20: PERTOLONGAN PEK-HWA SIANLI
“Biarlah aku tidur di lantai saja, Nona. Aku tidak berani tidur di pembaringanmu.”
“Hemm, mengapa tidak berani? Aku yang menyuruhmu tidur di pembaringan dan aku akan menemanimu!”
Cun Giok membelalakkan matanya ketika dia memandang gadis itu. Tidak salahkah pendengarannya? Gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun ini akan menemaninya tidur sepembaringan! Tentu ia main-main atau mengejek. Akan tetapi ketika dia memandang wajahnya, gadis itu bersungguh-sungguh dan sepasang matanya memandang kepadanya dengan tajam penuh selidik.
“Tidak, Nona!” katanya tegas. “Aku tidak mau tidur di sana, aku tidur di lantai atau di luar kamar ini saja!”
“Hemm, apakah engkau menganggap aku kurang cantik dan tidak menarik sehingga engkau tidak mau tidur sepembaringan denganku?” tanya gadis itu, akan tetapi biarpun pertanyaannya itu seolah mengandung ajakan, namun sikapnya biasa saja, bahkan suaranya dingin, sama sekali bukan wajah seorang gadis yang genit atau mengandung bujuk rayu.
“Bukan begitu, Nona. Akan tetapi bagaimana aku berani bersikap tidak sopan dan tidak pantas terhadap seorang gadis yang telah menolongku? Bahkan andaikata Nona tidak telah begitu baik menolong aku pun, aku tidak berani kurang ajar tinggal sekamar dengan seorang gadis, apalagi tinggal dan tidur sepembaringan.”
Cun Giok yang tiba-tiba merasa lemas dan lelah telah berdiri dan bicara agak lama, lalu duduk di atas lantai, kemudian merebahkan diri di lantai!
“Ah, maaf, kepalaku pening dan tubuhku lemas, biar aku rebah di sini saja.”
“Hemm, apa kata orang kalau mendengar aku membiarkan tamuku tidur di lantai?” Gadis itu lalu berkata dengan suara memerintah. “Hayo bangkitlah dan pindahlah tidur di pembaringan itu!” Ia menuding ke arah pembaringan yang berada di sudut kamar.
Cun Giok berkeras menolak. “Tidak, Nona. Aku tidak berani tidur di pembaringanmu!”
“Tolol kau! Kau kira kami hanya memiliki sebuah kamar tidur ini? Dan apa kaukira aku sudi tidur dengan seorang laki-laki? Hayo engkau tidur di sana, aku masih memiliki banyak kamar yang lebih bagus dari kamar ini!”
Mendengar ini, Cun Giok bangkit duduk dan memandang wajah yang tampak semakin menarik karena kedua pipi itu kemerahan, agaknya ia marah. “Benarkah itu, nona?”
“Aku bukan pembohong!” bentak gadis itu.
Cun Giok bangkit berdiri lalu melangkah perlahan ke arah pembaringan yang lebih besar dan lebih mewah daripada pembaringan di mana dia tidur, yang kini telah patah-patah. Dia duduk di tepi pembaringan itu, merasa sungkan sekali.
Seorang pelayan wanita yang masih muda dan berwajah manis mengetuk daun pintu kamar yang terbuka. Setelah gadis itu menoleh dan mengangguk, ia masuk membawa sebuah baki (talam) terisi sebuah mangkok, sebuah cawan dan poci teh. Dengan cermat dan lembut ia menata mangkok, cawan dan poci itu ke atas meja. Setelah selesai menata semua itu, ia keluar lagi sambil memberi hormat dengan membungkuk kepada gadis itu.
Gadis itu mengambil mangkok yang terisi cairan berwarna coklat, yaitu air rebusan obat dan membawanya kepada Cun Giok. “Duduklah dan minum obat ini sampai habis.” katanya.
Cun Giok kini dapat menduga bahwa gadis ini ingin menolongnya dan wataknya keras dan galak. Dia tidak bertanya atau membantah, lalu bangkit duduk dan menerima mangkok itu lalu diminumnya air obat itu sampai habis.
“Sekarang telan tiga butir pel ini. Jangan memandang remeh pel ini. Ini adalah obat istimewa dari Ayah yang diberikan untukmu. Telanlah, kuambilkan air teh.” Ia membawa mangkok kosong ke meja dan menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan lalu membawanya kepada Cun Giok.
Dengan taat Cun Giok menelan tiga butir pel merah itu. Bau amis menyengat hidungnya dan tiga butir pel itu setelah memasuki lambungnya, seolah berubah menjadi hawa panas yang membuat jantungnya berdenyut keras dan debar jantungnya terasa sampai ke jari kaki dan ke ubun-ubun kepala. Dia menjadi pening dan dia lalu merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan, memejamkan mata dengan hati pasrah.
Dia yakin bahwa gadis itu tidak meracuninya, karena kalau hanya untuk dibunuh, mengapa susah-susah membawanya ke sini dan merawatnya? Akhirnya dia tertidur pulas tanpa disadarinya, seperti orang terbius! Dan memang obat yang diminumkan tadi mengandung pembius agar Cun Giok dapat beristirahat dengan baik.
********************
Pada keesokan harinya, baru Cun Giok terbangun dari tidurnya yang amat nyenyak sejak sore kemarin. Begitu terbangun, Cun Giok teringat akan semua yang terjadi padanya dan dia bangkit duduk. Tubuhnya terasa segar dan sehat dan luka-luka di lengan, pundak, dan pahanya telah mengering. Akan tetapi perutnya terasa lapar bukan main!
Daun pintu diketuk dari luar, lalu pelayan wanita muda yang kemarin datang membawakan obat dan air teh, mendorong daun pintu yang tidak terpalang itu dari luar dan memasuki kamar. Ia membawa seperangkat pakaian bersih dan meletakkannya di atas meja.
“Selamat pagi, Kongcu. Kongcu dipersilakan mandi di kamar mandi sebelah kamar ini, setelah itu Siocia (Nona) mengajak Kongcu (Tuan Muda) makan pagi bersama.” Setelah berkata demikian, pelayan itu membungkuk dan melangkah ke pintu.
“Nanti dulu!” Cun Giok berseru dan cepat melompat dan berdiri menghadang di depan pelayan itu. “Katakan dulu padaku, siapakah nama Nonamu itu?”
Pelayan itu memandang kepada Cun Giok dengan alis berkerut lalu ia menggeleng kepalanya. “Maaf, Kongcu. Saya tidak berani menjawab.”
“Hemm, mengapa takut? Apa sih salahnya kalau engkau memberitahu padaku siapa nama Nonamu? Sebagai tamu, sudah sepatutnya kalau aku mengetahui nama nona rumah yang telah berbuat baik kepadaku. Katakanlah dan jangan takut.”
“Nona akan marah kalau saya bicara, Kongcu.”
“Biar aku yang bertanggung jawab kalau ia marah!” kata Cun Giok penasaran. Memberitahu nama majikan bukan dosa, mengapa pelayan ini begitu ketakutan?
Kembali pelayan itu mengamati wajah Cun Giok. Agaknya ia percaya kepada pemuda itu, maka dengan suara lirih ia berkata, “Siocia bernama Cu Ai Yin, berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih). Sudahlah, Kongcu, biarkan saya pergi, harap Kongcu segera mandi dan bertukar pakaian.”
“Nanti dulu, engkau belum menceritakan, siapa ayah dari Nona Cu Ai Yin itu dan apa pekerjaannya. Hayo katakan, aku hanya ingin tahu siapa penolongku, tidak mempunyai niat buruk,” Cun Giok membujuk sambil tersenyum ramah.
“Lo-ya (Tuan Tua) bernama Cu Liong, julukannya Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding) dan beliau adalah majikan yang memiliki Bukit Merak ini. Sudah, Kongcu, saya takut mendapat marah.” Pelayan itu lalu setengah berlari meninggalkan kamar itu.
Cun Giok tersenyum. Puas bahwa dia telah mengetahui nama tuan rumah dan puterinya yang jelita. Dia lalu pergi ke kamar mandi di sebelah kamar itu, mandi sehingga tubuhnya terasa semakin segar akan tetapi perutnya semakin lapar, dan berganti pakaian yang dibawa pelayan tadi. Pakaian dari sutera biru muda yang mahal dan masih baru!
Ketika dia kembali ke kamarnya, dia melihat Cu Ai Yin sudah berada dalam kamarnya. Cantik jelita dan manis, pakaiannya sutera merah muda dan rambutnya yang digelung rapi ke atas itu dihias setangkai bunga berwarna putih. Pantas ia disebut Pek-hwa Sianli karena ketika berdiri di situ dengan pakaian baru merah muda dan rambutnya dihias bunga putih, ia memang tampak seperti seorang bidadari berbunga putih!
Sebaliknya, gadis itu pun memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata tajam penuh kagum. Cun Giok memang tampak tampan dan gagah setelah berganti pakaian dan keadaannya tidak kusut seperti kemarin.
“Selamat pagi, Nona Cu Ai Yin. Sungguh keadaanmu tepat sekali dengan julukan Pek-hwa Sianli!” kata Cun Giok sambil tersenyum. “Dan lagi-lagi terima kasih banyak atas kebaikan budimu, Cu-siocia!”
“Engkau telah mengetahui nama dan julukanku?” Ai Yin bertanya heran.
“Tentu saja! Siapa yang tidak mengenal nama besar Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, puteri dari Bu-tek Sin-liong Cu Liong yang gagah perkasa, majikan Bukit Merak? Sungguh aku merasa kagum sekali!”
Tiba-tiba Ai Yin mengerutkan alisnya dan wajahnya yang tadinya berseri itu tiba-tiba menjadi merah, sinar matanya menunjukkan bahwa ia marah. Ia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar pintu kamar masuklah pelayan wanita yang tadi melayani Cun Giok. Begitu masuk, pelayan itu berdiri di depan Ai Yin dan membungkuk dengan hormat.
“Saya menunggu perintah Siocia.”
“Siauw-ming, apakah engkau menyadari dosamu?” Ai Yin bertanya dengan suara keren.
Gadis pelayan itu melirik sejenak kepada Cun Giok lalu menjawab sambil menundukkan kepalanya. “Saya mengaku bersalah melakukan pelanggaran dan siap menerima hukuman dengan ikhlas, Siocia.”
“Sekarang juga masuk ke Kamar Penyesalan Dosa dan tinggal di sana sampai besok pagi baru boleh keluar!” bentak Ai Yin.
Pelayan itu mengangguk dan berkata lirih. “Baik, saya menaati perintah, Siocia.” Dengan kepala masih menunduk, pelayan itu meninggalkan kamar.
Cun Giok merasa penasaran. “Eh, Nona Cu Ai Yin, mengapa engkau menghukum pelayan itu? Kesalahan apakah yang ia lakukan sehingga engkau menghukumnya selama sehari semalam?”
“Ia telah melanggar larangan yang telah merupakan peraturan yang ia ketahui, yaitu memperkenalkan namaku dan nama ayah kepada orang lain!”
“Tapi, bukankah hal itu wajar saja? Pula, tadinya ia takut untuk memberi tahu, dan aku yang membujuknya sehingga akhirnya ia memberitahu kepadaku siapa namamu dan nama ayahmu. Apakah yang begitu dianggap dosa?”
“Hemm, engkau sendiri belum memperkenalkan nama, bagaimana engkau lancang hendak mengetahui nama kami?”
“Ah, maafkan aku, Nona Cu Ai Yin. Karena selama ini aku berada dalam keadaan lemah dan setengah sadar, aku lupa memperkenalkan diriku. Aku bernama Pouw Cun Giok, yatim piatu sebatang kara, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Nah, aku sudah memperkenalkan diri, jadi sudah sepatutnya kalau aku juga mengenal namamu dan nama Ayahmu. Pelayan tadi memperkenalkan namamu setelah kudesak dan kubujuk. Jadi yang bersalah aku. Mengapa engkau menghukumnya sehari semalam untuk urusan yang kecil itu, Nona? Bukankah itu terlalu kejam?”
“Hemm, kalau semua orang selemah engkau ini, dunia akan menjadi kacau! Apa artinya ada peraturan atau hukum, kalau tidak ditaati oleh yang menerima peraturan dan yang membuat peraturan? Peraturan diadakan untuk ketertiban dan pelanggarnya harus dihukum sesuai dengan peraturan yang ada. Kalau peraturan itu tidak dijalankan oleh kami yang membuat peraturan, mana mungkin para karyawan kami akan menaati peraturan? Tidak taat berarti timbul ketidak-tertiban? Mereka akan memandang rendah peraturan yang ada! Memaafkan pelanggar peraturan sama dengan mendorong mereka untuk mengulang-ulang pelanggaran! Tiada maaf bagi pelanggar, inilah yang menjamin ketertiban!”
Cun Giok bungkam. Bagaimanapun juga, dia harus mengakui kebenaran ucapan gadis itu. Para pelayan sudah tahu bahwa mereka tidak boleh memperkenalkan nama majikan mereka, Biarpun hal itu kecil, namun pelanggaran tetap pelanggaran. Kalau pelanggaran kecil dimaafkan, maka pelanggaran besar pun akan terjadi.
Banyak dia melihat hal itu terjadi di kota-kota besar. Pemerintah mengadakan larangan-larangan, mengadakan peraturan dan hukum. Namun para pejabat tidak memegang teguh hukum yang diadakan. Mereka menerima uang sogokan dan peraturan itu dapat diubah, bahkan diputar-balikkan. Karena itu, rakyat memandang ringan peraturan karena dengan uang, segala peraturan dapat dilanggar.
Hal ini menimbulkan penyakit parah pada rakyat dan pada para pejabat. Rakyat mengabaikan peraturan dan suka menyogok atau menyuap para pejabat, dan para pejabat suka menerima uang sogokan dan mengesampingkan peraturan. Kekacauan pun timbullah!
“Maafkan aku, Nona Cu. Sekarang aku mengerti dan pendapatmu itu memang benar dan tidak dapat kubantah. Akan tetapi, sungguh aku merasa menyesal sekali dan bersalah terhadap pelayan itu. Ia dihukum karena memenuhi permintaanku. Sesungguhnya, akulah yang bersalah.”
“Engkau seorang tamu yang tidak terikat oleh peraturan kami itu, Pouw Cun Giok, dan sebagai tamu juga engkau tidak berhak mencampuri urusan dan peraturan keluarga kami. Nah, mari kita sarapan pagi. Ayahku sudah menanti di ruangan makan.”
Cun Giok tidak membantah lagi karena memang dia merasa betapa sejak bangun tidur tadi, perutnya mengamuk, menjerit-jerit minta diisi. Dia teringat bahwa ketika dia mulai tidak ingat diri adalah di waktu pagi, kemarin dulu. Lalu tahu-tahu pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah berada di kamar ini. Dia diberi minum obat dan tertidur sampai keesokan harinya lagi. Berarti, dia sudah dua hari dua malam tidak makan! Pantas saja perutnya berkeruyuk terus sejak tadi.
Mereka berjalan menuju ke ruangan makan melalui banyak ruangan dan lorong dalam rumah yang amat besar dan megah itu. Setelah tiba di ruangan makan, Bu-tek Sin-liong Cu Liong sudah duduk di kepala meja. Meja itu lonjong, terbuat dari batu marmer yang indah.
Melihat puterinya datang memasuki ruangan yang luas itu bersama Cun Giok, Cu Liong yang gagah perkasa itu bersikap tidak acuh. Tangannya menyambar sebuah bangku dan sekali tangan itu dia gerakkan, bangku itu melayang ke arah Cun Giok.
“Ini tempat dudukmu!” dia berseru dan bangku itu menyambar dengan cepat sekali ke arah Cun Giok.
Pemuda itu maklum bahwa pemberian bangku itu merupakan serangan, mungkin untuk mengujinya. Maka dia pun mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan menyambut bangku dengan kedua tangannya. Terasa betapa kuatnya tenaga dorongan itu sehingga terpaksa dia melangkah ke belakang dua kali untuk mengatur keseimbangan dirinya yang agak goyah. Dari lontaran bangku itu saja Cun Giok maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga yang amat kuat!
Dengan tenang seperti tak pernah terjadi sesuatu, Cun Giok menghampiri meja, menaruh bangku tadi di dekat meja, berhadapan dengan Bu-tek Sin-liong Cu Liong, lalu dia mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil membungkuk.
“Lo-cianpwe (Orang Tua Terhormat), saya Pouw Cun Giok mohon maaf kalau kehadiran saya ini merepotkan keluarga dan mengganggu ketenteraman Lo-cianpwe, dan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe!”
Tanpa berdiri dari tempat duduknya, Cu Liong merangkap kedua tangan depan dada dan diacungkan ke arah pemuda itu.
“Terimalah salamku kembali!” Tiba-tiba Cun Giok merasa ada hawa dahsyat menyambar dari gerakan kedua tangan kakek itu. Dia cepat memperkokoh berdirinya dan mengerahkan sin-kang untuk melindungi diri dari serangan jarak jauh itu.
“Wuuuttt... derrrrr.. !”
Cun Giok merasa betapa tubuhnya tergetar hebat, akan tetapi dia dapat bertahan dan hanya terpaksa melangkah mundur dua kali menahan guncangan.
“Terima kasih,” katanya dan dia pun duduk di atas bangku tadi dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Cu Ai Yin juga mengambil tempat duduk di sebelah kanan ayahnya. Pemuda itu berada di sebelah kanannya dan Cun Giok berhadapan dengan Cu Liong yarg memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik.
Ai Yin bertepuk tangan tiga kali dan empat orang gadis pelayan memasuki ruangan makan itu dengan langkah ringan dan lembut, masing-masing membawa baki berisi mangkok-mangkok dan piring-piring berisi masakan yang masih mengepulkan uap dan bau sedap masakan itu membuat Cun Giok merasa semakin lapar. Agaknya cacing-cacing dalam perut dapat mencium pula bau masakan itu sehingga mereka menari-nari kegirangan ingin segera menyambutnya!
Setelah menata mangkok piring berikut sumpit terbuat dari gading di atas meja, empat orang gadis pelayan itu lalu duduk di empat sudut ruangan itu, mepet dinding dan mereka waspada dan siap untuk melayani majikan-majikan mereka dan tamunya. Diam-diam Cun Giok bertanya dalam hati di mana adanya ibu gadis itu. Mengapa tidak hadir dan makan bersama? Akan tetapi tentu saja dia tidak berani lancang bertanya.
Agaknya Bu-tek Sin-liong masih belum puas setelah dia menguji Cun Giok dengan lemparan bangku kemudian serangan jarak jauh sambil membalas penghormatan. Kini dia mengambil guci arak dari meja, menuangkan arak ke dalam sebuah cawan dan menyodorkan cawan penuh arak itu kepada Cun Giok.
Pemuda itu diam-diam terkejut melihat betapa arak dalam cawan itu mengepulkan uap dan tampak gelembung-gelembung seperti dipanggang di atas api dan mendidih! Maklumlah dia bahwa kakek itu telah mengerahkan tenaga sakti yang amat dahsyat sehingga menimbulkan hawa panas, membuat arak dalam cawan yang dipegangnya itu mendidih!
“Orang muda, terimalah ucapan selamat datang kami dengan secawan arak ini!”
Cun Giok terpaksa menerima secawan arak yang mendidih itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan menjulurkan tangan menerima cawan arak yang amat panas itu. Karena dia mengerahkan tenaga “Im” yang mengeluarkan hawa dingin, maka ketika dia menerima cawan arak itu, dia tidak merasakan panas, bahkan perlahan-lahan arak yang mendidih itu menjadi dingin kembali.
Dengan tangan kanan memegang cawan, Cun Giok menggunakan tangan kirinya menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong. “Silakan Nona dan Lo-cianpwe minum bersama untuk menerima pernyataan terima kasih saya!” kata Cun Giok.
Bu-tek Sin-liong dan Cu Ai Yin tersenyum dan mereka bertiga lalu minum arak dari cawan masing-masing. Diam-diam kakek itu mulai merasa gembira karena kini tidak diragukan lagi bahwa pemuda yang ditolong puterinya itu bukan pemuda biasa, melainkan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia masih belum merasa puas. Untuk diterima menjadi orang segolongan, pemuda itu harus benar-benar memenuhi syarat!
Dia lalu mempersilakan pemuda itu mulai makan minum. Dia dan puterinya memperhatikan dan melihat betapa Cun Giok hanya mengambil masakan setelah kakek dan puterinya itu memakan masakan itu! Biarpun tidak kentara, namun mereka berdua maklum bahwa pemuda ini cukup berhati-hati dan waspada, sikap yang amat penting dimiliki seorang pendekar.
Melihat sikap Cun Giok, diam-diam Cu Liong merasa suka kepada pemuda itu. Dia adalah seorang datuk besar yang namanya terkenal di dunia persilatan. Julukannya saja menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang amat lihai. Bu-tek Sin-liong (Naga Sakti Tanpa Tanding), sebuah julukan besar yang juga membayangkan kesombongan, seolah-olah di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandinginya!
Akan tetapi julukannya itu adalah pemberian orang-orang di dunia kang-ouw yang seolah mengakui kehebatannya...