14. SAMBUTAN TOKOH-TOKOH THAI-SAN-PAI
DEMIKIANLAH, pagi hari itu, Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin mendaki bukit yang menjadi asrama Thai-san-pai. Keindahan pemandangan alam di sekeliling mereka ketika mereka mendaki bukit di pagi hari itu membuat mereka berjalan dengan santai sambil menikmati keindahan panorama sepuas hati. Kui Lin yang berwatak riang dan lincah itu berulang-ulang mengeluarkan seruan kagum memuji keindahan itu.
Setelah tiba di lereng paling tinggi, mereka bertiga memandang takjub. Bukan main luasnya pegunungan itu. Pun¬cak-puncak bukit menjulang di sekelilingnya dan mereka merasa betapa di setiap bukit itu mungkin saja menjadi kediaman si pencuri harta karun! Akan tetapi yang mana? Benar Kui Lin tadi, kalau harus dikunjungi satu demi satu, mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun!
Akhirnya mereka itu tiba di depan perkampungan Thai-san-pai. Terdapat sebuah gapura besar dan di atas gapura terdapat papan nama THAI-SAN-PAI yang ditulis dengan huruf-huruf besar yang gagah dan indah.
Tiba-tiba dari dalam gapura itu berloncatan tujuh orang laki-laki yang memegang pedang terhunus. Mereka adalah anak murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan. Ketika dari jauh mereka melihat seorang pemuda dan dua orang gadis mendaki puncak, mereka bersembunyi di balik gapura dan mengintai gerak-gerik mereka. Melihat tiga orang pengunjung itu tampak santai dan tidak menimbulkan kesan mencurigakan, setelah Cun Giok dan dua orang gadis kembar tiba di depan gapura, mereka bertujuh berlompatan keluar dan menghadang di depan tiga orang pengunjung itu.
“Berhenti!” Seorang di antara mereka yang paling tua, berusia sekitar empatpuluh tahun, menegur dengan suara lantang. “Kalian bertiga melanggar wilayah Thai-san-pai! Siapakah kalian dan ada keperluan apa datang berkunjung ke tempat kami?”
Sikap tujuh orang yang memandang penuh kecurigaan itu membuat Kui Lin merasa jengkel. “Uih, Giok-ko, apakah mereka ini murid-murid Thai-san-pai yang kaubilang terdiri dari para pendekar? Sikapnya lebih mendekati penjahat daripada pendekar!”
Biasanya, kalau atasan bersikap keras kepada bawahannya, maka si bawahan itupun bersikap keras kepada yang lebih rendah kedudukannya, dan yang paling bawah tentu bersikap keras pula kepada orang lain. Tujuh orang murid atau anak buah Thai-san-pai ini pun demikian. Karena sudah terbiasa menghadapi sikap keras dari atasan mereka, kini mereka pun memuntahkan sikap keras mereka terhadap orang lain.
“Kami adalah murid-murid Thai-san-pai yang gagah, dan kalian bertiga tentulah orang-orang yang tidak mempunyai niat baik. Maka, menyerahlah kalian untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada pimpinan kami!” hardik kepala regu penjaga itu. Dia memandang dengan mata melotot dan tujuh orang murid itu melintangkan pedang di depan dada dan tangan kiri mereka bertolak pinggang.
Kui Lin yang lincah dan galak itu bertolak pinggang dengan kedua tangannya, melangkah maju dengan sikap menantang dan berkata sambil tersenyum mengejek.
“Apa? Tikus-tikus macam kalian ini hendak menangkap kami? Tidak usah menangkap kami bertiga, kalian coba tangkap aku saja, kalau kalian berhasil baru kalian patut menjadi murid-murid Thai-san-pai!” Tantangan dengan sikap mengejek dan merendahkan ini tentu saja membuat tujuh orang murid Thai-san-pai itu marah sekali.
“Tangkap gadis sombong ini!” teriak kepala regu itu dan tujuh orang murid Thai-san-pai itu bergerak maju setelah menyimpan pedang masing-masing. Tangan-tangan mereka meluncur seolah berebutan untuk dapat menangkap gadis yang tertawa-tawa mengejek itu.
“Lin-moi, jangan lukai orang!” seru Kui Lan yang khawatir kalau-kalau adiknya melukai dan membunuh orang. Padahal mereka datang berkunjung ke Thai-san-pai bukan dengan niat bermusuhan.
Biarpun wataknya keras, namun Kui Lin bukan seorang gadis kejam dan dia selalu taat kepada kakak kembarnya. Maka, ketika tujuh orang itu menyerbu, ia pun mengandalkan kelincahan gerakannya, mengerahkan gin-kang dan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya. Jari-jari tangannya yang lembut dan kecil runcing itu pun menotok ke kanan kiri dan tubuh tujuh orang murid Thai-san-pai itu pun berpelantingan roboh dan tidak dapat berkutik pula karena jalan darah mereka tertotok sehingga tubuh mereka lemas tidak mampu menggerakkan tangan dan kaki lagi!
Kui Lin mengusap-usap dan mengebut-ngebutkan kedua telapak tangannya seolah hendak membersihkan bekas sentuhan tangannya kepada tubuh tujuh orang pengeroyok itu.
Tiba-tiba terdengar seruan “Siancai...!” dan tampak bayangan lima orang berkelebat. Tahu-tahu di situ muncul lima orang berpakaian tosu (Pendeta To) yang masing-masing mempunyai pedang di punggung mereka. Seorang di antara mereka yang paling tua, usianya sekitar limapuluh dua tahun, berjenggot panjang dan rambutnya diikat ke atas dengan sehelai pita putih, memandang ke arah tiga orang muda itu, lalu memandang kepada tujuh orang murid yang rebah tanpa luka namun tidak mampu bergerak itu. Dia lalu menghampiri para murid dan jari tangannya menotok mereka satu demi satu. Tujuh orang murid itu dapat bangkit berdiri dan dengan suara ribut mereka berkata,
“Suhu, gadis liar ini...”
Tosu itu membentak dengan suara tegas. “Kalian mundur! Bikin malu saja!” Mendapatkan bentakan ini, tujuh orang murid itu pun mundur dengan patuh setelah membungkuk dengan hormat.
Kui Lin terkekeh senang. “Nah, bagus! Murid-murid kurang ajar harus mendapatkan teguran keras!”
Tosu itu adalah Song Bu Tosu, orang pertama dari Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Dia mengerutkan alisnya memandang kepada Kui Lin yang masih tersenyum.
“Nona, engkaukah yang menghina murid-murid kami dan menotok mereka?”
Sebelum Kui Lin menjawab, Cun Giok yang tidak ingin gadis lincah galak itu memperburuk keadaan dengan sikapnya yang keras, cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat.
“To-tiang (Bapak Pendeta), harap maafkan kelancangan Adik kami. Kami datang tidak dengan niat buruk, melainkan hendak menghadap Lo-cianpwe Thai-san Sianjin. Akan tetapi tujuh orang murid tadi bersikeras hendak menangkap kami sehingga timbul pertengkaran antara mereka dengan Adik kami ini. Maafkan kami, To-tiang dan perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai.”
Song Bu Tosu yang tadinya marah kepada Kui Lin, menjadi agak reda kemarahannya melihat sikap dan kata-kata Cun Giok yang lembut dan sopan.
“Orang muda, kalian bertiga ini siapakah dan apa keperluan kalian ingin bicara dengan Ketua Thai-san-pai?”
“Perkenalkan, To-tiang, saya bernama Pouw Cun Giok...”
“Siapa gurumu?” Song Bu Tosu memotong, seolah nama pemuda itu tidak ada artinya baginya, maka dia menanyakan gurunya.
“Suhu adalah mendiang Suma Tiang Bun, kemudian Kakek Guru saya Pek-kong Lojin membimbing saya.”
Mendengar nama dua orang tokoh itu, lima orang tosu itu agak terkejut juga. “Hemm, siapa tidak mengenal nama besar Suma Tiang Bun, pendekar pahlawan bangsa murid Siauw-lim-pai itu? Sayang sungguh sayang, sekarang Siauw-lim-pai bukan lagi perkumpulan pahlawan bangsa, melainkan penjilat bangsa Mongol! Siapa dua orang gadis kembar ini? Apakah juga murid-murid Siauw-lim-pai?”
“Kami bukan murid Siauw-lim-pai!” Kui Lin berseru. “Kami adalah puteri Ibu kami yang menjadi majikan Lembah Seribu Bunga!”
Mendengar ini, lima orang tosu itu saling pandang dan mereka merasa terkejut. Mereka sudah pernah mendengar tentang Lembah Seribu Bunga yang kabarnya merupakan tempat yang amat gawat, tempat yang amat sukar didatangi karena mengandung banyak alat rahasia dan jebakan berbahaya. Juga mereka mendengar bahwa majikan Lembah Seribu Bunga yang disebut The Toanio adalah seorang wanita aneh yang tidak pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw akan tetapi yang memiliki kepandaian tinggi.
“To-tiang, sekali lagi kami bertiga mohon maaf atas kelancangan kami berkunjung ke Thai-san-pai dan mohon Totiang memberi kesempatan kepada kami untuk bertemu dan menghadap Ketua Thai-san-pai,” kata Cun Giok.
“Siancai! Suheng kami Ketua Thai-san-pai tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan sembarang orang. Akan tetapi mendengar bahwa kalian bertiga adalah murid-murid orang pandai, kami hendak menguji kebenaran keterangan kalian.”
Tosu itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan tahu-tahu dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. “Kalau engkau sebagai wakil kalian bertiga mampu menandingi ilmu pedang pinto (aku) selama lebih dari tigapuluh jurus, maka kalian cukup berharga untuk menghadap Ketua Thai-san-pai.”
“Giok-ko, biarkan aku yang maju menandinginya!” kata Kui Lin.
“Lin-moi, biar aku yang mewakili kalian,” kata Cun Giok.
“Giok-ko, aku tidak takut padanya!” kata Kui Lin.
“Lin-moi, jangan mencampuri. Biarkan Giok-ko yang mengambil keputusan!” kata Kui Lan menegur adiknya dan Kui Lin tidak membantah lagi, hanya memandang kepada lima tosu itu dengan mulut diruncingkan, cemberut.
Cun Giok menjura kepada Song Bu Tosu. “Totiang, kami datang berkunjung bukan untuk menguji kepandaian. Kami percaya sepenuhnya bahwa ilmu pedang Totiang berlima pasti amat tinggi dan lihai. Kami tidak berani main-main dan harap Totiang perkenankan kami menghadap Ketua Thai-san-pai.”
“Tidak bisa, kalau kalian tidak mau diuji tingkat kepandaian kalian atau seorang di antara kalian, maka terpaksa kami tidak dapat mengijinkan kalian memasuki markas kami.”
Cun Giok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa lima orang tosu itu agaknya berwatak keras dan seperti kebanyakan ahli silat, selalu haus untuk menguji kepandaian dengan orang lain.
“Baiklah, Totiang, saya akan melayani kehendak Totiang, akan tetapi harap Totiang menaruh hati kasihan kepada saya yang bodoh.” Setelah berkata demikian, dengan perlahan Cun Giok mencabut pedangnya dan tampaklah sinar keemasan ketika pedang Kim-kong-kiam berada di tangannya.
“Kim-kong Po-kiam (Pedang Pusaka Sinar Emas)?” kata Song Bu Tosu sambil memandang pedang di tangan Cun Giok dengan mata terbelalak.
“Benar, Totiang. Pedang ini pemberian mendiang Suhu Suma Tiang Bun,” jawab Cun Giok sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Biarpun kaget melihat Kim-kong-kiam, Song Bu Tosu tentu saja tidak merasa gentar karena melihat bahwa calon lawannya itu masih amat muda usia sehingga betapapun pandainya tidak mungkin dapat menandinginya yang sudah memiliki pengalaman puluhan tahun! Dia membuat gerakan perlahan mengatur pasangan kuda-kuda ilmu pedang Thai-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang Thian-san), pedangnya menjulur lurus ke depan menyambung pundak dan dua jari tangan kirinya menunjuk ke atas.
“Orang muda, bersiaplah dan coba tahan seranganku.”
“Saya sudah siap, Totiang. Harap Totiang tidak terlalu mendesak.”
“Sambutlah, hiaaaattt...!” Tosu itu menggerakkan tubuhnya dan pedangnya berubah menjadi sinar yang gemilang menyambar ke arah leher Cun Giok dengan jurus San-jin-sia-houw (Orang Gunung Menahan Harimau).
Cun Giok maklum bahwa lawannya seorang ahli pedang yang amat tangguh, maka dia pun cepat memutar tubuh ke samping sambil mengelebatkan pedangnya untuk menangkis. Tentu saja dia membatasi tenaganya karena dia sadar akan keampuhan Kim-kong-kiam dan tidak ingin merusak pedang tosu itu.
“Tranggg...!” Bunga api berpijar dan merasa betapa tangannya tergetar, Song Bu Tosu melangkah ke belakang untuk memeriksa pedangnya. Bagaimanapun juga, melihat Kim-kong-kiam tadi, dia merasa khawatir kalau pedangnya rusak walaupun pedangnya itu juga sebatang pedang pusaka yang ampuh. Melihat pedangnya masih utuh tidak rusak sama sekali, tosu itu berbesar hati dan mengira bahwa lawannya tadi telah mengerahkan seluruh sin-kangnya akan tetapi pedangnya tidak sampai rusak. Nama besar Kim-kong-kiam itu agaknya hanya kosong belaka.
“Hiaaattt...!” Dia menyerang lagi dengan jurus Cap-sha-kiam-ci-tian (Tigabelas Pedang Mengeluarkan Kilat). Ini merupakan jurus ampuh dari Thai-san Kiam-hoat. Merupakan serangan berantai yang kesemuanya terdiri dari tigabelas jurus serangan pedang yang susul menyusul dan amat sukar bagi lawan untuk dapat membebaskan diri dari serangan berantai susul menyusul yang amat cepat ini.
Cun Giok membela diri dengan mengelak, berlompatan ke sana-sini, bahkan terkadang harus bergulingan dan ada kalanya pedangnya menangkis. Rangkaian serangan itu datang seperti hujan, seolah olah pedang di tangan tosu itu telah berubah menjadi tigabelas batang pedang yang menyambar-nyambar seperti kilat.
Bukan main heran dan penasaran rasa hati tosu itu setelah tigabelas jurus serangannya sama sekali tidak mengenai tubuh lawan, dan semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua jurus simpanannya, namun semua hasilnya sia-sia belaka. Karena pemuda itu hanya mengelak dan menangkis, sama sekali tidak pernah membalas, dia merasa penasaran dan juga marah karena sikap pemuda itu seperti mempermainkan atau memandang rendah padanya. Maka, sambil mempercepat serangannya, dia berseru,
“Orang muda, balaslah seranganku!” Tadinya dia mengira bahwa Cun Giok tidak mampu membalas karena terdesak olehnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas serangannya. Akan tetapi kini dia mulai menyadari bahwa pemuda itu mengalah dan tidak mau membalas. Hal ini membuat dia penasaran sekali.
Kini Song Bu Tosu mengeluarkan jurus simpanannya, yaitu Sin-kiam-toat-beng (Pedang Sakti Pencabut Nyawa), yaitu ilmu pedang yang tidak pernah diajarkan kepada para murid. Yang menguasai ilmu pedang ini hanyalah Sang Ketua dan lima orang sutenya ini. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat ilmu pedang ini yang merupakan ilmu pedang simpanan dari para pimpinan Thai-san-pai dan hanya kalau keadaan amat mendesak, baru ilmu ini dikeluarkan. Agaknya, Song Bu Tosu yang berwatak keras itu lupa bahwa dia hanya ingin menguji kepandaian Cun Giok. Baginya, karena sejak tadi serangannya gagal, dia merasa dipermalukan kalau tidak mampu mengalahkan pemuda itu.
Ketika dia mainkan ilmu pedang ini, terdengar suara berdesingan, dan angin gerakan pedang itu menyambar-nyambar, pedangnya lenyap menjadi gulungan sinar putih yang melingkar-lingkar. Sepasang gadis kembar itu sampai merasa khawatir, bahkan Kui Lin yang biasanya tak kenal takut dan galak itu kini diam dan hanya memandang dengan mata terbelalak, demikian pula Kui Lan.
Empat orang tosu itu pun terbelalak, bukan karena kehebatan ilmu pedang Song Bu Tosu yang juga mereka kuasai itu, melainkan karena kini tampak pemandangan yang luar biasa dalam pertandingan ilmu pedang itu. Tiba-tiba saja bayangan Cun Giok lenyap sama sekali dan yang ada hanya sinar kuning emas yang bergulung-gulung mengelilingi Song Bu Tosu dan gerakan pedangnya. Gulungan sinar pedang putih dari tosu itu makin lama semakin mengecil dan menciut, seolah terdesak dari luar oleh sinar kuning emas yang berputar mengelilinginya! Setelah beberapa lama saat lamanya, terdengar seruan Song Bu Tosu.
“Siancai...! Cukup sudah...!” Bayangannya melompat jauh ke belakang dan dia sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan, lalu dimasukkannya pedangnya itu kembali ke sarung pedang di punggungnya. Gulungan sinar kuning emas itu pun lenyap dan tahu-tahu Cun Giok sudah berdiri di depan Song Bu Tosu dengan pedang sudah disimpannya kembali.
Kini Song Bu Tosu memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum. Dia tadi kehilangan lawannya dan menjadi bingung, juga khawatir. Kalau lawannya menyerangnya, maka amat berbahaya baginya. Akan tetapi pemuda itu tidak menyerangnya sehingga dia melompat keluar dari medan perkelahian karena merasa bahwa kalau dilanjutkan, dia pasti akan kalah.
“Pouw-sicu (Orang Gagah Pouw), ilmu pedangmu sungguh luar biasa sekali!” katanya dengan nada suara sungguh-sungguh.
“Totiang telah banyak mengalah. Terima kasih atas petunjuk Totiang,” kata Cun Giok merendah.
“Hemm, sekarang baru tahu akan kelihaian Bu-eng-cu!” kata Kui Lin dengan lantang...