19. RAYUAN CINTA PENDEKAR MUDA?
“Wah, Yauw-twako! Ilmu aneh apakah yang kau perlihatkan dengan tongkatmu tadi? Tongkatmu seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!” Seru Li Hong sambil melompat bangkit berdiri.
Yauw Tek tersenyum. “Ah, sama sekali tidak aneh. Itu adalah semacam Hoat-lek (llmu Sihir) yang pernah kupelajari dari para pendera Lhama di Tibet,” katanya sederhana.
“Akan tetapi... bagaimana benda mati dapat bergerak seperti hidup?”
“Benda itu digerakkan oleh kekuatan gelombang pikiran.”
“Apa dapat dikendalikan untuk menyerang musuh, Sicu?”
“Tentu saja dapat, Pangcu.”
“Aduh, hebat sekali! Aku ingin mempelajari ilmu itu, Engkau ajari aku, ya?” kata Li Hong yang merasa kagum bukan main kepada pemuda yang selain tampan, lembut dan sopan, ternyata juga berkepandaian tinggi.
Diam-diam ia teringat kepada kakak misannya, Pouw Cun Giok yang pernah dicintanya sebelum ia tahu bahwa pemuda itu kakak misannya. Dan ia membandingkan keduanya. Agaknya Yauw Tek ini tidak kalah hebat, baik ketampanannya, sikapnya maupun kepandaiannya. Dan Li Hong kini benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda yang dikaguminya itu!
“Hong-moi, mempelajari ilmu yang tinggi bukan semudah membalikkan telapak tangan,” kata Ceng Ceng. “Membutuhkan bakat, waktu, dan ketekunan. Yauw-twako mana bisa menggunakan banyak waktu untuk mengajarkan Hoat-lek kepadamu?”
Yauw Tek tersenyum. “Benar seperti yang dikatakan Ceng-moi tadi, Hong-moi. Mempelajari itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan bertingkat. Pertama harus mampu menguasai diri sendiri, lalu menguasai orang lain, kemudian menguasai semua mahluk, baru dapat menguasai benda mati.”
Kui-tung Sin-kai dengan gembira lalu menyuruh anak buahnya menyiapkan dua buah kamar untuk tiga orang tamunya yang kini dia hormati. Tahulah dia bahwa bukan Yauw Tek saja yang lihai, juga dua orang gadis itu bukanlah ahli silat sembarangan. Dia juga mengadakan perjamuan untuk menghormati mereka dan sebelum saat pibu tiba, yaitu besok lusa, tiga orang tamu itu diberi kebebasan sepenuhnya tinggal di perkampungan Ang-tung Kai-pang.
********************
Malam itu bulan bersinar terang, hampir bundar sempurna. Langit cerah jernih tanpa ada awan menghalang sehingga permukaan Bukit Cemara itu tampak gemilang bermandikan cahaya bulan yang lembut. Udara sejuk dengan hembusan angin semilir lembut. Sejak bulan muncul tadi, anak-anak diperkampungan Ang-tung Kai-pang bermain-main di luar rumah, bernyanyi-nyanyi dan menari dengan gembira.
Seluruh keluarga para anggauta Ang-tung Kai-pang bergembira bukan hanya karena malam itu cerah dan indah, akan tetapi juga mereka merasa gembira dan lega karena ketua mereka kini dibantu oleh tiga orang pendekar muda yang lihai sehingga tidak perlu khawatir dengan tantangan pi-bu dari Hek Pek Mo-ko.
Setelah malam agak larut, anak-anak disuruh masuk rumah oleh orang tua mereka. Di dalam taman bunga di belakang gedung rumah induk tempat tinggal ketua Ang-tung Kai-pang, tampak Ceng Ceng duduk seorang diri. Taman itu indah sekali menerima sinar bulan, ditambah udara yang segar dan penuh keharuman bunga, membuat Ceng Ceng seperti dalam keadaan samadhi atau melamun. Ketika kenangan muncul dalam hatinya, teringat akan keadaan dirinya yang telah kehilangan orang tua, kehilangan guru, hidup sebatang kara dan kini bahkan pesan ayahnya tak dapat ia laksanakan dengan baik, perasaan sedih menyelimuti hatinya.
Kemudian muncul bayangan Pouw Cun Giok, pemuda yang dicintanya dan yang mencintanya. Pemuda itu ternyata telah bertunangan dengan gadis lain. Ini berarti ia telah kehilangan segala-galanya, kehilangan orang-orang yang dicintanya. Hatinya semakin tertekan rasa duka. Akan tetapi kesadarannya mengingatkan bahwa membiarkan pikirannya sendiri memperdalam rasa iba diri, hal itu hanya akan melemahkan hatinya dan dapat berakibat mengganggu kesehatan tubuhnya. Maka, ia menghela napas panjang berulang kali, mengumpulkan hawa udara segar dan perlahan-lahan semua kesenduan hatinya dapat dikurangi.
“Ceng-moi,” Suara Yauw Tek lembut sekali memanggil di belakangnya.
Ceng Ceng bangkit berdiri dari bangku dan memutar tubuhnya. Mereka berdiri berhadapan. Ceng Ceng melihat betapa sinar mata pemuda itu tampak aneh, tidak seperti biasanya. Sepasang mata itu bersinar tajam mencorong dan bibir itu tersenyum. Wajah Yauw Tek tampak tampan bukan main. Ada suatu dorongan kuat sekali yang membuat hati Ceng Ceng tertarik dan seolah terpesona oleh ketampanan wajah pemuda itu. Namun, ia kembali mengambil napas panjang dan dapat membebaskan diri dari pengaruh daya tarik ini, walaupun jantungnya masih berdebar aneh. Ia tahu bahwa perasaan tertarik ini terdorong nafsu berahi yang tidak wajar, maka ia segera melangkah mundur.
“Ah, kiranya engkau, Yauw-twako,” katanya lembut. “Sialakan duduk, Twako.”
Yeuw Tek tersenyum dan kini pandang matanya biasa lembut lagi, tidak mencorong mempesonakan seperti tadi. “Terima kasih, Ceng-moi. Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini dan maaf kalau aku mengganggu ketenanganmu.”
“Ah, sama sekali tidak, Twako. Aku sedang menikmati malam yang begini indah. Bulan bersinar terang, udara sejuk menyegarkan dan keharuman bunga sungguh membuat hati menjadi nyaman,” kata Ceng Ceng bersungguh-sungguh sambil menyedot napas panjang.
Yauw Tek memandang ke sekeliling, lalu menengadah memandang bulan dan dia pun menyedot udara yang segar itu sehingga dada dan perutnya penuh hawa segar.
“Benar sekali, Ceng-moi. Malam ini sungguh teramat indah. Sesungguhnyalah kalau aku mengatakan bahwa selama hidupku yang duapuluh dua tahun ini, baru saat ini aku menyaksikan saat yang begini indah dan membahagiakan hatiku. Ceng-moi dapatkah engkau menerangkan kepadaku mengapa aku saat ini memiliki perasaan yang begini berbahagia dan segala sesuatu tampak indah sekali?”
“Twako, sesungguhnyalah kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita. Kalau kita dapat menerima segala sesuatu seperti apa adanya tanpa menolak tanpa mengharapkan, maka bahagia juga akan selalu ada bersama dengan kita. Hanya kalau nafsu perasaan menguasai hati akal pikiran, maka segala sesuatu tidak akan terasa bahagia lagi karena muncul segala macam keinginan akan kesenangan yang tak kunjung habis ingin kita raih. Yauw-twako, engkau berbahagia saat ini karena engkau menikmati apa adanya dan tidak menginginkan apa pun yang tidak ada padamu. Bukankah demikian, Yauw-twako?”
Yauw Tek mengangguk-angguk dan memandang kagum. “Pendapatmu itu memang benar sekali, Ceng-moi. Sungguh aku merasa heran dan kagum bagaimana seorang gadis muda seperti engkau ini memiliki pendapat tentang kebahagiaan yang sama dengan pendapat para pendeta Lhama di Tibet dan pendapat para pertapa di Himalaya. Akan tetapi kebahagiaan dan keindahan yang kurasakan saat ini bukan hanya disebabkan oleh penerimaan keadaan tanpa diganggu hati akal pikiran, Ceng-moi. Aku yakin betul bahwa kebahagiaan ini muncul dalam hatiku hanya oleh adanya suatu sebab.”
“Eh? Apakah yang menjadi sebabnya, Twako?” Ceng Ceng mengangkat muka menatap wajah pemuda itu.
Yauw Tek juga sedang menatapnya dan dua pasang mata bertemu dan bertaut. Kembali Ceng Ceng merasa getaran yang amat kuat menyentuh perasaannya dan jantungnya berdebar.
“Yang menyebabkan semua keindahan dan kebahagiaan ini adalah engkau, Ceng-moi, dirimu...” Kedua tangan Yauw Tek menyentuh kedua pundak gadis itu dan dia hendak menarik dan mendekapnya. Akan tetapi, sentuhan tangan itu bahkan seolah menyentak, membuat gadis itu terkejut dan lenyaplah getaran aneh yang amat menarik hatinya tadi. Dengan lembut namun cepat dan kuat, ia membebaskan kedua pundak dari pegangan tangan pemuda itu dan cepat melangkah ke belakang.
“Tidak, Twako! Jangan sentuh aku. Sayang kalau seorang pemuda seperti Twako terseret oleh gelombang nafsu!” Setelah berkata demikian, Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan taman menuju rumah induk di mana ia bermalam.
Yauw Tek masih berdiri dan pemuda itu menundukkan kepalanya, tak bergerak seperti sebuah patung. Agaknya sikap Ceng Ceng tadi membuat dia terkejut, heran, dan kecewa. Tak disangkanya sama sekali gadis itu akan menolak pendekatannya. Padahal setiap harinya, sikap Ceng Ceng demikian ramah dan akrab. Sejak pertemuan pertama dia memang sudah kagum sekali kepada Ceng Ceng. Tiba-tiba terdengar gerakan kaki orang di belakangnya. Yauw Tek menyadari keadaannya dan bersikap biasa kembali.
“Yauw-twako...!”
Yauw Tek cepat membalikkan badannya dan Li Hong sudah berdiri di depannya. Sepasang mata gadis itu bersinar dan alisnya yang hitam melengkung itu berkerut. “Eh, engkau, Hong-moi? Engkau juga tertarik oleh malam yang indah ini? Duduklah, Hong-moi,” kata Yauw Tek dengan sikap ramah dan lembut seperti biasanya.
Akan tetapi gadis itu tidak duduk dan matanya menatap wajah Yauw Tek dengan penuh selidik. “Twako, apa yang terjadi antara engkau dan Enci Ceng tadi?”
Ditanya dengan nada marah itu, Yauw Tek tersenyum lebar. “Aih, Hong-moi apa maksudmu dengan pertanyaan ini?”
“Tidak perlu menyangkal, Twako. Ketika aku memasuki taman ini tadi, aku melihat Enci Ceng berada di sini denganmu, lalu ia pergi. Apa yang kalian lakukan, berduaan di sini?”
“Hong-moi, mengapa engkau bersikap seperti ini dan seperti menyangka yang bukan-bukan? Kami hanya bicara biasa, tidak terjadi sesuatu yang tidak semestinya. Akan tetapi, kalau engkau masih penasaran, engkau tanyalah saja kepada Ceng-moi sendiri. Mengapa engkau tampak seperti orang marah, Hong-moi?” kata Yauw Tek yang sudah tahu akan watak Ceng Ceng sehingga dia yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak akan bicara tentang peristiwa dengannya tadi.
“Betulkah tidak terjadi sesuatu antara kalian, Twako? Aku hanya khawatir. Aku harap engkau tidak mengganggu Enci Ceng. Ketahuilah bahwa selain ia Enciku yang tersayang, juga Enci Ceng telah mencinta seorang pemuda lain, yaitu Kakak Misanku sendiri!”
Yauw Tek mengembangkan kedua lengannya dan tertawa. “Ha-ha, engkau ini lucu dan aneh. Hong-moi. Aku tidak berbuat apa-apa terhadap Ceng-moi dan syukurlah kalau ia sudah memiliki pilihan hati. Aku memang sayang ia sebagai seorang sahabat, Hong-moi, lain tidak!”
“Dan engkau tidak sayang padaku?” Li Hong bertanya penuh iri.
“Sayang padamu? Aih, Hong-moi, apakah selama ini engkau belum merasakan atau menyadari betapa besar rasa sayangku kepadamu?” Yauw Tek memandang wajah Li Hong dengan tajam dan mesra.
Memang sejak pertemuan pertama dengan dua orang gadis itu, hati Yauw Tek sudah terpikat oleh keduanya. Baik Ceng Ceng maupun Li Hong amat cantik jelita dan mempesonakan hatinya, keduanya memiliki daya tarik yang luar biasa dan amat kuat walaupun sifat mereka itu berbeda seperti bumi dan langit. Ceng Ceng bagaikan air telaga yang tenang dan dalam sehingga berdekatan dengan Ceng Ceng membuat dia merasa tenteram, aman, dan damai yang menyejukkan hati. Sebaliknya, Li Hong bagaikan air samudera yang menggelora sehingga dekat dengan gadis itu membuat dia bersemangat dan gembira!
“Sayangmu padaku juga sebesar sayangmu kepada Enci Ceng?” tanya Li Hong, kini kemarahannya tadi sirna dan ia merasa senang sekali mendengar pernyataan Yauw Tek tadi. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa terhadap Yauw Tek timbul perasaan seperti yang ia rasakan dahulu terhadap Pouw Cun Giok! Ia jatuh cinta kepada Yauw Tek.
“Sama besarnya tapi tak sama, Hong-moi. Kalau aku sayang Ceng-moi dan ingin ia menjadi sahabatku yang terbaik, aku menyayangmu dan ingin agar engkau menjadi...” Yauw Tek tidak melanjutkan ucapannya.
Tentu saja Li Hong semakin penasaran dan tertarik. Saking tegang hatinya, ia memegang tangan Yauw Tek, mengguncang-guncang tangan itu dan mendesak. “Menjadi apa, Twako? Hayo katakan, engkau ingin aku menjadi apa?”
“menjadi... menjadi... teman hidupku selamanya...”
“Ahh...!” Li Hong menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Rasanya lemas seluruh sendi tulangnya. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya agak gemetar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa senang bahagia, ada terharu, ada pula perasaan lain yang ia tidak mengerti benar. Ia hanya menundukkan mukanya karena baru pertama kali ini ia menerima pengakuan cinta seorang pemuda yang memang telah menjatuhkan hatinya!
Dengan hati-hati Yauw Tek duduk pula di atas bangku, namun tidak terlalu dekat dengan Li Hong, melainkan di ujung bangku. “Maafkan aku, Hong-moi. Maafkan kalau ucapanku tadi menyinggung hatimu. Ah, aku terlalu lancang dan kurang ajar. Bagaimana mungkin seorang pemuda sebatang kara dan miskin seperti aku ini berani mencinta seorang gadis puteri majikan Pulau Ular seperti dirimu? Maafkan aku, atau kalau engkau tersinggung dan marah, pukullah aku, aku tidak akan melawan, Hong-moi...” Suara pemuda itu bernada penuh sesal dan sedih.
Mendengar ucapan yang bernada sedih dari Yauw Tek, Li Hong mengangkat muka memandang. Dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, dan jantung Hong tergetar hebat. Sinar mata pemuda itu demikian penuh kasih sayang, seolah membelal-belai hatinya.
“Yauw-twako, mengapa engkau berkata begitu? Tidak ada perlu dimaafkan, dan jangan engkau terlalu merendahkan diri. Aku hargai pernyataan hatimu tadi, bahkan aku merasa berbahagia sekali, Twako, aku senang sekali...”
Yauw Tek menjulurkan kedua tangannya dan memegang kedua tangan Li Hong. Seolah ada getaran keluar dari duapuluh buah jari tangan itu dan terasa oleh keduanya. Jari-jari tangan yang hanya saling pegang itu seolah saling cengkeram dengan penuh kemesraan.
“Aduh, terima kasih, Hong-moi! Aku menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini! Katakanlah, Hong-moi, engkau menerima cintaku dan engkau juga mencintaku?”
Li Hong menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. “Aku... aku terima cintamu, Twako, dan tentang perasaan hatiku... entahlah, saat ini belum dapat aku memastikan. Akan tetapi aku bahagia, aku senang...!” Mereka saling pandang dan bibir mereka merekah dalam senyum.
Yauw Tek tidak berani mendesak. Juga dia menahan diri membatasi tindakannya yang mungkin akan membuat gadis yang lincah ini marah. Kedua tangan mereka masih saling berpegangan dan ketika dengan lembut Yauw Tek menarik, Li Hong tidak menentang dan di lain saat gadis itu telah menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek, membiarkan pemuda itu merangkul dan memeluknya! Mereka berdiam diri namun keduanya seolah tenggelam dalam kemesraan. Hanya jantung mereka yang berdetak keras seolah hati mereka yang bicara.
“Twako, dapatkah aku percaya kata-katamu, bahwa engkau sungguh mencintaiku dan tidak akan membagi cinta dengan wanita lain?”
“Aku bersumpah demi Langit dan Bumi, disaksikan Bulan yang bersinar terang itu, Hong-moi, bahwa aku sungguh mencintaimu dan tidak akan membagi cintaku dengan wanita lain...”