22. SANDARAN CINTA PUTERI PULAU ULAR
WAJAH mereka pun tampak bengis dan kasar, dengan mata, hidung dan bibir serba besar. Tubuh mereka juga kokoh dengan otot melingkar-lingkar di lengan dan dada mereka yang bajunya terbuka lebar. Li Hong merasa muak ketika tercium bau keringat dan badan mereka yang apak.
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya sekitar empatpuluh tahun itu memandang kepada Li Hong dan mereka tampaknya terkejut dan terpesona. Agaknya mereka tidak pernah membayangkan bahwa tangkapan mereka ternyata seorang gadis yang demikian cantik jelitanya seperti bidadari! Mata mereka yang melotot seperti hendak menelan dan melahap tubuh langsing yang terbujur di hadapan mereka. Sinar mata mereka seperti menggerayangi seluruh tubuh Li Hong, membuat gadis itu merasa ngeri.
“Wah, Magu, kita untung besar! Seorang dewi yang cantik jelita menjadi kekasih kita! Ha-ha-ha, sungguh beruntung sekali kita!”
“Ya, dan engkau cepat pergi dari sini. Baru besok malam engkau mendapatkan giliran. Malam ini dan besok sehari aku tidak mau diganggu! Engkau berjagalah di luar agar jangan ada yang mengganggu kita!” kata orang yang tadi memanggul Li Hong dan bernama Magu. Temannya mengomel, akan tetapi keluar juga dan duduk di atas batu yang terdapat di luar gubuk itu.
Sejak tadi Li Hong sudah berusaha untuk meronta, namun tubuhnya belum juga dapat digerakkan. Rasanya lemas seluruh badannya, lemah lunglai. Bahkan ketika ia mencoba untuk mengeluarkan suara, yang terdengar hanya suara lirih saja.
“Lepaskan aku, jahanam... lepaskan...!” Ia sudah berteriak, namun karena tidak ada tenaganya, suara itu terdengar lirih seperti bisik-bisik saja. Akan tetapi kerut merut di tubuhnya, pandang matanya yang penuh kebencian, agaknya dimengerti oleh Magu bahwa gadis ini dalam hatinya menolaknya dan berusaha untuk meronta. Dia terkekeh.
“Heh-heh-heh, rupanya engkau keras nati dan tidak mau menyerah, manisku. Engkau perlu dipaksa!” Dia lalu mengambil tali yang cukup kuat dari sudut gubuk itu dan dengan tali itu dia mengikat kedua pergelangan tangan dan kedua pergelangan kaki Li Hong, diikatkan pada keempat kaki dipan itu. Tentu saja Li Hong ingin memberontak, akan tetapi ia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya. Kembali Magu tertawa dan memandang kepadanya dengan mata penuh nafsu.
“Manisku, aku tidak ingin memaksamu, aku ingin engkau menyerahkan diri dengan manis!”
Setelah berkata demikian, dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya yang kotor, kemudian membawa bungkusan ke meja di sudut di mana terdapat sebuah guci dan beberapa cawan kosong. Dibukanya bungkusan dan dituangkan isinya, bubuk merah, ke dalam cawan lalu cawan itu diisi minuman dari guci. Kemudian dibawanya cawan kecil berisi arak itu ke dekat dipan dan disodorkannya cawan itu kepada Li Hong.
“Nah, minumlah arak ini, manis, dan engkau akan merasa senang dan sehat!”
Akan tetapi tentu saja Li Hong tidak sudi minum, akan tetapi ia tidak mampu menolak dengan tangannya yang telah diikat dan terbentang. Ia hanya berusaha untuk memalingkan mukanya dan mengatupkan mulutnya, walaupun dengan gerakan lemah.
“Minum!” Orang itu membentak, lalu duduk di tepi dipan dan menggunakan tangan kirinya memaksa mulut Li Hong terbuka dengan menekan rahangnya, lalu dia menuangkan arak itu ke dalam mulut Li Hong! Gadis itu tak dapat menolak lagi, mencoba untuk menutup kerongkongannya, namun akhirnya arak itu memasuki perutnya dan ia tersedak-sedak.
Li Hong merasa betapa ada hawa panas mengamuk di dalam perutnya dan hawa panas itu menjalar ke dalam kepalanya, membuat ia merasa pening. Akan tetapi ia terkejut bukan main karena tiba-tiba saja ia merasakan rangsangan yang amat hebat dan kuat! Ia memejamkan matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk melawan rangsangan yang tidak wajar itu. Biarpun selama hidupnya ia belum pernah merasakan rangsangan seperti itu, namun nalurinya mengatakan bahwa itu merupakan pengaruh yang tidak baik.
“Tidak... tidak...!“ Berulang kali ia berseru sekuatnya, namun terdengar suara lirih saja. Makin lama semakin pusing dan ia segera merasakan sesuatu yang membuatnya merasa ngeri bukan main. Pakaiannya dilucuti orang! Ia masih memejamkan matanya dan ia pun dapat menduga apa yang akan terjadi padanya. Sesuatu yang dianggapnya lebih mengerikan daripada maut! Ia tidak berani membuka matanya, hanya menggelengkan kepalanya dan agaknya pengaruh totokan itu mulai berkurang karena tiba-tiba dapat menjerit nyaring.
“Jangan...! Ah, jangan...! Tolong... tolonggg...!”
Laki-laki itu terkejut juga mendengar Li Hong mampu menjerit nyaring, akan tetapi dia tertawa dan berkata, “Percuma engkau menjerit, manisku, tidak ada yang dapat mendengarmu, ha-ha-ha! Mengapa engkau menjerit? Kita akan bersenang-senang!”
Li Hong merasa betapa rangsangan dalam tubuhnya, terutama pada otaknya, semakin kuat dan panas. Ia melawannya dengan menanamkan dalam ingatannya sambil berbisik, “Kalau kalian memperkosaku, kelak aku akan mencabik-cabik jantung kalian dan melumatkan kepala kalian!!”
Pikiran ini merupakan hiburan satu-satunya, dan ini untuk melawan rangsangan itu sehingga ia tidak akan menyerah dengan suka rela. Ia akan membunuh dan menyiksa mereka, baru kemudian ia akan membunuh diri! Ini tekadnya dan ia mengerahkan seluruh tenaga ingatannya agar tidak merasakan apa pun yang akan terjadi dengan dirinya, hanya air matanya yang mengucur deras.
Tiba-tiba terdengar suara gedobrakan di luar gubuk, disusul teriakan mengaduh. Laki-laki yang hendak menggerayangi tubuh Li Hong itu terkejut dan melompat ke pintu.
“Apa yang terjadi?” Dia bertanya kepada kawannya yang tadi menjaga di luar gubuk.
Tiba-tiba daun pintu gubuk itu roboh dan sesosok bayangan berkelebat masuk. Laki-laki yang hendak memperkosa Li Hong itu terkejut, cepat mencabut goloknya dan menyerang. Akan tetapi bayangan itu dengan tangkas mendahului dengan tendangan. Begitu kakinya mencuat, perut laki-laki tinggi besar itu tertendang dan dia roboh terjengkang! Penolong itu menangkap kakinya dan sekali dia melempar, tubuh Magu yang tinggi besar itu terlempar keluar. Penolong itu melompat keluar mengejar dan terdengar teriakan-teriakan dua orang itu, lalu terdiam.
Li Hong yang menangis tanpa mengeluarkan suara, membuka matanya dan ia sempat melihat penolongnya itu melemparkan penjahat itu ke luar pintu gubuk. Karena api lampu bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui pintu yang terbuka, Li Hong tidak dapat melihat siapa penolongnya. Setelah teriakan dua orang itu tak terdengar lagi, dara ini melihat seorang laki-laki memasuki gubuk dan menutupkan pintu yang jebol pada lubang pintu sehingga api lampu itu tidak lagi bergerak-gerak tertiup angin dan Li Hong dapat melihat jelas wajah pemuda yang kini mendekati dipan.
“Twako...!” serunya dengan terisak-isak.
Pemuda yang menolongnya itu adalah Yauw Tek. Cepat Yauw Tek melepaskan tali yang mengikat kaki dan tangan Li Hong dan menepuk pundak gadis itu. Begitu dapat bergerak, Li Hong bangkit duduk sambil menangis dan merangkul Yauw Tek. Tadi ia ketakutan setengah mati, takut dan ngeri, maka pelepasan ini membuat ia merasa sangat bersyukur, girang dan juga terharu sehingga ia menangis mengguguk di dada Yauw Tek yang merangkulnya.
Demikian terguncang batin Li Hong oleh peristiwa dan kengerian yang tadi mengancam dan nyaris melanda dirinya, membuat ia lupa bahwa ia masih dalam keadaan telanjang bulat karena tadi pakaiannya telah dilucuti semua oleh Magu dan hampir tidak dirasakan Li Hong dengan cara menanamkan dendamnya.
Setelah tangisnya mereda, Li Hong berbisik, “Yauw-twako.... engkau telah menolongku... aku berhutang budi dan nyawa kepadamu...”
“Hushh, Hong-moi, hal ini sudah wajar. Aku pasti akan membelamu dan melindungi selamanya...”
“Selamanya, Twako...” Lengan Li Hong merangkul leher sehingga Yauw Tek agak terkejut.
“Tentu saja selamanya, Hong-moi karena aku cinta padamu.”
“Aku... aku pun... cinta padamu, Yauw-twako...”
Yauw Tek merangkul gadis yang telah menjatuhkan hatinya sejak pertama kali bertemu itu, yang kini dalam keadaan bugil sehingga terasa hangat dalam dekapannya, membuat Yauw Tek gemetar. Pengakuan cinta Li Hong terasa merdu sekali, mengobati hatinya yang tadinya kecewa oleh penolakan cinta Ceng Ceng. Dia lalu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Li Hong. Akan tetapi, mendadak Li Hong memperketat rangkulannya dan membalas ciumannya dengan panas!
“Hong-moi...!!” Yauw Tek terkejut dan menegur, agak menarik dan menjauhkan mukanya dari Li Hong.
Saat itu, semua pertahanan dalam batin Li Hong sudah buyar dan hilang. Pengaruh racun perangsang yang diminumnya secara paksa kini sedang bekerja mencapai puncaknya. Tadi daya rangsangan itu sudah menyerangnya, namun dengan sekuat tenaga batinnya ia melawan dan mempertahankan diri agar tidak hanyut, dengan penanaman dendam kebencian terhadap orang yang memperkosanya itu. Akan tetapi sekarang, ia merasa lega, girang, dan terharu ketika diselamatkan oleh Yauw Tek, pemuda yang memang telah menarik hatinya. Ditambah Iagi kesadarannya bahwa ia ditemukan pemuda itu dalam keadaan tanpa pakaian, membuat ia mengambil keputusan bahwa ia hanya dapat menghapus rasa malu itu dengan menjadi isteri Yauw Tek.
Semua ini merupakan dorongan sehingga rangsangan yang dibangkitkan racun perangsang itu menjadi berlipat ganda kuatnya, membuat ia tidak ada keinginan lain kecuali menyerahkan dirinya kepada pemuda yang dicintanya itu. Dalam pandangannya, sepasang mata Yauw Tek itu demikian indah cemerlang, demikian penuh wibawa sehingga membuat ia kagum dan tunduk. Akan tetapi melihat Li Hong semakin kuat merangkulnya dengan napas terengah-engah, Yauw Tek menarik diri ke belakang dan kedua tangannya menahan kedua pundak gadis itu, matanya memandang tajam.
“Hong-moi, ingat dan sadarlah! Perbuatan ini kalau dilanjutkan tidak baik sama sekali! Jangan, Hong-moi, aku hanya seorang manusia biasa, kalau engkau bersikap seperti ini, aku tidak akan kuat bertahan! Hong-moi, aku cinta padamu dan aku tidak ingin merusak kehormatanmu, aku cinta dan hormat padamu...”
Li Hong mendengar dan menyadari akan kebenaran ucapan itu, akan tetapi justeru penolakan itu membuat ia semakin nekat. “Aku pun cinta padamu, Twako. Aku ingin menyerahkan segala milikku, kalau perlu nyawaku, kepadamu. Yauw-twako....l!” Li Hong kembali menubruk, merangkul.
Dan Yauw Tek tidak kuat bertahan untuk menolak lagi. Dia pun balas merangkul dan keduanya tenggelam dalam nafsu berahi, terbuai asmara yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, lupa akan baik buruk, kehilangan semua pertimbangan, bahkan kehilangan kesadaran, diri sendiri pun terlupa dan yang hidup menguasai seluruh diri hanya nafsu berahi yang mendesak untuk disalurkan dan dipuaskan.
Sejak jaman dahulu, para manusia yang dipilih Tuhan, menerima wahyu untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia, sejak yang primitip (kuna) sampai yang paling modern, selalu menekankan agar manusia waspada dan berhati-hati terhadap setan yang menguasai diri manusia melalui nafsu-nafsu manusia sendiri. Namun kenyataannya, jarang sekali terdapat manusia yang mampu menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri.
Bermacam usaha yang timbul dari ulah hati akal pikiran dilakukan untuk mengalahkan nafsu, namun sebagian besar atau hampir semua usaha itu menemui kegagalan. Hal ini terjadi karena semua usaha itu dilakukan oleh pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri, mementingkan si-aku yang selalu mengejar kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan. Maka, usaha untuk menguasai nafsu itu pun bersumber dari keinginan untuk kepentingan si aku.
Pikiran yang mengaku-aku ini melihat betapa nafsu dapat menjerumuskannya dan akhirnya mencelakakannya, maka timbul keinginan untuk menghentikan hal yang membahayakan itu. Jadi, yang mendorong menghentikan nafsu itu pun nafsu juga! Nafsu untuk menyenangkan diri, memetingkan si aku yang bukan lain adalah pikiran kita sendiri.
Nafsu sudah disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita manusia sejak kita lahir di dunia. Nafsu itu teramat penting bagi kehidupan. Nafsu membuat kita ingin menikmati segala sesuatu dalam kehidupan ini melalui panca indera kita. Nafsu datang tanpa dipelajari karena memang sudah ada pada diri kita. Setiap orang bayi sudah memiliki nafsu makan atau minum yang amat diperlukan bagi hidupnya. Nafsu membuat dia menikmati air susu yang diminumnya.
Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi juga sudah disertakan manusia, menjadi alat atau menjadi peserta, juga hamba dari manusia. Nafsu ini, seperti nafsu-nafsu lain, juga teramat penting karena dengan adanya nafsu ini, maka manusia dapat berkembang biak. Akan tetapi kalau sampai nafsu yang disertakan oleh Sang Maha Pencipta kepada kita untuk menjadi hamba kita ini kita biarkan menguasai dan memperhamba diri kita, maka malapetaka yang timbul.
Nafsu berahi yang mendorong hubungan suami isteri adalah baik, benar, dan bersih karena sesuai dengan Kehendak Sang Maha Pencipta. Namun, kalau nafsu ini menguasai diri manusia, maka muncullah perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari Kehendak Tuhan, seperti pelacuran, perjinaan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Segala perbuatan yang disebut jahat di dunia ini, segala macam kebencian, permusuhan, perang, dan semua kejahatan umum, semua itu adalah ulah manusia yang sudah diperhamba oleh nafsu yang menguasai dirinya.
Masalahnya sekarang, bagaimana kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu? Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kita INGIN BEBAS dari nafsu. Lalu siapa yang ingin itu? Yang ingin itu aku, karena aku tidak mau diperbudak nafsu yang mendatangkan sengsara. Aku tidak mau sengsara. Aku ingin hidup tenteram. Aku ingin hidup damai! Aku ingin ini, aku ingin itu, ingin yang lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang ada. Si aku yang ingin tenteram ini apakah berbeda dengan si-aku yang ingin menikmati kesenangan melalui pemuasan nafsu?
Kita dipermainkan oleh pikiran sendiri, berputar-putar dalam ruangan yang itu juga. Tetap saja pada dasarnya adalah yang ingin senang. Menuruti nafsu agar puas berarti mengejar kesenangan. Menghentikan nafsu agar tenteram juga berarti mencari kesenangan karena tenteram itu mendatangkan kesenangan pula.
Lalu bagaimana? Kalau menuruti nafsu salah dan meniadakan nafsu salah, apa yang harus kita perbuat? Yang salah adalah keinginan itu sendiri! Keinginan mendapatkan kesenangan melalui pemuasan nafsu ataupun keinginan mendapatkan kesenangan melalui penghentian nafsu. Maka, satu-satunya hal yang dapat dilakukan manusia adalah tidak menginginkan kesenangan dalam bentuk apa pun selama keinginan itu timbul dari pementingan diri sendiri.
Kita tidak mungkin dapat menguasai nafsu. Yang dapat menguasai nafsu itu hanyalah Sang Maha Pencipta yang menciptakan nafsu dan memberikan itu kepada kita sebagai pelayan dalam hidup. Hanya kalau Jiwa kita disinari Kekuasaan Tuhan, maka Jiwa itu akan dapat melaksanakan tugas semula, yaitu menjadi Kusir (Sais) dari kendaraan yang berupa tubuh kita.
Hanya dengan bimbingan Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan membuat Jiwa kuat untuk mengendalikan nafsu-nafsu sehingga dengan sendirinya, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita tidak lagi selalu ditujukan untuk kepentingan dan kesenangan diri pribadi. Jiwa yang dibimbing Kekuasaan Tuhan saja yang mampu membebaskan kita dari perbudakan nafsu atau membebaskan kita dari kekuasaan setan!
Pada keesokan harinya, ketika matahari mulai bersinar mengusir kegelapan malam dan mengangkat halimun membubung ke atas, ketika burung-burung menyanyikan pujian bagi Sang Maha Pencipta sebelum mereka mulai dengan kehidupan baru di hari itu, diseling kokok ayam hutan yang membungkam segala macam jengkerik belalang dari senandung malam mereka, Yauw Tek terbangun dari tidur nyenyak.
Dia melihat dirinya tadi rebah di dipan kayu yang kasar dalam gubuk itu. Dia terkejut ketika teringat akan peristiwa semalam. Li Hong tidak ada di situ. Cepat dia mengenakan pakaiannya dan keluar dari gubuk. Dilihatnya Li Hong, dengan pakaian kusut dan rambut tidak tersisir, duduk di atas batu sambil menangis tanpa suara. Yauw Tek cepat menghampiri dan dia menjatuhkan diri berlutut di dekat batu di mana Li Hong duduk.
“Hong-moi... aku telah berdosa padamu... ah, Hong-moi, dosaku terlalu besar... engkau boleh bunuh aku, Hong-moi, untuk menebus kesalahanku padamu...” Suara Yauw Tek tergetar.
Li Hong menurunkan kedua tangannya yang tadi dipakai menutupi mukanya. Kedua matanya basah, wajahnya agak pucat dan ia memandang pemuda yang berlutut di depannya itu. “Yauw-twako...”
Suara Li Hong juga gemetar dan ketika Yauw Tek mengangkat muka memandang, melihat wajah yang memelas (menimbulkan iba) dengan sepasang mata basah itu, Yauw Tek juga menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan dia berkata dengan suara lirih gemetar.
“Li Hong... ampuni aku... ah, tidak, jangan, ampuni aku... bunuhlah aku dengan pedangmu... aku akan menerima kematian di tanganmu dengan bahagia karena telah dapat menebus dosaku...”
Dalam tangisnya, Li Hong tersenyum, menjulurkan kedua tangannya, menarik Yauw Tek agar duduk di atas batu, di sampingnya. “Twako, aku tidak menyesal, aku tidak marah kepadamu. Engkau tidak bersalah, Yauw-twako. Sekarang aku ingat betul. Iblis-iblis itu memaksaku minum arak, lalu tubuhku terasa tidak karuan... kemudian engkau menyelamatkan aku... aku begitu bahagia... aku lupa segala... dan terjadilah itu dengan kita. Aku sungguh tidak menyalahkanmu, dan aku tidak menyesal, Twako. Apakah engkau menyesal...?”