02: WANITA TERHORMAT SAMPAI AJAL
KETIKA peristiwa itu terjadi, para tetangga, bahkan mereka yang sedang berlalu-lalang atau berdekatan dengan rumah Chao Kung, ketakutan dan menjauhi tempat itu. Setelah pasukan itu pergi, barulah para tetangga berani mendekat. Mereka menemukan Ciu-ma, pelayan wanita keluarga itu, sedang berlutut dan menangisi mayat Siok Kan dan Chao Kung yang mandi darah. Para tetangga cepat bergotong-royong merawat dan mengatur pemakaman ayah mertua dan mantu itu secara sederhana.
Ciu-ma kini menjaga rumah itu seorang diri dengan hati penuh rasa ngeri, takut dan juga sedih dan bingung. Ia sendiri sudah tidak mempunyai sanak keluarga dan keluarga Siok itu sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Bahkan ia pula yang dahulu menjadi inang pengasuh Chao Kung ketika masih kecil. Maka biarpun kini Chao Kung telah tewas bersama ayah mertuanya, dan nyonya rumah Siok Hwa dan adiknya, Siok Eng, dilarikan Kim Magu dan Kui Con, ia tidak dapat meninggalkan rumah itu.
********************
Dengan hati dipenuhi rasa duka melihat kematian ayahnya, dan penuh kebencian terhadap pemuda Mongol muka hitam yang menculiknya, Siok Eng tiada hentinya meronta dan berusaha melepaskan diri.
“Jahanam busuk, manusia terkutuk!” ia memaki-maki, akan tetapi sambil tertawa Kim Magu melarikan kudanya pulang ke sebuah pondok yang menjadi tempat peristirahatannya. Dia tidak mau membawa gadis tawanannya itu pulang, karena di sana terdapat banyak orang. Ibu kandungnya, para ibu tirinya, para pembantu rumah tangga dan banyak pula perajurit pengawal sehingga dia akan merasa tidak leluasa. Maka dia membawa Siok Eng ke rumah peristirahatannya yang hanya dijaga oleh seorang pelayan wanita tua.
Setelah tiba di rumah itu, Kim Magu membiarkan kudanya dituntun pelayannya ke istal di belakang, sedangkan dia sendiri memondong tubuh Siok Eng yang meronta-ronta, memasuki rumah itu sambil tertawa-tawa gembira. Setelah memasuki kamarnya, dia melemparkan tubuh Siok Eng ke atas pembaringan.
Tentu saja Siok Eng menjadi marah dan juga ngeri karena ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda setan itu kepada dirinya. Ia merasa putus harapan karena sejak tadi, semua jeritannya sia-sia belaka, tidak ada orang yang berani mencampuri urusan Kim-kongcu, apalagi tadinya, masih timbul harapannya akan muncul tunangannya, Pouw Cun Giok, yang gagah perkasa dan pasti akan menolongnya. Akan tetapi setelah tiba di dalam rumah dan dirinya dilempar ke atas pembaringan, musnahlah semua harapannya. Ia maklum sepenuhnya bahwa keadaannya gawat, kehormatannya terancam dan ia sama sekali tidak berdaya. Melawan pun tidak ada artinya sama sekali karena ia adalah seorang gadis yang lemah dan Kim-kongcu selain pandai ilmu silat, juga memiliki tenaga besar.
Pada saat itu, sambil memandang wajah Kim-kongcu dengan ketakutan, ia teringat akan Pouw Cun Giok dan timbul rasa penyesalannya yang amat besar. Tunangannya itu tidak pernah muncul selama dua tahun, bahkan kini ia berada dalam ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, tetap saja tunangannya itu tidak muncul dan tidak dapat diharapkan.
Mengingat akan kematian kakak ipar dan ayahnya, timbul dendam hebat di hati Siok Eng. Ia harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan kehormatannya. Lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatannya kepada pemuda biadab ini. Siok Eng mengambil tusuk sanggulnya yang terbuat dari perak dan berujung runcing.
Ia sengaja tidak mengelak ketika bagaikan seekor harimau menubruk domba, Kim Magu menerkam dan merangkul, menciuminya. Pada saat pemuda itu lengah oleh memuncaknya nafsu ketika kedua tangan pemuda itu mulai merenggut dan menanggalkan pakaian Siok Eng yang sengaja dibiarkan saja oleh gadis itu, tiba-tiba tangan kanan Siok Eng yang sejak tadi sudah mempersiapkan tusuk kondenya, menyambar dengan pengerahan sekuat tenaga ke wajah Kim Magu. Pada saat itu, Kim Magu sedang dimabok nafsu dan sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang sudah dicengkeramnya dan agaknya sudah menyerah itu akan menyerangnya. Dia menjadi lengah dan serangan itu terlalu dekat sehingga dia tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.
“Crottt...!”
“Aduhhhh...!” Kim Magu melompat ke belakang seperti terpental dan kedua tangannya mendekap mata kirinya di mana masih menancap tusuk konde yang panjangnya sejengkal lebih itu dan yang sudah memasuki matanya hampir seluruhnya. Dia menjerit-jerit kesakitan, lalu berhasil mencabut tusuk konde itu. Darah muncrat-muncrat dari mata kirinya. Kemarahan dan rasa nyeri membuat Kim Magu hampir gila. Dia menerkam tubuh Siok Eng yang masih telentang di atas pembaringan, lalu kedua tangannya memukul, mencekik membabi buta.
Tentu saja Siok Eng tidak mampu menghindar, akan tetapi juga tidak terlalu lama menderita karena pukulan pertama yang mengenai kepalanya saja sudah cukup untuk menewaskannya. Biarpun Kim Magu mengamuk, memukuli dan mencekik, ia tidak merasakan lagi. Siok Eng tewas dalam keadaan masih belum ternoda kehormatannya dan biarpun ia hanya seorang wanita lemah, namun ia tewas sebagai seorang wanita yang gagah berani, lebih baik kehilangan nyawa daripada menyerahkan kehormatannya untuk dinodai dan dihina!
Kim Magu marah bukan main. Bukan saja dia gagal memuaskan gairah nafsunya, sebaliknya dia malah kehilangan mata kirinya! Tidak ada tabib di Cin-yang mampu memulihkan matanya karena biji matanya telah hancur tertusuk benda runcing berupa tusuk sanggul itu. Dia menjadi buta sebelah sehingga membuat wajahnya yang tadinya gagah, biarpun berkulit hitam, kini menjadi buruk menjijikkan dan menyeramkan.
Nasib Siok Hwa atau Nyonya Chao Kung tidak lebih baik daripada nasib Siok Eng. Dalam keadaan pingsan dia dibawa oleh Kui Con ke rumah pelacuran dan selagi pingsan ia diperkosa oleh putera Kepala Pengadilan itu. Setelah siuman dari pingsannya dan melihat kenyataan bahwa dirinya telah dinodai, Siok Hwa bertindak nekat, mengigit putus lidahnya sendiri lalu membenturkan kepalanya pada dinding kamar sehingga kepalanya retak dan ia tewas seketika!
Demikianlah, dalam waktu sehari saja, seluruh keluarga itu telah terbasmi habis. Siok Kan, kedua orang puterinya Siok Hwa dan Siok Eng, juga mantunya Chao Kung, tewas dalam keadaan menyedihkan. Padahal, keluarga ini terkenal sebagai keluarga yang baik, sebagai manusia-manusia yang memiliki sikap, ucapan, dan perbuatan yang tak pernah tercela. Juga suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan, suka menyumbangkan sebagian penghasilannya, tak pernah bermusuhan. Akan tetapi, akhirnya mereka tewas dalam keadaan mengerikan.
Sebaliknya, banyak sekali orang-orang yang pada umumnya tidak disuka rakyat, yang hanya menumpuk harta, yang lalim kejam dan suka bertindak sewenang-wenang, yang pada umumnya disebut sebagai orang jahat, dapat hidup kaya raya penuh kemewahan dan kemuliaan. Mengapa orang yang hidup sebagai orang yang baik malah sengsara dan orang yang hidupnya jahat malah berbahagia? Adilkah itu?
Pertanyaan ini dilontarkan orang sejak dahulu, membuat manusia merasa penasaran, bahkan ada yang berani menuduh bahwa Tuhan itu tidak adil! Dua jiwa yang baru dilahirkan sebagai manusia, yang keduanya belum sempat membuat dosa, mengapa keadaannya amat berbeda? Yang satu dilahirkan sebagai putera raja, disambut dengan segala kemuliaan oleh rakyat, sedangkan yang lainnya dilahirkan sebagai anak seorang pengemis di kolong jembatan, tak seorang pun mempedulikannya. Mengapa begitu? Benarkah dugaan sementara orang bahwa Tuhan tidak adil?
Dugaan seperti itu sesungguhnya keliru dan menunjukkan bahwa yang berpikiran demikian adalah orang yang imannya terhadap Tuhan rapuh adanya. Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Adil, dan Maha Kasih dan Penyayang! Akan tetapi kuasaNya, keadilanNya, kasihNya tidak dapat diukur dengan pengertian manusia! Manusia mendasarkan kasih dan keadilan kepada kepentingan diri sendiri. Yang baik untuk dirinya, yang menguntungkan, itu baru adil!
Baru ada kasih! Padahal keadilan dan Kasih Tuhan itu meliputi seluruh alam mayapada dan isinya, bukan hanya pada perorangan yang selalu mengutamakan kepentingan sendiri. Kalau diukur dengan pengertian manusia, memang segala hal itu tampaknya tidak adil atau adil, tergantung si penilai demi keuntungan diri sendiri masing-masing. Hujan pun membuat sebagian orang yang diuntungkan memuji sebagai keadilan akan tetapi bagi orang lain yang merasa dirugikan mencelanya sebagai hal yang tidak adil. Terik matahari juga bisa disambut pujian atau keluhan.
Keadilan Tuhan itu mutlak, tak terjangkau oleh pikiran kita, tak dapat diukur, tak dapat diperhitungkan, tak dapat dimengerti. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dalam kehidupan manusia ini pasti bersebab dan berakibat. Tidak ada orang yang lolos dari sebab perbuatannya sendiri. Siapa menanam, dia akan memetik buahnya. Menabur dan menuai tak dapat dipisahkan. Sebab dan akibat itu merupakan mata rantai yang kekal. Sulit menemukan orang yang menyadari bahwa buah yang pahit itu adalah buah pohon yang dulu dia tanam sendiri!
Sulit pula menemukan orang yang ketika melakukan suatu perbuatan itu berarti dia menanam semacam pohon dan kelak perbuatan atau pohon itu akan berbuah dan dia sendiri yang akan memakannya! Orang bijaksana yang menyadari kedua hal ini, pasti akan berhati-hati kalau menanam (berbuat) sehingga memilih pohon yang baik, dan akan menerima segala yang menimpa dirinya tanpa mengeluh atau menyalahkan siapa-siapa karena menyadari bahwa yang menimpa dirinya itu merupakan buah dari pohon tanamannya sendiri atau sebagai akibat dari perbuatannya sendiri!
Maka, berbahagialah orang yang selalu siap melakukan perbuatan yang membahagiakan orang lain dan menganggap perbuatan itu sebagai KEWAJIBAN, sebagai pembuktian rasa bersyukur kepada Tuhan dengan jalan menyalurkan segala anugerah Tuhan kepadanya, bukan menganggap perbuatannya itu sebagai suatu kebaikan! Orang yang membanggakan perbuatan baiknya sebetulnya tidak berbuat baik, melainkan melakukan perbuatan yang pamrihnya bersumber kepada keuntungan diri pribadi, yaitu berupa keuntungan materi atau keuntungan batin seperti pujian dan sanjungan dan kebanggaan!
Matahari yang setiap hari menyinarkan cahaya yang menghidupkan semua mahluk, tak pernah menuntut imbalan karena hal itu merupakan kewajibannya! Kalau kita melakukan perbuatan yang kita anggap baik, seperti menolong orang lain, maka kita sudah memperoleh imbalannya, yaitu rasa bangga, pujian atau sanjungan itu. Itulah buahnya! Akan tetapi kalau kita melakukan perbuatan sebagai penyalur Kasih Tuhan, sebagai kewajiban, maka tanpa kita harapkan pun Tuhan pasti akan memberi buahnya.
Orang baik hidupnya sengsara atau orang jahat hidupnya bahagia, bayi lahir dalam keadaan mulia atau yang lain lahir dalam keadaan sengsara. Hal itu merupakan rahasia bagi kita, karena segala rencana Tuhan sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pikiran kita, sama sekali tidak sama dengan rencana kita yang bersumber kepada menguntungkan diri sendiri. Ada yang menganggap itu sebagai Karma, buah dari pada perbuatan-perbuatannya dahulu ketika jiwa itu terlahir di masa sebelumnya. Akan tetapi apa dan bagaimana perbuatan di masa kehidupan lalu itu pun tidak ada yang mampu menjelaskannya karena itu semua merupakan rahasia yang hanya diketahui dan direncanakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa!
Kota Cin-yang menjadi gempar ketika mendengar hahwa Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun Sam yang mereka hormati dan kasihi karena pembesar itu bijaksana dan adil, telah terbunuh, kabarnya dibunuh Panglima Kim Bayan. Karena pembunuhnya seorang panglima besar, maka hal itu tidak sampai menjadi urusan yang berkepanjangan, apalagi Kim Bayan melapor ke kota raja bahwa Yo Bun Sam membantu dan bersekongkol dengan para pemberontak.
Kegemparan menjadi-jadi ketika para penduduk mendengar bahwa Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, dibunuh oleh pasukan perajurit yang mengawal Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kemudian mereka mendengar bahwa isteri Chao Kung, yang dibawa Kui-kongcu, telah tewas membunuh diri, demikian pula Siok Eng yang dibawa Kim-kongcu, kabarnya juga telah tewas karena berani melukai Kim-kongcu dan dibunuh.
Berita itu mendatangkan kegemparan dan rasa penasaran, akan tetapi siapakah yang akan berani menuntut dan kalau dituntut sekalipun, kepada siapa? Kim Bayan adalah seorang panglima besar yang berkuasa, sedangkan ayah Kui-kongcu, yaitu Kui Hok adalah Kepala Pengadilan yang akan menyidangkan semua perkara sehingga para penuntut tentu saja akan mati kutu dan kalah dalam perkara mereka.
Akan tetapi, seperti juga segala macam peristiwa yang terjadi, baik itu menyenangkan ataupun menyusahkan, akan luntur dimakan waktu. Demikian pula dengan peristiwa yang menggemparkan penduduk Cin-yang itu. Setelah lewat kurang lebih dua bulan, jarang ada yang membicarakan peristiwa itu lagi, bahkan sebagian orang sudah melupakannya. Kehidupan berjalan lancar dan normal kembali walaupun kini setelah Kepala Daerah Cin-yang diganti, penduduk merasa tidak ada lagi yang membela dan melindungi mereka. Para pejabat, dari yang kecil sampai yang paling besar, rata-rata brengsek, menekan, memeras dan selalu mengejar uang. Suap dan sogok terjadi di hampir semua bidang dan usaha pun tidak akan lancar kalau tidak menggunakan cara itu.
********************
Sekitar dua bulan kemudian, pada suatu siang seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun, tampan gagah dan gerak-geriknya halus, memasuki kota Cin-yang. Pemuda itu adalah Pouw Cun Giok yang telah mengubah niatnya pergi ke Thai-san menyelidiki tentang harta karun Kerajaan Song yang hilang diambil orang, dan lebih dahulu hendak berkunjung ke rumah tunangannya, Siok Eng, yang sudah lama ditinggalkannya.
Setelah memasuki kota itu, kota yang pernah dikunjunginya dua tahun lebih yang lalu, bersama gurunya, Suma Tiang Bun, ketika mereka berdua menolong Siok Kan dan Siok Eng lalu mengantarkan mereka ke kota ini untuk tinggal di rumah Chao Kung, dia merasa terharu juga. Baru terasa olehnya betapa dia seolah-olah menyia-nyiakan Siok Eng, tunangannya itu. Mereka telah bertunangan, bahkan tanda ikatan perjodohan dari gadis itu berupa tusuk sanggul perak berbentuk pohon Yang-liu sampai sekarang masih ada padanya. Akan tetapi selama dua tahun dia tidak pernah menjenguknya atau memberi kabar. Dia dapat membayangkan betapa gadis itu menanti-nantinya dengan hati bimbang dan sedih.
“Eng-moi...!” Dia mengeluh penuh perasaan berdosa dan iba terhadap tunangannya itu. Dia pun mempercepat langkahnya menuju ke rumah Chao Kung di mana tunangannya tinggal.
Ketika tiba di depan rumah itu, dia hampir tidak mengenal. Dahulu, setahunya rumah itu membuka sebuah toko, akan tetapi sekarang tokonya tidak ada, semuanya bahkan daun pintunya, tertutup! Dengan hati agak ragu dia menghampiri pintu lalu mengetuknya perlahan.
“Tok-tok-tok...!”
Tidak ada jawaban dari dalam. Akan tetapi pendengaran Cun Giok yang tajam dapat menangkap adanya gerakan orang di balik daun pintu itu. Dia mengetuk,
“Tok-tok-tok, harap bukakan pintu, saya Pouw Cun Giok!”
Terdengar kaki melangkah mendekati pintu dan daun pintu dibuka dari dalam. Yang membuka daun pintu itu adalah seorang wanita setengah tua, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pembantu rumah tangga.
“Kongcu (Tuan Muda) siapakah dan hendak mencari siapa?” tanya wanita itu dengan suara gemetar dan sinar matanya jelas tampak ketakutan.
“Saya Pouw Cun Giok, apakah engkau tidak ingat, Ciu-ma?” kata Cun Giok yang masih mengenal wanita pembantu rumah tangga di rumah itu.
“Pouw Cun Giok... ah, apakah Kongcu ini tunangan Nona Siok Eng...?”
“Benar, Ciu-ma. Di manakah semua keluarga? Mengapa pintu ditutup dan dalam rumah tampak begini sepi?”
“Masuklah, Kongcu, masuklah...” Ciu-ma berkata dan suaranya menggetar seperti menahan tangis.
Setelah Cun Giok masuk, Ciu-ma cepat menutupkan dan memalangi pintu itu, setelah itu dia tidak dapat menahan lagi tangisnya. Ia menjatuhkan diri berlutut di atas lantai dan menangis sejadi-jadinya, akan tetapi ia menahan sehingga suara tangisnya tidak keluar, hanya terisak-isak dibarengi membanjirnya air matanya. Cun Giok terkejut sekali. Dia menarik wanita itu bangkit dan membawanya ke ruangan tengah, lalu menyuruhnya duduk di atas kursi di depannya.
“Tenanglah, Ciu-ma. Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis. Di mana adanya semua orang?”
“Aduh, Kongcu... mereka semua mati mereka semua mati...”
“Ahh...!” Begitu kagetnya Cun Giok sampai dia melompat berdiri dengan wajah pucat, lalu menghampiri wanita itu dan mengguncang kedua pundaknya.
“Apa yang terjadi? Hayo ceritakan, ceritakan semuanya yang jelas!” Cun Giok membentak sehingga Ciu-ma yang sudah ketakutan dan bersedih itu menjadi semakin takut dan tangisnya semakin menjadi-jadi, sesenggukan sampai sesak napas.
Cun Giok segera menyadari bahwa dia bersikap terlalu kasar dan membuat wanita itu ketakutan. Dia lalu melepaskan pundak wanita itu, duduk kembali dan berkata dengan tenang dan sabar.
“Maafkan aku, Ciu-ma. Aku tadi bersikap kasar karena aku merasa kaget sekali. Nah, hentikan tangismu dan ceritakan dengan jelas apa yang terjadi, dari awal mula.”
Akhirnya Ciu-ma dapat menenangkan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu ia bercerita...