15. WEJANGAN KETUA THAI SAN PAI
MENDENGAR disebutnya julukan ini, Song Bu Tosu membelalakkan matanya. “Ah, jadi engkaukah Bu-eng-cu yang menggemparkan kota raja itu?”
“Tentu saja Giok-ko adalah Bu-eng-cu!” kata Kui Lin. “Sekarang bagaimana? Bolehkah kami bertemu Ketua Thai-san-pai ataukah kami enci adik juga akan kau uji?”
Kini tahulah lima orang tosu itu bahwa tiga orang muda yang datang ini memang benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan mereka tidak ragu lagi bahwa dua orang gadis kembar itu juga benar-benar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Mereka kini bersikap lain dan Song Bu Tosu menghela napas panjang...
“Pouw-sicu dan Ji-wi The-siocia (Kedua Nona The), apakah kedatangan kalian ini ada hubungannya dengan harta karun Kerajaan Sung yang ramai dibicarakan itu?”
“Hei! Bagaimana Totiang tahu?” Kui Lin bertanya heran.
“Berita itu kami dengar dibicarakan ramai di dunia kang-ouw, kabarnya harta karun itu dicuri orang yang bertempat tinggal di Thai-san-pai. Keadaan yang tidak menentu ini, yang mungkin membuat sebagian orang menduga bahwa kami yang menjadi pencurinya, membuat kami mencurigai siapa saja yang datang ke sini. Karena itu ketika kalian muncul, tentu saja kami menaruh curiga. Sekarang kami percaya bahwa engkau adalah Bu-eng-cu dan dua orang Nona ini puteri-puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Maka, marilah kalian kami antarkan menghadap Suheng Thai-san Sianjin.”
Mereka lalu memasuki perkampungan Thai-san-pai yang terdiri dari sebuah kuil besar dan beberapa bangunan kecil. Thai-san Sianjin, ketua Thai-san-pai yang tinggal di kuil itu menerima mereka dalam sebuah bangunan tanpa dinding yang berada di tengah sebuah taman. Ketua itu bersama lima orang sutenya mempersilakan Cun Giok, Kui Lan dan Kui Lin duduk dalam ruangan tanpa dinding yang kecil namun indah itu. Udara amat sejuknya dan keharuman bunga di taman itu menyambut mereka.
Ketika Cun Giok bertiga memberi hormat kepada Thai-san Sianjin dan diperkenalkan oleh Song Bu Tosu, Thai-san Sianjin Thio Kong tersenyum mengangguk-angguk sambil merangkap kedua telapak tangan depan dada sebagai sambutan penghormatan.
“Siancai...!” Dia berseru gembira. “Sungguh merupakan kegembiraan besar sekali bagi Thai-san-pai dapat menyambut kunjungan murid Suma Tiang Bun dan Pek-kong Lojin, juga dua orang puteri Nyonya The dari Lembah Seribu Bunga. Duduklah, Pouw-sicu dan kalian juga, dua orang Nona, dan ceritakan apa keperluan kalian bertiga datang berkunjung ke Thai-san-pai dan ingin berjumpa dengan pinto (saya).”
“Maafkan kami bertiga yang telah mengganggu ketenangan di sini, Lo-cianpwe. Terus terang saja kunjungan kami bertiga ini ada hubungannya dengan hilangnya harta karun Kejaraan Sung. Kami bertiga bertugas untuk mencarinya...”
“Siancai...!” Ketua Thai-san-pai itu memotong sambil mengerutkan alisnya yang sudah beruban. “Berita yang menggemparkan itu sudah pinto dengar. Akan tetapi, apakah kalian tiga orang-orang muda ini mempunyai dugaan bahwa kami yang mencuri harta karun itu?” Suaranya mengandung penasaran karena kalau Thai-san-pai dituduh mencuri, hal itu sungguh merupakan penghinaan!
“Sama sekali tidak, Lo-cianpwe. Justeru kedatangan kami menghadap Lo-cianpwe adalah untuk mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya pencuri yang berani mengambil harta karun yang menjadi hak para pejuang untuk membela tanah air dari penjajahan bangsa Mongol,” kata Cun Giok.
“Siancai, pinto tidak berani sembarangan menyangka seseorang sebelum mendengar bagaimana terjadinya pencurian itu, dan siapa yang memiliki peta harta karun sehingga jelas siapa yang berhak. Akan tetapi, besar kemungkinan yang merampas atau mencurinya tentulah pihak Pemerintah Mongol.”
“Saya kira bukan, Lo-cianpwe, karena mereka pun masih mencari.”
Cun Giok lalu menceritakan betapa dahulu Thaikam Bong dari Kerajaan Sung korup mencuri harta itu dari istana Sung dan menyembunyikan harta karun itu lalu membuat sehelai peta. Ketika mendiang Panglima Sung Liu Bok Eng membasminya, Liu Bok Eng mendapatkan peta itu dan sebelum dia dibunuh para panglima Mongol, dia meninggalkan peta itu kepada puterinya, yaitu Liu Ceng Ceng.
Kemudian dia menceritakan dengan singkat betapa Liu Ceng Ceng, dia dan seorang gadis lain tertawan oleh Panglima Mongol Kim Bayan dan terpaksa mereka bertiga menyerahkan peta dan bahkan membantu panglima itu mencari harta karun. Harta karun itu akhirnya ditemukan, berada di Bukit Sorga di dekat kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.
“Demikianlah, Lo-cianpwe. Tempat harta karun dapat ditemukan akan tetapi ketika digali, yang ada hanya peti harta yang sudah kosong dan di dalamnya terdapat tulisan THAI SAN. Maka, jelaslah bahwa pencuri itu bukan Pemerintah Mongol, kemungkinan besar pencurinya bertempat tinggal di Thai-san. Maka kami mohon petunjuk Lo-cianpwe, siapa kiranya yang patut dicurigai.”
Mendengar cerita Cun Giok tadi, Ketua Thai-san-pai dan lima orang sutenya saling pandang dan kini Thai-san Sianjin menghela napas panjang.
“Siancai...! Panglima Kim Bayan itu dibantu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, sepasang iblis yang sakti dan amat jahat itu? Wah, kalau bukan Pemerintah Mongol yang mengambilnya, tentu dicuri orang yang berilmu tinggi! Akan tetapi mungkinkah ada pencuri yang mengakui tempat tinggalnya? Pinto kira pencuri harta karun yang amat berharga itu bukan orang yang demikian tololnya untuk memberitahukan tempat tinggalnya. Siapa tahu hal itu hanya untuk menyesatkan para pencarinya dan untuk menghilangkan jejaknya, Pouw-sicu.”
“Memang kami juga sudah memikirkan kemungkinan itu, Lo-cianpwe. Akan tetapi karena kami tidak tahu harus mencari ke mana, maka terpaksa kami melakukan penyelidikan ke Thai-san, siapa tahu pencuri itu memang seorang yang amat sombong sehingga dia berani menentang siapa saja yang hendak merampas harta karun dari tangannya.”
“Pouw-sicu dan The-siocia berdua, Thai-san-pai sejak dulu membenci penjajah Mongol. Tentu saja kami tidak dapat berbuat apa-apa karena apa artinya kekuatan kami yang hanya kurang lebih seratus orang dibandingkan balatentara mereka yang ratusan ribu jumlahnya. Akan tetapi, kalau ada usaha perjuangan menentang mereka, kami pasti akan mendukung dan membantu. Kami siap membantu kalian yang hendak mencari pencuri itu dan merampas kembali harta karun Kerajaan Sung yang sepatutnya diserahkan kepada para pejuang untuk membiayai perjuangan mereka mengusir penjajah Mongol dari tanah air.”
“Bagus sekali!” Kui Lin berseru gembira. “Sekarang baru aku percaya bahwa Thai-san-pai adalah perkumpulan para pendekar!”
“Lo-cianpwe, terima kasih atas kesiapan Thai-san-pai untuk membantu agar harta karun itu dapat dirampas kembali dan diserahkan kepada yang berhak. Sekarang kami mohon petunjuk, siapakah kiranya tokoh di daerah pegunungan ini yang pantas dicurigai.”
“Memang ada beberapa tokoh dari berbagai golongan yang bertempat tinggal di daerah pegunungan Thai-san ini. Akan tetapi, untuk menduga siapa yang kiranya mencuri harta karun itu, memang sukar. Huo Lo-sian (Dewa Api) yang tinggal di Bukit Merah sebelah Barat pegunungan ini memang merupakan datuk sesat. Akan tetapi dia seorang yang kaya raya sehingga meragukan juga kalau menyangka dia yang melakukan pencurian itu.”
“Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko (Sepasang Iblis Hitam Putih) itu, Lo-cianpwe?” tanya Kui Lin.
“Siancai, agaknya kalian sudah menyelidiki tentang tokoh-tokoh yang berada di pegunungan ini!” kata Ketua Thai-san-pai itu. “Sepasang Iblis Hitam Putih itu memang dapat digolongkan tokoh sesat juga. Mereka ganas, kejam, dan tinggal di Bukit Batu sebelah Utara pegunungan. Akan tetapi entahlah, apakah mereka berdua dengan anak buah mereka yang sekitar limapuluh orang banyaknya itu mencuri harta pusaka Kerajaan Sung. Mereka memang terkenal suka memaksakan kehendak sendiri dengan mengandalkan kekuatan dan kekerasan, akan tetapi pinto belum pernah mendengar mereka melakukan pencurian.”
“Dan Ang-tung Kai-pang itu bagaimana, Lo-cianpwe?” tanya Pouw Cun Giok.
“Mereka itu golongan pengemis dan biasanya mereka itu membenci pencurian. Selain itu, biasanya mereka pun tidak suka kepada Pemerintah Penjajah Mongol. Ketuanya, Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) merupakan kenalan baik dari kami dan sukar menuduh mereka melakukan pencurian.”
“Selain mereka itu, apakah masih ada tokoh lain, Lo-cianpwe?”
Ketua Thai-san-pai mengangguk-angguk. “Thai-san ini amatlah luasnya, Sicu dan terdapat banyak tempat yang sunyi dan baik sekali bagi mereka yang ingin mengundurkan diri dari dunia ramai dan bertapa. Tentu banyak pertapa di daerah ini yang tidak mau mencampuri urusan dunia dan bukan mustahil kalau di antara mereka itu terdapat banyak orang-orang sakti. Sebaiknya sekarang kalian bertiga mengaso dulu. Pinto melihat kedua orang Nona ini sudah tampak kelelahan.” Ketua Thai-san-pai lalu menoleh kepada Song Bu Tosu dan berkata. “Sute, ajaklah kedua orang Nona ini ke dalam dan suruh beberapa orang anggauta wanita menyiapkan kamar untuk mereka.”
Song Bu Tosu mengangguk, lalu dia bangkit berdiri dan berkata kepada sepasang gadis kembar itu dengan sikap hormat. “Marilah, Nona-nona, pinto antar ke bangunan samping yang memang menjadi bangunan untuk tamu yang kami hormati.”
Sepasang gadis kembar itu memandang kepada Cun Giok dan pemuda itu mengangguk. “Sebaiknya kalau kalian beristirahat, Lan-moi dan Lin-moi.”
Dua orang gadis itu lalu mengikuti Song Bu Tosu. Di bangunan samping tosu itu memanggil dua orang wanita yang menjadi anggauta Thai-san-pai, dan dua orang wanita setengah tua ini segera mengantar Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah kamar yang cukup rapi dan bersih.
Kini Thai-san Sianjin berkata kepada lima orang sutenya setelah Song Bu Tosu kembali ke ruangan itu. “Sute, kalian lanjutkanlah mengatur penjagaan yang ketat, pinto masih ingin berbincang-bincang dengan Sicu Pouw Cun Giok.”
Setelah lima orang tosu itu keluar dari ruangan, Ketua Thai-san-pai berkata kepada Cun Giok. “Pouw-sicu, kalau Sicu tidak terlalu lelah, pinto ingin mengobrol denganmu. Banyak yang ingin pinto tanyakan tentang dunia ramai yang sudah lama sekali pinto tinggalkan. Sebelumnya, pinto ingin sekali mengetahui bagaimana Sicu yang menjadi murid Lo-cianpwe Pak-kong Lojin dapat melakukan perjalanan dengan gadis kembar puteri The Toanio majikan Lembah Seribu Bunga. Maukah engkau menceritakannya kepada pinto, Sicu?”
Cun Giok hanya menceritakan bahwa dia bertemu dengan gadis kembar itu di tepi sungai tak jauh dari Lembah Seribu Bunga. Mereka berkenalan dan dia diajak naik ke Lembah Seribu Bunga, bertemu dan berkenalan dengan Nyonya The, majikan lembah yang penuh rahasia itu.
“Ketika mendengar bahwa saya hendak mencari pencuri yang mengambil harta karun Kerajaan Sung, dua orang gadis kembar itu lalu ingin ikut pergi membantu saya. Begitulah, Lo-cianpwe.”
“Siancai, pinto sudah menduga bahwa engkau adalah seorang pemuda yang jujur, polos dan baik hati. Terus terang saja, Sicu, pinto adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan pinto melihat bahwa kedua orang Nona kembar itu menaruh hati cinta kepadamu.”
“Eh? Bagaimana Lo-cianpwe dapat mengetahui atau menduga begitu?”
“Sicu, dari pandang mata dan sikap mereka saja pinto yakin bahwa kakak beradik itu jatuh cinta kepadamu. Hal ini berbahaya karena mereka dapat bersaing untuk mendapatkan cintamu. Pinto dapat melihat pula bahwa tidak atau belum ada perasaan cinta dalam hati Sicu kepada mereka, hanya rasa suka sebagai sahabat saja.”
“Lo-cianpwe sungguh memiliki pandangan yang tajam dan waspada. Saya sendiri yakin bahwa agaknya tidak mungkin saya jatuh cinta kepada seorang wanita. Tidak lagi...” Cun Giok menghela napas panjang, hatinya terasa hampa.
“Ah, semuda ini Sicu sudah mengalami gagal cinta agaknya. Apakah Sicu sudah menikah? Atau bertunangan?”
“Saya pernah ditunangkan kepada seorang gadis oleh mendiang Guru saya. Akan tetapi, tunangan saya itu mati terbunuh. Saya sudah membalaskan kematiannya dengan memberi hajaran keras kepada pembunuhnya. Biarpun ia sudah mati, saya akan tetap menganggap ia itulah isteri saya.”
Tosu tua itu mengangguk-angguk. “Sicu, engkau seorang laki-laki yang setia. Akan tetapi kesetiaanmu itu tidak pada tempatnya. Pinto kira tunanganmu itu pun tidak akan tenang melihat engkau menutup dirimu terhadap cinta seorang wanita.”
“Lo-cianpwe, justeru cinta yang membuat saya merasa berdosa dan merana. Saya sudah ditunangkan dengan seorang gadis, akan tetapi saya jatuh cinta kepada seorang gadis lain. Ah, Lo-cianpwe, benarkah pendapat bahwa cinta itu selain mendatangkan kebahagiaan, juga seringkali mendatangkan kedukaan?”
Tosu itu tersenyum. Pertanyaan yang sebetulnya janggal karena urusan cinta ditanyakan kepada seorang tosu! Akan tetapi sebagai seorang yang banyak pengalaman dalam kehidupan, Ketua Thai-san-pai merasa berkewajiban untuk menerangkan apa yang dianggapnya benar.
“Sicu, cinta kasih tidak pernah mendatangkan senang maupun susah walaupun cinta kasih tidak pernah terpisah dari setiap mahluk hidup. Yang dapat mengumbang-ambingkan manusia antara suka dan duka bukanlah cinta kasih, melainkan cinta berahi atau cinta nafsu yang tidak didasari cinta kasih.”
“Bagaimana sifat cinta kasih, Lo-cianpwe, dan bagaimanakah yang dinamakan cinta kasih sejati itu?”
“Cinta kasih sejati menuntun manusia untuk menyerahkan diri sepenuhnya dalam Kekuasaan Tuhan karena Kekuasaan Tuhan itulah ujud cinta kasih sejati. Dituntun cinta kasih, manusia akan merelakan diri sepenuhnya demi kesejahteraan dunia dan manusia pada umumnya, lembut sabar dan tulus setia, tidak mementingkan diri sendiri, seperti halnya sinar matahari, keharuman bunga, kemerduan kicau burung, kesejukan angin, keindahan tamasya alam. Semua itu adalah Kekuasaan Tuhan dan di situ terkandung cinta kasih. Tanpa pamrih untuk diri pribadi dan selalu bermanfaat bagi semua mahluk, terutama manusia. Seluruh alam dan isinya ini dicipta oleh Tuhan dengan cinta kasih. Cinta kasih bekerja setelah nafsu mementingkan diri sendiri tidak hadir dalam hati dan akal pikiran kita. Tindakan yang didasari cinta kasih sudah pasti benar karena dibimbing oleh Kekuasaan Tuhan, mendatangkan perasaan iba dan sayang dalam hati terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Seperti sinar matahari, mendatangkan kehidupan dan kenikmatan kepada siapa saja, seperti keharuman bunga akan tetap harum ketika dicium siapapun juga tanpa memandang bangsa, agama, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, yang berkedudukan tinggi atau rakyat jelata yang paling bawah sekalipun.”
“Alangkah indahnya, Lo-cianpwe. Lalu bagaimana sifat cinta berahi atau cinta nafsu?”
“Cinta berahi mengandung nafsu untuk mencari kesenangan diri sendiri dan condong untuk menganggap orang yang dicintanya itu sebagai sumber kesenangan diri sendiri.”
“Alangkah kotornya, Lo-cianpwe. Kalau begitu, untuk apa kita membiarkan diri dikuasai cinta berahi semacam itu? Lebih baik dimatikan saja nafsu berahi seperti itu. Bukankah begitu, Lo-cianpwe?”
“Siancai...!” Tosu itu tersenyum lebar. “Tidak begitu, Pouw-sicu. Tidak ada nafsu yang boleh dimatikan! Nafsu-nafsu memang sudah disertakan kepada manusia sejak lahir dan nafsu-nafsu itulah yang mendorong dan menjamin keberadaan dan kelangsungan hidup manusia. Bahkan nafsu berahi merupakan nafsu yang teramat penting, terutama untuk jaminan perkembang-biakan manusia di dunia. Akan tetapi kalau hubungan antara pria dan wanita hanya dilandasi nafsu berahi saja, tanpa adanya cinta kasih sejati, maka hal itu akan menghancurkan manusia itu sendiri. Nafsu berahi tanpa cinta kasih membuat orang mencari kesenangan sendiri, ingin menguasai, memiliki, mendatangkan cemburu dan dapat mengubah cintanya menjadi benci kalau yang dicinta tidak menyenangkannya lagi! Adapun nafsu berahi yang didasari cinta kasih membuat orang bersikap menghormati, melindungi, menyayangi, menaruh iba, menanamkan kewajiban, kesetiaan dan mendatangkan sikap ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, senang sama dinikmati dan susah sama ditanggung.”
“Terima kasih, Lo-cianpwe. Apa yang saya dengar dari keterangan Lo-cianpwe menerangi hati saya yang selama ini dirundung kegelapan,” kata Cun Giok yang teringat akan Ceng Ceng. Dia mencintai gadis itu sepenuh hati, mencinta selengkapnya.
Memang terasa olehnya ada dua macam cinta dalam hatinya terhadap Ceng Ceng. Yang pertama adalah cinta kasih berahi yang timbul karena kecantikan gadis itu. Adapun yang kedua adalah cinta sejati seperti yang disinggung Ketua Thai-san-pai tadi, yang timbul karena kebijaksanaan dan budi pekerti gadis itu. Cinta berahi dapat saja menguap bahkan beralih kepada gadis lain, sebaliknya cinta sejati akan tetap ada, walaupun dia harus berpisah dari yang dicintanya dan tidak dapat menjadi satu.
Dia dapat merasakan bahwa cinta kasih Ceng Ceng terhadap dirinya tentu merupakan cinta kasih sejati seperti yang diuraikan Ketua Thai-san-pai tadi. Buktinya, dulu Ceng Ceng pernah mengalah kepada Li Hong yang mencintanya, bahkan biarpun ia diserang oleh Li Hong kemudian dikhianati Li Hong yang memihak Kim Bayan, Ceng Ceng masih tetap membela Li Hong dan rela menyerahkan peta harta karun. Ceng Ceng adalah seorang gadis yang memiliki cinta kasih murni seperti itu!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut yang datangnya dari arah belakang gedung rumah induk Thai-san-pai itu.
“Hemm, apa yang terjadi di sana?” kata Ketua Thai-san-pai dengan sikap masih tenang, namun alisnya berkerut, agaknya merasa tidak senang oleh gangguan itu.
“Lo-cianpwe, pasti terjadi sesuatu di sana!”
Tiba-tiba dua orang murid memasuki ruangan itu, memberi hormat kepada ketua mereka dan melapor. “Suhu, beberapa orang liar memasuki perpustakaan dan mengacau di sana, kini dihadapi oleh Lima Suhu.”
“Lo-cianpwe, biar saya yang melihat ke sana!” kata Cun Giok sambil bangkit dari tempat duduknya.
Ketua Thai-san-pai mengangguk dan Cun Giok segera mengikuti dua orang murid itu menuju ke belakang. Di ruangan tengah dia bertemu Kui Lan dan Kui Lin yang juga mendengar keributan itu dan mereka keluar dari kamar mereka.
“Ada apakah, Giok-ko?” tanya Kui Lin.
“Menurut laporan dua orang ini, ada beberapa orang datang membuat kekacauan di sini!”
“Mari kita pergi lihat!” kata Kui Lan dan mereka bertiga lalu mengikuti dua orang murid Thai-san-pai itu.
Ketika mereka tiba di luar ruangan perpustakaan yang merupakan sebagian dari taman yang cukup luas, Cun Giok dan dua orang gadis kembar melihat kelima Thai-san Ngo-sin-kiam sedang berkelahi melawan lima orang laki-laki tinggi besar berusia sekitar empatpuluh tahun. Lima orang tinggi besar itu tampak garang dan pakaian mereka serba hijau dan mereka masing-masing memegang sebatang golok besar yang punggungnya bergigi seperti gergaji.
Ilmu silat mereka ternyata cukup hebat dan gerakan mereka liar dan aneh sehingga agaknya mereka mampu mengimbangi permainan pedang dari Lima Pedang Sakti Thai-san itu. Di sekitar tempat perkelahian itu tampak belasan orang murid Thai-san-pai yang sudah terluka dan sedang ditolong oleh para murid lainnya.
Kui Lin yang galak sudah hendak menyerbu dan membantu Ngo-sin-kiam, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya. “Jangan, Lin-moi. Membantu mereka tanpa diminta akan menyinggung harga diri mereka, dan lihatlah, mereka tidak terdesak oleh lawan.”
Dicegah oleh Cun Giok yang memegang lengannya, Kui Lin tidak jadi menyerbu dan jantungnya berdebar, mukanya berubah kemerahan karena pegangan tangan itu pada lengannya seolah mengandung getaran yang menjalar ke seluruh tubuhnya! Ia menyimpan kembali pedangnya dan menonton perkelahian Ngo-sin-kiam melawan lima orang musuh mereka itu.
Benar seperti yang dikatakan Cun Giok, biarpun lima orang berpakaian hijau itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dahsyat, golok mereka menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk, namun ilmu pedang Ngo-sin-kiam memang hebat. Mereka berlima telah menguasai ilmu pedang Thai-san-pai dengan baik sehingga mereka bukan saja mampu menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan terhadap serangan lawan, bahkan kini mereka mulai dapat mendesak orang-orang berpakaian hijau itu.
Cun Giok melihat betapa Ngo-sin-kiam itu memiliki gerakan pedang yang teratur, saling dukung baik dalam pertahanan maupun penyerangan. Mereka merupakan barisan pedang yang amat tangguh, jauh lebih tangguh daripada kalau mereka maju sendiri-sendiri...