Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 01

Cersil karya lho ping hoo serial pendekar tanpa bayangan episode harta karun kerajaan sung jilid 01
Sonny Ogawa
01. BALAS DENDAM KONGCU BRENGSEK

SIANG hari itu langit di atas kota Cin-yang di Propinsi Shantung diliputi mendung tebal. Pertanda akan turun hujan tampak jelas. Orang-orang segera bersiap-siap, yang berdagang di tepi jalan menggulung tikar dan menyelamatkan barang dagangan mereka di tempat untuk berteduh. Toko-toko banyak yang tutup karena biasanya kalau hujan turun dengan deras maka air hujan yang terbawa angin akan membasahi barang dagangan dalam toko.

Orang yang berlalu lalang mulai berkurang karena mereka bergegas pulang agar tidak kehujanan di jalan. Bukan hanya manusia yang bersiap-siap menghadapi curahan air hujan di langit. Burung-burung yang beterbangan pun pulang ke sarang mereka. Tak lama kemudian, setelah kilat dan guntur menggelegar di angkasa berulang-ulang, turunlah air hujan bagaikan dituangkan dari langit.

Seperti juga peristiwa alam yang terjadi di dunia ini, hal yang sewajarnya itu mendapat tanggapan berbeda-beda. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh turunnya hujan, seperti para pedagang asongan atau kaki lima dan tukang binatu, merasa dirugikan oleh turunnya hujan deras. Maka mereka yang merasa dirugikan ini akan mencaci-maki dan menganggap bahwa hujan merupakan peristiwa buruk yang amat merugikan mereka.

Sebaliknya, mereka yang merasa diuntungkan oleh turunnya hujan, seperti para petani yang membutuhkan air untuk mengairi sawah ladang mereka, para pedagang payung dan lain-lain, tentu akan bersyukur dan merasa gembira dengan turunnya hujan dan mereka menganggap hujan merupakan peristiwa baik yang menguntungkan. Memang, sejak sejarah tercatat manusia, apa yang disebut baik atau buruk itu hanya merupakan pendapat orang-orang. Bagi yang menguntungkan dianggap baik dan bagi yang merugikan dianggap buruk!

Hujan ya hujan saja, tidak baik tidak buruk, melainkan sebuah peristiwa alam yang wajar. Orang bijaksana yang menganggap hujan itu wajar saja, akan dapat berusaha melalui kecerdikan otak manusia untuk mengatur dan dapat memanfaatkan segala peristiwa alam yang menimpanya. Kalau tidak mau kehujanan, pakailah payung atau pergi mencari tempat berteduh tanpa mengeluh!

Kalau datang hujan lebat, agar tidak menimbulkan banjir, buatlah saluran air yang baik dan kalau diperlukan, salurkanlah kelebihan air itu ke tempat yang membutuhkan air. Orang bijaksana selalu dapat memanfaatkan apa pun yang terjadi di dunia dan dalam kehidupan mereka, tanpa tenggelam ke dalam kesedihan dan tanpa mabok dalam kesenangan.


Hujan baru reda setelah lewat tengah hari. Biarpun kini sisa hujan masih ada, air turun rintik-rintik dan jarang, namun sinar matahari yang mulai condong ke barat membuat suasana menjadi cerah kembali.

Tiba-tiba serombongan orang berkuda menarik perhatian penduduk Cin-yang. Rombongan itu adalah pasukan Kerajaan Mongol. Jumlah mereka sekitar tiga losin orang, dipimpin oleh seorang panglima yang berpakaian mewah, bertubuh tinggi besar, matanya sipit dan mukanya brewok. Pasukan itu tampak gagah dan galak. Di sampingnya terdapat seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam berusia sekitar duapuluh tiga tahun. Panglima itu berusia sekitar empatpuluh tujuh tahun. Mereka yang mengenal panglima ini, berbisik-bisik memberi keterangan kepada orang di dekatnya, dengan suara lirih dan gentar.

“Wah, panglima itu adalah Panglima Besar Kim Bayan yang terkenal galak dan kejam. Dia adalah ayah dari Kongcu (Tuan Muda) Kim Magu yang mata keranjang dan suka mengganggu anak bini orang!”

Mendengar ini, semua orang menjadi gentar, apalagi mereka yang mempunyai anak perempuan yang sudah remaja dan dewasa dan yang memiliki wajah lumayan. Mereka segera menyuruh anak mereka untuk bersembunyi!

Akan tetapi sekali ini, pasukan perajurit yang dipimpin oleh Panglima Kim Bayan tidak mempedulikan penduduk Cin-yang dan pasukan itu langsung saja menuju ke gedung Yo Bun Sam atau Yo-thaijin (Pembesar Yo) yang menjadi pembesar kepala daerah di Cin-yang. Setelah memasuki halaman gedung itu, Panglima Kim Bayan memerintahkan anak buahnya untuk turun dari punggung kuda dan siap berjaga di luar menanti perintahnya. Kemudian dengan langkah gagah dia memasuki pendapa gedung itu, diiringkan puteranya, yaitu Kim Magu, pemuda Mongol yang tinggi besar bermuka hitam.

Panglima Kim Bayan adalah panglima yang mengepalai seluruh pasukan yang berada di Propinsi Shantung sampai ke selatan. Karena tugasnya meliputi daerah yang luas, di mana dia sering melakukan kunjungan untuk menerima laporan dan meneliti keadaan, maka dia jarang pulang ke gedungnya yang berada di kota Cin-yang. Apalagi akhir-akhir ini dia sibuk melakukan pengejaran terhadap harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Lebih dati satu tahun dia tidak pulang ke Cin-yang.

Ketika kemarin dia pulang ke Cin-yang, dia menerima laporan dari putera tunggalnya, Kim Magu, yang membuat dia marah bukan main. Pemuda muka hitam itu melaporkan betapa dia dan sahabatnya yang bernama Kui Con, yaitu putera Kui-thaijin kepala pengadilan di Cin-yang, telah mengalami penghinaan, disiksa dan digantung di sebuah pohon di tepi jalan sehingga semua penduduk dapat melihat mereka tergantung dengan kepala di bawah.

Pada tempat itu terdapat tulisan bahwa Kim Magu dan Kui Con adalah pemuda-pemuda jahat yang mengandalkan kekuasaan ayah mereka yang tidak mampu mendidik mereka dan sekarang mendapat hajaran keras agar jera. Kim Magu menceritakan hal ini kepada ayahnya sambil menangis karena dia merasa terhina sekali. Sejak peristiwa itu, dia dan Kui Con segan untuk keluar rumah karena pandangan para penduduk terhadap mereka tampak mengejek dan sinis.

Kim Bayan yang sedang minum arak, terbelalak mendengar laporan puteranya itu. Dia membanting guci arak sehingga hancur dan tangannya menampar ujung meja marmar sehingga pecah. Matanya yang lebar mengeluarkan sinar penuh kemarahan.

“Jahanam busuk! Siapa berani berbuat demikian kurang ajar terhadap Anakku?!”

“Ia seorang gadis pendekar yang dijuluki Pek-eng Sianli, Ayah.”

Kim Bayan semakin marah sehingga dia bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Pek-eng Sianli? Itu adalah julukan dari Liu Ceng! Keparat! Gadis itu berani menghinamu seperti itu? Mengapa ia berbuat seperti itu?”

“Begini, Ayah. Aku dan Kui Con bertemu dengan seorang gadis bernama Siok Eng dan encinya bernama Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung. Kami tertarik sekali dan terus terang saja, aku jatuh cinta kepada Siok Eng. Kami mengajukan pinangan, Siok Eng hendak kujadikan selirku, dan Kui Con ingin berkenalan dengan Siok Hwa. Akan tetapi tiba-tiba muncul Pek-eng Sianli dan kami berdua ia serang kemudian kami ditotok dan digantung di pohon itu.”

“Keparat! Kapan hal itu terjadi?”

“Sudah lama, Ayah. Sudah lewat belasan bulan yang lalu.”

“Hemm, kenapa engkau diam saja? Setelah Liu Ceng pergi, mengapa engkau tidak menghajar keluarga Siok itu untuk membalas dendam?”

“Aku tidak berani, Ayah. Pek-eng Sianli itu menitipkan keluarga Siok kepada Kepala Daerah Yo Bun Sam. Ayah Kui Con, Kepala Pengadilan Kui Hok, dipanggil dan ditegur oleh Yo-thaijin. Kami diancam agar jangan mengganggu keluarga Siok. Maka aku hanya dapat menanti Ayah pulang. Selama ini aku jarang keluar rumah, Ayah. Aku malu sekali atas penghinaan itu.” Tentu saja Kim Magu tidak menceritakan bahwa dia menyuruh Lai Koan, perwira pelaksana pencari pekerja paksa di Cin-yang yang kini dihukum atas tuntutan Yo-thaijin, untuk memaksa dua orang wanita itu agar ditangkap dan diserahkan kepada dia dan Kui Con.

“Bangsat Kepala Daerah Yo Bun Sam! Dia kira dia itu siapa berani menghina anakku dan berani bersekongkol dengan Liu Ceng, gadis pemberontak itu? Mari kita datangi dia!” Demikianlah, setelah hujan deras reda dan tinggal gerimis, Kim Bayan mengajak puteranya, dikawal tiga losin perajurit, berangkat berkuda ke gedung tempat tinggal Kepala Daerah Yo Bun Sam. Setelah pasukannya siap berjaga di luar gedung, Kim Bayan dan Kim Magu memasuki gedung.

Para perajurit pengawal di gedung itu tentu saja ketakutan ketika melihat Panglima Kim Bayan dengan pasukannya. Mereka cepat melaporkan kunjungan panglima itu kepada Yo-thaijin. Pembesar Yo Bun Sam adalah seorang Pribumi Han yang karena lulus ujian negara dengan baik lalu menerima pangkat. Setelah bekerja beberapa tahun lamanya di kota raja dan ternyata dia memang cakap memegang jabatannya, dia menerima kenaikan-kenaikan dan akhirnya dia diangkat menjadi kepala daerah di Cin-yang.

Pemerintah Kerajaan Mongol memang pandai menggunakan tenaga orang-orang pribumi Han yang pandai untuk membantu kelancaran roda pemerintahan. Seorang kepala daerah pribumi Han tentu akan lebih ditaati oleh penduduknya. Dan memang benar, setelah Yo Bun Sam menjadi kepala daerah Cin-yang, daerah itu aman karena Yo-thaijin ini bersikap bijaksana dan adil, berani menentang pejabat yang jahat dan membela rakyatnya.

Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Panglima Kim Bayan, seorang panglima perang yang tentu saja memiliki kekuasaan jauh lebih besar daripada dia. Maka mendengar kunjungan Panglima Kim Bayan, Yo-thaijin cepat mengenakan pakaian kebesarannya dan menyambut. Mereka bertemu di ruangan depan dan Yo-thaijin segera menyambut dengan sikap hormat.

“Ah, kiranya Kim Thai-ciangkun (Panglima Besar Kim) yang datang berkunjung! Silakan duduk, Ciangkun!”

Akan tetapi Kim Bayan menanggapi sambutan ramah dan hormat itu dengan mata melotot marah. “Yo Bun Sam! Aku datang bukan untuk duduk denganmu. Aku datang mau bertanya, mengapa engkau berani mati menyuruh seorang gadis pemberontak untuk menghina puteraku Kim Magu ini beberapa bulan yang lalu! Hayo jawab!”

cerita silat online karya kho ping hoo

Yo Bun Sam segera dapat mengetahui apa yang menyebabkan panglima itu datang dan marah-marah kepadanya. Dia tetap tenang lalu menjawab. “Kim Thai-ciangkun, harap Ciangkun bersabar dan saya dapat memberi penjelasan tentang peristiwa itu. Saya sama sekali tidak mengenal gadis itu dan apa yang ia lakukan terhadap Kim-kongcu sama sekali tidak saya ketahui dan tidak ada sangkut pautnya dengan saya. Mestinya kemarahan Ciangkun itu ditujukan kepada gadis itu, bukan kepada saya karena saya tidak pernah berurusan dengan Kim-kongcu, apalagi menghinanya.”

“Akan tetapi engkau mengirim Lai Koan ke penjara dan engkau menegur Kepala Pengadilan Kui, dan engkau melindungi keluarga Siok!” tiba-tiba Kim Magu berseru nyaring, membentak dengan marah.

“Kim Thai-ciangkun dan Kim-kongcu, dengarlah penjelasan saya yang jujur dan apa adanya. Saya sama sekali tidak mencampuri urusan gadis pendekar itu dan Kim-kongcu...”

“Gadis pendekar? Pek-eng Sianli Liu Ceng itu adalah seorang gadis pemberontak!” bentak Kim Bayan.

“Terserah Ciangkun hendak menyebutnya sebagai apa. Saya tidak mempunyai hubungan dengannya dan apa yang saya lakukan hanyalah sesuai dengan tugas saya sebagai kepala daerah yang harus mengatur dan menjaga agar Cin-yang ini aman dan tenteram. Ketika saya didatangi keluarga Siok yang minta perlindungan ke sini dan mendengar apa yang dilakukan oleh Perwira Lai Koan, tentu saja saya harus bertindak. Saya melindungi mereka karena sebagai penduduk Cin-yang mereka yang tidak berdosa itu terancam keselamatannya. Mendengar bahwa Lai Koan melakukan penyelewengan dalam tugasnya mengumpulkan pekerja bakti, sewenang-wenang menggunakan kekerasan dan menerima uang sogokan, setelah melihat bukti-buktinya, saya lalu menuntutnya ke pengadilan dan dia dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan. Hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya, bukan? Saya lalu menegur Kepala Pengadilan Kui karena dia pun bertindak sewenang-wenang terhadap keluarga Siok. Tentang perlindungan yang saya berikan kepada Chao Kung, isterinya, ayah mertua dan adik iparnya, hal itu sudah sewajarnya. Penduduk Cin-yang siapa saja yang minta perlindungan kepada saya dan mereka memang tidak berdosa dan diperlakukan sewenang-wenang, pasti akan saya lindungi. Nah, demikianlah, Kim Thai-ciangkun. Saya hanya memenuhi kewajiban saya dan sama sekali tidak mencampuri urusan Kim-kongcu dan gadis itu.”

“Yo Bun Sam! Keluarga Siok itu menggunakan seorang gadis pemberontak sebagai pelindung, berarti mereka adalah keluarga pemberontak pula! Dan engkau melindungi mereka, biarpun engkau tidak langsung menjadi pemberontak, berarti engkau sudah bersekongkol dengan pemberontak! Puteraku telah dihina, berarti akulah yang dihina! Hayo cepat berlutut dan minta ampun, baru aku mungkin dapat mengampunimu!” bentak Panglima Besar Kim Bayan.

Wajah Yo Bun Sam berubah merah dan matanya bersinar penuh kemarahan. Dia adalah seorang yang berjiwa patriot, dalam arti kata bukan menentang penjajah Mongol dengan kekerasan, melainkan berusaha mencapai kedudukan agar dengan kekuasaannya dia dapat membela rakyat bangsanya. Dia seorang yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dalam membela keluarga Siok dia sama sekali tidak merasa bersalah. Maka, kini diancam dan digertak agar dia berlutut minta ampun? Tentu saja dia tidak sudi melakukannya!

Dia teringat akan riwayat para patriot yang rela berkorban nyawa untuk bangsanya, seperti Patriot gagah perkasa Jenderal Gak Hui, dan masih banyak lagi. Dia pengagum mereka, maka biarpun dia memiliki kedudukan cukup tinggi, Yo Bun Sam tidak pernah bertindak sewenang-wenang, belum pernah mau menerima sogokan dan tidak pernah melakukan korupsi sehingga dialah satu di antara pejabat yang tidak menjadi kaya raya. Kini bangkit kemarahannya mendengar Kim Bayan memaksanya berlutut minta ampun.

“Kim Thai-ciangkun!” katanya dengan sikap tegak dan gagah. “Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadap Ciangkun ataupun terhadap Kim-kongcu. Mengapa saya harus berlutut minta maaf? Berlutut minta ampun berarti mengakui kesalahan, padahal saya tidak bersalah apa-apa.”

“Engkau tidak mau berlutut minta ampun?” bentak Kim Bayan dan kemarahannya memuncak.

“Saya tidak dapat melakukan itu, Ciangkun!”

“Yo Bun Sam! Engkau pelindung pemberontak! Engkau berani menentang dan melawan aku?”

“Saya tidak menentang Ciangkun...”

“Jahanam!” Kim Bayan bergerak cepat, tangan kanannya memukul dengan telapak tangan ke arah dada Yo Bun Sam! Pembesar tinggi kurus yang tidak pernah belajar silat itu tidak dapat mengelak maupun menangkis. Pukulan itu cepat sekali datangnya dan mengandung tenaga yang amat dahsyat.

“Syuuuuttt! Desss!!”

Tubuh tinggi kurus Kepala Daerah Cin-yang itu terlempar ke belakang, menabrak dinding dan roboh menelungkup, tewas seketika. Darah mengucur dari mulut, hidung dan telinganya!

Setelah memukul mati Yo Bun Sam, kemarahan Kim Bayan mereda. “Hayo kita pulang!” katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah lebar keluar dari gedung itu. Dia tidak mempedulikan ratap tangis yang segera terdengar riuh rendah di ruangan depan itu. Setibanya di halaman gedung, Kim Bayan hendak memberi isyarat kepada pasukannya untuk berangkat pulang. Akan tetapi Kim Magu segera berkata,

“Ayah, aku minta pinjam selosin perajurit untuk memberi hajaran kepada keluarga. Siok!”

“Hemm, terserah!” Kim Bayan lalu pergi diikuti dua losin perajurit karena yang selosin ditahan Kim Magu.

Dengan bangga dan girang, Kim Magu lalu memimpin selosin orang perajurit itu, duduk di atas punggung kudanya dengan wajah berseri dan dada dibusungkan, mula-mula dia pergi ke rumah Kui Con. Dia mengajak sahabat baiknya itu untuk “membalas dendam” kepada keluarga Siok. Tentu saja Kui Con, putera tunggal Kepala Pengadilan Kui Hok, merasa gembira sekali mendengar bahwa Yo-thaijin telah dibunuh oleh Panglima Kim Bayan.

Sejak dulu, Kui Con memang tergila-gila kepada Siok Hwa, enci Siok Eng atau isteri Chao Kung. Dulu pun ketika Kim Magu ingin mengambil Siok Eng sebagai selir, dia sendiri ingin mendapatkan Siok Hwa sebagai kekasihnya walaupun Siok Hwa telah menjadi isteri orang lain. Kini tiba saatnya untuk membalas dendam dan melaksanakan hasrat hatinya yang selama ini terpendam karena takut kepada Yo-thaijin yang melindungi keluarga Siok.

Demikianlah, Kui Con menunggang kuda dengan sikap angkuh di samping Kim Magu, dikawal selosin orang perajurit, menuju ke rumah Chao Kung. Penduduk kota Cin-yang yang berada di jalan dan melihat dua orang pemuda itu, mengerutkan alis dan mereka heran melihat dua orang yang terkenal sebagai perusak anak bini orang itu kini berani muncul kembali setelah setahun lebih tak pernah tampak di tempat umum. Pasti akan terjadi sesuatu yang gawat, pikir mereka dengan khawatir.

Pada saat itu, Chao Kung membuka tokonya yang tidak terlalu besar seperti biasa. Dia berdagang rempa-rempa dan dalam pekerjaannya itu dia telah dibantu oleh ayah mertuanya, Siok Kan, isterinya Siok Hwa dan adik isterinya, Siok Eng. Ada pula seorang pembantu wanita setengah tua yang bekerja di dapur. Mereka sama sekali belum mendengar nasib yang menimpa pelindung mereka, yaitu Kepala Daerah Cin-yang, Yo Bun Sam.

Maka, dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang itu ketika tiba-tiba selosin orang perajurit yang mengawal Kim Magu dan Kui Con telah berada di depan toko! Saking kagetnya, mereka berempat hanya terbelalak memandang dua orang pemuda itu yang sudah melompat turun dari punggung kuda mereka dan cengar-cengir memasuki toko!

Chao Kung yang tinggi kurus dan pemberani itu cepat melangkah maju seolah melindungi ayah mertuanya, isteri dan adik iparnya, lalu memberi hormat dan bertanya dengan sikap sopan namun suaranya tegas.

“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) datang berkunjung mempunyai keperluan apakah?”

Akan tetapi Kim Magu dan Kui Con yang sudah bersepakat mencabut golok masing-masing dan Kim Magu membentak marah. “Kalian keluarga pemberontak! Kalian sudah memberontak terhadap pemerintah! Kami datang untuk membasmi kalian!”

Setelah berkata demikian, Kim Magu memberi isyarat kepada para perajurit pengawalnya dan selosin orang perajurit itu lalu menyerbu ke dalam toko. Chao Kung terkejut bukan main dan karena dia sedang berjualan, maka dia tidak mempersiapkan senjata. Dia mencoba melawan ketika para perajurit itu menyerbu. Akan tetapi pada saat itu, Kim Magu dan Kui Con juga sudah menyerangnya.

Tingkat kepandaian Chao Kung hanya sebanding dengan tingkat Kim Magu atau Kui Con, maka kini, dengan tangan kosong dia menghadapi penyerangan dua orang pemuda bangsawan yang bersenjata golok, masih dikeroyok lagi oleh selosin perajurit, tentu saja dia hanya mampu melawan sebentar. Bacokan bertubi-tubi menghunjam tubuhnya sehingga dia roboh mandi darah dan tewas seketika.

Siok Kan hendak menolong mantunya, akan tetapi sambaran golok Kim Magu membuat lehernya hampir putus dan dia pun roboh di dekat mayat mantunya. Siok Hwa dan Siok Eng menjerit-jerit menangisi suami dan ayahnya, akan tetapi Kim Magu sudah meringkus Siok Eng dan Kui Con meringkus Siok Hwa.

Dua orang wanita itu meronta-ronta dan menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja mereka tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan dua orang pemuda itu. Saking sedih melihat suami dan ayahnya tewas, disertai rasa takut dan marah, Siok Hwa terkulai pingsan. Ia dirangkul dan dibawa meloncat ke atas punggung kuda oleh Kui Con.

Siok Eng juga meronta-ronta dan menjerit, memaki-maki, akan tetapi tubuhnya dirangkul ketat oleh Kim Magu sehingga ia tidak mampu bergerak dan ia pun dibawa naik ke atas punggung kuda oleh Kim Magu. Selosin orang pengawal itu, seperti biasa, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil barang-barang yang berharga dari toko dan rumah itu. Sikap dan perbuatan mereka itu tiada ubahnya segerombolan perampok...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.