16. KECURIGAAN KELOMPOK HOU LO SIAN
SETELAH terus mendesak lawan, akhirnya Ngo-sin-kiam dapat merobohkan lima orang penyerbu itu. Ada yang terluka lengan atau pundaknya, ada yang terlempar goloknya, ada pula yang terkena pukulan tangan kiri atau tendangan. Ketika Thai-san Ngo-sin-kiam hendak melanjutkan serangan untuk menangkap lima orang penyerbu itu, tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara gerengan seperti binatang buas. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di depan lima orang tosu Thai-san-pai sudah berdiri seorang raksasa berusia sekitar limapuluh tahun dan keadaannya sungguh amat menyeramkan.
Laki-laki tinggi besar ini mempunyai muka yang seperti singa bentuknya, penuh berewok dan yang mengerikan, rambut, kumis dan jenggotnya berwarna merah! Lalu sambil membentak dengan suara melengking, raksasa itu mendorongkan kedua tangannya yang besar beberapa kali dan lima orang tosu Thai-san-pai itu seolah terdorong angin yang amat kuat sehingga mereka berlima terhuyung-huyung ke belakang!
Ketika Ngo-sin-kiam dapat menguasai diri, baru saja mereka hendak maju menghadapi lawan yang tinggi besar itu, Si Raksasa rambut merah kembali mendorongkan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan melengking-lengking. Dan, angin pukulan yang amat kuat kembali melanda lima orang tosu itu, membuat mereka yang sudah mempersiapkan diri itu tetap saja terdorong ke belakang, sehingga ada yang menjatuhkan diri dan bergulingan agar terhindar dari bantingan.
“Hayo, serahkan harta karun itu kepadaku, kalau tidak, seluruh Thai-san-pai akan kubasmi habis!” Kakek rambut merah itu berteriak dan kini dia berdiri tegak sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang lebar. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu kini berubah merah seperti api membara dan asap putih membubung ke atas. Melihat ini, Ngo-sin-kiam terkejut dan Song Bu Tosu berkata heran.
“Kiranya Huo Lo-sian (Dewa Api) yang sedang berkunjung! Di antara pihakmu dan pihak kami tidak pernah ada permusuhan, mengapa hari ini anak buahmu datang membuat kacau dan melukai beberapa orang murid kami?” Ngo-sin-kiam sudah lama mendengar akan nama besar Huo Lo-sian, akan tetapi baru sekarang mereka melihat orangnya yang sungguh menyeramkan.
“Ho-ho-hoh! Thai-san-pai mendapatkan rejeki besar, sudah sepatutnya membagi-bagi rejeki itu dengan teman-teman sepegunungan. Serahkan harta karun itu, setidaknya setengah bagian, dan kami akan tetap tinggal menjadi tetangga yang baik. Kalau kalian murka dan hendak memilikinya sendiri, aku akan membasmi Thai-san-pai dan merampas harta karun itu!”
Tiba-tiba Kui Lin yang sejak tadi sudah menahan-nahan rasa penasaran dan kemarahannya, melompat ke depan kakek rambut merah itu. Matanya yang jeli melotot, alisnya berkerut, mulutnya cemberut dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri menuding ke arah muka singa itu.
“Hei, siluman jelek dan sombong! Jangan ngoceh asal membuka mulutmu yang lebar itu saja! Siapa yang mendapatkan harta karun? Andaikata ada yang mendapatkan sekalipun, siapa sudi membagi dengan siluman sombong macam engkau? Boleh jadi engkau dapat menakut-nakuti anak-anak kecil, akan tetapi aku The Kui Lin, puteri Lembah Seribu Bunga, sama sekali tidak gentar kepadamu!”
Terlambat bagi Kui Lan maupun Cun Giok untuk mencegah gadis pemberani yang galak itu mengeluarkan ucapan menantang. Mereka berdua hanya maju mendekati Kui Lin untuk melindunginya karena mereka tahu betapa lihai dan berbahayanya raksasa itu.
Huo Lo-sian (Dewa Api) terbelalak memandang kepada Kui Lin. Datuk ini lebih merasa heran daripada marah. Bagaimana mungkin seorang gadis remaja semuda ini berani menantangnya! Dengan sikap dan kata-kata sombong pula! Saking herannya datuk ini sampai berdirl tercengang, kemudian kemarahannya mulai berkobar, membuat dia sukar mengeluarkan suara. Wajahnya yang seperti singa itu tampak semakin menyeramkan, rambut, kumis dan jenggotnya yang merah itu seperti bangkit berdiri!
Sebagai seorang datuk besar, walaupun kini jarang terjun ke dunia persilatan, dia sudah mendengar akan nama besar Lembah Seribu Bunga. Akan tetapi sesuai dengan wataknya yang tekebur dan selalu mengagulkan diri sendiri memandang rendah orang lain, tentu saja dia tidak gentar. Apalagi yang muncul dari Lembah Seribu Bunga hanya seorang gadis remaja yang masih ingusan!
“Kamu... kamu bocah setan! Apa kamu sudah bosan hidup!?” bentaknya dengan mata melotot dan seperti mengeluarkan sinar berapi.
Kui Lin tersenyum mengejek. “Kamulah yang bosan hidup! Memang kamu layak mampus karena selain sudah tua, juga dosamu sudah bertumpuk-tumpuk! Setan-setan sudah menunggumu di neraka!”
“Lin-moi...!” Kui Lan menegur adiknya. Ia menganggap adiknya itu seolah menyulut permusuhan dengan Dewa Api yang tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Buktinya, Thai-san Ngo-sin-kiam yang berilmu tinggi itu pun tadi kewalahan menghadapi dorongan tangan yang mengandung tenaga sakti amat kuatnya dari datuk itu.
“Biarkan aku, Lan-ci (Kakak Lan)! Aku akan menghajar siluman tua ini agar dia tidak berani sombong lagi!” kata Kui Lin yang terlampau berani namun kurang perhitungan itu.
Huo Lo-sian sudah habis kesabarannya. “Bocah gila, mampuslah kamu!” bentaknya dan dia sudah mendorongkan kedua tangannya yang merah membara itu ke arah dada Kui Lin!
Dasar gadis muda yang hanya mengandalkan keberanian, seolah seekor burung muda yang baru keluar dari sarangnya, Kui Lin tidak menjadi gentar menghadapi serangan dahsyat itu. Ia malah mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, lalu mendorongkan kedua tangan pula menyambut serangan lawan!
Biarpun Kui Lan juga seperti adiknya, tidak mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun ia lebih cerdik dan hati-hati. Ia dapat menduga bahwa tidak mungkin adik kembarnya mampu menahan serangan tenaga sakti lawan yang amat kuat itu dan bukan tidak mungkin nyawa adiknya terancam maut, maka cepat ia lalu menjulurkan kedua telapak tangannya, menempel punggung adiknya dari belakang dan menyalurkan sin-kangnya membantu adiknya sehingga kini yang menyambut serangan Huo Lo-sian adalah tenaga sinkang gabungan dua saudara kembar itu.
“Wuuuuuttt... Plakkk!” Kedua telapak tangan Huo Lo-sian yang seperti membara itu bertemu dengan kedua telapak tangan Kui Lin.
Kalau saja gadis ini tidak dibantu encinya dan tenaga sepasang gadis kembar itu tidak bergabung, memang amat berbahaya bagi keselamatan Kui Lin. Namun gabungan dua tenaga itu cukup kuat untuk menahan gempuran lawan. Akan tetapi, bagaimanapun juga, setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan tenaga raksasa rambut merah itu, tetap saja tubuh kedua orang gadis kembar itu tergetar. Dari dua pasang telapak tangan yang saling menempel itu kini keluar asap, dan dua orang gadis kembar itu mandi keringat!
“Wah, panas... panas...!” Kui Lin menjerit-jerit ketika merasa betapa kedua telapak tangannya seperti menempel pada besi membara yang amat panas!
Cun Giok maklum bahwa saatnya tiba baginya untuk turun tangan membantu dan menyelamatkan dua orang gadis itu. Dia menjulurkan kedua tangannya dan kedua telapak tangannya menempel pada punggung Kui Lan. Dia mengerahkan sinkangnya dan berseru, “Lin-moi, dorong!”
Kui Lin yang merasa kepanasan segera mendorong. Kekuatannya bergabung dengan kekuatan Kui Lan dan Cun Giok, maka dorongannya mengandung sin-kang yang amat kuat.
“Wesss...!” Tubuh Huo Lo-sian terpental dan dia terhuyung ke belakang sampai tujuh langkah! Sepasang matanya terbelalak kaget dan heran karena tadi dia merasa betapa dari telapak tangan halus dan kecil dari gadis remaja itu keluar tenaga yang amat dahsyat, yang bukan saja membuat kedua lengannya tergetar dan nyeri, bahkan membuat dia terpental ke belakang seperti dilontarkan! Dia merasa gentar juga. Baru tiga orang muda itu saja sudah demikian kuatnya. Apalagi Ketua Thai-san-pai! Maka, dia lalu menoleh kepada lima orang pembantunya.
“Kita pergi!” Dan dia pun melompat jauh, diikuti lima orang berpakaian hijau itu dan sebentar saja mereka lenyap dari perkampungan Thai-san-pai.
“Heii, siluman rambut merah! Mau lari ke mana kamu!” teriak Kui Lin yang hendak melakukan pengejaran, merasa seolah ia yang mengalahkan datuk tadi!
Akan tetapi Kui Lan segera memegang lengannya. “Jangan dikejar!” katanya.
“Wah, Enci Lan, siluman seperti dia itu yang amat sombong sebaiknya dibasmi saja. Kalau engkau tidak menahanku, tentu ia dapat kukejar dan kupenggal lehernya, betul tidak, Giok-ko?” kata Kui Lin sambil memandang pemuda itu.
Cun Giok tersenyum. “Lin-moi, aku kagum akan keberanianmu.”
“Bukan berani, melainkan nekat dan ngawur!” Kui Lan mengomel karena ia tahu benar bahwa kalau tadi tidak dibantu Cun Giok, tenaga mereka berdua tidak cukup untuk mengalahkan Huo Lo-sian dan bukan tidak mungkin nyawa mereka terancam maut.
Mereka bertiga lalu kembali ke dalam gedung induk bersama Ngo-sin-kiam, menghadap Ketua Thai-san-pai, dan lima orang tosu itu melaporkan kepada suheng mereka tentang munculnya Huo Lo-sian.
“Siancai...! Urusan harta karun mulai menimbulkan kekacauan. Pinto kira ekornya akan menimbulkan persaingan dan perebutan.”
“Siapa tahu, kakek siluman itu malah yang menjadi pencurinya!” tiba-tiba Kui Lin berseru.
“Kiranya hal itu tidak mungkin, Lin-moi,” kata Kui Lan lembut. “Kalau dia yang mencuri harta karun, untuk apa dia dan para pembantunya menyerbu ke sini dan mencari di perpustakaan Thai-san-pai?”
“Mungkin sekali, Enci Lan! Dia melakukan penyerbuan ke sini untuk mengalihkan perhatian agar yang disangka mencuri harta karun adalah Thai-san-pai! Huh, dikira aku tidak tahu akan akal bulusnya itu!” Kui Lin lalu memandang Cun Giok. “Betul tidak, Giok-ko?”
“Memang segala kemungkinan bisa terjadi. Bisa seperti yang disangka Lin-moi bahwa dia pencuri harta karun dan ingin mengalihkan perhatian kepada Thai-san-pai. Akan tetapi mungkin juga benar seperti yang dikatakan Lan-moi, dia hanya menduga bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun maka dia ingin mencari dan merampasnya.” Cun Giok lalu memandang Ketua Thai-san-pai. “Lo-cianpwe, kami yang muda-muda hanya bingung dengan dugaan kami masing-masing. Bagaimana kalau menurut pendapat Lo-cianpwe. Harap suka memberi petunjuk kepada kami.”
“Siancai...!” Kakek itu mengelus jenggotnya. “Memang semua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, Huo Lo-sian adalah seorang datuk sesat yang kasar dan mengandalkan kekuatan dan kelihaian ilmu silatnya. Orang berwatak kasar seperti dia, kiranya tidak akan dapat menggunakan cara-cara yang mengandung muslihat rumit. Maka, pinto kira bukan dia pencuri harta karun itu.”
“Kalau begitu, Lo-cianpwe, kita sudah mendapatkan dua kenyataan, yaitu dua di antara penghuni Thai-san, yang pertama Thai-san-pai dan kedua Huo Lo-sian, bukan pencuri harta karun. Dengan demikian, kita dapat menjuruskan penyelidikan kita kepada pihak lain yang berada di Thai-san ini,” kata Cun Giok.
“Wah, aku tahu sekarang! Sudah pasti yang mencurinya adalah sepasang iblis yang berjuluk Hek Pek Mo-ko itu! Bukankah sisa para tokoh di sini hanya tinggal dua, yaitu Hek Pek Mo-ko dan Ang-tung Kai-pang? Menurut keterangan Lo-cianpwe tadi, perkumpulan Pengemis Tongkat Merah itu tidak biasa bahkan membenci pencurian dan mereka juga menentang penjajah Mongol sehingga tidak sangat mencurigakan. Tinggal Hek Pek Mo-ko yang patut kita curigai,” kata Kui Lin.
“Hemm, pendapat Lin-moi itu benar sekali. Aku setuju dengan pendapatnya,” kata Kui Lan.
Hati Kui Lin gembira sekali. Biasanya, encinya itu selalu menegur dan menyalahkannya, akan tetapi sekali ini mendukung pendapatnya! Ia berseru girang dengan wajah berseri.
“Nah, betul bukan pendapatku? Giok-ko, mengapa kita tunggu lebih lama? Mari kita pergi menyelidiki Iblis Hitam Putih itu!”
“Tidak perlu tergesa-gesa, Nona,” kata Ketua Thai-san-pai. “Sebentar lagi malam tiba dan perjalanan ke Bukit Batu, tempat tinggal Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka yang berada di bagian Utara pegunungan ini, tidaklah mudah dan cukup jauh. Kalian perlu mempelajari perjalanan yang akan kalian tempuh, dan sebaiknya dilakukan besok pagi.”
“Lo-cianpwe berkata benar. Kita tidak perlu tergesa-gesa, Lin-moi,” kata Kui Lan.
Malam itu, Cun Giok, Kui Lan, dan Kui Lin bermalam di markas Thai-san-pai dan mendengarkan keterangan tentang perjalanan ke sana dari para murid Thai-san-pai yang sudah pernah mengenal daerah Utara di mana terdapat Bukit Batu.
********************
Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong yang melakukan perjalanan jauh dari Pulau Ular yang berada di Lautan Po-hai menuju Pegunungan Thai-san, setelah makan waktu berbulan-bulan menunggang kuda, akhirnya mereka tiba di kaki pegunungan Thai-san. Mereka kini menjadi akrab sekali karena dalam perjalanan panjang yang makan waktu berbulan itu, Yauw Tek memperlihatkan sikap sopan dan budi yang baik sekali. Bahkan Ceng Ceng juga merasa tertarik dan kagum karena ketika beberapa kali mereka dihadang perampok dan diganggu, Yauw Tek selalu mencegah Li Hong kalau gadis itu hendak membunuh para penjahat. Kemudian pemuda itu mengalahkan semua perampok dengan mudah tanpa melukai mereka.
“Ingat, Hong-moi. Mereka itu menjadi jahat oleh keadaan. Para penjajah itulah yang membuat kehidupan rakyat jelata menjadi susah dan serba kekurangan dan hal ini mendorong mereka untuk merampok! Bagaimanapun juga, mereka itu adalah bangsa kita sendiri, maka bersikaplah murah, jangan sembarangan membunuh mereka. Musuh utama kita adalah penjajah Mongol. Kalau kita sudah berhasil mengenyahkan penjajah, kuyakin kehidupan rakyat kita akan dapat membaik dan kejahatan pun pasti berkurang.”
Ceng Ceng mengagguk-anggukkan kepalanya. “Apa yang dikatakan Yauw-twako memang benar, Adik Hong. Banyak sekali kejahatan terjadi karena desakan keadaan, karena kekurangan dan penindasan. Yauw-twako berjiwa patriot dan cinta bangsa, hal itu patut dijadikan contoh.”
“Yauw-twako, bagaimana kalau kita bertemu pasukan Kerajaan Mongol? Apa yang akan kaulakukan?” tanya Li Hong.
“Tentu bodoh sekali kalau kita menyerang pasukan yang besar jumlahnya, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi kalau ada pasukan kecil mengganggu kita, sudah sepatutnya kita basmi mereka.”
Dan Yauw Tek bukan hanya bicara saja untuk menyatakan permusuhannya dengan Pemerintah Mongol. Dalam perjalanan mereka, setiap kali mereka berada di kota atau desa di mana terdengar ada pembesar Mongol yang sewenang-wenang, pemuda itu pasti turun tangan memberi hajaran keras!
Tiga orang muda itu tiba di kaki Pegunungan Thai-san bagian Selatan. Hari telah menjelang senja ketika mereka memasuki sebuah dusun di kaki gunung itu. Dusun Kok-lo merupakan dusun yang cukup ramai dan memiliki banyak penduduk. Kehidupan di dusun itu cukup makmur karena daerah ini merupakan daerah yang subur tanahnya sehingga para penduduk yang bekerja sebagai petani mendapatkan penghasilan yang lumayan. Bahkan banyak pedagang hasil bumi dan rempa-rempa dari kota berdatangan ke dusun itu untuk membeli dagangan.
Hal ini membuat dusun itu semakin maju dan selain terdapat pedagang-pedagang barang dari kota raja untuk keperluan keluarga petani, di situ terdapat pula dua buah rumah penginapan yang lumayan besarnya, berikut rumah makannya. Dua buah rumah penginapan berikut rumah makan ini untuk melayani para tamu pedagang yang terpaksa harus bermalam selama beberapa hari di situ.
Tiga orang itu merasa lega, terutama sekali Li Hong yang selama lima hari ini mengomel terus karena mereka terpaksa bermalam di tempat terbuka karena tidak ada dusun yang menyediakan rumah penginapan dan rumah makan. Dusun-dusun yang mereka lewati selama belasan hari terdiri dari dusun-dusun kecil dan sepi. Kini, memasuki dusun yang cukup besar dan ramai, dan terdapat rumah penginapan berikut rumah makannya, tentu saja Li Hong merasa gembira sekali. Ia mendahului dua temannya dan memimpin di depan menuju ke sebuah rumah penginapan AN HOK.
Semenjak memasuki dusun itu, mereka bertiga menarik perhatian banyak orang. Memang banyak di situ kedatangan orang-orang kota, namun belum pernah mereka melihat dua orang gadis sejelita itu dan melihat tiga ekor kuda yang besar dan bagus. Tiga orang muda itu memang sudah beberapa kali terpaksa berganti kuda karena kuda mereka sudah kelelahan melakukan perjalanan sejauh itu. Dan setiap kali berganti kuda, Li Hong pasti memilih kuda-kuda terbaik untuk mereka bertiga. Gadis ini membawa bekal yang cukup banyak pemberian orang tuanya di Pulau Ular.
Setibanya di depan rumah penginapan, Li Hong melompat turun dari atas kudanya, diikuti Yauw Tek dan Ceng Ceng yang tersenyum melihat kegembiraan Li Hong. Di dalam hatinya, Yauw Tek dan Ceng Ceng merasa kasihan juga di samping geli melihat sikap Li Hong. Mereka tahu bahwa Li Hong banyak menderita dalam perjalanan itu. Gadis yang sudah biasa hidup enak di Pulau Ular itu, kini benar-benar menderita melakukan perjalanan jauh yang melelahkan. Pantaslah kalau kini ia demikian gembira mendapatkan sebuah dusun yang memiliki rumah penginapan dan rumah makan...!