23. KEANGKUHAN BU TEK SIN LIONG
“Bukan salahmu, Hong-moi. Akulah yang salah, aku tidak dapat menahan diri, aku hanyut. Aku memang menyesal kalau sampai hal itu membuat engkau berduka...”
“Sama sekali tidak, Twako! Aku tidak berduka dan aku tidak menyesal.”
“Tapi... engkau tadi menangis...”
“Aku menangis karena bahagia, Twako. Aku kini menjadi milikmu, untuk selamanya! Bukankah engkau sangat mencintaku, Twako?”
“Tentu saja, aku sangat mencintamu, Hong-moi.”
“Dan engkau berjanji tidak akan meninggalkan aku?”
“Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu.”
“Juga tidak akan mencinta wanita selain aku?”
Yauw Tek menggelengkan kepalanya. Li Hong menghela napas penuh kelegaan dan kebahagiaan dan ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek yang merangkulnya dengan mesra. Sampai lama mereka hanya duduk diam, kediaman yang menenggelamkan Li Hong dalam kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bagaikan dalam mimpi ia membayangkan semua yang terjadi sejak ia terjebak dan ditawan dua orang jahat itu.
Pagi tadi, ketika ia terbangun, ia cepat berpakaian dan menyambar Ban-tok-kiam lalu melangkah keluar, pikirannya masih termenung dan kacau oleh ingatan semalam. Ia masih merasakan kemesraan yang dialaminya bersama Yauw Tek dan merasa berbahagia sekali, merasa betapa kini ia menjadi milik Yauw Tek dan pemuda itu menjadi miliknya! Saking terharu dan berbahagia, ia menangis tanpa suara. Kini ia teringat akan dua orang penjahat itu.
“Yauw Twako, di mana mereka?” tanya Li Hong sambil bangkit duduk kembali.
Yauw Tek kaget juga merasa betapa Li Hong yang tadi begitu lembut, hangat dan pasrah dalam rangkulannya, kini menjadi tegang dan kekerasan membayang di sinar matanya yang jernih tajam.
“Siapa maksudmu? Ah, dua orang penjahat itu? Aku sudah melempar mereka ke dalam jurang di sana.” Dia menuding dan Li Hong lalu melompat dari atas batu dan lari ke tepi jurang tak jauh dari situ. Yauw Tek menyusulnya.
“Nah, itu mereka, Hong-moi. Sudah tewas!” kata Yauw Tek sambil menunjuk ke bawah jurang.
Jurang itu cukup dalam dan Li Hong melihat dua orang yang semalam menangkapnya itu. Yang seorang rebah miring dan seorang lagi, yang semalam memperkosanya, rebah telentang. Dengan kebencian masih mengganjal hatinya, Li Hong mengambil sebuah batu sebesar kepala orang lalu melontarkan batu itu ke bawah.
“Wuuuttt! Prakk!”
Kepala penjahat yang telentang itu pecah tertimpa batu yang ditimpukkan dengan kuat. Batu kedua menyusul memecahkan kepala penjahat kedua.
“Mari kita kembali ke perkampungan Ang-tung Kai-pang, Twako. Tentu Enci Ceng sudah merasa khawatir karena aku belum kembali ke sana,” kata Li Hong setelah merasa puas dapat membalas dendam dengan menghancurkan kepala dua orang penjahat yang menculiknya itu, walaupun yang dihancurkan adalah kepada yang sudah menjadi mayat.
Mereka berdua lalu melakukan perjalanan cepat ke Bukit Cemara di bagian Selatan pegunungan Thai-san. Hari telah siang ketika mereka tiba di perkampungan Kai-pang, disambut gembira oleh Ang-tung Kai-pang.
“Ah, kami gembira sekali melihat Ji-wi (Kalian Berdua) kembali dalam keadaan selamat. Kami sudah merasa khawatir sekali karena Nona Tan semalam tidak pulang. Bagaimana, apakah yang terjadi dengan Hek Pek Mo-ko?”
Wajah Li Hong berubah merah dan Yauw Tek cepat berkata. “Hek Pek Mo-ko pergi dan menghilang. Hong-moi mengejar terlalu jauh sehingga kemalaman dan tidak dapat pulang karena malam gelap. Baru pagi tadi kami saling bertemu dan aku mengajak ia kembali ke sini, Pangcu.”
“Pangcu, di mana Ceng-ci? Mengapa ia tidak keluar menyambut kami?” tanya Li Hong.
“Nona Liu pergi menyusul dan mencarimu, Nona. Sampai sekarang ia juga belum kembali,” jawab ketua itu.
Mendengar ini, Yauw Tek dan Li Hong merasa khawatir sekali dan mereka segera berpamit kepada Kui-tung Sin-kai untuk mencari Ceng Ceng. Akan tetapi ketua itu menahan mereka dan mengajak mereka berdua makan siang terlebih dulu.
“Jangan khawatir, Yauw-sicu dan Nona Tan. Nanti kami akan mengerahkan semua anak buah kami untuk berpencar dan mencari Nona Liu Ceng Ceng. Seka-rang, harap Ji-wi suka menerima hidangan, yang telah kami siapkan untuk Ji-wi.”
Terpaksa Yauw Tek dan Li Hong menerima tawaran ini. Setelah selesai makan minum, dua orang muda itu berkemas lalu pamit dan meninggalkan perkampungan Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai lalu mengerahkan sebagian anak buahnya untuk berpencar dan berusaha mencari Nona Liu Ceng Ceng.
********************
Pada waktu itu, memang banyak tokoh-tokoh dunia persilatan berbondong-bondong datang ke Thai-san begitu mereka mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dicuri oleh orang yang mengaku bertempat tinggal di Thai-san. Mereka berlumba untuk memperebutkan dan mendapatkan harta karun yang kabarnya amat banyak jumlahnya itu.
Di antara mereka yang berdatangan itu, tampak Bu-tek Sin-liong Cu Liong, majikan Bukit Merak bersama puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Bu-tek Sin-liong adalah seorang yang tidak menginginkan harta karena dia sudah cukup kaya raya. Akan tetapi dengan cerdiknya Cu Ai Yin dapat membangkitkan semangat ayahnya dengan mengatakan bahwa perebutan harta karun itu dapat mengangkat nama besar Bu-tek Sin-liong sehingga sesuai dengan julukannya Naga Sakti Tanpa Tanding!
Sudah tiga hari ayah dan anak ini tiba di kaki Pegunungan Thai-san. Namun mereka belum juga mendaki karena Cu Liong masih belum dapat mengambil keputusan ke bagian mana dia harus melakukan penyelidikan. Selama tiga hari itu, Ai Yin sudah berkali-kali mendesak ayahnya untuk mulai mencari dan mendaki pegunungan itu, akan tetapi ayahnya masih ragu-ragu.
“Pegunungan Thai-san begini tinggi dan besar, begini luas. Ke mana kita harus mencari pencuri yang hanya meninggalkan tulisan THAI SAN? Mencarinya dengan menjelajahi seluruh pegunungan ini kukira memakan waktu beberapa tahun!” katanya ketika puterinya merengek lagi.
Datuk ini duduk bersila di atas sebuah batu besar memandang puterinya yang berdiri di depannya. Biarpun usianya sudah sekitar limapuluh enam tahun, Bu-tek Sin-liong Cu Liong masih tampak gagah sekali. Tubuhnya tinggi besar, mukanya merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok, kumis jenggotnya pendek terpelihara pakaiannya mewah seperti pakaian seorang hartawan dan Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) menempel di punggungnya. Sikapnya acuh tak acuh dan biasanya dingin. Hanya kalau dia berhadapan dengan puteri tunggalnya yang tersayang itu dia bersikap ramah dan memanjakan puterinya.
“Tapi, Ayah!” Ai Yin merengek.
Kalau berhadapan dengan ayahnya, sikap Cu Ai Yin menjadi kekanak-kanakan dan manja. Gadis sembilanbelas tahun ini memang cantik jelita dan daya tariknya terutama terdapat pada mulut dan matanya yang menggairahkan. Di rambutnya yang hitam panjang dan lebat itu selalu terhias sebatang bunga putih dan karena inilah dara ini dijuluki Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih). Wajahnya yang bulat telur itu menjadi manis dengan adanya setitik tahi lalat di sudut mulut sebelah kanan. Di punggungnya tergantung sepasang hui-kiam (pedang terbang) pendek. Pakaian sutera merah muda membungkus ketat tubuhnya yang padat dan ramping.
“Tapi apa, Ai Yin?”
“Kita sudah jauh-jauh datang ke sini, apakah hanya untuk duduk termenung di kaki pegunungan saja? Kalau begitu, untuk apa kita capek-capek (kelelahan) datang ke sini?” Dara itu merajuk dan bibirnya yang merah lembut itu cemberut.
“Ha-ha-ha-ha!” Datuk itu tertawa bergelak. “Kalau engkau sudah merajuk seperti itu, aku jadi teringat kepada mendiang ibumu! Ketahuilah, Ai Yin, bukan aku bermalas-malasan di sini. Aku sengaja mendatangi Thai-san di bagian barat ini karena aku mendengar bahwa Huo Lo-sian bermukim di sini. Menurut pendapatku, Dewa Api itu merupakan orang pertama yang kucurigai sebagai pencuri harta karun. Aku percaya kehadiranku di sini pasti akan dia ketahui dan tanpa mencarinya, dia akan datang menemuiku di sini!”
Ucapan datuk itu membayangkan keangkuhannya. Bukan dia yang mencari Huo Lo-sian, melainkan Dewa Api itu yang akan lebih dulu mencari dan datang kepadanya, seolah dia menganggap bahwa Dewa Api memiliki kedudukan yang lebih rendah daripadanya!
Ai Yin merasa tidak puas dengan jawaban itu dan ia berkata dengan masih bersungut-sungut. “Aku tidak betah tinggal menganggur di sini lebih lama lagi, Ayah. Aku akan mendekati bukit di depan itu untuk melihat-lihat. Siapa tahu aku akan mendapatkan petunjuk di sana.”
Setelah berkata demikian, Ai Yin meninggalkan ayahnya yang masih duduk bersila. Ia mendaki bukit di depannya itu, tidak menyadari bahwa yang didaki itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya!
Memang benarlah dugaan Bu-tek Sin-liong Cu Liong bahwa kehadirannya di kaki Bukit Merah yang menjadi bagian Barat Pegunungan Thai-san itu sejak semula telah diketahui oleh Huo Lo-sian yang mendapat laporan dari anak buahnya. Dia memesan kepada anak buahnya agar jangan mengganggu datuk yang namanya sudah dia kenal itu.
Seperti juga Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian juga memiliki watak sombong dan angkuh. Dia tidak mau menyambut kedatangan Majikan Bukit Merak itu dan menunggu datuk itu yang akan datang lebih dulu mengunjunginya. Dia hanya memesan kepada anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat dan melihat gerak-gerik datuk itu. Selama tiga hari tidak terjadi sesuatu karena menurut laporan anak buahnya, datuk itu bersama seorang gadis cantik masih saja duduk di kaki bukit dan tidak ada tanda-tanda akan mendaki bukit.
Pada hari keempat, pagi itu Huo Lo-sian mendapat laporan bahwa gadis cantik yang tadinya bersama datuk itu mendaki bukit seorang diri. Mendengar ini, Huo Lo-sian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap gadis itu karena dianggap melanggar wilayahnya.
“Tangkap gadis itu, akan tetapi jangan dibunuh!” kata Huo Lo-sian yang merasa sayang kalau gadis yang kabarnya cantik jelita itu dibunuh. Apalagi gadis itu datang bersama Bu-tek Sin-liong dan akan tidak menguntungkan kalau bermusuhan dengan datuk yang namanya sudah terkenal di dunia kang-ouw itu.
Ai Yin mendaki bukit itu dengan sikap waspada karena ia sudah mendengar bahwa bukit itu adalah Bukit Merah yang menjadi tempat tinggal Dewa Api dan anak buahnya. Ketika ia sudah mendaki di lereng tengah, ia mendengar gerakan dari sekelilingnya, Ai Yin menghentikan langkahnya dan siap menghadapi segala kemungkinan. Ia tetap tenang saja ketika melihat sekitar dua puluh orang bermunculan mengepungnya.
Mereka adalah laki-laki berusia sekitar tigapuluh sampai limapuluh tahun, kesemuanya berpakaian serba hijau dan memegang sebatang golok yang punggungnya merupakan gergaji! Sikap mereka amat bengis menyeramkan.
Tanpa rasa takut sedikit pun terhadap sekitar duapuluh orang yang mengepungnya, Ai Yin bertanya dengan garang. “Siapa kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?”
Seorang dari mereka, yang berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, menjawab dengan suara tenang. “Nona, engkau telah melanggar wilayah kami, maka menyerahlah untuk kami hadapkan kepada majikan kami yang akan mengambil keputusan terhadap engkau yag melanggar.”
“Hemm, aku tidak tahu siapa kalian dan tidak merasa melanggar. Aku hanya mendaki bukit ini. Siapa sih kalian yang mengaku bahwa tempat ini wilayah kalian?”
“Kami adalah para penghuni Bukit Merah ini, dan pemimpin kami atau majikan kami adalah Huo Lo-sian. Mari, Nona, kami tidak menggunakan kekerasan asalkan engkau mau menghadap majikan kami dengan sukarela.”
“Ah, kiranya ini tempat tinggal Dewa Api! Dan kalian ini anak buahnya? Katakan kepadanya bahwa aku Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin datang sebagai tamu. Mengapa dia tidak menyambutku malah mengerahkan anak buahnya untuk mengepungku? Begitu sombongkah Huo Lo-sian? Ingin kuketahui sampai di mana kepandaiannya maka dia berani begitu sombong!”
Laki-laki botak itu mengerutkan alisnya. Hatinya mendongkol juga mendengar gadis muda ini mencela pemimpinnya dan memakinya sombong, bahkan seperti memandang rendah kepandaian Si Dewa Api!
“Nona Cu, kami tidak tahu akan semua itu. Setahu kami, engkau telah memasuki wilayah kami tanpa ijin, engkau telah melakukan pelanggaran dan adalah kewajiban kami untuk menangkapmu dan menghadapkanmu kepada pimpinan kami.”
“Kalau aku tidak mau?” tantang Ai Yin.
“Kalau engkau tidak mau ikut kami menghadap pimpinan kami secara sukarela, terpaksa kami akan menggunakan paksaan!”
“He-heh! Kalian hendak menggunakan kekerasan? Menangkap aku?” Ai Yin tertawa dan dia mencabut sepasang pedangnya lalu menantang. “Hendak kulihat bagaimana kalian dapat menangkap aku!”
Melihat sikap gadis itu, kepala regu itu menoleh kepada kawan-kawannya lalu menggerakkan golok memberi aba-aba, “Serbu dan ingat pesan Suhu!” Hal ini dia ingatkan karena kalau sampai gadis itu terbunuh, yang akan mendapat marah besar tentu dia sebagai pemimpin rombongan itu. Huo Lo-sian sudah berpesan kepada mereka agar jangan sampai gadis itu terbunuh.
Mendengar aba-aba ini, rombongan yang terdiri dari duapuluh dua orang itu lalu bergerak, melangkah dan mengitari gadis itu. Biarpun mereka tidak boleh membunuh, namun melihat Ai Yin mencabut pedang, tentu saja mereka tidak berani menyerbu dengan tangan kosong. Melihat mereka melangkah dan mengitarinya, Ai Yin berdiri diam saja, akan tetapi matanya waspada dan seluruh syaraf tubuhnya siap menghadapi serangan mereka.
Tiba-tiba pemimpin rombongan membuka serangan lebih dulu sebagai isyarat kepada kawan-kawannya. Goloknya menyambar dari atas membacok ke arah kepala Ai Yin. Gerakannya cukup cepat dan kuat. Namun bagi Ai Yin, gerakan itu tampak lamban dan dengan mudah ia miringkan tubuh sehingga sambaran golok itu luput. Akan tetapi pada saat berikutnya, mereka mulai mengeroyoknya. Golok menyambar-nyambar dari semua penjuru dan Ai Yin segera memutar pedang di kedua tangannya.
Ilmu pedang gadis ini hebat sekali. Dari ayahnya ia berhasil menguasai Jit-seng Siang-kiam (Sepasang Pedang Tujuh Bintang) dan ketika pedangnya itu diputar untuk melindungi dirinya, seolah-olah sepasang pedang itu berubah menjadi tujuh bintang yang sinarnya bergulung-gulung. Terdengar bunyi berdentingan dan para pengeroyok berseru kaget karena golok mereka terpental hampir terlepas dari pegangan dan tangan mereka terasa panas dan tergetar kuat.
Kenyataan itu membuat mereka semua menyadari bahwa gadis cantik yang mereka keroyok ini ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga baru sekarang mereka mengerti mengapa Dewa Api menyuruh anak buahnya sebanyak itu hanya untuk menangkap seorang gadis muda yang cantik! Kalau tadinya merasa heran, geli dan memandang ringan, sekarang mereka merasa gentar dan hati-hati. Mereka lalu menyerang lebih hebat lagi dan ulah mereka seperti segerombolan srigala yang mengeroyok seekor harimau.
“Haiiiittt...!” Ai Yin menggunakan keringanan tubuhnya melompat keluar dari kepungan dan begitu ia membalik, pedang kanannya meluncur ke arah pengejar terdepan.
“Singg! Cratt!”
Seorang pengeroyok roboh disambar pedang dan pedang itu setelah melukai seorang pengeroyok, lalu terbang kembali ke tangan Ai Yin! Inilah yang dinamakan “pedang terbang”. Sesungguhnya bukan pedangnya yang dapat terbang kembali kepada pemiliknya, melainkan karena pada gagang pedang itu dipasangi tali sutera hitam yang amat lembut sehingga tidak tampak dan begitu disentakkan pedang itu melayang kembali ke tangan kanan Ai Yin.
Para pengeroyok terkejut melihat seorang kawan mereka roboh. Mereka kini mengepung dengan menjaga jarak dan hanya ada empat orang yang mengepung dekat dari empat penjuru. Mereka sudah membawa obor yang bernyala, kemudian mereka menyemburkan api begitu obor didekatkan muka mereka. Api itu menerjang ke arah Ai Yin! Tentu saja Ai Yin terkejut bukan main diserang dengan semburan api dari empat penjuru secara bergantian itu. Tidak mungkin ia dapat menangkis serangan api. Ia hanya dapat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini. Akan tetapi kini maju empat orang lagi dan delapan orang itu secara bergantian menyemburkan api menyerang Ai Yin.
Ai Yin mulai merasa ngeri karena belum pernah ia menghadapi pengeroyokan delapan orang yang menyemburkan api untuk menyerangnya! Kalau ia melompat tinggi keluar dari kepungan, belasan oran yang lainnya menyambutnya dengan serangan golok dan begitu ia menangkisi golok-golok itu, delapan orang penyembur api itu sudah menyerang dan mengepungnya lagi!
Ai Yin mulai terdesak dan sebuah tendangan ketika ia terhuyung menjauhi api mengenai pahanya, terasa nyeri juga walaupun tidak sampai melukainya. Rasa nyeri di pahanya membuat gerakannya kurang leluasa. Ia menjadi marah sekali dan begitu ia mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang pedangnya mengamuk dan dua orang pengeroyok yang berada terdekat roboh...!