03. PENYESALAN SEORANG CALON SUAMI!
“Mula-mulanya terjadi setahun yang lalu. Dua orang pemuda bangsawan, yaitu Kim-kongcu putera Panglima Besar Kim dan Kui-kongcu putera Kepala Pengadilan Kui, ingin menjadikan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa sebagai selir mereka. Tentu saja pinangan ini ditolak. Utusan mereka, Panglima Lai menggunakan pasukannya untuk memaksa dan membawa Nona Siok Eng dan Nyonya Chao Kung atau Siok Hwa. Siok Lo-ya (Tuan Siok) dan mantunya melawan akan tetapi mereka dihajar pasukan dan kedua orang wanita itu hendak dibawa dengan paksa.
Akan tetapi muncul seorang gadis pendekar menolong. Gadis itu menghajar Lai-ciangkun dan anak buahnya, kemudian membawa seluruh keluarga Siok ke gedung Kepala Daerah Yo Bun Sam. Yo-thaijin yang bijaksana dan adil melindungi keluarga ini sehingga tidak ada yang berani mengganggu. Kedua orang pemuda bangsawan itu kabarnya dihajar oleh pendekar wanita itu dan selama ini kehidupan kita di sini aman karena dilindungi oleh Yo-thaijin.”
“Pendekar wanita itu, siapa namanya, Ciu-ma?”
“Saya tidak tahu, Kongcu, dan saya kira tidak ada yang tahu siapa nama pendekar itu, hanya orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli. Setelah menyelamatkan keluarga di sini, ia lalu menghilang dan tidak ada yang tahu ke mana perginya.”
“Hemm...” Cun Giok diam-diam tercengang karena tidak menyangka sama sekali bahwa Ceng Ceng telah menyelamatkan tunangannya sekeluarga! “Lalu bagaimana, Ciu-ma? Lanjutkan ceritamu.”
Kegembiraan mendengar bahwa Ceng Ceng yang menolong Siok Eng hanya merupakan setitik cahaya dalam kegelapan yang menyelimuti hatinya sehingga tidak ada artinya. Lemah lunglai seluruh tulang dan syarafnya mendengar bahwa tunangannya berikut ayahnya sekeluarga telah mati!
“Malapetaka itu datang tanpa disangka-sangka, Kongcu. Sekitar dua bulan yang lalu, di Cin-yang terjadi peristiwa yang menggemparkan seluruh penduduk kota ini. Kim-kongcu dan Kui-kongcu, dua orang pemuda bangsawan yang dulu dihajar Pek-eng Sianli dan tak pernah kelihatan lagi itu, tiba-tiba muncul di sini bersama duabelas orang perajurit mereka. Mereka menyerang Tuan Muda Chao Kung dan Tuan Tua Siok Kan sehingga mereka berdua itu tewas di rumah ini, sedangkan Nyonya Siok Hwa dan Nona Siok Eng mereka culik...” Kembali air mata mengalir deras dari sepasang mata Ciu-ma.
“Keparat...!” Cun Giok memaki dan wajahnya yang tadi pucat itu kini berubah merah. Akan tetapi dia mampu mengendalikan diri dan berkata, “Ciu-ma, lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan Enci Siok Hwa dan Nona Siok Eng?”
Ciu-ma kembali dengan sukar menahan isak tangisnya. “Aduh, Kongcu... saya hanya dapat meratap dan menangis... pada keesokan harinya, mereka itu memulangkan Nona Siok Eng dan Nyonya Siok Hwa ke sini... sudah... menjadi mayat...”
“Jahanam busuk!” Kembali Cun Giok memaki dan kemarahannya memuncak. Dia menggigit bibir sendiri dan tanpa disadarinya, kedua pipinya juga sudah basah air mata yang bercucuran keluar dari kedua matanya. Semakin besar kesedihan dan penyesalannya, dia merasa dosanya terhadap Siok Eng makin besar. Kalau saja dia bukan seorang tunangan yang begitu buruk, kalau saja dia sering datang berkunjung, kiranya dia akan dapat melindungi tunangannya itu bersama keluarganya!
“Ahhh... Ciu-ma, kenapa mereka... tewas pula?” tanyanya dengan suara gemetar.
“Saya hanya mendengar kabar angin bahwa Nona Siok Eng telah menyerang Kim-kongcu sehingga mata kiri pemuda bangsawan itu menjadi buta, maka Kim-kongcu lalu memukulnya sampai mati. Sedangkan Nyonya Siok Hwa, kabarnya ia mati membunuh diri... Saya dibantu para tetangga hanya dapat mengurus penguburan mereka semua.”
Cun Giok mengusap air mata dari mukanya dengan ujung lengan bajunya. “Ciu-ma, bukankah katamu tadi Kepala Daerah Yo Bun Sam yang bijaksana itu melindungi keluarga ini? Bagaimana sampai dapat terjadi pembunuhan-pembunuhan itu?”
“Aduh, Kongcu. Pada hari yang sama, Yo-thaijin juga tewas dibunuh oleh Panglima Besar Kim Bayan dengan tuduhan bersekongkol dengan pemberontak. Tentu semua ini merupakan pembalasan karena dulu Pek-eng Sianli memberi hajaran keras kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu.”
Cun Giok diam saja sampai lama. Dia hanya duduk dengan kedua tangan dikepal dan wajahnya yang tampan berubah bengis, matanya mencorong menakutkan sehingga Ciu-ma tidak berani bergerak dan tidak berani mengeluarkan suara.
Setelah Cun Giok dapat mengendalikan diri dan menenangkan perasaannya yang menggelora, dengan lembut dia lalu minta keterangan kepada Ciu-ma di mana rumah Kim-kongcu dan Kui-kongcu dan di mana dikuburnya jenazah Siok Kan, Chao Kung, Siok Eng, dan Siok Hwa. Kemudian, dia minta diantar oleh Ciu-ma memasuki kamar mendiang Siok Eng.
“Barang-barang berharga dari dalam rumah ini telah habis dirampok oleh pasukan pengawal duabelas orang itu, Kongcu,” kata Ciu-ma.
Dengan tubuh lemas karena dilanda kesedihan yang besar, jantung Cun Giok berdebar ketika dia memasuki kamar Siok Eng. Kamar yang sederhana saja namun bersih karena selama ini Ciu-ma tetap membersihkan setiap kamar dan ruangan dalam rumah itu tiap hari. Teringat akan kesalahannya terhadap Siok Eng, tunangannya yang dia tinggalkan, bahkan seolah dia sia-siakan selama dua tahun ini, tak terasa lagi kedua mata Cun Giok kembali menjadi basah. Dia duduk di tepi pembaringan dan berkata kepada Ciu-ma dengan lirih.
“Ciu-ma harap tinggalkan aku di sini sejenak.”
Ciu-ma mengerti akan perasaan pemuda itu. Ia mengangguk dan sambil menghapus air matanya ia keluar dari kamar itu dan tidak lupa menutupkan daun pintu kamar itu dari luar. Setelah berada seorang diri di kamar tunangannya itu, Cun Giok tak dapat menahan tangisnya. Dia rebah di atas pembaringan dan memeluk bantal yang biasa dipergunakan oleh Siok Eng.
“Eng-moi... maafkan aku, Eng-moi... aku berdosa besar padamu... Eng-moi, engkau tetap jodohku, engkau isteriku dan aku akan selalu ingat dan menganggap engkau sebagai isteriku. Semoga arwahmu tenang, Eng-moi, percayalah, aku akan membalaskan sakit hatimu, Ayahmu, Encimu dan suaminya...”
Cun Giok merasa demikian sedih dan terharu, tubuhnya terasa lemas kehilangan seluruh tenaganya dan akhirnya dia rebah tertidur atau setengah pingsan di atas pembaringan Siok Eng.
********************
Malam itu bulan tiga perempat bersinar cukup terang. Langit tidak ada awan sehingga suasananya indah dan cerah. Namun hawa udara amatlah dinginnya sehingga sebelum tengah malam sudah jarang terdapat orang berada di luar rumah. Penduduk kota Cin-yang lebih suka berada dalam kamar di rumah masing-masing.
Cun Giok terbangun sore tadi. Ciu-ma dengan hormat melayani tunangan bekas nona majikannya, menyediakan air untuk mandi dan menyiapkan makan malam. Cun Giok yang sudah tenang kembali mandi, bertukar pakaian dan makan malam tanpa banyak bicara. Dia menjadi pendiam dan seperti orang melamun, akan tetapi kalau melihat sepasang matanya yang mencorong, orang akan menjadi ngeri. Ciu-ma melayaninya dengan diam-diam. Wanita ini pun ketakutan melihat sinar mata Cun Giok.
Setelah dia makan, Cun Giok minta tolong kepada Ciu-ma untuk menyelidiki, di mana adanya Kim-kongcu dan Kui-kongcu malam itu. Ciu-ma yang diam-diam juga merasa sakit hati dan membenci kedua orang pemuda bangsawan itu, lalu pergi. Karena ia sudah mendengar banyak tentang dua orang muda yang dibencinya itu yang telah membasmi majikannya sekeluarga, maka tidak sukar baginya untuk mencari tahu di mana adanya mereka itu.
Ia segera kembali dan memberitahu kepada Cun Giok bahwa pada malam itu Kim-kongcu berada di rumah peristirahatannya dilayani para selirnya, sedangkan Kui-kongcu berada di rumah pelesir Bunga Merah di ujung kota Cin-yang. Setelah mendapat keterangan jelas tentang letak dua tempat ini, dan mengetahui pula di mana adanya kuburan keluarga Siok, malam itu, menjelang tengah malam Cun Giok meninggalkan rumah itu dan tubuhnya berkelebat menghilang di antara bayang-bayang rumah dan pepohonan.
Di dalam rumah peristirahatannya yang mungil dan mewah, Kim Magu sedang berpesta pora makan minum dilayani oleh tiga orang selirnya yang terbaru. Dengan memangku dua orang selir di atas paha kanan kirinya, selir ketiga menyuapinya dari depan. Gembira bukan main Kim-kongcu pada malam yang dingin itu. Dia agaknya sudah lupa lagi bahwa di rumah mungil itulah dia membunuh Siok Eng dua bulan yang lalu setelah gadis yang nyaris diperkosanya itu menyerangnya dengan tusuk konde sehingga mata kirinya menjadi buta.
Untuk menutupi mata yang kosong itu, yang membuat wajahnya nampak buruk mengerikan, Kim Magu kini menggunakan sehelai kain sutera biru untuk diikatkan di kepala menutupi mata kiri itu sehingga wajahnya kini tampak tidak terlalu buruk. Kim Magu dan tiga orang selirnya itu tertawa-tawa bergurau sambil makan minum, bergembira ria tenggelam dalam nafsu kesenangan. Dua orang wanita pelayan yang tadi menghidangkan makanan dan minuman tidak berani mengganggu dan mereka berdua berdiam di dapur sambil menanti perintah. Merekalah yang nanti bertugas membersihkan meja dan ruangan itu, mencuci piring mangkok.
Bayangan Cun Giok berkelebat di atas genteng rumah itu. Setelah mempelajari keadaan di bawah, tubuhnya melayang ke belakang rumah. Dengan cepat sekali tanpa mengeluarkan suara, dia menyelinap masuk ke dapur melalui pintu belakang. Dua orang wanita pelayan yang berada di dapur, terkejut setengah mati, akan tetapi sebelum mereka sempat menjerit, Cun Giok sudah bergerak cepat dan mereka berdua roboh terguling ke atas lantai dapur dalam keadaan pingsan dan tubuh mereka lemas tertotok.
Setelah merobohkan dua orang wanita pelayan itu sehingga mereka tidak sempat menjerit atau membuat gaduh, Cun Giok lalu berindap menuju ke ruangan tengah. Dari dapur saja dia sudah dapat menangkap gelak tawa dan senda gurau Kim Magu dan tiga orang selirnya. Melihat bahwa di situ tidak terdapat perajurit pengawal yang menjaga, Cun Giok dengan tenang melangkah memasuki ruangan itu. Tiga orang selir itu yang lebih dulu melihat Cun Giok yang melangkah dengan santai.
“Eh, siapa dia?” mereka berseru heran. Kim Magu mengangkat muka dan dia pun kini dapat melihat Cun Giok. Marahlah dia karena dia tidak mengenal pemuda itu yang bukan merupakan seorang perajurit atau pengawal ayahnya.
“Heh, siapa kamu?” bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok.
Dari Ciu-ma, Cun Giok sudah mengenal bahwa pemuda bermata satu itu pasti yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu, orang yang telah membunuh Siok Eng dan yang mata kirinya buta oleh serangan tunangannya. Maka, untuk meyakinkan hatinya dan agar jangan keliru dan salah tangkap, dia membalas pertanyaan pemuda bermata sebelah itu dengan pertanyaan juga.
“Apakah engkau yang bernama Kim Magu, putera Panglima Kim Bayan yang disebut Kim-kongcu?”
Kim Magu menjadi marah bukan main. Karena Cun Giok tampak seperti seorang pemuda yang lembut dan lemah, maka tentu saja dia memandang rendah dan tidak menduga sama sekali bahwa yang berdiri di depannya itu seorang pendekar yang amat lihai. Saking marahnya dia menolak dua orang selir dari pangkuannya sehingga mereka terhuyung, lalu dia bangkit berdiri dan menyambar goloknya yang berada di atas meja kecil di belakangnya.
“Orang kurang ajar! Hayo katakan siapa engkau dan apa maksudmu berani lancang memasuki rumah ini tanpa ijin!”
“Katakan dulu apakah engkau yang bernama Kim Magu?” kembali Cun Giok bertanya.
Seorang selir Kim-kongcu yang ingin memperlihatkan bahwa ia membela Kim-kongcu, dengan galak berkata kepada Cun Giok. “Heh, orang muda yang tidak tahu aturan! Sudah tahu berhadapan dengan Kim-kongcu, mengapa engkau tidak cepat memberi hormat? Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Kini Cun Giok merasa yakin bahwa inilah orang yang dicarinya, maka tanpa banyak cakap lagi tubuhnya melompat ke depan, ke arah Kim-kongcu. Pemuda bangsawan ini menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi dia terkejut dan heran karena tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depannya dan sebelum dia mengetahui ke mana perginya pemuda itu, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya tertotok dan lengan itu lumpuh sehingga goloknya terlepas dan jatuh berdentangan di atas lantai. Tiba-tiba Kim Magu merasa tubuhnya lemas dan kehilangan semua tenaganya, kaki tangannya tidak dapat digerakkan dan tahu-tahu dia sudah dipanggul ke atas pundak kanan Cun Giok!
Tiga orang selir yang melihat ini lalu menjeri-jerit sekuatnya. “Tolonggg... tolong... ada penjahat...!”
Cepat sekali tubuh Cun Giok berkelebat dan tiga orang wanita itu roboh tertotok dan pingsan. Lalu dia melompat keluar dari rumah itu dan berlari cepat sambil memanggul tubuh Kim Magu yang tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara. Cun Giok berlari seperti terbang cepatnya dan untung baginya bahwa jalan-jalan di kota Cin-yang sudah sepi. Andaikata ada yang kebetulan berada di luar rumah pun, akan sukar melihat pemuda yang berkelebat amat cepatnya itu. Cun Giok juga memilih bagian yang gelap oleh bayangan pohon dan rumah untuk dilewatinya.
Dia membawa tubuh Kim Magu itu ke tanah kuburan di mana makam Siok Kan, Chao Kung, Siok Hwa dan Siok Eng berada dalam keadaan berjajar dan bong-pai (batu nisan) yang amat sederhana itu pun masih baru. Cun Giok melempar tubuh Kim Magu ke bawah semak-semak dan setelah merasa yakin bahwa totokan pada tubuh Kim Magu itu tidak akan dapat pulih dalam waktu yang cukup lama, dia lalu meninggalkan tanah kuburan.
Kini yang dituju adalah rumah pelesir Bunga Merah karena dia mendapat keterangan dari penyelidikan Ciu-ma bahwa Kui Con atau Kui-kongcu malam itu berpelesir dan menginap di rumah pelesir itu. Rumah pelesir itu cukup besar dan didepannya terdapat sebuah taman bunga yang penuh dengan bunga berwarna merah. Karena inilah agaknya maka tempat itu dinamakan Rumah Pelesir Bunga Merah.
Karena malam telah larut, agaknya para tamu yang biasanya memenuhi ruangan depan sambil minum-minum dilayani para wanita tuna susila, sudah meninggalkan tempat itu. Hanya ada Kui Con atau Kui-kongcu yang bermalam di situ karena pemuda putera Kepala Pengadilan itu dapat dikatakan berkuasa di rumah ini yang seolah menjadi rumah peristirahatannya sendiri. Dialah yang menjadi penyumbang utama dan diandalkan oleh para pengurusnya.
Pada malam itu, seperti biasa terdapat para tukang pukul yang mendapat giliran berjaga. Jumlah tukang pukul di tempat itu ada lima orang dan setiap malam melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi malam ini Kui-kongcu bermalam di situ dan seperti biasa Kui-kongcu membawa pengawal sebanyak lima orang maka di ruangan depan itu kini berkumpul sepuluh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan tampak galak menyeramkan. Mereka sedang bermain kartu akan tetapi tidak berani membuat gaduh karena Kui-kongcu berada di rumah itu, dalam sebuah kamar bersenang-senang minum arak dilayani dua orang wanita tuna susila yang menjadi langganannya.
Kui Con bersendau gurau dengan dua orang wanita itu. Dia tampak gembira sekali karena setelah membasmi Keluarga Siok dan Kepala Daerah Yo Bun Sam yang menjadi penghalang baginya tewas, dia selalu tampak gembira. Kini seperti dulu dia dapat berbuat sesuka hatinya, bersenang-senang menghamburkan uang ayahnya yang didapat dari suapan dan sogokan mereka yang mendapatkan perkara di pengadilan. Setelah minum arak cukup banyak dan mulai agak mabok, Kui Con menyuruh pelayan menyingkirkan semua sisa makanan dan minuman dari kamar itu dan bersiap-siap untuk bersenang-senang dengan dua orang wanita cantik itu.
Tiba-tiba daun jendela yang menghadap ke taman terbuka dan sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu dalam kamar itu telah berdiri Cun Giok! Dua orang wanita penghibur itu terkejut dan menjerit, akan tetapi mereka segera roboh tertotok. Melihat seorang pemuda yang tidak dikenalnya itu, Kui Con menjadi marah sekali. Dia bukan seorang pemuda lemah karena bersama Kim Magu dia telah mempelajari ilmu silat yang cukup lumayan. Segera dia menyambar sebatang golok yang tak pernah terpisahkan dari dirinya dan mencabut golok itu.
“Jahanam busuk, siapa engkau berani mengacau di sini?” bentaknya.
“Apakah engkau yang bernama Kui Con? Aku diutus oleh Kim Magu untuk menemuimu.”
Kui Con tertegun heran. “Kim-kongcu mengutusmu menemui aku? Benar, aku adalah Kui Con. Engkau siapakah dan diutus apa oleh Kim-kongcu?”
“Aku diutus untuk mengajak engkau menemuinya.”
Kui Con mengerutkan alisnya, kecurigaannya muncul kembali, apalagi ketika pandang matanya bertemu dengan tubuh dua orang gadis penghibur itu yang menggeletak di atas lantai tanpa dapat bergerak.
“Tidak mungkin Kim-kongcu memanggilku tengah malam begini! Hayo katakan, siapa engkau dan apa maksudmu sebenarnya?”
Cun Giok kini merasa yakin bahwa pemuda inilah yang bernama Kui Con yang dulu menculik Siok Hwa. Maka dia berkata, “Kui Con, engkau harus ikut denganku, mau atau tidak mau!”
Kui Con marah sekali. Dia berteriak memanggil pengawal sambil menerjang ke depan, menyerang Cun Giok dengan goloknya. Akan tetapi menghadapi Cun Giok, ilmu silat pemuda ini sama sekali tidak ada artinya. Hanya satu kali tubuh Cun Giok bergerak dan golok itu telah terlepas dari tangan Kui Con dan di lain saat dia telah terkulai lemas karena ditotok jalan darahnya. Cun Giok segera menangkap dan memanggulnya.
Pada saat itu, sepuluh orang pengawal yang mendengar teriakan Kui Con dan memasuki kamar itu, melihat Kui Con dipanggul seorang pemuda, mereka segera menyerang dengan senjata tajam mereka berupa golok atau pedang. Sambil memanggul tubuh Kui Con yang tak mampu bergerak atau bersuara, Cun Giok menyambut serangan sepuluh orang pengawal itu dengan tendangan kedua kakinya. Kedua kaki itu menyambar-nyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti penglihatan para pengeroyok itu dan tahu-tahu tubuh mereka terlempar dan berpelantingan.
Mereka hanya dapat berteriak mengaduh dan setelah sepuluh orang itu roboh semua oleh tendangannya, Cun Giok lalu melompat keluar dari rumah pelesir itu dan menghilang dalam gelap. Sepuluh orang pengawal yang tidak terluka parah, merangkak bangkit dan mencoba mengejar, akan tetapi mereka tidak menemukan jejak Cun Giok yang menculik Kui-kongcu. Terpaksa mereka lalu beramai-ramai pergi ke gedung Kepala Pengadilan Kui Hok untuk melaporkan peristiwa itu.
Kui-thaijin tadinya marah sekali karena pada tengah malam begitu dia terganggu dan harus bangun, akan tetapi setelah mendengar laporan mereka bahwa puteranya diculik orang, dia lalu mengerahkan semua perajurit pengawal yang ada untuk melakukan pencarian.
Cun Giok dengan cepat membawa Kui Con ke tanah kuburan dan setelah melemparkan tubuh Kui-kongcu itu ke atas tanah, dia lalu menyeret keluar tubuh Kim-kongcu dari bawah semak-semak dan melemparkan tubuhnya dekat tubuh Kui-kongcu. Ketika dua orang pemuda itu mengetahui keadaan masing-masing, timbullah perasaan takut dan ngeri dalam hati mereka...