07. MANTAN KEKASIH IBU TERSAYANG
“Giok-ko, engkau berada di mana?” terdengar pertanyaan yang melengking dari arah gedung itu. Dia mengenal suara yang lembut serius itu. Pasti Kui Lan yang mengeluarkan pertanyaan itu.
“Aku di sini, Lan-moi!” katanya dengan girang dan dia pun lari lagi menuju ke arah suara yang datangnya dari gedung itu. Kembali dia harus melewati tumbuh-tumbuhan yang cukup tinggi sehingga penglihatannya terhalang. Setelah dapat melihat kembali ke depan, gedung itu lenyap dan berubah menjadi padang rumput yang menghadang di depannya. Setelah dia mencari-cari, gedung itu tampak berada di sebelah kanannya! Dia berhenti lagi, mulai bingung.
“Heii, Giok-ko? Kenapa engkau begitu lemah? Apakah engkau merangkak seperti siput maka begitu lama aku harus menunggu di sini?” Teriakan yang nadanya mengejek itu pasti suara Kui Lin! Gila, dia dipermainkan oleh gadis-gadis yang masih hijau!
“Tunggu, Lin-moi! Aku pasti akan sampai ke situ!” serunya sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar menggema di seluruh penjuru. Yang membuat hatinya panas adalah ketika dia melihat Kui Lin, biarpun dari jauh, berdiri di atas atap gedung dan melambai-lambaikan tangan dengan tertawa-tawa mengejek!
Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah berhenti berlari, ternyata dia hanya berputar-putar dan beberapa kali mengenal jalan setapak yang tadi pernah dilaluinya! Sampai sore dia berlari-lari tanpa henti, namun tak pernah berhasil. Akhirnya dia melompat ke atas cabang sebatang pohon, duduk di atas cabang sambil memandang ke sekeliling.
Dari situ tampak betapa indahnya taman itu. Beraneka bunga memenuhi taman, juga pohon-pohon semak-semak, rumpun-rumpun bambu, semua serba teratur rapi dan indah. Dari situ tampak pula gedung itu dan dia sungguh merasa heran bagaimana dia selalu gagal menuju ke sana! Kalau dia memakai jalan pintas dan membabati tanaman-tanaman di taman itu, mungkin dia akan sampai di gedung. Akan tetapi tidak mungkin dia mau merusak taman orang!
Dari atas pohon dia melihat jalan setapak yang berliku-liku dan baru dia teringat bahwa jalan setapak itu berubah-ubah warnanya. Ada yang putih, lalu ada yang merah, biru, kuning, hijau dan bermacam-macam warna lagi. Tiba-tiba terdengar suara wanita bernyanyi. Merdu dan lembut suara itu, terdengar dari arah gedung, sayup sampai terbawa angin, namun kata-katanya cukup jelas dapat ditangkap pendengaran Cun Giok.
“Bayangan wahai bayangan
Didekati, dicari, makin menjauh
Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini
Bersatu dengan diri.
Hanya orang bodoh yang tidak mengerti...“
Cun Giok mengenal syair itu, ditulis oleh seorang penyair di jaman Kerajaan Tang. Penyair itu seorang Tosu bernama Cu Tek. Yang dimaksudkan dengan bayangan itu adalah To atau Kekuasaan Tuhan. Dicari dengan akal pikiran tidak akan bisa didapatkan, tanpa dicari sudah ada karena Kekuasaan Tuhan itu tidak pernah terpisah dari diri manusia. Akan tetapi apa artinya syair itu dinyanyikan orang di sini? Apakah ada hubungannya dengan rahasia taman ini?
Tiba-tiba Cun Giok memejamkan mata dan mencoba untuk mengingat-ingat tentang pelajaran dalam Agama To. Didekati dan dicari, malah makin menjauh. Ah, ini cocok dengan keadaan di taman. Gedung itu, makin didekati semakin menjauh! Dia sudah berusaha mendekati sampai setengah hari, akan tetapi sama sekali tidak berhasil karena gedung itu makin menjauh saja! Andaikata yang dimaksudkan dengan “bayangan” itu adalah rumah gedung di Lembah Seribu Bunga, maka mendekati dan mencarinya tentu akan gagal seperti yang telah dialaminya.
Lalu bagaimana rahasianya untuk dapat menemukannya? “Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini bersatu dengan diri”. Hemm, tidak usah didekati, malah dijauhi? Apa artinya itu. Tiba-tiba Cun Giok teringat. Sejak tadi dia memang berusaha mendekati gedung dan selalu mengambil jalan yang menuju ke gedung dan hasilnya, jalan itu membawanya makin menjauhi gedung. Inikah rahasianya? Dia tidak yakin, akan tetapi apa salahnya dicoba?
Timbul harapan di hati Cun Giok. Kalau sekali ini tidak berhasil, sudah saja, dia akan meninggalkan taman ini. Akan tetapi dia lalu teringat, bagaimana dapat meninggalkannya? Dia pun tidak tahu jalan keluar, seperti juga tidak tahu jalan menuju ke gedung itu.
Cun Giok melompat turun dari atas pohon, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang berwarna biru. Jalan setapak itu mempunyai banyak simpangan, ada perempatan dari berbagai warna. Setelah tiba di tempat terbuka dia melihat bahwa gedung itu kini berada di sebelah kirinya, cukup jauh. Maka tanpa menggunakan akal pikiran lagi, langsung saja dia mengambil jalan setapak yang ke kanan, berarti menjauhi atau berlawanan dengan arah gedung itu. Kini jalan setapak itu berwarna merah. Setelah agak lama berjalan dengan pohon-pohon menghalangi di kanan kiri jalan sehingga dia tidak melihat jauh, jalan setapak itu membawanya ke tempat terbuka di mana terdapat perempatan jalan.
Dia berhenti dan memandang sekeliling. Gedung itu tiba-tiba saja sudah pindah di sebelah kanannya, tidak begitu jauh lagi. Tanpa berpikir lagi Cun Giok mengambil jalan ke kiri, berlawanan dengan letak gedung. Kembali dia melewati lorong panjang yang dipenuhi semak-semak di kanan kiri sehingga dia tidak dapat melihat di mana letak gedung itu. Jalan setapak itu berliku-liku sehingga Cun Giok tidak tahu lagi ke arah mana dia berjalan, ke utara, selatan, timur, atau barat!
Kembali dia berada di tempat terbuka dan kini gedung itu tahu-tahu tampak dekat sekali di sebelah kirinya! Agaknya dengan melompati beberapa semak belukar dan melewati beberapa batang pohon saja dia sudah akan sampai di sana! Akan tetapi Cun Giok tidak mau melakukah hal itu. Sebaliknya dia lalu mengambil jalan ke arah kanan dan kini dia menginjak jalan setapak berwarna putih. Demikianlah, setiap tiba di tempat terbuka dan melihat gedung itu semakin dekat saja, Cun Giok segera mengambil jalan ke arah yang berlawanan seolah meninggalkan gedung itu dan setelah berjalan membelak-belok beberapa lamanya, tiba-tiba saja dia dapat keluar dari taman dan sudah berdiri di halaman gedung itu!
“Selamat datang di rumah kami, Giok-ko.” Tiba-tiba terdengar suara Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu sudah muncul di situ.
“Wah, engkau lambat sekali, Giok-ko. Kalau saja lbuku tidak memberi petunjuk kepadamu, aku berani bertaruh bahwa sampai kapan pun engkau tidak akan berhasil keluar dari taman Seribu Bunga,” kata Kui Lin sambil tersenyum. Senyumnya memang manis sekali, akan tetapi menyakitkan karena senyum itu mengandung ejekan.
Akan tetapi mendengar ucapan Kui Lin, mengertilah dia bahwa yang menyanyikan syair tadi adalah ibu kedua orang gadis kembar itu, maka dia lalu cepat merangkap kedua tangan di depan dadanya dan berseru walaupun tidak melihat adanya ibu mereka di situ.
“Banyak terima kasih saya ucapkan kepada The Toanio yang telah memberi petunjuk kepada saya. Saya Pouw Cun Giok menghaturkan salam hormat kepada The Toanio.”
Dari dalam rumah itu terdengar suara wanita yang lembut. “Pouw Sicu (Orang Gagah Pouw), anak-anakku mempersilakan engkau sebagai tamu. Masuklah!”
“Terima kasih, Toanio,” kata Cun Giok.
“Silakan, Giok-ko,” kata Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu lalu mengajak Cun Giok memasuki pintu depan yang besar dan kuat.
Setelah memasuki ruangan depan gedung itu, Cun Giok memandang ke sekelilingnya dan dia kagum sekali. Ternyata walaupun dari luar gedung itu tampak biasa saja, namun ternyata di dalamnya terdapat perabot rumah yang serba indah dan mahal. Selain perabot-perabotnya yang indah dan mahal, juga terdapat lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan kuno yang amat indah, baik kata-katanya maupun bentuk tulisannya.
Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada seorang wanita yang telah duduk di dalam sebuah ruangan di samping ruangan depan yang agaknya dijadikan sebagai ruangan tamu gedung itu. Wanita itu berusia sekitar limapuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih tampak cantik dan tubuhnya juga masih ramping padat sehingga tampaknya jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Melihat sekilas pandang saja, mudah diduga bahwa ia tentu ibu dari sepasang gadis kembar itu karena wajah sepasang gadis kembar itu jelas merupakan hasil cetakan wajah Sang Ibu. Wanita yang tadinya duduk dan menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka dan memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata penuh selidik.
Cun Giok segera mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan membungkuk untuk memberi hormat. “Toanio, harap suka memaafkan saya yang lancang berani datang menghadap tanpa diundang. Terimalah hormat saya Pouw Cun Giok, Toanio.”
Wanita itu tersenyum, dan senyumnya juga persis senyuman Kui Lin walaupun senyum itu lembut seperti sifat Kui Lan, tidak kasar dan lincah seperti Kui Lin.
“Pouw-sicu, aku sudah mendengar dari anak-anakku bahwa engkau adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga dapat mengalahkan ilmu silat tangan kosong Kui Lin, bahkan mengalahkan ilmu pedang dari Kui Lan. Sungguh membuat aku kagum karena sesungguhnya, pada waktu ini jarang ada orang muda yang akan mampu mengalahkan kedua orang puteriku ini.”
“Aih, Ibu! Bikin malu saja memuji-muji kami padahal kami sama sekali tidak mampu menandingi Giok-ko,” kata Kui Lin, sedangkan Kui Lan lalu berkata kepada pemuda itu yang masih berdiri.
“Giok-ko, silakan duduk,” ia menunjuk sebuah kursi yang berhadapan dengan ibunya.
“Terima kasih,” kata Cun Giok yang lalu duduk di atas kursi itu. Setelah Cun Giok duduk, dua orang gadis itu pun segera mengambil tempat duduk di atas kursi yang berada di kanan kiri ibu mereka.
Setelah mereka duduk, Nyonya The sambil memandang penuh selidik kepada Cun Giok, bertanya. “Sicu, kedua orang puteriku hanya dapat memberitahu bahwa engkau bernama Pouw Cun Giok, akan tetapi mereka tidak tahu akan riwayatmu. Dapatkah engkau memberitahu, di mana orang tuamu, siapa mereka dan di mana mereka tinggal?”
“Ayah Ibu saya telah meninggal dunia, Toanio. Kami dulu tinggal di So-couw, akan tetapi keluarga saya habis terbunuh oleh pasukan Mongol sehingga saya sekarang hidup sebatang kara.”
Wanita itu mengerutkan alisnya. “Ah, apakah engkau ini masih keturunan keluarga Pouw yang merupakan orang-orang gagah perkasa dan pembela Kerajaan Sung? Aku pernah mendengar akan kebesaran nama keluarga Pouw, seperti Pouw Goan Keng dan Pouw Cong Keng.”
“Mereka adalah nenek moyang saya, Toanio.”
“Aih! Kalau begitu, siapakah Ayahmu? Apakah yang bernama Pouw Bun yang menjadi pejabat yang adil di kota raja pada jaman Kerajaan Sung?”
“Beliau adalah kakek buyut saya, Toanio.”
“Ah, lalu Ayahmu? Siapa namanya?”
“Mendiang Ayah saya bernama Pouw Keng In.”
Wanita itu mengangguk-angguk. “Bagus, kiranya engkau keturunan keluarga Pouw yang namanya amat terkenal sebagai patriot-patriot gagah perkasa itu. Engkau pantas menjadi tamu kami, pantas menjadi sahabat anak-anakku, Pouw-sicu. Akan tetapi, Kui Lan memberi tahu kepadaku bahwa engkau memiliki sebatang pedang yang bersinar keemasan. Bolehkah sebentar saja aku melihatnya?”
“Tentu saja, Toanio!” Cun Giok tanpa ragu-ragu lalu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Nyonya The.
Lalu terjadi hal yang membuat Pouw Cun Giok terheran-heran, bahkan dua orang gadis itu pun terkejut dan heran. Ibu mereka, setelah menerima pedang itu, mengamatinya sebentar, lalu mendekap pedang itu di dadanya dan menangis!
Kui Lan dan Kui Lin mendekati ibunya. “Ibu, ada apakah?” mereka bertanya, akan tetapi Nyonya The tidak menjawab dan masih menangis.
Cun Giok juga memandang dengan khawatir. “The Toanio, maafkan kalau pedang saya itu membuat Toanio bersedih.”
Dirangkul dua orang puterinya yang tampak khawatir itu, The Toanio dapat menguasai perasaannya. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas dan menyuruh dua orang puterinya duduk kembali. Kemudian ia memandang kepada Cun Giok dan bertanya, suaranya seperti menuntut.
“Pouw-sicu, katakan sejujurnya. Dari mana dan bagaimana engkau mendapatkan pedang Kim-kong-kiam ini?”
Cun Giok terkejut karena sinar mata wanita itu dan suaranya penuh tuntutan. Maka dia segera menjawab sejujurnya. “Toanio, Kim-kong-kiam ini saya terima sebagai pemberian dari Guru saya.”
“Gurumu...? Siapa namanya...?” Kini pandang mata dan sikap Nyonya The penuh keinginan tahu dan harapan.
“Nama Suhu adalah Suma Tiang Bun, Toanio.”
Wajah wanita itu menjadi pucat dan bibirnya gemetar ketika ia bertanya. “Suma Tiang Bun...? Di mana... di mana dia sekarang?”
Cun Giok tertegun. Tentu ada hubungan erat antara gurunya dan wanita ini, pikirnya. “Suhu sudah meninggal dunia sekitar tiga tahun yang lalu, Toanio.”
Nyonya The yang tadinya mengangkat tubuhnya dalam kursinya, begitu mendengar ucapan Cun Giok ini, seketika lemas dan terkulai sambil memeluk Kim-kong-kiam di dadanya lalu mulai menangis lagi. Dua orang puterinya segera merangkul ibu mereka dan Kui Lin menoleh kepada Cun Giok lalu berkata ketus.
“Pouw Cun Giok! Manusia tak mengenal budi! Engkau kami terima sebagai tamu, tapi kedatanganmu hanya mendatangkan kekacauan dan membuat Ibuku bersedih. Pergilah kau dari sini dan bawa pedangmu!”
“Lin-moi, jangan begitu...!” Kui Lan mencela adiknya.
Kembali Nyonya The menghapus air matanya dan berkata, “Kui Lin, Pouw-sicu tidak bersalah apa-apa, jangan engkau bersikap kasar kepadanya.”
Setelah menyuruh dua orang puterinya duduk kembali dan ia sudah dapat menenangkan hatinya, The Toanio lalu menyerahkan Kim-kong-kiam kepada Cun Giok dan ia sudah menghapus semua air mata dari kedua pipinya. Wajahnya sudah pulih dan merah kembali. Pada saat itu, seorang wanita setengah tua yang berpakaian sebagai pembantu rumah tangga, masuk membawa baki terisi empat buah cawan, sepoci besar air teh dan beberapa macam kue kering di atas piring. Setelah mengatur suguhan itu di atas meja, wanita pelayan itu mengundurkan diri dan The Toanio berpesan kepadanya.
“Akin, engkau dan para pelayan lain tidak boleh memasuki kamar ini sebelum kupanggil.”
Pelayan wanita itu memberi hormat dengan membungkuk lalu keluar dari kamar atau ruangan tamu itu, tidak lupa menutupkan daun pintu ketika ia keluar. Setelah mempersilakan Cun Giok minum air teh yang dituangkan dalam cawan oleh Kui Lan, The Toanio lalu berkata,
“Maafkan aku, Pouw-sicu, aku tidak dapat menahan kesedihan melihat Kim-kong-kiam, lebih-lebih mendengar gurumu itu telah meninggal dunia...”
“Apakah Ibu mengenal guru Giok-ko yang telah meninggal dunia itu?” tanya Kui Lan.
“Ibu, siapakah Suma Tiang Bun itu, dan mengapa Ibu bersedih mendengar dia meninggal dunia?” tanya Kui Lin.
Nyonya The menghela napas panjang. “Kalau saja Pouw-sicu tidak muncul bersama Kim-kong-kiam ini, rahasia ini tentu akan kubawa sampai mati karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Akan tetapi sekarang aku tidak ingin membuat kalian bertiga menduga yang bukan-bukan, maka sebaiknya kuceritakan pengalamanku di waktu aku masih gadis dan belum menikah dengan Ayah kalian berdua. Akan tetapi sebelumnya, aku ingin tahu lebih dulu, Pouw-sicu. Bagaimana Suma Tiang Bun bisa mati? Dia belum tua benar, usianya sekarang baru sekitar enampuluh tahun dan dia memiliki tubuh yang amat kuat, ilmu silatnya juga lihai sekali.”
“Suhu tewas dikeroyok seorang panglima besar Kerajaan Mongol bersama pasukannya, Toanio.”
“Hem, siapakah panglima itu?”
“Namanya Panglima Kong Tek Kok, akan tetapi saya dan adik misan saya sudah berhasil membalas dendam dan membunuhnya.”
“Ah, syukurlah kalau begitu. Kalau belum terbalas, akulah yang akan membunuh panglima yang mengeroyok dan menewaskan Suma Tiang Bun. Nah, sekarang dengarlah riwayatku. Dahulu, sebelum aku menikah dengan mendiang suamiku ayah kedua anakku ini, aku bersahabat baik dengan Suma Tiang Bun. Kami berdua melakukan perjalanan bersama dan menentang orang-orang Mongol yang mulai menyerang Kerajaan Sung. Bahkan kami berdua sudah saling berjanji akan menjadi jodoh masing-masing kelak.”
“Wah, jadi dia itu dulu pacar Ibu?” tanya Kui Lin.
“Ih, Lin-moi, diam dan dengarkan cerita Ibu!” Kui Lan menegur adiknya.
Nyonya The tersenyum mendengar pertanyaan Kui Lin walaupun sinar matanya masih membayangkan kesedihan. “Memang benar, ketika itu aku dan Suma Tiang Bun saling mencinta. Mencinta bukan hal yang buruk, bukan hal yang tidak pantas atau patut disembunyikan. Memang pada waktu itu, aku dan Suma Tiang Bun menganggap kita menjadi calon jodoh masing-masing. Akan tetapi, kemudian kota raja diserbu pasukan musuh dan Kaisar dilarikan mengungsi ke selatan. Di antara mereka yang membela dan menyelamatkan Kaisar adalah Suma Tiang Bun. Ketika Kaisar tewas terjun ke laut, dan banyak perwira dan pendekar yang ikut tewas ketika membela Kaisar, tersiar berita bahwa Suma Tiang Bun juga tewas. Selama setahun aku berkabung, sama sekali tidak mengira bahwa Suma Tiang Bun menghilang karena dia menjadi buruan kerajaan musuh sehingga terpaksa menyembunyikan diri ke gunung-gunung dan tempat sepi. Nah, ketika itulah aku bertemu dengan The Kim Kiong yang juga seorang pendekar. Kami menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin yang terlahir kembar ini. Baru kemudian aku mendengar bahwa Suma Tiang Bun belum mati dan menjadi orang buruan. Akan tetapi aku tidak menyesal karena aku sudah menjadi isteri orang lain, bahkan merasa bersyukur bahwa Suma Tiang Bun masih hidup. Mungkin dia juga mendengar bahwa aku telah menikah dengan The Kim Kiong dan dia sengaja tidak pernah datang menjengukku. Aku mengenal betul akan wataknya yang bijaksana. Nah, demikianlah, anak-anakku dan engkau juga, Pouw-sicu, riwayatku sehingga tentu saja aku terkejut sekali ketika melihat Kim-kong-kiam.”
“Saya dapat mengerti mengapa Toanio menikah dengan orang lain karena mengira bahwa mendiang Suhu yang menjadi calon suami Toanio telah tewas. Kalau boleh saya bertanya, di mana adanya suami Toanio yang bernama The Kim Kiong itu?”
Nyonya The menghela napas panjang. “Memang nasibku yang buruk. Ketika Kui Lan dan Kui Lin berusia sepuluh tahun, ayah mereka tewas ketika melawan pasukan Mongol. Dia memang menjadi seorang di antara para pendekar yang dianggap pemberontak dan dimusuhi Kerajaan Mongol. Dia berhasil menewaskan banyak perajurit, akan tetapi akhirnya tewas. Aku sempat menyelamatkan anak-anak kami melarikan diri.”
“Ibu tidak pernah mau menceritakan siapa panglima yang memimpin pasukan yang telah menewaskan Ayah!” Kui Lin berkata dengan nada penasaran.
“Kuceritakan juga, apa yang dapat kalian lakukan? Panglima itu membunuh Ayah kalian bukan karena urusan permusuhan pribadi. Dia mewakili Kerajaan Mongol maka yang membunuh Ayah kalian adalah Kerajaan Mongol.”
“Ibu berkata benar,” kata Kui Lan. “Akan tetapi ada baiknya kalau kami mengetahui namanya.”
“Panglima itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, juga dia seorang panglima besar yang memimpin ratusan ribu perajurit. Namanya Panglima Kim Bayan.”
“Ahhh...!” Cun Giok demikian kaget sehingga tanpa disadarinya dia mengeluarkan seruan itu. Ibu dan kedua orang puterinya itu kini memandang kepadanya dengan tajam.
“Sicu, apakah engkau mengenal Kim Bayan?” tanya Nyonya The.
“Mengenalnya, Toanio? Lebih dari mengenalnya, bahkan sudah beberapa kali saya bermusuhan dan bentrok dengan dia dan kaki tangannya. Bagi saya, Kim Bayan adalah seorang yang keji dan licik jahat akan tetapi juga berbahaya. Kalau diberi kesempatan, saya ingin sekali membunuhnya. Belum lama ini saya pernah menjadi tawanannya. Masih untung saya dapat menyelamatkan diri dari Kim Bayan yang dibantu oleh orang-orang sakti seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li.”
“Wah, menarik sekali!” teriak Kui Lin. “Giok-ko, ceritakanlah apa yang kau alami ketika bermusuhan dengan Kim Bayan, pembunuh Ayahku itu...!”