Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 04

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar tanpa bayangan episode harta karun kerajaan sung jilid 04
Sonny Ogawa
04. PERJALANAN SI BUTA BERSAMA SI BUNTUNG

KURANG puas dengan sinar bulan, Cun Giok lalu menyalakan empat batang obor yang memang sudah dia persiapkan sehingga tempat itu menjadi terang. Dua orang pemuda bangsawan itu ngeri melihat bahwa mereka berada di depan empat kuburan baru yang berjajar. Mereka tidak pernah berkunjung ke tanah kuburan dan tidak tahu kuburan siapakah yang berada di depan mereka itu.

Cun Giok menghampiri Kim Magu dan sekali tangannya bergerak, pemuda Mongol itu telah terbebas dari totokan. Dia mencoba bangkit berdiri, akan tetapi karena tadi agak lama berada dalam keadaan lumpuh, dia terhuyung dan jatuh terduduk di atas tanah. Selain sudah dapat bergerak, Kim Magu juga sudah dapat bersuara. Dia memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak kepada Cun Giok. Lenyaplah kesombongannya dan dengan hati-hati dia bertanya.

“Sobat, siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau menangkapku dan membawaku ke sini? Tidakkah engkau tahu bahwa aku ini putera Panglima Besar Kim Bayan yang menguasai seluruh pasukan daerah ini?”

Cun Giok menatap tajam wajah yang sebelah matanya tertutup kain sutera itu. “Kim Magu, engkau harus mengaku apa yang telah kaulakukan dengan mereka yang jenazahnya dikubur di sini!” Dia menuding ke arah empat gundukan tanah kuburan itu.

Kim Magu terbelalak memandang empat batu nisan itu. “Ini... ini... kuburan siapakah? Aku tidak mengenal mereka...”

“Tidak mengenal mereka? Coba ingat baik-baik, ini adalah makam Paman Siok Kan, Chao Kung, isterinya Siok Hwa dan Nona Siok Eng. Engkau masih hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal mereka?”

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Kim Magu. Wajahnya menjadi semakin pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu dibuka lebar-lebar. Tidak mungkin lagi dia menyangkal, maka dia menjawab mencoba untuk membela diri.

“Ya, aku ingat sekarang! Akan tetapi, Taihiap (Pendekar Besar), mereka ini adalah keluarga pemberontak yang hendak memberontak terhadap pemerintah. Kami mendapat tugas untuk membasmi keluarga pemberontak ini.”

“Hemm, begitukah?”

“Sungguh, Taihiap, aku hanya membasmi keluarga pemberontak! Aku tidak bersalah...” kata Kim Magu penuh harap. Kui Con yang belum mampu bergerak atau bersuara, ikut mendengarkan, ikut merasa ketakutan dan kini juga mengharapkan agar pemuda lihai yang menawannya itu mau percaya keterangan Kim Magu.

“Kalau begitu, mengapa engkau menculik Nona Siok Eng? Hayo jawab!”

Tubuh Kim Magu gemetar ketika Cun Giok menyinggung soal Siok Eng. Akan tetapi pemuda ini cerdik dan cepat mendapatkan akal untuk membela diri. “Taihiap, terus terang saja, melihat Nona Siok Eng aku merasa kasihan dan aku ingin membebaskan dara itu dari hukuman dan mengangkatnya menjadi seorang selir. Akan tetapi gadis pemberontak liar itu malah menyerangku. Lihat, Taihiap, sebelah mataku menjadi buta karena ia tusuk dengan tusuk kondenya.”

Cun Giok menahan kemarahannya. “Lalu engkau membunuhnya?”

“Tentu saja! Kalau tidak, tentu aku yang ia bunuh. Seperti kukatakan tadi, keluarga itu keluarga pemberontak dan gadis itu benar-benar liar, Taihiap.”

“Kim Magu, aku mendengar bahwa Nona Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, bagaimana mungkin ia dapat menyerangmu dan membutakan sebelah matamu?”

Melihat Cun Giok bicara lembut kepadanya, Kim Magu mulai merasa tenang. Pemuda lihai ini agaknya seorang kang-ouw yang sehaluan dengannya, maka dia tersenyum. “Memang sesungguhnya demikian, Taihiap. Justeru itulah keliarannya, sebagai seorang gadis lemah dapat membutakan mataku. Akan tetapi itu salahku sendiri karena aku lengah...” Tiba-tiba dia berhenti karena merasa ragu. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi marah kalau dia bercerita bahwa ketika itu dia sedang hendak memperkosa Siok Eng sehingga lengah dan sebelah matanya diserang menjadi buta.

“Mengapa berhenti? Tentu ketika itu engkau hendak memperkosanya, maka ia menjadi nekat menyerangmu, bukan?” Dalam pertanyaan ini terkandung kekerasan sehingga Kim Magu semakin ragu dan mulai ketakutan lagi.

“Tidak... tidak...”

Cun Giok sudah tidak sabar lagi. “Kalau engkau tidak mau mengaku, engkau boleh rasakan ini!” Jari tangannya menekan tengkuk Kim Magu.

Tiba-tiba Kim Magu terbelalak dan mengaduh-aduh karena dia merasa betapa ada hawa panas seperti api membakar dirinya, dari tengkuk turun melalui tulang belakang sehingga seluruh tubuh terasa nyeri bukan main.

“Cepat katakan mengapa Siok Eng nekat menyerangmu, kalau engkau bohong, aku akan membakar seluruh tubuhmu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi!” Dia menekan semakin kuat sehingga Kim Magu menjerit-jerit kesakitan.

Kui Con yang melihat ini, menjadi pucat dan merasa ngeri.

“Aduhh... aduhhh... baik, baik... aku mengaku...”

Cun Giok melepaskan tekanan jarinya dan Kim Magu dengan tubuh gemetar dan air mata bercucuran karena saking sakitnya tadi dia tidak tahan lagi untuk tidak menangis, lalu berkata dengan terengah-engah.

“Memang... aku... aku cinta padanya, aku... hendak memaksanya untuk melayaniku agar ia mau menjadi selirku, akan tetapi tiba-tiba ia menyerangku...”

“Jahanam busuk! Kim Magu, tahukah engkau siapa aku? Aku adalah tunangan mendiang Nona Siok Eng!”

“Uhhhh...” Kini Kim Magu ketakutan sekali, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri hendak melarikan diri, akan tetapi saking takutnya, kedua kakinya tidak dapat dia gerakkan. Dia lalu berlutut menyembah-nyembah.

“Taihiap... ampunkan aku... ampun...”

“Manusia busuk macam engkau ini sebetulnya tidak layak untuk hidup. Akan tetapi terlalu enak bagimu kalau engkau kubunuh. Biar kulanjutkan apa yang belum selesai dan lengkap dilakukan oleh mendiang Nona Siok Eng!” Tampak sinar kuning emas berkelebat tiga kali dan terdengar Kim Magu menjerit-jerit.

“Aduhh... tolooonggg... tolooonggg...!” Kemudian dia roboh terkulai, matanya yang tinggal sebelah kiri itu bercucuran darah dan kedua tangannya sebatas pergelangan telah terbacok putus! Kim Magu tidak berkutik lagi karena dia sudah jatuh pingsan.

Ketika Cun Giok menghampiri Kui Con, pemuda ini menjadi pucat sekali. Begitu Cun Giok membebaskan totokannya sehingga dia mampu bergerak dan bersuara, dia langsung berlutut menyembah-nyembah.

“Taihiap, ampunkan saya... ampunkan saya...”

“Hayo ceritakan apa yang telah engkau lakukan terhadap Nyonya Chao Kung yang kaubawa lari. Jangan bohong!”

“Saya... saya kasihan melihatnya dan ingin membebaskannya dari hukuman, maka ia saya bawa pulang... dan... dan... maksud saya hendak menjadikan ia sebagai selir tercinta... akan tetapi... ia... ia membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada dinding... ampunkan saya, Thai-hiap...”

Cun Giok tidak percaya. Orang macam ini tidak ada bedanya dengan Kim Magu, tidak mungkin bersikap lembut kepada seorang wanita yang sudah diculiknya dan berada dalam cengkeramannya.

“Ia membunuh diri karena engkau memperkosanya, bukan? Hayo jawab dan jangan bohong atau aku akan menyiksamu seperti kepada Kim Magu tadi!”

“Saya... saya... cinta padanya... saya memang menggaulinya... saya tidak mengira ia membunuh diri...”

“Keparat! Manusia macam engkau juga tidak pantas hidup di dunia ini!” Kembali tiga kali sinar emas pedangnya berkelebat dan disusul jeritan Kui Con yang jatuh bergulingan seperti ayam disembelih karena bukit hidungnya telah terpotong semua, juga kedua kakinya buntung sebatas pergelangan kaki!

Merasa puas dengan pembalasan yang dia lakukan terhadap dua orang muda jahanam itu, Cun Giok lalu menotok bagian yang terluka untuk menghentikan darah yang mengalir keluar lalu dia memberi obat bubuk merah untuk mengobati luka-luka mereka. Dia lakukan ini karena dia tidak ingin melihat mereka mati. Dia ingin agar mereka itu menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan menderita dan tidak sempurna sehingga menjadi buah tertawaan orang. Setelah itu ia lalu memberi hormat di depan tiga buah makam itu dan di depan makam Siok Eng dia berkata lirih.”

“Eng-moi, isteriku, maafkan aku yang tidak dapat melindungimu, aku hanya dapat membalaskan dendam sakit hatimu ini dan selamanya engkau akan kuakui sebagai isteriku.” Setelah itu dia melangkah dan hendak pergi.

“Nanti dulu... engkau... katakan siapa namamu kalau memang engkau gagah dan tidak takut akan pembalasan kami kelak!”

Cun Giok berhenti melangkah dan membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang bicara itu. Ternyata yang bicara itu adalah Kim Magu. Pemuda yang kini buta kedua matanya itu dan kedua tangannya buntung, ternyata sudah siuman dan bangkit duduk. Wajahnya mengerikan karena berlepotan darah yang tadi keluar dari mata kanannya. Mendengar ucapan itu, Cun Giok berkata lantang.

“Namaku Pouw Cun Giok dengan sebutan Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan)!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cun Giok lenyap dari tanah kuburan itu.

Dua orang pemuda bangsawan itu kini merintih-rintih. Kalau saja Cun Giok tidak menotok jalan darah untuk menghentikan mengalirnya darah keluar dari luka mereka, keduanya tentu akan mati kehabisan darah. Juga obat luka itu amat manjur. Luka mereka itu cepat mengering. Hanya rasa nyeri yang hebat menyiksa mereka sehingga mereka merintih-rintih. Kim Magu tadi sudah melihat betapa Kui Con juga menjadi tawanan. Kini dia mendengar rintihan suara Kui Con, segera berkata sambil menahan rasa nyeri.

“Kui Con, bagaimana keadaanmu? Apa yang diperbuat penjahat keji itu terhadap dirimu?”

Kui Con menahan rasa nyeri dan menghentikan rintihannya. Obor-obor itu masih bernyala dan dia dapat melihat keadaan Kim Magu dengan jelas. Dia bergidik ngeri melihat betapa mata Kim Magu yang tinggal sebelah itu kini luka berdarah dan tentu menjadi buta pula. Juga dia melihat betapa kedua tangan putera panglima itu buntung sebatas pergelangannya.

“Kim-twako, celaka... dia menyiksaku juga. Kedua kakiku buntung sebatas pergelangan dan... dan... hidungku juga dibacok hingga putus...” Ucapannya tidak jelas karena kini Kui Con bicara dengan suara bindeng (sengau)!

Mendengar ini, dalam kesedihan dan kemarahannya Kim Magu tiba-tiba merasa agak terhibur! Bagaimanapun juga, keadaannya masih lebih baik daripada Kui Con yang sekarang tentu tidak mampu berjalan lagi dan wajahnya tentu menjadi amat jelek karena bukit hidungnya buntung! Di lain pihak, ketika tadi Kui Con melihat keadaan Kim Magu, dia merasa ngeri dan kasihan, juga mendatangkan sedikit hiburan dalam hatinya karena betapa pun buruk keadaannya, keadaan Kim Magu lebih buruk lagi karena pemuda putera panglima itu kini buta kedua matanya dan hilang kedua tangannya sehingga tidak dapat memegang apa-apa lagi!

Memang demikianlah watak orang-orang yang selalu hanya mementingkan diri sendiri. Melihat orang lain lebih beruntung daripada dirinya, timbul perasaan iri. Sebaliknya melihat orang lain dalam keadaan lebih payah atau susah daripada keadaan dirinya, muncul perasaan senang dan terhibur!

“Si keparat itu ternyata adalah Si Pendekar Tanpa Bayangan bernama Pouw Cun Giok!” kata Kim Magu gemas.

“Pendekar Tanpa Bayangan? Twako, bukankah dia yang menjadi pemberontak buruan pemerintah yang dulu membunuh Panglima Besar Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) Kong Tek Kok?”

“Benar dan dia... dia itu tunangan Siok Eng yang kubunuh, terhitung keluarga dari keluarga Siok yang kita basmi. Aku akan melapor kepada Ayah... ah, Kui Con, obor-obor itu sudah akan padam dan di sini amat menyeramkan. Mari kita tinggalkan tempat ini agar ditemukan orang yang dapat membantu dan menolong kita.”

Karena Kui Con tidak dapat berjalan, sedangkan Kim Magu tidak dapat melihat, maka biarpun dengan susah payah karena kedua tangannya buntung, Kim Magu akhirnya menggendong Kui Con di punggungnya sedangkan Kui Con yang menjadi penunjuk jalan karena dia yang dapat melihat. Keadaan mereka serupa dengan dongeng tentang Si Buta dan Si Lumpuh yang saling bantu sehingga dapat melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, bagaimanapun juga keadaan kedua orang itu sungguh amat menyedihkan dan mengerikan.

Sesungguhnya, akibat perbuatan mereka sendiri yang menimpa diri mereka seperti itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan mereka bahwa perbuatan yang tidak baik tentu akan mendatangkan akibat yang buruk pula dan hal itu mungkin dapat membuat mereka menjadi jera dan bertaubat. Akan tetapi dasar mereka orang-orang yang sudah menjadi hamba nafsu dan jiwanya tertutup kotoran tebal yang ditimbulkan dari merajalelanya nafsu mereka sendiri, mereka sama sekali tidak menyesali perbuatan mereka. Mereka hanya menyesali keadaan mereka itu dengan hati penasaran dan timbul dendam sakit hati kepada Cun Giok. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal akan perbuatan mereka, sama sekali tidak merasa bersalah.

Celakalah orang yang menjadi hamba nafsu sehingga selalu membenarkan diri sendiri, merasa baik sendiri, merasa benar sendiri dan segala apa pun di dunia ini harus bermanfaat dan menguntungkan bagi mereka! Sebaliknya, berbahagialah orang yang selalu meneliti perbuatannya sendiri, menganggap bahwa perbuatan mereka merupakan benih yang mereka tanam dan apa pun yang menimpa mereka adalah buah dari benih yang mereka tanam sendiri.

Dengan kesadaran seperti ini, orang bijaksana menghadapi segala keadaan yang menimpa dirinya dengan ikhlas, tidak menyalahkan orang lain melainkan yakin bahwa semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri. Karma akan terus mengejar manusia ke mana pun dia pergi dan Karma akan selalu memaksa orang membayar semua hutangnya yang terjadi karena perbuatannya sendiri.

Setelah keluar dari tanah kuburan, dua orang pemuda bangsawan itu bertemu dengan beberapa orang perajurit yang memang dikerahkan oleh Kui-thaijin untuk mencari puteranya yang diculik orang. Saking leganya bertemu dengan para perajurit, dua orang pemuda bangsawan itu jatuh pingsan. Mereka lalu cepat-cepat digotong oleh para perajurit dan dibawa ke rumah masing-masing.

Kui Con langsung dibawa ke rumah gedung Pembesar Kui Hok dan melihat keadaan Kim Magu, Kui-thaijin memerintahkan para perajurit untuk cepat membawanya ke gedung tempat tinggal Panglima Besar Kim Bayan. Akan tetapi pada waktu itu, Kim Bayan tidak berada di rumah karena dia sedang sibuk berusaha mencari harta karun Kerajaan Sung. Keluarga panglima itu lalu menyambut Kim Magu dengan tangisan dan segera mengundang tabib terpandai di kota Cin-yang untuk mengobati dan merawat pemuda itu.

Biarpun keluarga Kim dan Kui hendak merahasiakan dan menutupi peristiwa itu, namun karena banyak perajurit yang mengetahui, juga para pelayan di kedua keluarga bangsawan itu, akhirnya berita itu tersiar juga dan menjadi bahan percakapan seluruh penduduk Cin-yang. Diam-diam mereka bergembira dan merasa puas dengan hukuman berat yang diberikan Pendekar Tanpa Bayangan kepada dua orang muda bangsawan yang dibenci masyarakat itu.

Dalam keadaan yang menyedihkan dan memalukan itu, Kim Magu dan Kui Con kini hanya menyembunyikan diri dalam kamar, tidak berani kelihatan orang lain karena merasa malu dengan keadaan mereka. Mereka merasa tersiksa dan biarpun rasa nyeri akhirnya dapat dihilangkan, namun mereka merasa betapa hidup mereka tidak ada gunanya lagi. Bahkan sering mereka menangis meratapi nasib mereka dan merasa lebih baik mati saja daripada hidup tersiksa lahir batin seperti itu. Akan tetapi watak buruk mereka tidak pernah hilang sehingga mereka tidak menyesali perbuatan sendiri melainkan setiap hari mencaci-maki dan mengutuk Bu-eng-cu Pouw Cun Giok.

Bahkan Kepala Pengadilan Kui Hok mengerahkan pasukan pemerintah untuk melakukan pencarian terhadap diri pendekar yang namanya amat dikenal itu. Juga pihak keluarga Kim, walaupun Kim Bayan sendiri belum pulang, mereka juga minta kepada para perwira pasukan untuk mencari Pendekar Tanpa Bayangan yang menjadi buronan pemerintah itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Cun Giok meninggalkan tanah kuburan dan dia tidak mau singgah di rumah keluarga Siok yang dijaga Ciu-ma. Tidak ada orang mengetahui ketika dia berkunjung ke rumah itu dan dia tidak ingin ada orang mengetahui agar Ciu-ma tidak terbawa-bawa sebagai akibat dari perbuatannya menghukum Kim-kongcu dan Kui-kongcu.

Setengah malam itu dia berlari cepat. Setelah malam berganti pagi, dia telah berada jauh sekali dari kota Cin-yang. Ketika melihat sebatang sungai yang airnya jernih mengalir di luar sebuah hutan, dia pun berhenti berlari dan duduk di tepi sungai di mana terdapat banyak batu-batu kali yang besar. Dia duduk di atas batu besar yang licin bersih, dan segera tenggelam dalam lamunan.

Semula dia merasa lega dan puas telah memberi hajaran keras kepada dua orang pemuda bangsawan itu untuk membalas dendam Siok Eng sekeluarganya. Rasa lega dan puas itu muncul sebagai akibat dari kemarahan yang membakar hatinya. Akan tetapi sekarang, setelah balas dendam itu dia laksanakan, dan dia duduk termenung memandang air bening yang mengalir di depannya dan matahari pagi membuat garis merah di permukaan sungai, kelegaan dan kepuasan itu tidak terasa lagi.

Dia membayangkan wajah Siok Eng yang bergerak-gerak di permukaan air sungai. Tanpa disadari tangannya merogoh ke balik bajunya dan dia mengeluarkan sebuah benda putih mengkilap. Itulah tusuk sanggul perak berbentuk pohon yang-liu (cemara) pemberian Siok Eng sebagai tanda ikatan perjodohan.

Seperti dalam mimpi dia bicara kepada bayangan wajah Siok Eng di permukaan air setelah menghela napas panjang dan mengeluarkan keluhan merintih. “Eng-moi... aku memang bersalah, aku berdosa kepadamu... akan tetapi lihatlah, isteriku, lihat, tusuk sanggul pemberianmu ini tak pernah terpisah dari tubuhku. Sekali engkau menjadi jodohku, biar kini engkau tidak ada lagi, sampai aku mati pun engkau akan tetap kuanggap sebagai isteriku...”

Kembali dia mengeluh dan tiba-tiba wajah Siok Eng di permukaan air itu berubah, membentuk sebuah wajah lain yang amat dikenalnya. Wajah Liu Ceng Ceng yang tersenyum lembut kepadanya, akan tetapi pandang mata Ceng Ceng kepadanya penuh teguran. Dia mengenal betul watak Ceng Ceng. Selama melakukan perjalanan bersama, seringkali gadis itu membuka rahasia-rahasia tentang kehidupan. Dia merasa yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak membenarkan tindakannya terhadap dua orang pemuda bangsawan itu.

Dia teringat akan apa yang diceritakan Ciu-ma kepadanya bahwa dulu pernah kedua orang pemuda bangsawan itu mengganggu keluarga Siok dan ketika itu Pek-eng Sianli menolong mereka. Ceng Ceng yang telah menolong Siok Eng sekeluarga dan Ceng Ceng telah memberi hajaran keras kepada Kim Magu dan Kui Con, dengan jalan menggantung mereka di pohon tepi jalan raya sehingga semua orang melihat mereka. Ceng Ceng memang memberi hajaran kepada mereka, akan tetapi tidak membunuh atau menjadikan mereka penderita cacat berat seperti yang dia lakukan itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.