15: PENGEJARAN TERHADAP PEMBUNUH AYAH
SETELAH tiba di puncak sebelah barat, benar saja ia melihat sebuah pondok bambu reyot (lapuk) berdiri miring di bawah sekelompok pohon cemara. Bukan main indahnya pemandangan alam di tempat itu. Daerah pegunungan terbentang luas di sekelilingnya, merupakan pemandangan alam yang beraneka ragam dan warna, dilatar belakangi warna hijau yang menyejukkan pandang mata.
Terdengar suara gemerisik ketika angin membelai daun-daun cemara yang menimbulkan suara gemerisik lirih dan halus sekali seperti bidadari-bidadari berbisik lembut di dekat telinganya. Hawanya sejuk dan segar dan udara yang dihisapnya amat bersih dan menyegarkan.
Siang Ni berdiri di depan pondok bambu lapuk itu, tidak berani lancang melongok ke dalam. Dari luar ia berseru. “Teecu (murid) Lu Siang Ni yang muda dan bodoh mohon diberi ijin menghadap Lo-cianpwe yang mulia di dalam pondok!”
Gadis ini sudah memiliki pengalaman cara bergaul dengan orang-orang gagah dunia persilatan, maka ia tahu akan peraturan di dunia kang-ouw dan tahu pula akan bagaimana sikap yang baik menghadap seorang pertapa yang dihormati. Biarpun kakek dusun tadi mengatakan bahwa penghuni pondok itu hanya seorang pertapa tolol, namun ia tidak mau bersikap lancang dan kurang hormat.
Orang-orang di dunia kang-ouw (dunia persilatan) banyak yang aneh sikapnya, aneh dan terkadang di luar dugaan sama sekali. Sampai lama ucapannya tadi tidak terjawab. Kemudian, setelah hampir habis kesabaran gadis itu, terdengar suara dari dalam pondok.
“Pondokku tidak berpintu, masuklah!”
Siang Ni memasuki pondok lewat lubang yang tidak berdaun pintu. Ternyata pondok itu hanya mempunyai satu ruangan kecil tanpa kamar, tanpa pintu dan tanpa jendela sehingga cuaca di dalamnya remang-remang. Di dalam pondok tidak terdapat perabotan kecuali sebuah dipan bambu yang diduduki seorang kakek yang bersila dan tak bergerak seperti sebuah patung.
Setelah pandang matanya terbiasa dalam keadaan remang-remang itu dan Siang Ni dapat melihat kakek itu dengan lebih jelas, ia terkejut bukan main. Kakek itu ternyata adalah kakek dusun yang tadi mengumpulkan kayu ranting kering dan yang ia tanyai!
Siang Ni terkejut karena bagaimana mungkin kakek itu sudah duduk di dalam pondok? Bilakah kakek itu tiba di situ. Padahal tadi ia melakukan pendakian dengan ilmu berlari cepat. Andaikata kakek ini berlari cepat melampauinya, mengapa ia tidak melihatnya? Saking kagetnya Siang Ni hanya berdiri termangu-mangu tanpa dapat mengeluarkan suara.
“Mengapa engkau bengong saja? Apa keperluanmu mencari pertapa tolol di puncak Ta-pie-san?” terdengar kakek itu bertanya, suaranya terdengar tidak senang karena hidupnya yang biasanya selalu tenang dan damai itu kini terganggu.
Dia maklum bahwa setiap kali ada orang dunia ramai datang ke situ, berarti akan datang pula gangguan dalam hidupnya. Apalagi yang datang sekarang adalah seorang gadis muda dan cantik yang tampaknya penuh dengan nafsu amarah di samping ada tanda bahwa gadis itu menderita batin yang hebat.
Mendengar pertanyaan itu barulah Siang Ni sadar dari lamunannya karena terkejut dan heran tadi. Dengan hormat ia menjura dan berkata,
“Harap Lo-cianpwe memberi maaf sebanyaknya kalau aku yang muda datang mengganggu. Sebenarnya kedatanganku ini untuk mencari seorang pemuda yang bernama Suma Cun Giok.”
Kakek yang tadinya menundukkan muka itu kini mengangkat alisnya dan sepasang matanya bagaikan kilat menyambar ke arah wajah Siang Ni. “Engkau mencari Suma Cun Giok untuk apakah?”
“Mau kubunuh mampus!” kata Siang Ni dengan tabah dan terus terang.
Kakek itu mengangkat muka, menatap wajah gadis itu sepenuhnya lalu dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Engkau jujur! Akan tetapi, mengapa engkau mencarinya di sini? Dan mengapa pula engkau hendak membunuh orang?”
“Karena aku mendengar bahwa Suma Cun Giok belajar silat pada Susiok-couwnya (Paman kakek-gurunya) yang tidak kuketahui namanya. Aku hanya mendengar bahwa susiok-couwnya itu mungkin tinggal di puncak ini. Adapun tentang mengapa aku hendak membunuhnya, karena dia juga telah membunuh ayah ibuku!”
“Aku tidak percaya Cun Giok melakukan hal itu!” kata kakek itu tegas.
“Mengapa tidak percaya? Kenalkan Lo-cianpwe padanya?”
“Tentu saja! Akulah Susiok-couwnya yang kau sebut-sebut tadi. Aku yang mengajar dia sampai hampir dua tahun di tempat ini. Aku tahu bagaimana wataknya, maka aku tidak percaya bahwa dia telah membunuh ayah bundamu.”
Berdebar rasa hati Siang Ni. Tak disangkanya bahwa kakek inilah guru besar dari pemuda yang menjadi musuh besarnya itu. Tidak mengherankan kalau kakek ini demikian lihainya. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa takut.
“Tidak ada guru di dunia ini yang tidak membela muridnya. Betapapun bodohnya aku, belum begitu gila untuk menuduh orang membunuh ayah bundaku kalau tidak terbukti. Suma Cun Giok telah membunuh ayahku, Pangeran Lu Kok Kong, dan ibuku meninggal dunia saking kaget dan sedihnya. Bukankah itu berarti bahwa Suma Cun Giok telah membunuh ayah ibuku?”
Kakek itu tampak terkejut. “Ah, jadi engkau puteri seorang pangeran?” Dia memandang penuh perhatian dan kelihatan kagum sekali. “Sebagai puteri seorang pangeran engkau sampai bersengsara mencari musuh besar hendak membalas dendam, benar-benar engkau seorang yang u-hauw (berbakti)!”
“Lo-cianpwe, di mana adanya musuh besarku itu? Kalau Lo-cianpwe sudah tahu bahwa ayah bundaku terbunuh olehnya, tentu Lo-cianpwe tidak keberatan memberitahu padaku di mana dia berada.”
Kakek itu menarik napas panjang. “Aahhh, dendam-mendendam, balas-membalas, pembalasan dibalas dengan lain pembalasan! Ikatan karma makin membelenggu erat dan selamanya tidak akan terbebas. Ah, manusia memang buta, tidak sadar apa yang dilakukannya, menurutkan hawa nafsu belaka. Nona, Suma Cun Giok membunuh ayahmu untuk membalas dendam, sekarang engkau mencarinya untuk membalas dendam dan membunuhnya pula. Seyogianya aku tidak memberitahu kepadamu di mana adanya pemuda itu. Akan tetapi karena engkau begini jujur dan juga berbakti, aku tidak tega. Cun Giok sudah tiga bulan yang lalu turun gunung, pergi ke So-couw mengunjungi makam orang tuanya, dan menurut pengakuannya, dari So-couw dia akan ke kota raja. Kalau sekarang engkau pergi ke So-couw, lalu kalau dia tidak dapat kautemukan di sana, engkau langsung pergi ke kota raja, kiranya engkau akan dapat bertemu dengan dia.”
Siang Ni menjura penuh hormat. “Lo-cianpwe, engkau seorang pertapa sakti yang berhati mulia. Terima kasih!”
Siang Ni hendak pergi, akan tetapi kakek itu berkata. “Nona, engkau seorang gadis yang baik, sayang kalau engkau lanjutkan keinginanmu menuruti nafsumu membalas dendam. Aku akan merasa berbahagia sekiranya engkau dapat mengubah kehendakmu itu. Pula, perlu kuberitahukan padamu bahwa kepandaianmu masih jauh untuk dapat mengalahkan Cun Giok.”
Akan tetapi mana mau Siang Ni mendengarkan omongan itu? Tanpa berkata sesuatu ia sudah berlari cepat meninggalkan Ta-pie-san. Ia percaya penuh keterangan kakek tadi maka ia segera mengarahkan perjalanannya ke So-couw.
Memang sejak ia mendengar bahwa keluarga ibunya berasal dari So-couw, hatinya ingin sekali berkunjung ke sana untuk melihat kota kelahiran atau kampung halaman ibunya. Akan tetapi sayang, belum juga keinginannya itu dilaksanakan, ibu dan ayahnya telah tewas dengan cara yang amat menyedihkan. Sekarang ia pergi ke So-couw bukan untuk melihat-lihat tempat kelahiran ibunya, melainkan untuk mencari musuh besarnya, membalas dendam kematian ayah bundanya.
Dalam perjalanan itu ia seringkali termenung. Ia teringat akan penjelasan mendiang ibunya bahwa Suma Cun Giok adalah kakak misannya! Ah, kalau saja dia benar kakak misannya, kalau saja tidak ada urusan dendam sakit hati terhadap pemuda itu, alangkah akan terhibur hatinya untuk mengunjungi kakak misannya dan bersama-sama mencari sanak keluarga ibunya!
Adapun sanak keluarga dari pihak ayahnya memang banyak sekali, semuanya bangsawan di kota raja. Akan tetapi ia adalah anak dari selir yang paling muda, maka ketika ayahnya masih hidup saja ia merasa dipandang rendah. Apalagi sekarang ayahnya telah meninggal dunia, ia tentu tidak akan diakui oleh keluarga pihak ayahnya. Ia pun akan merasa senang dan bangga sekali mempunyai seorang kakak misan yang tampan dan gagah perkasa!
Akan tetapi kalau ia teringat betapa pemuda yang bernama Suma Cun Giok itu telah membunuh ayahnya sehingga ibunya juga meninggal dunia saking duka, bahkan yang mengakibatkan ia menjadi yatim piatu, sebatang kara, menderita tekanan batin, sengsara dan bahkan telah mengorbankan kehormatan dirinya dinodai gurunya agar dapat melaksanakan cita-citanya membalas dendam, semua ini membuat ia merasa amat benci kepada pemuda itu!
“Aku akan membunuhnya! Aku akan memenggal batang lehernya seperti yang dia lakukan terhadap ayahku!” bisik suara hatinya dengan marah. “Kemudian aku akan mencari si keparat pembunuh keluarga ibuku. Setelah itu... setelah itu... tiada gunanya lagi aku hidup, lebih baik aku menyusul Ayah dan Ibu...”
********************
Kota So-couw yang terletak di sebelah barat Terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, kota yang berada di perbatasan antara Propinsi Kiang-si dan An-hui, makin ramai saja. Perdagangan di tempat itu berkembang karena kota ini merupakan kota hidup yang menghubungkan daerah antara dua propinsi itu dan menjadi pusat perdagangan.
Tidak mengherankan kalau kota ini menjadi makmur karena perdagangan hidup subur. Toko-toko besar dibuka siang malam. Rumah-rumah penginapan dan restoran-restoran yang besar dan mewah selalu penuh tamu. Perdagangan yang subur menawarkan penampungan tenaga kerja yang luas sehingga rakyat kecil pun dapat memperoleh penghasilan yang memadai.
Kemakmuran yang merata dalam arti kata tidak ada rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, kurang sandang pangan dan papan, dapat menjadi kenyataan apabila ada kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat yang terbagi dua menjadi si pemilik modal kerja dan si pemilik tenaga kerja.
Pemerintah berkewajiban memperhatikan nasib si pemilik tenaga kerja, melindungi dan membelanya agar hasil perolehan dari tenaga mereka dihargai dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, akan tetapi tanpa menekan dan menindas si pemilik modal kerja!
Diatur kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga pemilik modal bergantung kepada pemilik tenaga, demikian pula sebaliknya. Si pemilik modal mengeluarkan uangnya untuk membuka perusahaan sehingga dapat menampung tenaga kerja dan si tenaga kerja mengeluarkan tenaga dan keahliannya untuk memutar jalannya roda perusahaan.
Perlu bantuan pengaruh pemerintah agar si pemilik modal tidak mementingkan keuntungan pribadi belaka, melainkan harus membagi keuntungan perusahaannya dalam bentuk upah yang mencukupi kebutuhan umum si tenaga kerja.
Sebaliknya si tenaga kerja tidak hanya menuntut dipenuhinya upah yang cukup, akan tetapi juga harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk bekerja dengan setia dan jujur. Dengan cara 'memberi dan menerima' semua pihak ini, bukan lamunan kosong lagi kata 'makmur' bagi seluruh rakyat.
Setelah melakukan perjalanan sebulan lebih, barulah Siang Ni tiba di kota So-couw. Di sepanjang perjalanan, gadis itu banyak mendengar tentang seorang pendekar muda di dunia kang-ouw yang melakukan banyak hal yang menggemparkan. Orang-orang tidak mengetahui nama pendekar ini, hanya nama julukan pendekar itu yang dikenal orang, yaitu Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan).
Julukan ini diberikan orang kepadanya untuk menyatakan kekaguman orang terhadap pendekar ini yang amat luar biasa sehingga seolah dia tidak memiliki bayangan saking cepat gerakannya. Pendekar muda ini, dengan beraninya, seorang diri, mengobrak-abrik sarang penyamun, mendatangi hartawan-hartawan pelit dan pembesar-pembesar lalim, mengambil sebagian harta mereka dan memberi ancaman yang mengerikan.
Pada malam itu juga, ketika hartawan atau bangsawan kehilangan sebagian harta mereka, di dusun-dusun dan tempat-tempat kumuh tempat tinggal mereka yang menderita sengsara, para penduduk miskin itu menemukan emas dan perak yang secara aneh jatuh dari atap sehingga mereka yang sengsara itu mendapat hiburan besar. Yang sakit dapat membeli obat, yang kelaparan dapat membeli makanan, yang tercekik hutang berbunga berat dapat membayar hutangnya!
Seorang hartawan atau bangsawan marah-marah karena sebagian kecil hartanya lenyap, akan tetapi pada saat yang sama, puluhan keluarga miskin merasa tertolong dan bergembira. Seorang hartawan atau bangsawan memaki dan menyumpahi Bu-eng-cu, akan tetapi puluhan keluarga memuji dan mendoakan panjang umur bagi Si Tanpa Bayangan!
Baik hartawan atau bangsawan itu, maupun puluhan keluarga si miskin, sama sekali tidak melihat orangnya, hanya tampak bayangan berkelebat lalu lenyap! Karena kecepatan gerakan yang menandakan bahwa pendekar itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat tinggi tingkatnya, maka dia diberi julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan.
Diam-diam Siang Ni merasa kagum mendengar akan nama besar Bu-eng-cu yang baru muncul di dunia kang-ouw namun sudah amat terkenal itu.
“Kalau saja aku tidak mempunyai tugas penting yang harus kulakukan, aku akan suka sekali mencari dan berkenalan dengan Bu-eng-cu dan kalau mungkin bekerja sama dengan dia melakukan tugas sebagai pendekar sejati!” pikirnya.
Akan tetapi pikirannya itu hanya mendatangkan kesedihan belaka karena kembali ia diingatkan akan keadaannya yang tidak memungkinkan ia hidup bahagia lagi. Sebatang kara, ternoda, aib melumuri dirinya. Tidak ada harapan untuk dapat hidup berbahagia lebih lama lagi!
Setelah berada di So-couw, Siang Ni teringat kembali akan cerita mendiang ibunya. Ia harus mencari manusia berwatak binatang bernama Can Sui itu, yang dahulu menjadi pengkhianat dan yang menyebabkan kehancuran keluarga ibunya.
“Aku harus mencari si jahanam Can Sui!” katanya dalam hati, penuh dendam.
Siang Ni menyewa sebuah kamar dalam rumah penginapan yang besar. Dipilihnya sebuah kamar di ujung paling belakang. Kemudian ia mulai dengan penyelidikannya, mencari keterangan tentang seorang bernama Can Sui. Akan tetapi, kota So-couw adalah sebuah kota besar dan amat sukar mencari seseorang tanpa mengetahui di mana dia tinggal.
Sampai sehari penuh mencari keterangan, belum juga ia menemukan jawaban di mana adanya orang yang dicarinya itu. Dengan hati mengkal ia hendak kembali ke rumah penginapan. Akan tetapi tiba-tiba timbul keinginan di dalam hatinya untuk mengetahui di mana gerangan dahulu ibunya tinggal. Maka ia lalu mencari keterangan tentang bekas rumah tinggal keluarga Pouw yang dua puluh tahun lalu terbasmi habis oleh pasukan kerajaan.
Setelah bertanya sana-sini tanpa mendapat jawaban pasti, Siang Ni duduk di rumah makan depan rumah penginapannya untuk makan. Sejak pagi ia belum makan dan perutnya terasa lapar. Seorang pelayan restoran melayaninya. Pelayan itu berusia sekitar limapuluh tahun dan begitu berhadapan dengan Siang Ni, dia menatap wajah gadis itu dengan penuh keheranan karena bagi dia, wajah gadis yang cantik itu terasa tidak asing!
Akan tetapi dia merasa belum pernah berkenalan dengan gadis ini, maka dia segera menundukkan muka dan melayaninya dengan hormat. Setelah selesai makan dan membayar harga makanan, secara sambil lalu ia bertanya kepada pelayan.
“Lopek, apakah engkau mengetahui di mana rumah bekas tempat tinggal keluarga Pouw yang sekitar duapuluh tahun lalu terbasmi oleh pasukan pemerintah?”
Kakek itu memandang dengan mata terbelalak. “Nona, di So-couw terdapat banyak pemandangan indah. Nona tentu seorang dari luar kota, mengapa Nona mencari tempat bekas gedung keluarga yang gagah berani akan tetapi yang bernasib buruk itu?” Di dalam suara kakek itu terkandung keharuan besar, membuat Siang Ni tertarik sekali.
“Lopek, karena sudah lama mendengar akan kegagahan keluarga Pouw itu yang membuat aku merasa kagum sekali, maka aku ingin melihat rumah bekas tempat tinggal mereka, sungguhpun hanya merupakan bekas-bekasnya saja,” jawab Siang Ni dengan menekan perasaan harunya.
Kakek itu membersihkan meja di depan Siang Ni dengan kain yang selalu dibawanya dan dia berkata dengan suara serius. “Kebetulan sekali Nona bertanya kepadaku. Akulah orangnya yang akan dapat memberi keterangan lengkap tentang keluarga Pouw, karena aku dahulu menjadi pelayan di gedung mereka.” Kemudian disambungnya lirih, “Dan hanya aku seorang yang berhasil melarikan diri dan lolos dari bencana yang menimpa keluarga itu.”
Hati Siang Ni berdebar tegang. Setelah mencari ke mana-mana tanpa mendapat jawaban tepat, kini secara iseng-iseng ia bertanya kepada orang yang ternyata bekas pelayan keluarga ibunya! Cepat ia mengeluarkan sepotong uang emas dan diberikannya kepada kakek itu.
“Lopek, tolong kau tunjukkan kepadaku bekas tempat itu. Ini uang untukmu.”
Melihat hadiah sebesar itu, Si Kakek Pelayan membungkuk-bungkuk berterima kasih dengan perasaan girang dan heran, lalu dia menyimpan uang itu dalam saku bajunya dan cepat memberitahu kawan-kawan sekerjanya bahwa dia akan keluar sebentar mengantar tamu wanita itu. Maka keluarlah Siang Ni mengikuti kakek itu dari rumah makan...