong Tek Kok ke arah tubuh Cun Giok yang sedang melompat ke atas genteng.
“Cun Giok, awas am-gi (senjata gelap)...!” teriak Suma Tiang Bun sambil menyerang Panglima Kong dengan hebatnya sehingga panglima yang lihai sekali anak panahnya ini tidak sempat menyusulkan anak panah lagi ke arah Cun Giok.
Pada saat itu Cun Giok sedang melompat ke atas genteng. Tubuhnya masih berada di tengah udara ketika tiga batang anak panah itu meluncur cepat ke arahnya. Cun Giok tidak patut menjadi murid Suma Tiang Bun kalau dia tidak tahu akan datangnya bahaya maut dari belakang ini.
Dia mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya yang masih berada di tengah udara itu melakukan gerakan pok-sai (salto) sehingga dia dapat membalikkan kaki ke atas dan kepala di bawah, mukanya kini menghadap ke arah anak panah yang datang menyambar berupa tiga sinar.
Dia berhasil menyampok sebatang anak panah dan mengelak dari anak panah kedua. Akan tetapi dia tidak mengira bahwa Kong Tek Kok luar biasa sekali dalam menyerang dengan anak panahnya. Dia tidak percuma mendapat julukan Si Panah Sakti karena ketika dia meluncurkan tiga batang anak panah tadi, perhitungannya sudah masak betul dan sudah dia perhitungkan bahwa pemuda itu kalau tidak melakukan gerakan mengelak begini tentu begitu dan begitu!
Maka, ketika melepaskan anak panah arahnya sudah dibagi-bagi untuk menghadang semua kemungkinan gerakan pemuda itu dalam usaha menghindarkan diri dari serangan anak panahnya. Anak panah yang ketika dengan amat cepatnya meluncur ke arah dada pemuda itu! Tadinya anak panah ini sama sekali tidak akan mengenai sasaran kalau saja Cun Giok tidak berjungkir balik. Akan tetapi setelah bersalto, anak panah itu tepat menyambar dadanya. Inilah kehebatan ilmu panah dari Panglima Kong Tek Kok.
Bukan main kagetnya Cun Giok. Pemuda ini baiknya memiliki gin-kang yang hampir sempurna. Cepat dia miringkan tubuh dan anak panah yang tadinya akan menancap di dadanya itu kini menancap di pundak kirinya. Biarpun sudah terluka, Cun Giok tetap berhasil sampai di atas genteng dan menghilang dalam kegelapan malam. Para pengawal hendak mengejar, akan tetapi Panglima Kong Tek Kok berseru nyaring.
“Jangan kejar, biarkan anjing kecil itu lari. Yang penting kita basmi anjing besar ini!”
Kong Tek Kok berpikir bahwa Suma Tiang Bun merupakan musuh yang jauh lebih berbahaya dibandingkan pemuda itu. Maka dia mencegah para pengawal melakukan pengejaran terhadap Cun Giok agar mereka dapat membantunya membunuh Suma Tiang Bun yang lihai. Tentu saja hal ini menguntungkan dan menyelamatkan Cun Giok. Andaikata para pengawal terus mengejarnya, dia yang sudah terluka tentu akan sukar untuk meloloskan diri.
Sebaliknya, Suma Tiang Bun kini dikeroyok dan dikepung rapat. Namun, melihat muridnya sudah dapat melarikan diri, kakek ini merasa lega sekali. Dia tertawa bergelak dan memaki-maki Panglima Kong Tek Kok. Pedangnya bergerak laksana halilintar menyambar-nyambar dan dia baru dapat dirobohkan setelah sepuluh orang pengawal roboh dan tewas oleh bacokan dan tusukan Kim-kong-kiam!
Suma Tiang Bun roboh dan tewas sebagai seorang gagah, sebagai seorang pendekar dan pejuang yang mempertahankan kebenaran dan keadilan, juga seorang patriot yang membela tanah air dan bangsa memusuhi penjajah Mongol. Dia tewas di bawah serangan belasan batang pedang dan golok sehingga tubuhnya hancur menjadi onggokan daging berdarah!
********************
Kita kembali menengok keadaan Siang Ni. Sambil menangis tersedu-sedu ia memeluk tubuh ibunya yang sudah dibaringkan di atas tempat tidur dan jenazah ayahnya sudah diangkut ke ruangan lain di mana jenazah itu diurus sebaiknya. Sayup-sayup terdengar suara tangis yang memilukan menerobos celah-celah pintu.
Mendengar suara tangis para ibu tirinya dan para pelayan, Siang Ni menutup pintu kamar ibunya rapat-rapat, kemudian ia kembali menangis dan memeluk tubuh ibunya yang rebah telentang di atas pembaringan dengan mata menatap langit-langit kelambu seperti orang kehilangan akal.
“Ibu... Ibu... ingatlah, Ibu. Siang Ni di sini...” tangis gadis itu sambil merangkul dan menciumi ibunya, membasahi wajah ibunya dengan air matanya. Akan tetapi Pouw Sui Hong hanya bengong saja dan napasnya berat, tubuhnya panas sekali.
Sampai tiga hari tiga malam nyonya itu berada dalam keadaan mengkhawatirkan sekali, tidak sadar akan keadaan di sekelilingnya. Siang Ni menjaga ibunya siang malam, lupa makan dan kalau sudah tak tertahankan lagi kantuknya, ia tertidur di samping ibunya.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali Siang Ni terbangun dari tidurnya yang tak menentu. Ia terbangun karena mendengar suara tangis ibunya. Cepat ia membuka mata dan segera bangkit duduk ketika melihat bahwa yang menangis adalah ibunya yang agaknya telah sadar.
“Ibu...!” Ia merangkul.
“Siang Ni… Anakku...!” Sui Hong berbisik dan kedua orang ibu dan anak itu bertangisan dan berpelukan.
Siang Ni menangis terisak-isak saking terharu dan juga girang mendengar ibunya dapat bicara dan menangis, tanda bahwa ibunya sudah sadar dari keadaan setengah pingsan selama tiga hari tiga malam itu.
“Ibu, ada Siang Ni di sini, di sampingmu. Harap Ibu jangan terlalu berduka.” Gadis itu mencoba untuk menghibur bundanya. “Tentang Ayah...” Ia menggigit bibirnya agar jangan menangis lagi, “harap Ibu tenangkan pikiran. Tidak percuma aku mempelajari ilmu silat semenjak kecil. Aku sudah melihat muka iblis keparat pembunuh Ayah itu, dan hidupku aku takkan melupakan muka itu! Kelak aku pasti akan dapat memenggal lehernya!”
Mendengar ini, isak tangis Sui Hong semakin keras dan tersedu-sedu sehingga Siang Ni menghentikan kata-katanya, dan memeluk ibunya. Pada saat itu, masuklah para ibu tiri Siang Ni dan mereka semua kelihatan berduka, muka pucat dan rambut serta pakaian kusut. Kembali terdengar tangis riuh rendah ketika Sui Hong bertangis-tangisan dengan mereka.
Tangis riuh rendah itu baru berhenti ketika seorang tabib diantar oleh pelayan memasuki kamar. Dengan merasakan denyut nadi tangan, tabib itu memeriksa keadaan Pouw Sui Hong. Dia mengerutkan alis dan menghela napas panjang. Kemudian dia menuliskan resep obat, lalu meninggalkan kamar itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Siang Ni mengejar dan menghentikannya di luar kamar. “Bagaimana keadaan Ibuku?” tanya gadis itu dengan gelisah.
Tabib itu adalah tabib istana yang kepandaiannya tinggi dan dia sudah mengenal Siang Ni. “Ibumu mendapat tekanan batin yang hebat. Jantungnya terguncang, membuat keseimbangan hawa dalam tubuhnya tidak cocok. Sesuatu yang amat mengagetkan telah menyerangnya dan melukai isi dada. Usahakan agar supaya Ibumu dapat bergembira selalu dan tidak teringat akan hal-hal yang menyedihkan.” Setelah berkata demikian, tabib itu berjalan keluar.
Siang Ni berdiri terkesima dengan muka pucat. Bagaimana mungkin ibunya dapat bergembira, bagaimana tidak akan bersedih setelah melihat suaminya dibunuh orang?
Pada sore harinya, biarpun sudah diberi minum obat, keadaan Sui Hong tidak menjadi makin baik. Mukanya pucat, pandang matanya sayu dan napasnya berat. Ia tidak mau berpisah dari Siang Ni, bahkan ia minta agar semua orang meninggalkan kamarnya agar ia dapat berdua saja dengan anaknya.
“Ibu, lekas sembuh, Ibu...” kata Siang Ni sambil membereskan rambut ibunya yang kusut menutupi dahi.
Mendengar kata-kata anaknya, air mata membanjir lagi keluar dan membasahi pipi Pouw Sui Hong. Kedua tangannya memegang lengan anaknya erat-erat, kemudian bibirnya berbisik lirih. “Siang Ni, Ayahmu... Ayahmu...”
Siang Ni memeluk ibunya dan mengeraskan hati agar jangan sampai menangis. “Tenangkan hatimu, Ibu. Mati hidup berada di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Adapun tentang keparat jahanam yang melakukan pembunuhan itu, biar nanti aku yang membalaskan!” Siang Ni mengepal tinjunya yang kecil dan berkulit lembut itu.
“Jangaaann...!”
Siang Ni terkejut sekali. Ibunya mengeluarkan kata-kata itu setengah menjerit dan tubuh ibunya menggigil. Cepat-cepat ia memberi ibunya minum, kemudian setelah tenang kembali, ibunya berkata,
“Siang Ni, jangan engkau memusuhi dia...”
“Dia siapa, Ibu?” tanya Siang Ni halus. Ia tidak berani menduga bahwa yang dimaksudkan oleh ibunya adalah pembunuh ayahnya itu. Hal ini tidak mungkin! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendengar kata-kata ibunya.
“Dia pemuda yang membunuh Ayahmu itu... dia itu tidak bersalah...”
“Apa...?! Apa artinya ini, Ibu?” saking kaget dan herannya, Siang Ni sampai lupa bahwa ibunya sedang sakit dan tidak boleh didesak.
“Dia melakukan pembunuhan dengan maksud untuk membalaskan sakit hati Ibumu...! Dia mengira bahwa Ayahmu telah merusak hidupku, dan mengira bahwa aku telah tewas setelah terjatuh dalam tangan Ayahmu, maka dia sengaja datang untuk membalas dendam...”
Siang Ni membelalakkan kedua matanya, memandang ibunya dengan bingung dan tidak percaya, “Siapakah dia itu, Ibu?” tanyanya, suaranya gemetar.
“Dia adalah saudara misanmu sendiri, dia itu keponakanku. Tidak salah lagi dia tentu putera Paman besarmu Pouw Keng In...”
“Mana mungkin? Menurut cerita Ibu dulu, Paman besarku dan isterinya sudah tewas ketika dikejar pasukan, tewas karena anak panah dan hanyut dalam sungai...” Siang Ni membantah ragu.
“Memang demikianlah. Akan tetapi menurut pengakuan pemuda itu, ibunya selamat dan tertolong, akhirnya melahirkan dia. Dia datang untuk membalas dendam. Dia mendengar bahwa aku, bibinya, terjatuh ke dalam tangan Ayahmu dan dia mengira bahwa aku tewas dianiaya, maka dia datang membunuh Ayahmu untuk membalaskan sakit hatiku...”
Kalau saat itu ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Siang Ni tidak akan begitu kaget seperti ketika mendengar ucapan ibunya itu. Hal ini sungguh tak pernah disangkanya.
“Akan tetapi, Ibu. Siapa tahu kalau dia berbohong?”
Ibunya menggelengkan kepala. “Tidak mungkin dia berbohong. Wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan kakakku Pouw Keng In. Dia pasti putera Paman besarmu, tak salah lagi.”
“Akan tetapi... dia mengaku bernama Suma Cun Giok. Kalau dia anak Paman Pouw Keng In, mengapa dia mempunyai marga Suma?”
Sui Hong menggeleng-gelengkan kepalanya, napasnya semakin berat, wajahnya pucat sekali. Agaknya ia tadi mempergunakan seluruh kekuatannya untuk bicara. “Entahlah... akan tetapi... dia putera Pamanmu, tak salah lagi... jangan engkau memusuhi dia... dia membunuh Ayahmu... untuk membelaku...”
“Akan tetapi Ayah tidak menganiaya Ibu? Ayah seorang yang baik dan menolong Ibu, menyelamatkan Ibu dari tangan seorang panglima yang kejam. Ayah mencinta Ibu! Kalau dia hendak mencari Ibu sebagai Bibinya, mengapa dia tidak menyelidiki secara teliti?”
Kembali Sui Hong menggeleng-gelengkan kepalanya, kini ia memejamkan mata dan tampak gelisah sekali, alisnya berkerut. “Dia... tidak bersalah... Ayahmu tak pernah menolongku... perwira itu... dia menawanku sengaja untuk... diberikan kepada Ayahmu... sebagai... hadiah... Uaagghh...!!” Sui Hong muntahkan darah segar dari mulutnya.
“Ibuuu...!” Siang Ni terkejut bukan main. Darah yang keluar dari mulut ibunya amat banyak, membasahi alas tempat tidur dan baju ibunya, bahkan menodai bajunya sendiri. Akan tetapi gadis itu tidak mempedulikan pakaiannya yang terkena darah. Ia cepat menolong ibunya sambil menangis.
Akan tetapi keadaan Sui Hong payah benar. Ia hampir tidak dapat bicara lagi, napasnya terengah-engah seperti ikan di daratan. Siang Ni menangis terus menjaga ibunya. Pada senja hari itu ibunya membuka mata dan berkata lemah.
“Siang Ni... jangan kau sakit hati kepada... putera Pamanmu itu... dia… dia tidak tahu... akan tetapi bermaksud baik... yang salah adalah... panglima itulah. Dia membasmi keluargaku... dia pula yang... menculikku...” Suara terakhir terdengar amat lemah dan lirih dan agaknya Sui Hong telah menggunakan sisa tenaganya untuk bicara terputus-putus tadi.
“Siapa dia, Ibu? Siapa panglima itu?” Siang Ni bertanya sambil mengepal tinju.
“Dia... dia itu...”
Pada saat itu pintu kamar terbuka dan seorang ibu tiri Siang Ni berkata. “Siang Ni, Panglima Kong Tek Kok datang bersembahyang depan peti mati Ayahmu, engkau wajib mewakili kami membalas penghormatannya. Apalagi dia gurumu!”
Siang Ni menoleh kepada ibu tirinya dengan alis berkerut, kecewa karena kedatangan ibu tirinya itu mengganggu dan memotong keterangan ibunya yang sudah berada di ujung lidah. Kemudian ia memandang ibunya dengan ragu-ragu.
“Tinggalkan sebentar Ibumu, biar aku yang menjaganya,” kata Ibu tirinya.
Memang pada masa itu, amat keras pembatasan hubungan antara pria dan wanita sehingga para isteri Panglima Lu Kok Kong tentu saja tidak boleh menjumpai seorang laki-laki yang datang memberi penghormatan kepada peti jenazah. Hal ini akan dianggap melanggar batas kesopanan.
Oleh karena itu, memandang muka Panglima Kong Tek Kok yang dianggap sebagai tamu terhormat, isteri-isteri Pangeran Lu merasa perlu untuk menyuruh seorang anggota keluarga menyambut dan untuk menyambut Panglima Kong, paling tepat dilakukan oleh Siang Ni, karena gadis ini adalah murid dari panglima itu sendiri.
Siang Ni mencoba sekali lagi untuk mengetahui nama musuh besarnya dari ibunya. Didekatkannya mulutnya di telinga ibunya dan ia bertanya. “Ibu, siapakah dia...?”
Akan tetapi ibunya seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya dan tampaknya telah tertidur pulas.
“Siang Ni, Ibumu perlu istirahat, mengapa engkau malah mengganggunya? Pergilah menyambut penghormatan Panglima Kong. Aku yang menjaga Ibumu!” kata Ibu tirinya...