17. TANTANGAN PIE BU HEK MO KO
TIGA orang pelayan rumah penginapan segera menyambut dan mengurus tiga ekor kuda itu yang mereka bawa ke kandang kuda di pekarangan belakang rumah penginapan. Rumah penginapan itu memang mempunyai banyak pelayan untuk melayani para pedagang yang bermalam di situ. Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan sikap hormat dan ramah.
“Selamat datang di rumah penginapan AN HOK kami, Kongcu (Tuan Muda) dan ji-wi Siocia (Nona Berdua). Apakah Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menyewa kamar?”
“Ya, cepat siapkan sebuah kamar biasa dan sebuah yang agak besar untuk aku dan Enciku, akan tetapi pilih kamar yang paling bersih, ganti semua tilamnya dengan yang baru dan bersih!” kata Li Hong dengan sikap keren dan memerintah.
“Baik, Nona, akan kami siapkan sekarang,” kata pelayan itu dengan sikap hormat.
Li Hong lalu mengambil sekeping uang dari balik ikat pinggangnya dan memberikan kepada pelayan itu. Pelayan itu menerima dengan mata terbelalak karena hadiah ini amat banyak dan tidak seperti biasanya para tamu memberi hadiah setelah akan meninggalkan penginapan.
“Jangan lupa, sediakan air yang banyak untuk kami mandi, setelah itu siapkan makan malam dengan lauk-pauk komplit dari rumah makan,” perintah Li Hong.
“Baik-baik, Siocia, akan kami siapkan semua,” kata pelayan itu yang lalu membawa mereka kedua buah kamar yang kosong. Dia memerintahkan pelayan lain untuk segera mengganti tilam-tilam di kedua kamar itu, bahkan menyuruh bersihkan lantai dan semua perabot dalam dua kamar itu.
Tiga orang muda itu lalu mandi dan bertukar pakaian, lalu mereka makan hidangan yang sudah disediakan. Memenuhi pesanan Li Hong, hidangan itu cukup mewah sehingga Ceng Ceng setelah mereka selesai makan, berkata sambil tersenyum.
“Wah, engkau royal sekali, Hong-moi, dan engkau minum banyak sekali arak. Akan tetapi kulihat engkau sama sekali tidak mabok!”
“Ih, Enci Ceng, kalau puteri Pulau Ular mabok oleh minuman arak, sungguh memalukan! Bukankah engkau juga sama sekali tidak tampak mabok setelah minum cukup banyak pula? Lihatlah Yauw-twako itu! Mukanya menjadi merah seperti kepiting direbus, hi-hi-hik!”
Yauw Tek yang memang merah mukanya karena melayani dua orang gadis yang amat kuat minum arak itu, tertawa pula. “Ha-ha, tentu saja aku tidak dapat menandingi kalian, Ceng-moi dan Hong-moi! Dahulu, ketika kecil dan menjadi pemuda remaja, aku hidup di antara pertapa dan pendeta, sama sekali tidak diperbolehkan minum arak. Kalian berdua tentu saja kuat minum. Ceng-moi seorang ahli pengobatan, tentu sebelumnya sudah menelan obat penjaga mabok, demikian pula engkau, Hong-moi. Pulau Ular terkenal dengan racun-racunnya yang berbahaya, tentu saja engkau dapat mengatasi pengaruh racun arak yang bagimu kecil tidak ada artinya itu!” kata Yauw Tek dan dari suaranya yang ringan, dua orang gadis itu dapat mengetahui bahwa pemuda itu memang agak teler (mabuk). Mereka berdua tertawa walaupun tawa Ceng Ceng tidak selebar dan selantang Li Hong.
“Maaf, Yauw-twako, kami hanya berkelakar, bukan mentertawakanmu!” kata Li Hong. “Yang membuat aku heran, bagaimana engkau kulihat tidak pernah merasa janggal menanggapi segala kemewahan, seolah engkau sudah biasa dengan kamar yang nyaman dan makanan yang mewah.”
Ceng Ceng juga memandang pemuda itu karena baru sekarang ia teringat bahwa pemuda itu agaknya tak pernah tertarik atau heran menyaksikan kemewahan, bahkan pakaian pemuda ini juga terbuat dari sutera halus, seolah Yauw Tek seorang pemuda kaya raya yang biasa hidup mewah.
Yauw Tek tersenyum. “Ah, itukah yang membuat kalian heran? Ceng-moi dan Hong-moi, ketahuilah bahwa selama tinggal di rumah para Pendeta Lhama di Tibet sebagai murid mereka, aku sudah terbiasa hidup mewah. Kalian tahu, banyak di antara pendeta Lhama itu memiliki gedung yang mewah, kehidupan mereka juga serba mewah dan kaya raya.”
Dua orang gadis itu kini baru mengerti. Tidak heran Yauw Tek bersikap biasa saja menghadapi hidangan mewah, kiranya pernah hidup di rumah para pendeta Lhama yang kaya raya. Mereka merasa heran juga mengapa para pendeta di Tibet dapat hidup mewah dan kaya, tidak seperti para hwesio (Pendeta Buddha) yang berada di kuil-kuil di Cina.
Pada keesokan harinya mereka mendapat keterangan bahwa di atas bukit di depan, yaitu Bukit Cemara, terdapat pusat Perkumpulan Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Mereka bertiga berkemas untuk melanjutkan perjalanan. Karena Ang-tung Kai-pang merupakan satu di antara golongan yang kuat dan mungkin menjadi pencuri harta karun, maka mereka sudah mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan kepada perkumpulan pengemis yang terkenal memiliki cabang di mana-mana.
Pagi-pagi sekali tiga orang muda itu sudah keluar dari rumah penginapan dan berada di jalan umum depan rumah penginapan merangkap rumah makan itu. Tadi, mereka sudah sarapan bubur yang disiapkan oleh pelayan. Sepagi itu, jalan umum di depan rumah penginapan itu sudah ramai dengan orang-orang yang lalu-lalang. Mereka adalah orang-orang yang memikul barang dagangan berupa hasil bumi daerah itu.
Selagi mereka berdiri di tepi jalan, memandang ke arah Bukit Cemara yang menurut keterangan menjadi markas Ang-tung Kai-pang, tiba-tiba mereka melihat serombongan orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian pengemis, berbondong pergi ke arah timur. Mereka terdiri dari lima orang berpakaian tambal-tambalan dan masing-masing memegang sebatang tongkat yang berwarna merah. Mudah saja bagi Yauw Tek untuk menduga bahwa mereka berlima itu tentulah para anggauta Ang-tung Kai-pang. Karena mereka memang berniat mengunjungi dan menyelidiki keadaan perkumpulan pengemis itu, maka lima orang itu menarik perhatian mereka. Dengan saling pandang saja, ketiganya bersepakat untuk membayangi lima orang pengemis itu.
Usia lima orang itu antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun. Biarpun di antara mereka, yang tiga orang bertubuh kurus seperti kebanyakan pengemis, sedangkan yang dua orang sedang-sedang saja, namun mereka itu sungguh jauh berbeda dari pengemis biasa. Pakaian mereka memang tambal-tambalan, namun bersih dan mudah diduga bahwa mereka tentu sering bertukar pakaian. Sepatu mereka yang berwarna hitam juga tidak butut seperti pengemis biasa.
Gerak-gerik mereka ketika mereka berjalan tergesa-gesa itu pun membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lemah. Terutama sekali tongkat mereka yang berwarna merah itu mencolok dan membuat mereka tampak lebih mirip regu yang berpakaian seragam daripada serombongan pengemis. Juga keberadaan mereka di dusun yang ramai itu agaknya sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang yang berlalu-lalang di jalan umum, hal ini menandakan bahwa kehadiran para pengemis di dusun itu merupakan hal yang biasa.
Selain itu, sikap para penduduk yang tenang saja melihat mereka membuktikan bahwa golongan pengemis itu tidak ditakuti. Ini saja sudah membuat Yauw Tek dan dua orang gadis itu mengambil kesimpulan bahwa para pengemis tongkat merah itu bukan golongan yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan mereka seperti dilakukan banyak anggauta perkumpulan yang merasa dirinya kuat.
Lima orang pengemis itu melangkah lebar dan berjalan tanpa bicara. Setelah tiba di pintu gerbang dusun sebelah timur, mereka tidak berhenti dan berjalan terus. Terang bahwa mereka tidak hendak pergi ke Bukit Cemara yang menjadi tempat asrama mereka, karena Bukit Cemara berada di sebelah Barat sedangkan mereka kini melangkah terus menuju ke arah Timur. Tiga orang muda itu tetap mengikuti rombongan pengemis itu dari belakang, agak jauh karena mereka tidak ingin diketahui bahwa mereka sedang membayangi rombongan pengemis itu.
Setelah keluar dari pintu gerbang dan berada di jalan yang sepi, lima orang pengemis itu mulai berlari! Yauw Tek, Ceng Ceng dan Li Hong juga berjalan cepat, terus membayangi. Tak lama kemudian mereka tiba di tepi sebuah hutan kecil dan dari jauh sudah tampak ada dua orang sedang berkelahi! Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun, tinggi kurus, pakaiannya serba putih dan dia menggunakan senjata sebatang pedang.
Adapun lawannya adalah seorang pengemis berusia sekitar lima puluh tahun dan dia bersenjatakan sebatang tongkat merah. Jelaslah bahwa yang sedang berkelahi itu seorang anggauta Ang-tung Kai-pang melawan seorang yang berpakaian putih-putih dan yang memiliki ilmu pedang cukup tangguh. Perkelahian itu memang seimbang dan ramai, akan tetapi agaknya pengemis bertongkat merah itu mulai terdesak oleh permainan pedang lawannya.
“Apakah lima orang pengemis itu hendak mengeroyok Si Baju Putih itu?” kata Ceng Ceng lirih.
“Wah, biarpun aku tidak mengenal Si Baju Putih itu, kalau dia dikeroyok, aku pasti akan membelanya!” kata Li Hong.
“Ceng-moi dan Hong-moi, kuharap kalian tidak tergesa-gesa bertindak sebelum kita mengetahui permasalahannya maka mereka itu berkelahi. Jangan sampai kita salah tangan,” kata Yauw Tek.
Mereka mendekati lalu mengintai dari balik pohon-pohon. Lima orang pengemis tongkat merah itu kini telah tiba dekat mereka yang bertanding, akan tetapi mereka berlima hanya berdiri menonton pertandingan itu dan agaknya tidak akan turun tangan membantu rekan mereka.
Laki-laki berpakaian putih itu tampak terkejut ketika dia melihat munculnya lima orang pengemis tongkat merah. Dia agaknya tahu benar bahwa kalau lima orang itu mengeroyoknya, dia pasti akan terancam bahaya maut. Baru melawan seorang ini saja, dia hanya mampu mendesak setelah bertanding lebih dari limapuluh jurus dan ini pun baru mendesak, belum mampu melukai apalagi merobohkannya.
Sebaliknya, pengemis yang sedang bertanding itu ketika melihat lima orang rekannya, bangkit semangatnya dan dia kini membalas desakan lawan dengan serangan-serangan maut. Tongkatnya yang berwarna merah itu membentuk gulungan sinar merah yang cepat dan kuat.
Pria berpakaian putih itu melompat jauh ke belakang. “Huh, orang Ang-tung Kai-pang curang. Kalian hendak mengeroyok aku?” bentaknya sambil melintangkan pedang di depan dada.
Pengemis yang tadi menjadi lawannya menudingkan tongkat merahnya dan menjawab. “Ang-tung Kai-pang bukan perkumpulan orang-orang yang curang dan suka main keroyokan!”
Seorang di antara lima pengemis yang baru datang, berseru lantang. “Manusia sombong! Kalau kami melakukan pengeroyokan, apa kau kira sekarang engkau masih hidup?”
Bagaimanapun Si Baju Putih itu agaknya sudah gentar menghadapi enam orang pengemis tongkat merah, maka dia lalu berkata dengan sikap menantang. “Baik, sekarang aku mengajukan tantangan atas nama kedua orang pimpinan kami. Esok lusa, setelah matahari terbit, pimpinan kami akan datang ke tempat ini dan menantang pimpinan kalian. Hendak kita lihat siapa yang lebih unggul dan yang patut mendapatkan harta karun, majikan Bukit Batu ataukan pimpinan Ang-tung Kai-pang di Bukit Cemara! Kalau esok lusa pimpinan kalian tidak muncul, berarti Ang-tung Kai-pang pengecut!” Setelah berkata demikian, orang berpakaian putih itu melompat ke dalam hutan dan melarikan diri.
Pengemis yang marah tadi mengepal tinjunya dengan marah. “Jahanam itu seharusnya tidak kita biarkan pergi!”
Pengemis yang tadi berkelahi dan lebih tua di antara mereka, berkata. “Ah, tidak ada gunanya, Sute (Adik Seperguruan). Bukankah Pangcu (Ketua) berpesan agar kita tidak mengambil sikap bermusuhan dengan siapa saja yang tinggal di pegunungan ini? Sudahlah, tidak perlu penasaran, akan tetapi bagaimana kalian berlima dapat datang ke sini dan mengetahui bahwa aku sedang bertanding?”
“Seorang rekan memberi tahu kami ketika kami sedang berada di dusun Kok-lo, bahwa engkau sedang bertengkar di sini dengan seorang anak buah Bukit Batu. Maka kami cepat menyusul ke sini, dan melihat Suheng (Kakak Seperguruan) tadi bertanding dengan Si Baju Putih brengsek itu. Suheng, kita tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Bukit Batu, bagaimana Suheng sampai bertengkar lalu berkelahi dengan orang itu?”
Pengemis yang berjenggot seperti kambing itu menghela napas dan mengelus jenggotnya. “Aku pun tahu akan larangan Pangcu agar kita tidak mencari permusuhan. Akan tetapi orang itu ketika bertemu dengan aku di sini, langsung menghinaku dan mengatakan bahwa orang-orang Ang-tung Kai-pang adalah pencuri-pencuri, mencuri harta karun dan tidak tahu malu. Tentu saja aku marah sekali dan kami lalu bertengkar dan berkelahi.”
“Jahanam sombongan itu! Mereka yang tak tahu malu, mereka yang tidak pantang melakukan kejahatan, malah menuduh kita! Biarpun pekerjaan kita mengemis, mencuri merupakan pantangan besar bagi kita. Semua orang juga mengetahuinya!” kata yang lain. Mereka berenam tampaknya marah dan penasaran sekali.
“Mari, kita laporkan kepada Pangcu. Dikiranya kita takut menghadapi tantangan mereka!”
Pada saat itu, Yauw Tek yang merasa sudah cukup mengintai, mengajak Ceng Ceng dan Li Hong keluar dari tempat pengintaian mereka tadi. Begitu melihat tiga orang muncul dari balik pohon-pohon, enam orang anggauta Ang-tung Kai-pang ini melompat dengan gerakan ringan dan mereka sudah berdiri di depan tiga orang muda itu dengan tongkat merah siap di tangan untuk menyerang.
“Hemm, apakah kalian juga ingin mencari gara-gara dengan kami?” tanya pengemis tertua dengan pandang mata penuh kecurigaan.
Yauw Tek cepat maju dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan lalu berkata lembut. “Maafkan, kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk. Tadi secara kebetulan kami melihat seorang di antara kalian berkelahi melawan orang berpakaian putih itu, maka kami tidak keluar dan bersembunyi di balik pohon. Setelah orang itu pergi, baru kami berani menghampirl kalian.”
Enam orang pengemis itu mengerutkan alisnya. “Kalian bertiga ini siapakah dan apa maksud kalian menghampiri dan memperhatikan kami?”
Li Hong tidak sabar melihat sikap Yauw Tek demikian hormat kepada enam orang pengemis itu. “Kami tertarik mendengar ada orang menuduh kalian mencuri harta pusaka! Benarkah kalian mencuri harta karun itu?”
“Hong-moi...!” Ceng Ceng menegur adik angkatnya.
“Nona, apakah engkau juga bermaksud menghina kami?” tanya pengemis tertua dengan suara kaku.
Li Hong membelalakkan mata dan bertolak pinggang, “Siapa yang menghina siapa? Aku hanya bertanya, apa salahnya orang bertanya? Kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku mencuri harta karun, aku akan menjawab tidak karena aku tidak mencurinya. Kalau aku mencuri, tentu akan ku akui karena aku bukan pengecut!”
Dijawab seperti itu, pengemis itu gelagapan, tidak mampu bicara. Yauw Tek yang melihat bahwa sikap dan ucapan Li Hong mungkin menyulut kemarahan dan permusuhan, segera memberi hormat kepada enam orang pengemis itu dan berkata dengan lembut.
“Harap Paman berenam suka memaafkan kami. Sesungguhnya, kami bertiga tertarik sekali mendengar orang baju putih tadi bicara tentang harta karun karena kami bertiga justeru hendak menyelidiki, siapa pencuri harta karun itu. Untuk penyelidikan kami inilah maka kami hendak pergi menghadap Ketua Ang-tung Kai-pang untuk mohon petunjuk.”
Ucapan Yauw Tek menyabarkan para pengemis itu. Pengemis tua lalu bertanya, suaranya kini juga halus. “Siapakah kalian bertiga dan mengapa pula kalian hendak menyelidiki tentang pencurian harta karun yang menggemparkan dunia kang-ouw itu?”
“Lo-pek (Paman Tua), harta karun itu adalah peninggalan mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng yang harus diberikan kepada yang berhak, akan tetapi ternyata dicuri orang. Menjadi kewajiban kami bertiga untuk mencarinya. Ketahuilah bahwa Nona ini bernama Liu Ceng Ceng berjuluk Pek-eng Sianli, dan yang ini adalah Nona Tan Li Hong puteri majikan Pulau Ular. Adapun aku sendiri bernama Yauw Tek, seorang pengembara yang membantu kedua orang gadis ini.”
Enam orang pengemis itu terbelalak. Mereka sudah mendengar bahwa harta karun itu kabarnya milik seorang gadis pendekar berjuluk Pek-eng Sianli dan kini gadis berpakaian serba putih di depan mereka itu adalah gadis yang nama julukannya amat terkenal setelah terjadinya geger tentang harta karun itu! Juga mereka mengenal betul Pulau Ular dengan majikannya yang berjuluk Ban-tok Kui-bo dan yang dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti. Pantas gadis itu demikian galak, kiranya puteri majikan Pulau Ular. Hanya nama pemuda itu yang tidak mereka kenal, akan tetapi sikap pemuda itu hormat dan lembut sehingga mendatangkan rasa suka dalam hati mereka.
“Ah, kiranya kalian bertiga adalah pendekar-pendekar muda yang ternama. Maafkan sikap kami tadi dan kalau Sam-wi (Anda Bertiga) ingin menghadap ketua kami, mari silakan, kami antarkan.”
Mereka bertiga lalu mengikuti enam orang pengemis itu mendaki Bukit Cemara. Ternyata bukit yang ditumbuhi banyak pohon cemara itu merupakan daerah subur dan di situ terdapat banyak sawah ladang penuh dengan tanaman sayur dan buah-buahan. Dari keadaan ini saja tiga orang muda itu dapat mengetahui bahwa para pengemis itu ternyata juga bertani dan tampak belasan orang anggauta Ang-tung Kai-pang sedang sibuk bekerja di sawah ladang.
Ketika mereka tiba di perkampungan Ang-tung Kai-pang di puncak bukit, mereka pun kagum melihat betapa perkampungan itu tidak seperti daerah kumuh yang biasa merupakan ciri tempat tinggal para pengemis. Perkampungan itu terdiri dari puluhan bangunan rumah yang kecil sederhana, namun teratur dan bersih, di halaman setiap rumah terdapat taman bunga sehingga kampung itu kelihatan indah dan bersih terpelihara. Rumah induk perkumpulan berada di tengah dan merupakan bangunan terbesar. Di situlah tinggal ketua perkumpulan itu dan Yauw Tek bertiga diajak masuk ke dalam rumah besar itu.
Mereka bertiga diterima Ketua Ang-tung Kai-pang di ruangan depan yang luas. Pengemis tertua yang tadi berkelahi melawan orang berpakaian putih hadir pula dalam pertemuan itu. Yang lima lainnya tidak ikut hadir. Tiga orang muda itu memperhatikan Sang Ketua. Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan) adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berusia sekitar enampuluh tahun. Wajahnya masih membayangkan ketampanan dan jenggotnya panjang terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana, juga tambal-tambalan namun bersih. Sikapnya penuh wibawa seorang yang biasa memimpin banyak anak buah.
Yauw Tek dan dua orang gadis itu memberi hormat dengan merangkap tangan depan dada, dibalas dengan hormat oleh ketua itu yang lalu mempersilakan mereka duduk berhadapan dengannya. Kemudian dia memberi kesempatan pertama kepada anak buahnya untuk membuat laporan.
Pengemis itu lalu melaporkan tentang pertemuannya dengan Yauw Tek bertiga, setelah lebih dulu dia berkelahi melawan seorang anak buah dari Bukit Batu dan lawannya itu kemudian pergi sambil menantang agar Ketua Ang-tung Kai-pang berani bertanding melawan ketuanya pada esok lusa pagi hari di tempat di mana mereka berkelahi tadi.
Kui-tung Sin-kai mengerutkan alisnya. Suaranya mengandung teguran ketika dia berkata kepada anak buahnya. “Hemm, bagaimana engkau berani mengabaikan pesanku agar jangan membuat permusuhan, sekarang bahkan menimbulkan pertentangan sehingga aku terbawa-bawa ditantang oleh Hek Pek Mo-ko...?”