14: DASAR SUHU BAJINGAN...!
Siang Ni tidak berani membantah, lalu pergi meninggalkan kamar ibunya untuk menjumpai gurunya yang ternyata memang sedang bersembahyang mengangkat hio-swa (dupa biting) membara di depan peti jenazah ayahnya. Para pengiringnya yang terdiri dari para perwira pengawal yang berpakaian indah dan tampak gagah perkasa memberi hormat ke arah peti mati dari jarak jauh, agak di luar.
Siang Ni berlutut di dekat peti mati ayahnya menghadapi gurunya dan membalas penghormatan gurunya sambil berlutut. Ketika Panglima Kong Tek Kok sudah selesai bersembahyang, dia memandang muridnya. Melihat gadis itu berambut kusut, matanya kemerahan dan basah air mata, pakaiannya serba putih amat sederhana, yaitu pakaian berkabung, panglima itu menghela napas panjang.
Tentu saja timbul perasaan iba dalam hatinya terhadap Siang Ni, akan tetapi perasaan kagumnya lebih besar daripada perasaan iba. Ia kagum melihat muridnya sekarang di dalam kesederhanaannya tanpa bedak dan gincu itu bahkan tampak keaslian wajahnya yang jelita dan manis menggairahkan hatinya.
“Siang Ni, apakah engkau sudah mengetahui siapa orangnya yang melakukan pembunuhan keji terhadap mendiang Ayahmu?” tanya Panglima Kong, suaranya tenang tanpa ragu-ragu karena sebagai guru gadis itu dia memang berhak dan sama sekali tidak melanggar kesopanan untuk bicara dengan Siang Ni di mana dan kapan saja.
“Teecu sudah tahu, Suhu. Dia bernama Suma Cun Giok.”
Panglima Kong tercengang. “Bagus kalau engkau sudah tahu. Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Teecu baru pulang dari istana ketika bertemu dengan dia di atas rumah. Sayang teecu datang terlambat...”
“Biarlah, lain kali kita tentu akan dapat membekuknya. Ketahuilah bahwa gurunya yang bernama Suma Tiang Bun telah dapat kutewaskan malam itu. Sayang muridnya yang bernama Suma Cun Giok itu sempat melarikan diri.”
Sunyi sejenak dan Siang Ni menundukkan mukanya. Panglima Kong Tek Kok memandang gadis itu dengan sinar mata mencinta.
“Hemm, jadi Ayahmu terbunuh oleh Suma Cun Giok? Engkau tentu akan membalas sakit hati ini. Sudah menjadi kewajibanmu sebagai puteri Pangeran Lu untuk membalas kematian Ayahmu. Jangan takut, Siang Ni, aku pasti akan membantu membasmi musuh besarmu itu.”
Tak lama kemudian Panglima Kong Tek Kok berpamit dan meninggalkan ruangan itu di mana terdapat banyak tamu yang datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Pangeran Lu Kok Kong.
Siang Ni segera berjalan masuk untuk kembali ke kamar ibunya. Akan tetapi sebelum tiba di kamar itu, tiba-tiba ia mendengar jerit yang disusul oleh tangis. Seketika muka Siang Ni menjadi pucat sekali dan bagaikan terbang ia melompat dan lari memasuki kamar ibunya. Ia berdiri terpukau di ambang pintu dengan sepasang mata terbelalak lebar-lebar melihat tiga orang ibu tirinya memeluk tubuh ibunya sambil memanggil-manggil dan menangis.
“Ibuuuuu...!” Siang Ni menjerit dan menubruk karena ia belum tahu betul apa sebabnya ibu-ibu tirinya menangis.
Ketika ia memeluk ibunya, tahulah ia akan kenyataan yang amat mengerikan hatinya. Ibunya telah berpulang ke alam baka. Ibunya telah wafat! Tiba-tiba tubuh Siang Ni menjadi lemas, seakan-akan semangatnya meninggalkan raganya. Pelukannya terlepas dan ia terkulai, tubuhnya roboh di atas lantai. Pingsan!
********************
Dua tahun kemudian, seorang gadis yang berpakaian serba putih, menunggang seekor kuda, membalapkan kudanya di sepanjang lembah Sungai Huai. Gadis itu berusia sekitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun, wajahnya cantik jelita walaupun tidak berbau bedak dan gincu, namun sayang wajah itu tampak muram dan alisnya berkerut seolah dara muda jelita itu menderita tekanan batin yang membuat ia sedih dan murung.
Sejak pagi tadi ia membalapkan kudanya tanpa mengaso sehingga tubuh kuda itu penuh keringat dan napas kuda itu mulai terengah-engah. Akhirnya, ketika tiba di lereng sebuah bukit, dalam sebuah hutan, kuda itu tidak kuat lagi dan mulai mogok, tidak mau melanjutkan larinya.
“Hayo lari cepat!" Gadis itu membentak sambil menggencet perut kuda dengan kedua kakinya. Wajah yang murung itu kini membayangkan kekerasan hati.
Kuda itu meringkik kesakitan karena gencetan kedua kaki gadis itu amat kuatnya sehingga menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi kuda yang sudah kehabisan tenaga dan napas itu tetap tidak mau bergerak maju.
“Binatang keparat! Kau tetap tidak mau membantuku?” Kembali ia membentak dan sekarang gadis itu melompat turun dan membetot-betot kendali yang mengikat hidung kuda.
Namun kuda itu meringkik-ringkik dan merasa hidungnya sakit, binatang itu mengangkat kedua kaki depan hendak menubruk gadis baju putih itu. Gadis itu berseru marah sekali dan begitu tangannya bergerak dengan cepat, sebatang pedang bersinar keemasan telah berkelebat dan kuda itu roboh berkelojotan sekarat dengan leher hampir putus!
Gadis itu mengerutkan alisnya, membersihkan pedang yang terkena sedikit darah, memasukkannya kembali ke dalam sarung pedang, mengambil buntalan pakaian dari atas sela mayat kuda lalu digendongnya buntalan itu. Untuk beberapa saat ia memandang bangkai kuda, meludah dan berkata,
“Suma Cun Giok, kau tunggu saja! Kalau kita saling bertemu, engkau pasti akan menjadi seperti kuda ini!”
Setelah berkata demikian ia lalu melanjutkan perjalanannya dengan berjalan cepat sekali. Wajahnya murung, matanya sayu dan ia sering menggigit bibirnya sendiri. Terkadang wajah yang membayangkan kekerasan itu berubah tampak berduka sekali, bahkan sepasang mata yang indah bentuknya itu menjadi basah dan kembali ia menggigit bibirnya menahan isak tangis.
Gadis itu bukan lain adalah Lu Siang Ni, puteri mendiang Pangeran Lu Kok Kong. Biarpun oleh ibunya ia telah dipesan agar jangan memusuhi Suma Cun Giok, akan tetapi karena ia tidak tahu siapa adanya panglima yang membasmi keluarga Pouw dan yang menjadi biang keladi sehingga ibunya menikah secara paksa dengan Pangeran Lu, maka ia mencari Suma Cun Giok.
Bagaimanapun juga, Suma Cun Giok yang menyebabkan ibunya mati. Karena pemuda itu membunuh Pangeran Lu Kok Kong, maka ibunya terserang jantungnya sehingga meninggal dunia. Apalagi di sampingnya ada gurunya, Panglima Kong Tek Kok yang setiap hari membakar hatinya dengan kata-kata yang dianggapnya benar.
“Musuh besarmu itu memiliki ilmu silat yang tinggi,” antara lain demikian kata Panglima Kong Tek Kok kepadanya. “Dia adalah murid Suma Tiang Bun yang berhasil kutewaskan dengan bantuan para pengawal. Akan tetapi menurut pesan Suma Tiang Bun yang aku mendengar sendiri sebelum dia tewas, musuhmu itu harus belajar dan memperdalam ilmu silatnya kepada Susiok-couwnya. Kalau aku tidak salah duga, paman guru dari Suma Tiang Bun itu tentu seorang sakti yang bertapa di Pegunungan Ta-pie-san di sebelah selatan Lembah Sungai Huai. Maka, menurut pendapatku, kalau engkau hendak melakukan balas dendam, engkau harus belajar ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Kalau engkau dapat mewarisi seluruh kepandaianku, barulah engkau ada harapan untuk dapat berhasil membalas dendam dan membunuh musuh besarmu itu.”
Ucapan Panglima Kong Tek Kok yang bernada membujuk dan membantunya itu tentu saja berpengaruh terhadap akal pikiran Siang Ni. Dahulu, sikap Panglima Kong wajar sebagaimana sikap seorang guru terhadap muridnya, akan tetapi sekarang sikapnya berbeda jauh.
Dalam memberi pelajaran, sikapnya amat mesra, bahkan kalau memberi petunjuk dan memegang lengan gadis itu, Siang Ni merasakan sesuatu yang tidak semestinya. Akan tetapi gadis itu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk dapat menyerap semua ilmu dan kesaktian Panglima Kong agar kelak dapat membalas dendamnya yang mendalam, maka ia tidak peduli akan sikap gurunya itu.
Hal ini membuat Panglima Kong menjadi semakin berani dan dia sering mencari kesempatan untuk memperlihatkan berahinya pada muridnya itu. Bukan hanya dengan cara latihan silat berdua sehingga mereka seringkali saling bersentuhan. Bahkan dia juga mengajarkan latihan menghimpun tenaga sakti dengan cara-cara yang tidak wajar, misalnya mereka berdua berendam di dalam air waktu tengah malam, tentu saja hanya dengan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang!
Atau mengajarkan ilmu menotok yang lebih dalam sehingga seringkali jari-jari tangannya menotok bagian-bagian tubuh Siang Ni yang seharusnya tidak boleh disentuh tangan laki-laki: Namun semua itu diterima oleh Siang Ni tanpa pernah membantah.
Bagi Siang Ni yang sudah piatu, sebatang kara di dunia ini, sisa hidupnya hanya ditujukan untuk membalas dendam. Membalas dendam kepada Suma Cun Giok dan mencari musuh besar yang dulu membasmi keluarga Pouw!
Untuk dapat melakukan balas dendam ini dengan berhasil, ia harus memiliki kepandaian tinggi dan satu-satunya orang yang dapat menolong dan memberi kepandaian itu hanyalah Panglima Kong Tek Kok. Inilah sebabnya mengapa Siang Ni tidak mempedulikan sikap aneh dari gurunya. Ia seolah terbuai oleh bujukan gurunya yang pandai membujuk dan menasihatinya.
“Siang Ni, muridku yang manis. Mungkin kalau engkau sudah belajar selama dua tahun, menyerap ilmu-ilmu dariku, engkau sudah akan dapat menandingi dan mengalahkan Suma Cun Giok. Akan tetapi kalau pemuda musuh besarmu itu juga memperdalam ilmu silatnya, aku menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga, jangan engkau khawatir, muridku tersayang. Akulah orangnya yang rela membuang nyawa untuk membela dan membantumu. Kalau aku melihat engkau sudah sanggup menerimanya, lweekangmu (tenaga dalammu) sudah cukup kuat, aku akan mewariskan ilmuku yang paling hebat kepadamu, yaitu Siang-mo Kiam-hoat. Akan tetapi tidak boleh terburu-buru, harus menanti saatnya yang baik agar tidak sampai gagal.”
Siang Ni terlalu banyak mencurahkan perasaan dan perhatiannya kepada niatnya membalas dendam sehingga ia kurang waspada akan hal-hal lain. Sikap dan kata-kata gurunya itu ditelan mentah-mentah dengan kepercayaan sepenuhnya. Baginya, di dunia ini hanya tinggal Panglima Kong Tek Kok seorang yang boleh dipercaya dan boleh dijadikan sandaran. Oleh karena itu, ia merasa berterima kasih sekali.
“Teecu hanya mengandalkan bantuan yang berharga dari Suhu yang berhati mulia. Kecuali Suhu, siapa lagi yang boleh teecu harapkan? Sakit hati teecu setinggi langit, apa pun yang terjadi atas diri teecu, teecu bersumpah untuk melaksanakan balas dendam ini, pertama-tama kepada jahanam Suma Cun Giok, kedua kepada si keparat yang telah membasmi keluarga Pouw.”
“Lagi-lagi engkau menyebut-nyebut tentang orang yang membasmi keluarga Pouw. Engkau harus tahu bahwa pada waktu itu sedang kacau balau, pemerintah memang banyak membasmi para pengkhianat dan pemberontak. Para petugas yang membasmi pemberontak-pemberontak itu hanya menjalankan tugas melaksanakan perintah atasan. Jumlah para petugas amat banyak, bagaimana kita bisa mencarinya?”
“Bagaimanapun juga, teecu akan mencari sampai dapat dan membunuhnya!” kata Siang Ni.
Panglima Kong Tek Kok menghela napas panjang, kemudian dia memegang kedua tangan muridnya yang berkulit halus dan berkata dengan nada suara menghibur dan menyayang.
“Tenangkan hatimu, sayang. Akulah yang akan membantumu, Siang Ni. Sudah kukatakan berkali-kali, biarpun aku harus mempertaruhkan nyawaku, aku rela membelamu. Engkau amat baik terhadap aku, amat manis, dan aku sungguh sangat menyayangi dan mengasihimu, maka aku harus membalas sikapmu yang penurut, taat, dan menyayang kepada gurumu ini...”
Manusia seringkali terperosok ke dalam lembah dosa karena pengaruh nafsu yang selalu hendak mengejar sesuatu yang terkadang diberi nama indah seperti cita-cita dan tujuan. Pengejaran inilah yang menjerumuskan kita. Kalau nafsu keinginan memperoleh apa yang kita kejar itu telah mencengkeram kita, maka kita akan lupa diri, terbujuk iblis sehingga pengejaran demi mencapai tujuan itu menghalalkan segala cara! Kita lupa bahwa yang terpenting justeru caranya, bukan tujuannya.
Demikian pula dengan Siang Ni. Nafsu dendamnya untuk dapat membalas kepada musuhnya sedemikian besarnya sehingga ia tidak peduli lagi akan segala apa. Ditambah bujuk rayu Panglima Kong Tek Kok yang berpengalaman, akhirnya gadis itu tergelincir!
Bahkan akhirnya untuk dapat mewarisi ilmu pedang yang paling diandalkan oleh gurunya, yang seolah menjual mahal ilmu itu, yaitu Siang-mo Kiam-hoat, Siang Ni rela menyerahkan dirinya dijadikan permainan dan pemuas nafsu berahi gurunya sendiri!
Setelah ilmu pedang Siang-mo Kiam-hoat itu ia dapatkan dan ia kuasai, barulah Siang Ni sadar akan besarnya pengorbanan yang telah ia berikan. Namun segalanya telah terjadi, yang tinggal hanya penyesalan. Maka, pada suatu malam, Siang Ni minggat meninggalkan Panglima Kong. Ia pergi tanpa memberitahu, membawa segala macam ilmu yang ia pelajari dari Panglima Kong Tek Kok selama dua tahun, membawa puIa pedang Kim-kong-kiam yang dulu dirampas Panglima Kong dari tangan Suma Tiang Bun, juga membawa pula aib yang menimpa dirinya!
Noda yang kini terasa amat melukai hatinya, yang ia terima dengan hati berdarah namun dengan ketabahan yang luar biasa, yang ia anggap sebagai pengorbanan ke arah tercapainya cita-cita tunggalnya, yaitu membalas dendam! Gadis ini telah dirusak oleh iblis yang berupa nafsu dendam kebencian karena sakit hatinya sehingga matanya tertutup tidak dapat melihat dan mempertimbangkan hal-hal lain lagi. Bagi Siang Ni, biarpun sebelah lengannya dipotong ia akan rela asalkan mendapat janji bahwa pengorbanan itu akan membuat balas dendamnya berhasil.
Demikianlah, pada siang hari itu, dengan menunggang seekor kuda Siang Ni tiba di Lembah Sungai Huai. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ia membunuh kudanya yang mogok karena kelelahan. Ia ingin cepat-cepat tiba di Pegunungan Ta-pie-san. Ingin cepat dapat bertemu muka dengan Suma Cun Giok agar dapat membalas dendam atas kematian ayah ibunya. Maka ia marah dan menganggap kuda itu menghalangi niatnya membalas dendam ketika kuda itu mogok lalu membunuhnya!
Seorang pengejar cita-cita yang sudah dipengaruhi nafsunya tentu akan menendang dan menyingkirkan siapa saja yang dianggap menghalangi pengejaran cita-citanya! Setelah membunuh kudanya yang merupakan bukti bahwa gadis itu telah dikuasai nafsu kebencian yang membuatnya dapat bertindak kejam, Siang Ni melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Dari wajahnya yang tidak dirias namun tetap tampak cantik jelita itu dapat dilihat bayangan bermacam-macam perasaan. Terkadang ia seperti orang marah dan wajahnya menjadi keras dan kejam kalau ia teringat akan musuh besar dan terbayang akan keadaan ayah ibunya yang telah mati. Agaknya ia akan tega menyembelih leher musuh besarnya dan ia akan suka minum darahnya, makan dagingnya untuk melampiaskan nafsu dendam sakit hatinya!
Di saat lain, wajahnya membayangkan kedukaan yang mendalam kalau ia teringat akan keadaan dirinya, sebatang kara, yatim piatu, apalagi kalau ia teringat akan pengorbanan yang telah ia berikan untuk dapat mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi dari Panglima Kong Tek Kok. Ia sama sekali tidak mau membayangkan peristiwa itu, bahkan ia selalu mengusir cepat-cepat setiap kali bayangan wajah gurunya itu muncul di dalam ingatannya.
Bayangan wajah Panglima Kong Tek Kok selalu menimbulkan rasa muak dan sebal, dan biarpun ia tidak mengakui dengan kata-kata, bahkan selalu menolak pikirannya sendiri, namun di dasar hatinya terdapat perasaan benci yang hebat terhadap Panglima Kong Tek Kok, gurunya yang telah menodai dan mempermainkan dirinya itu. Akan tetapi Siang Ni tidak mau mengenang hal itu lebih jauh.
Setiap kali kenangan itu datang, diusirnya seperti orang mencampakkan atau membuang sesuatu yang menjijikkan. Ia menganggap peristiwa itu seperti sebuah mimpi buruk yang sudah lewat, yang tidak perlu ia pikirkan lagi karena seluruh pikirannya kini ditujukan hanya kepada satu niat, yaitu mencari, menemukan dan membunuh Suma Cun Giok!
Siang Ni melanjutkan perjalanannya menuju Ta-pie-san. Dahulu gurunya mengatakan bahwa Suma Cun Giok akan belajar silat lagi kepada paman-kakek gurunya yang bertapa di pegunungan itu. Maka dengan nekat dan untung-untungan ia tidak mempedulikan jarak jauh, melakukan perjalanan ke Ta-pie-san mencari Suma Cun Giok.
Dengan ilmunya yang kini meningkat tinggi setelah selama dua tahun ia memperdalam di bawah bimbingan Panglima Kong Tek Kok, ia berlari cepat sekali. Dalam usaha mencari musuh besarnya, Siang Ni melupakan segala, lupa dan tidak mengenal lelah, sedikit sekali memperhatikan kepentingan diri sendiri. Ia baru tidur kalau matanya sudah tidak kuat menahan kantuk, tidur asal menggeletak di mana saja. Ia baru makan kalau tubuhnya sudah gemetar dan perutnya sudah menggeliat-geliat kelaparan, juga makan apa saja yang dapat dimakan asal mengenyangkan perutnya.
Patut dikasihani nasib Siang Ni, seorang puteri bangsawan, anak tunggal seorang pangeran yang tadinya selalu hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, dimanja dan selalu penuh kesenangan. Akan tetapi sekarang hidup sengsara, yatim-piatu, bahkan ia telah terhina dan ternoda oleh gurunya sendiri. Ia merasa dirinya kotor, hina dina, tertimpa aib yang membuat ia kehilangan harga dirinya. Di samping semua kegetiran itu, hatinya panas membara dengan dendam. Ia harus membalas kematian ayahnya yang terbunuh oleh Pouw Cun Giok!
Setibanya di Puncak Ta-pie-san, Siang Ni bertemu dengan seorang kakek tua yang sedang mengumpulkan ranting dan kayu kering di bawah pohon-pohon. Kakek ini berpakaian sederhana sekali, seperti seorang kakek dusun yang miskin. Siang Ni menghampiri dan bertanya dengan lembut.
“Maaf, Lopek. Aku mohon pertolonganmu.”
Kakek itu yang tadinya membungkuk untuk memunguti kayu bakar, berdiri dan tubuhnya kurus kering, punggungnya agak bongkok. Ditatapnya wajah Siang Ni dan sinar keheranan membayang di wajahnya yang penuh keriput.
“Bagaimana seorang tua bangka macam aku dapat menolong seorang muda seperti engkau, Nona?”
Siang Ni tersenyum kecil. Kelakar kakek itu menyenangkan hatinya. “Aku hanya mohon keteranganmu, Lopek. Apakah di pucak Bukit Ta-pie-san sini terdapat seorang pertapa yang sakti?”
“Pertapa sakti? Siapa namanya?”
“Aku tidak tahu namanya, Lopek. Hanya aku mencari seorang pertapa sakti yang tinggal di puncak Ta-pie-san. Adakah pertapa sakti di sekitar tempat ini?”
“Di sini tidak ada pertapa sakti,” kakek itu menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ada juga kutahu seorang tua bangka, boleh kau sebut dia pertapa, akan tetapi sama sekali tidak sakti. Bahkan dia itu seorang pertapa tolol, bodoh dan tidak mempunyai kepandaian apa-apa.”
Siang Ni mengerutkan alisnya. Apakah sia-sia saja ia datang dari jauh ke tempat ini? “Di mana rumah pertapa itu, Lopek?” Ia harus menyelidiki dulu sebelum turun gunung dengan tangan hampa.
Kakek itu mengumpulkan lagi kayu bakar sambil bersungut-sungut. “Pertapa tolol dicari, mau apa sih? Mau tahu rumah pertapa bodoh itu? Nah, itu di sana, di bawah kelompok pohon cemara itu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu kembali membungkuk dan memunguti ranting dan daun kering, tidak memperhatikan lagi kepada gadis yang masih berdiri di situ.
Siang Ni maklum bahwa kakek itu tidak mau diganggu lagi. Ia mengerti pula bahwa orang-orang yang tinggal di tempat sunyi terpencil seperti ini memang aneh-aneh wataknya.
“Terima kasih, Lopek,” katanya sambil memberi hormat kepada kakek itu. Kemudian dengan langkah lebar dan pengerahan ilmu berlari cepat, ia mendaki puncak menuju ke tempat yang ditunjuk oleh kakek dusun tadi. Ketika ia menoleh, ia melihat kakek itu masih memunguti bahan bakar sambil bersungut-sungut...