34: PIBU MENGHADAPI BAN TOK KUI BO
Mereka kini memasuki taman yang luas itu melalui pintu pagar yang mengelilingi taman. Baru saja mendorong pintu pagar terbuka, terdengar bersiutnya enam batang anak panah beracun yang meluncur dari depan menyerang mereka! Akan tetapi dua orang pendekar muda yang memiliki gin-kang tingkat tinggi itu dengan mudah dapat menghindarkan diri dari serangan itu dengan loncatan ke atas sehingga enam batang anak panah itu meluncur di bawah kaki mereka.
Dengan tabah mereka melangkah maju perlahan-lahan, menggunakan cabang pohon untuk menguji tanah tertutup rumput yang akan mereka injak. Cun Giok tetap berjalan di depan dan dia memegang sebatang cabang pohon di tangan kiri yang dia pergunakan untuk menguji tanah yang akan diinjaknya, sedangkan tangan kanan memegang Kim-kong-kiam, siap untuk dipergunakan apabila ada bahaya mengancam.
Ceng Ceng melangkah di belakangnya, menginjak bekas telapak kaki pemuda yang melangkah di depannya. Gadis ini memang tidak pernah menggunakan senjata, akan tetapi sehelai ranting pohon biasa kalau berada di tangannya tidak kalah ampuh dibandingkan dengan senjata baja yang tajam.
Beberapa kali ada senjata rahasia menyerang mereka. Biarpun mereka sudah berhati-hati dan tidak menginjak jebakan, namun dua kali ada golok-golok muncul dari tanah membabat ke arah kaki mereka. Keduanya kembali meloncat ke atas terhindar dari sabetan golok-golok itu.
Ada pula secara tiba-tiba belasan batang anak panah menyambar dari atas pohon. Cun Giok memutar Kim-kong-kiam yang sinarnya membentuk payung merontokkan semua anak panah yang menyerang dari atas. Ketika mereka hampir berhasil keluar dari kebun yang penuh pohon itu, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan dari jauh tampak ratusan ekor ular merayap dari semua jurusan menuju tempat mereka berdiri. Cun Giok sudah siap mengamuk dengan pedangnya. Akan tetapi Ceng Ceng segera berseru.
“Giok-ko, cepat bantu mengumpulkan bahan bakar di sekeliling kita.”
Mereka segera dengan cepat mengumpulkan daun dan kayu kering, ditumpuk di sekeliling mereka. Lalu Ceng Ceng mengeluarkan alat pembuat api dan membakar kayu dan daun-daun kering itu sehingga sekeliling mereka terlindung oleh api. Begitu dekat dengan api, ular-ular itu lari ketakutan menjauhi api. Akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon melayang belasan ekor ular hijau. Ceng Ceng menangkis dengan tongkatnya, demikian pula Cun Giok menggunakan pedangnya sehingga belasan ekor ular hijau itu terlempar ke dalam api dan mati terbakar.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, melewati api dan masing-masing memegang sebuah ranting kayu yang ujungnya dibakar sehingga tidak ada ular berani mendekati mereka. Mereka kini dapat melewati pekarangan dan begitu tiba di depan gedung pertama perkampungan itu, tiba-tiba bermunculan dua puluh orang anak buah Pulau Ular. Mereka segera mengepung Ceng Ceng dan Cun Giok.
Dua orang muda itu memperhatikan. Keadaan dua puluh orang itu memang aneh karena mereka mengenakan pakaian seragam yang bergaris-garis seperti kulit ular! Dan mereka mengepung sambil berlari mengelilingi Cun Giok dan Ceng Ceng, sambil mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti ular!
Mereka membawa sebuah tongkat pendek yang ujungnya diberi besi runcing seperti taring ular. Ketika mereka berlari mengelilingi dua orang muda itu, Cun Giok dan Ceng Ceng mencium bau amis dan maklum bahwa mereka itu adalah anak buah Pulau Ular yang biasa membawa dan menggunakan racun ular. Mungkin senjata mereka itu mengandung racun yang amat berbahayanya!
Melihat Cun Giok sudah siap dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan, Ceng Ceng merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu sampai membunuh atau melukai orang. Bisa gagal niat mereka mencari obat kalau sampai terlibat permusuhan dengan para penghuni Pulau Ular.
“Giok-ko, jangan lukai atau bunuh mereka,” katanya lirih dan ia pun mengambil sepotong ranting lagi sehingga kedua tangannya masing-masing memegang sebatang ranting. Mendengar ucapan gadis itu, Cun Giok mengerti dan dia pun mengambil sepotong ranting dengan tangan kirinya namun tetap memegang Kim-kong-kiam di tangan kanannya. Pedang itu dia perlukan untuk menangkis senjata para pengeroyok itu.
“Kembalilah kalian sebelum terlambat!” Seorang di antara mereka yang masih mengelilingi, kini dengan berjalan, berkata dengan lantang.
“Kami tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Tocu (Majikan Pulau) Ban-tok Kui-bo! Kami ingin menghadap Beliau untuk membicarakan urusan penting,” kata Ceng Ceng dengan lembut.
“Tidak bisa! Untuk menemui Beliau kalian harus lebih dulu melewati kami!” bentak pimpinan seregu pasukan ular itu.
“Kalau begitu, kami akan berusaha melewati kalian!” kata Ceng Ceng dan ia memberikan sebutir pel kepada Cun Giok dan mereka berdua menelan sebutir pel merah.
Mendengar jawaban Ceng Ceng, duapuluh orang itu mengeluarkan desis yang lebih nyaring, bahkan dari mulut mereka keluar uap dan bau amis semakin menyengat hidung dua orang muda itu. Kini mulailah mereka menyerang dari empat jurusan! Akan tetapi, ternyata gerakan ilmu silat mereka itu masih terlalu rendah bagi Cun Giok dan Ceng Ceng.
Biarpun mereka mengeluarkan hawa beracun, akan tetapi setelah menelan pel merah, semua hawa beracun itu tidak mempengaruhi mereka. Serangan mereka itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan Cun Giok. Bahkan pedang Kim-kong-kiam dalam beberapa gebrakan saja telah mematahkan banyak senjata para pengeroyok. Kini Cun Giok dan Ceng Ceng menggerakkan ranting, menotok bertubi-tubi dan satu demi satu para pengeroyok itu roboh terkulai lemas!
Akhirnya, duapuluh orang itu telah roboh semua, walaupun sama sekali tidak terluka, namun sebelum pengaruh totokan itu memudar, mereka sama sekali tidak mampu bangkit sehingga dengan mudahnya Cun Giok dan Ceng Ceng melanjutkan langkah mereka menghampiri gedung yang berada paling depan di kampung itu dan gedung ini merupakah gedung latihan ilmu silat dari para anak buah Pulau Ular. Cun Giok dan Ceng Ceng berniat untuk menanyakan di mana mereka dapat bertemu dengan Ban-tok Kui-bo.
Tiba-tiba pintu depan gedung latihan itu terbuka lebar dan ada angin kuat menyambar dari dalam, lalu tampak tubuh seorang wanita yang langsing berwajah cantik melayang keluar dan berdiri di depan mereka. Cun Giok dan Ceng Ceng melihat bahwa wajah yang cantik itu terganggu oleh sebuah bekas luka (codet) memanjang di pipinya sebelah kiri.
Usia wanita itu sukar diduga karena tubuhnya masih padat, wajahnya masih cantik walaupun terganggu codet. Tampak masih muda, paling banyak tigapuluh tahun usianya. Memang, wanita itu adalah Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun) yang biarpun usianya sudah sekitar empatpuluh lima tahun namun masih tampak muda.
Ceng Ceng segera mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diikuti oleh Cun Giok. Ceng Ceng pernah mendapat gambaran dari susioknya tentang Ban-tok Kui-bo, maka ia dapat menduga dengan siapa ia berhadapan.
“Mohon maaf atas kelancangan kami yang muda. Kalau kami tidak salah lihat, Lo-cianpwe adalah Ban-tok Kui-bo, benarkah?” kata Ceng Ceng dengan sikap sopan dan kata-katanya juga lembut.
Ban-tok Kui-bo memandang mereka dengan penuh perhatian, lalu ia berkata. “Kalian orang-orang muda datang tanpa diundang dan merobohkan anak buah Pulau Ular. Hayo cepat pulihkan mereka!”
Melihat wanita itu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang ke arah duapuluh orang yang masih menggeletak tak mampu bergerak itu, Ceng Ceng memberi isyarat kepada Cun Giok dan mereka berdua lalu menghampiri para anak buah Pulau Ular dan membuka totokan mereka. Dua puluh orang itu bangkit dan mereka segera menyingkir setelah mendapat isyarat dari Ban-tok Kui-bo. Setelah membebaskan totokan, Cun Giok dan Ceng Ceng lalu menghampiri lagi Ban-tok Kui-bo.
“Siapakah kalian dan apa keperluan kalian datang ke pulau ini?”
Cun Giok menyerahkan semua pembicaraan kepada Ceng Ceng yang dia percaya lebih mampu untuk bicara dengan wanita yang tampaknya berwatak keras dan aneh itu.
“Lo-cianpwe, saya bernama Liu Ceng, murid keponakan Susiok Im Yang Yok-sian, di Hoa-san. Adapun sahabat ini adalah Pouw Cun Giok. Kami berdua berani memasuki pulau ini karena kami mohon menghadap Lo-cianpwe Ban-tok Kui-bo sehubungan dengan kematian Susiok Im Yang Yok-sian dan terlukanya Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai.”
Mulut yang bentuknya indah itu tersenyum sinis. “Hemm, kalian datang untuk membalas dendam? Bagus, kalian tidak salah datang ke sini. Akulah yang menyuruh melukai Goat-liang Sanjin dan membunuh Im Yang Yok-sian! Aku yang bertanggung jawab dan kalian boleh membalas dendam kepadaku!”
“Lo-cianpwe, kami bukanlah orang-orang muda yang hanya menuruti emosi belaka. Segala akibat tentu ada sebabnya dan semua perbuatan tentu ada alasannya. Kami datang bukan sebagai musuh, melainkan sebagai tamu yang mohon kebijaksanaan Lo-cianpwe, yaitu, memberi penjelasan mengapa Susiok Im Yang Yok-sian dibunuh dan mengapa pula ketua Hoa-san-pai dilukai. Kami mohon penjelasan dan obat penawar bagi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin yang menderita luka parah karena pukulan Hek-tok Tong¬sim-dang.”
Ban-tok Kui-bo mengerutkan alis dan memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik. “Gadis muda, kalau engkau murid keponakan Im Yang Yok-sian, lalu siapakah gurumu?”
“Guru saya adalah ayah saya sendiri, yaitu Liu Bok Eng yang tinggal di Nan-king.”
“Hemm, kalian dua orang muda sudah lancang melanggar larangan memasuki pulau kami tanpa ijin, maka kami tidak dapat menerima kalian sebagai tamu-tamu yang patut dipertimbangkan permintaannya. Sekarang begini saja. Melihat kalian ternyata tidak membunuh seorang pun dari anak buah kami, kami memberi kesempatan. Kalau kalian mampu bertahan melawan aku sampai tigapuluh jurus, maka kalian akan kuterima sebagai tamu dan kita boleh membicarakan keperluan kalian. Akan tetapi kalau kalian tidak mampu bertahan sampai tigapuluh jurus dan masih hidup, kalian boleh pergi dari sini. Kalau sampai kalian tewas, jangan salahkan aku. Kalau kalian tidak berani melawanku, cepat pergi dari sini sebelum pikiranku berubah.”
Ceng Ceng berkata dengan lembut. “Sebagai nyonya rumah, Lo-cianpwe berhak menentukan peraturan di sini dan sebagai seorang tamu, saya harus menaatinya. Saya akan berusaha untuk mampu bertahan selama tigapuluh jurus, Lo-cianpwe.”
Mendengar ini, Cun Giok juga berkata, “Saya juga siap bertahan melawan Lo-cianpwe sampai tigapuluh jurus!”
Ban-tok Kui-bo tersenyum dan berkata, “Bagus, mari masuk ke gedung latihan ini!”
Wanita yang menjadi majikan Pulau Ular itu memasuki pintu gedung, diikuti oleh Cun Giok dan Ceng Ceng. Dua orang muda itu kagum melihat betapa gedung itu merupakan tempat berlatih silat yang luas. Di sudut terdapat rak senjata dengan belasan macam senjata dan di dekat dinding terdapat bangku berderet. Ruangan latihan itu luas sekali, cukup luas untuk dipakai bertanding keroyokan puluhan orang!
Ban-tok Kui-bo melangkah ke tengah ruangan yang lantainya kokoh dan berkata, “Siapa dari kalian yang hendak maju lebih dulu?”
“Saya akan mencoba bertahan selama tiga puluh jurus, Lo-cianpwe!” kata Ceng Ceng yang segera menghampiri wanita cantik yang mempunyai codet di pipi sebelah kiri itu.
“Hemm, engkau boleh menggunakan senjata,” kata Ban-tok Kui-bo kepada Ceng Ceng yang berdiri di depannya tanpa memegang senjata karena ranting yang dipegangnya sudah ia lepaskan ketika memasuki ruangan itu.
“Tugas saya mengobati, bukan menyakiti orang, Lo-cianpwe, maka saya tidak pernah menggunakan senjata.”
Ban-tok Kui-bo mengerutkan alisnya. Sebagai seorang datuk kang-ouw yang berilmu tinggi, tentu saja ia merasa diremehkan kalau lawannya, seorang gadis muda belia, menghadapinya dengan tangan kosong.
“Hemm, aku pun bertangan kosong, akan tetapi engkau patut mengetahui bahwa setiap jari tanganku merupakan senjata yang ampuh dan dapat merenggut nyawa! Engkau masih berani melawan aku selama tigapuluh jurus?”
“Lo-cianpwe, saya seorang bodoh dan saya sudah mendengar akan kelihaian Lo-cianpwe menggunakan segala macam racun. Saya tidak berani melawan Lo-cianpwe dan saya maju ini hanya untuk memenuhi permintaan Lo-cianpwe. Demi tugas yang saya bawa dari Hoa-san-pai, demi mengetahui sebab kematian Susiok Im Yang Yok-sian dan kesembuhan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin, saya rela andaikata sampai terpukul mati oleh Lo-cianpwe.”
Karena sikap dan ucapan Ceng Ceng amat lembut dan sopan, maka hati Ban-tok Kui-bo yang kaku agak mencair dan ia sudah mengambil keputusan untuk tidak berlaku kejam terhadap gadis itu.
“Baiklah, nah, waspadalah dan sambut seranganku ini!” katanya dan cepat sekali tangan kirinya menyambar dari samping ke arah kepala Ceng Ceng. Serangan ini disusul dengan cepat sekali dengan cengkeraman tangan kanannya ke arah lambung gadis itu.
Akan tetapi majikan Pulau Ular ini terkejut bukan main ketika tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan serangan kedua tangannya itu hanya mengenai tempat kosong! Ia menjadi penasaran dan menyusulkan serangan kedua dengan lebih dahsyat.
Akan tetapi kembali Ceng Ceng yang memiliki gin-kang istimewa itu sudah dapat menghindarkan diri dengan cepat seka!i sehingga yang tampak hanya bayangan berkelebat dan serangan itu pun luput!
Sementara itu, sejak jurus pertama Cun Giok sudah menghitung dengan suara lantang. “Jurus satu! Jurus Dua! Jurus Tiga...!” Demikian selanjutnya.
Ban-tok Kui-bo diam-diam merasa kaget bukan main. Kini ia tidak ragu lagi. Gadis itu memang memiliki ginkang yang amat hebat. Biarpun ia sudah menyerang dengan pengerahan tenaga dan secara bertubi-tubi, sambung menyambung, tetap saja tak pernah tangannya dapat menyentuh gadis itu.
Makin dipercepat gerakannya menyerang, semakin cepat pula gadis itu mengelak sehingga kini hanya tampak bayangan putih berkelebatan ke sana sini, akan tetapi selalu serangan Ban-tok Kui-bo tidak mengenai sasaran! Memang tidak sia-sia saja Ceng Ceng mendapat julukan Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih) karena kecepatan gerakannya memang luar biasa.
Cun Giok menghitung terus. “Jurus dua puluh sembilan! Jurus tiga puluh...!”
Pada saat itu, melihat bahwa ia tidak mampu mengalahkan gadis itu dalam tigapuluh jurus, Ban-tok Kui-bo yang merasa penasaran mengirim pukulan yang dahsyat sekali menggunakan tenaga sin-kang yang mengandung racun!
Ceng Ceng maklum akan datangnya bahaya dalam serangan jurus terakhir itu. Ia berkelebat, akan tetapi tetap saja masih terpengaruh oleh angin pukulan lawan sehingga ketika ia turun ke atas lantai, ia sempat terhuyung. Cepat ia menghirup napas panjang untuk melindungi dirinya, kemudian ia mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata lembut.
“Kepandaian Lo-cianpwe sungguh amat hebat. Saya mengaku kalah!”
Ban-tok Kui-bo mengangguk-angguk. “Bagus, masih begini muda engkau memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya. Engkau cukup pantas untuk kuterima sebagai tamu. Engkau tunggu dan duduklah di bangku itu!”
“Terima kasih, Lo-cianpwe,” kata Ceng Ceng dan ia segera mengambil tempat duduk di atas bangku yang berderet dekat dinding.
“Sekarang tiba giliranmu, orang muda. Ingin kulihat apakah engkau juga mampu bertahan selama tiga puluh jurus. Karena engkau seorang laki-laki, aku akan bersikap lebih keras dan akan mengujimu dengan pedangku. Nah, engkau membawa pedang, cabutlah dan lawan aku selama tigapuluh jurus. Ingat, dalam pertandingan ini mungkin engkau akan tewas dan kalau terjadi demikian, jangan menyesal karena engkau masih kuberi waktu untuk menyerah dan meninggalkan tempat ini.”
Cun Giok bukan seorang bodoh. Tadi ketika wanita itu menyerang Ceng Ceng, dia sudah melihat kelemahan-kelemahannya dan dia yakin bahwa dengan mengandalkan gin-kangnya seperti yang tadi diperlihatkan Ceng Ceng, dia akan mampu mengatasi majikan Pulau Ular ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menghadapi pedang wanita itu dengan tangan kosong karena hal ini akan merupakan penghinaan bagi Ban-tok Kui-bo. Maka dia pun melangkah menghampiri Ban-tok Kui-bo dan setelah berhadapan dia memberi hormat dan berkata,
“Baiklah, Lo-cianpwe. Saya akan mencoba bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pedang Lo-cianpwe.”
“Bagus!” Ban-tok Kui-bo berseru girang. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang datuk ilmu silat, maka tentu saja ia merasa gembira mendapatkan lawan tanding yang memadai. Ia mencabut pedangnya dan tampak sinar kehitaman berkelebat dan mendatangkan hawa mengerikan. Cun Giok maklum bahwa majikan Pulau Ular itu mempunyai sebatang pedang yang ampuh dan mengandung racun jahat. “Nah, cabut pedangmu, orang muda!”
Cun Giok mencabut pedangnya dan ketika tampak sinar emas berkelebatan, Ban-tok Kui-bo membelalakkan matanya. “Aih! Bukankah itu Kim-kong-kiam? Dari mana engkau mendapatkan Kim-kong-kiam itu, orang muda?"
Cun Giok memandang penuh perhatian. “Lo-cianpwe mengenal pedang ini?”
“Tentu saja! Pedang ini adalah milik Suma Tiang Bun! Bagaimana bisa berada ditanganmu?”
“Maaf, Lo-cianpwe. Memang benar pedang ini milik mendiang guruku, Suma Tiang Bun.”
“Ah, kiranya Suma Tiang Bun mempunyai murid dan menurunkan ilmu dan pedangnya kepadamu. Bagus sekali, aku semakin tertarik dan ingin sekali mengujimu. Orang muda, siap dan sambut serangan pedangku!”
Ban-tok Kui-bo lalu menyerang dengan dahsyat. Pedangnya menyerang bertubi-tubi susul-menyusul sehingga pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang mendesing-desing dan mengeluarkan bau manis bercampur amis yang membuat kepala menjadi pening. Baiknya Cun Giok sudah menelan pel merah pemberian Ceng Ceng sehingga dia tidak sampai mabok...