24. SIASAT HUO LO SIAN MEREBUT HARTA KARUN
Tiba-tiba lebih banyak lagi pengeroyok yang membawa obor dan kini mereka menancapkan tongkat obor di sekelilingnya sehingga Ai Yin terkurung pagar obor yang bernyala-nyala!
Selagi ia kebingungan, banyak tali menyambar dan gadis itu terikat banyak tali! Ia menjadi marah dan menggunakan sepasang pedangnya untuk memotong tali-tali itu. Akan tetapi semakin banyak tali menyambar dan mengikatnya sehingga kedua lengannya tak dapat digerakkan. Ia meronta-ronta dan mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali-tali itu, akan tetapi ternyata tali-tali itu kuat sekali.
Selagi Ai Yin meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Angin bertiup kuat dan pagar api obor itu padam!
Bu-tek Sin-liong Cu Liong datang dan marah sekali melihat keadaan puterinya. Anak buah Bukit Merah segera mengepung dan mengeroyoknya dengan golok. Akan tetapi, datuk ini dengan tangan kosong mengamuk, menangkap dan melempar-lemparkan mereka. Seperti seekor gajah mengamuk dalam sebuah hutan. Para pengeroyoknya berpelantingan dan mereka menjadi gentar bukan main. Mereka mundur menjauhkan diri setelah tidak kurang dari enam orang kawan mereka terkapar dibanting atau dilemparkan datuk itu.
Bu-tek Sin-liong hendak mengamuk terus akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Bu-tek Sin-liong, kalau engkau tidak menghentikan amukanmu, puterimu ini akan kupenggal lehernya lebih dulu!”
Datuk itu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat Huo Lo-sian telah berdiri di situ dengan golok ditempelkan pada leher Ai Yin yang berdiri lemas dan agaknya dalam- keadaan tertotok. Memang tadi, melihat amukan Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian yang datang ke tempat itu melihat bahwa kalau dibiarkan mungkin semua anak buahnya akan terbunuh. Dia melihat Ai Yin yang masih meronta dalam jala, maka cepat ditotoknya gadis itu dan dikeluarkan dari jala, kemudian ditodongnya untuk menghentikan amukan Bu-tek Sin-liong.
Melihat puterinya tertawan dan diancam Huo Lo-sian yang biarpun namanya sudah lama dia kenal namun baru sekali ini mereka saling bertemu, Bu-tek Sin-liong tertawa.
“Ha-ha-ha! Huo Lo-sian, engkau berjuluk Dewa Api akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut besar! Kaukira dengan mengancam anakku, aku lalu takut dan tunduk kepadamu? Ha-ha, kaukira berhadapan dengan siapa, Huo Lo-sian? Aku Bu-tek Sin-liong tidak pernah tunduk kepada siapapun juga, tidak takut kepada segala macam setan atau dewa sekalipun. Engkau mengancamku untuk membunuh anakku? Boleh, bunuhlah dan aku akan menghancurkan kepalamu kuminum darahmu, lalu kubasmi seluruh penghuni bukit ini!!”
Suara Bu-tek Sin-liong lantang dan tegas, penuh wibawa menggetarkan sehingga seorang datuk seperti Huo Lo-sian sendiri merasa gentar mendengar ancaman itu. Dia yakin bahwa ancaman itu bukan kosong belaka. Dia pun bukan seorang penakut, akan tetapi akan amat merugikan kalau menanam permusuhan dengan datuk besar seperti Bu-tek Sin-liong.
“Bu-tek Sin-liong! Aku pun tidak pernah takut kepada siapa pun, juga tidak takut kepadamu! Akan tetapi aku sama sekali tidak minta engkau untuk menyerah, melainkan kuminta jangan engkau mengamuk dan membunuhi anak buahku!”
“Anak buahmu yang mengeroyok anakku, maka aku membelanya!” hardik Bu-tek Sin-liong Cu Liong.
“Itu karena anakmu melanggar wilayah kami! Akan tetapi sudahlah, andaikan anak buahku dianggap bersalah, engkau sudah merobohkan beberapa orang. Apakah itu belum cukup? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, bukannya karena takut, melainkan karena bermusuhan antara kita hanya merugikan kedua pihak. Sama-sama datuk persilatan seperti kita, dan kukira sama-sama mencari harta karun Kerajaan Sung, apakah tidak lebih menguntungkan kalau kita berdua bergabung?”
“Kalau tidak mencari permusuhan, bebaskan anakku!”
“Berjanjilah bahwa engkau menerima uluran tanganku dan bersama anakmu menjadi tamu kami!”
Setelah diam sejenak, Bu-tek Sin-liong mengangguk, “Baik, aku berjanji.”
Huo Lo-sian melepaskan totokan Ai Yin dan mengembalikan sepasang pedang gadis itu yang tadi dia ambil. Ai Yin segera menghampiri ayahnya.
Huo Lo-sian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengangkut dan merawat mereka yang terluka, kemudian dengan sikap ramah dia mempersilakan Cu Liong dan Cu Ai Yin untuk mendaki ke puncak di mana terdapat perkampungan Huo Lo-sian dan anak buahnya.
Huo Lo-sian menjamu ayah dan anak yang menjadi tamunya itu. Wanita-wanita cantik dikerahkan untuk melayani mereka bertiga makan minum. Hidangan itu serba mewah, makanan bermacam-macam yang lezat dan minuman anggur dan arak yang harum. Dua orang datuk besar itu kuat sekali minum. Berguci-guci arak mengalir ke dalam perut mereka, namun keduanya tidak pernah mabok.
Hanya muka Cu Liong yang gagah itu, yang biasanya sudah merah, menjadi semakin merah, sedangkan muka Huo Lo-sian yang seperti singa itu juga menjadi merah seperti kebakaran karena rambut jenggot dan kumisnya berwarna merah. Ai Yin tidak banyak minum, bahkan ia hanya memilih minuman anggur yang tidak begitu keras. Setelah perjamuan itu, Huo Lo-sian mengajak Cu Liong dan Cu Ai Yin bercakap-cakap di ruangan dalam. Barulah Si Dewa Api bicara tentang harta karun itu.
“Bu-tek Sin-liong, aku dapat menduga bahwa kedatanganmu bersama puterimu di Thai-san tentu juga hendak mencari harta karun Kerajaan Sung. Berita tentang harta karun itu sudah menggegerkan dunia persilatan dan kukira sekarang sudah banyak orang yang datang berkunjung ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun itu. Anak buahku melaporkan bahwa selama beberapa minggu ini banyak orang-orang kang-ouw berdatangan di kaki Pegunungan Thai-san.”
“Tidak keliru dugaanmu, Huo Lo-sian. Memang aku dan puteriku sengaja datang ke Thai-san hendak melihat-lihat perebutan harta karun yang kabarnya dicuri orang dari Thai-san ini. Akan tetapi aku tidak murka akan harta, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku yang paling kuat di antara mereka yang memperebutkan, maka aku bertekad hendak mendapatkan harta karun itu, mengalahkan semua orang yang memperebutkannya.”
Huo Lo-sian tertawa dan mengangguk-angguk. “Ha-ha-ha, bagus! Cocok sekali, Bu-tek Sin-liong! Aku juga sependapat denganmu! Kita dapat mengangkat nama sendiri kalau berhasil mengungguli mereka dalam memperebutkan harta karun itu! Kita tidak murka mengejar harta, akan tetapi kalau bisa mendapatkannya, kita bagi dua, lumayan juga, bukan? Sin-liong, banyak orang akan memperebutkan harta karun dan mereka tentu terdiri dari orang-orang pandai yang mempunyai anak buah. Maka, kalau kita berdua bekerja sama, aku kira itu baik sekali dan menguntungkan kita.”
Bu-tek Sin-liong mengerutkan alisnya mendengar ajakan bekerja sama ini. Keangkuhannya tersinggung dan dia merasa tidak enak kalau harus dibantu orang mendapatkan harta karun itu. Akan tetapi Cu Ai Yin berpendapat lain. Ia tadi melihat sudah kekuatan Huo Lo-sian dan anak buahnya. Sedangkan ayahnya hanya berdua dengannya saja. Kalau diingat bahwa mereka yang mencari harta karun tentulah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka menguntungkan sekali kalau ayahnya bergabung dengan Dewa Api dan anak buahnya.
“Ayah, kurasa memang baik sekali kalau kita bekerja sama dengan Paman Huo Lo-sian ini agar dapat mengimbangi mereka yang memiliki banyak anak buah yang kuat.
“Memang kita menghadapi lawan-lawan yang banyak dan berat, Nona Cu. Baru yang berada di Thai-san ini saja sudah amat kuat. Thai-san-pai memiliki murid yang cukup banyak dan kuat. Demikian pula Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka. Selain mereka, ada pula Ang-tung Kai-pang yang terkenal kuat. Nah, Sin-liong, setelah puterimu setuju, kurasa tidak ada alasan lagi bagimu untuk menyetujui usulku yang baik ini. Tadi, karena salah paham, kita hampir bermusuhan, akan tetapi sekarang kita menjadi sahabat dan bekerja sama, bukankah itu baik sekali?”
“Hemm, aku setuju, akan tetapi hanya dengan satu syarat,” kata Bu-tek Sin-liong.
“Katakan, apa syaratnya, Sin-Hong!”
“Lo-sian, aku mau bekerja sama, akan tetapi aku harus yang menjadi pemimpin dan semua, termasuk engkau, menjadi pembantuku yang harus tunduk terhadap semua keputusanku. Bagaimana?”
“Ha-ha-ha, baiklah, Sin-liong. Kuterima syaratmu. Biarlah kalau kita berhasil, engkau yang akan mendapatkan nama besar sebagai pemenang dan hasil harta karun itu kita bagi dua!”
Huo Lo-sian tertawa-tawa senang karena kalau Bu-tek Sin-liong mau bekerja sama dengannya, maka dia, bertiga dengan ayah dan anak yang lihai itu, dibantu anak buahnya, lebih besar harapannya untuk dapat menguasai harta karun yang diperebutkan itu.
Tentu saja pada dasarnya Cu Ai Yin tidak sudi bekerja sama dengan datuk macam Huo Lo-sian yang kasar liar bersama anak buahnya itu. Kalau ia mau, bahkan menganjurkan ayahnya untuk bekerja sama dengan Dewa Api itu adalah karena gadis ini ingin sekali dapat menemukan dan menguasai harta karun. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu Pouw Cun Giok!
Ia tidak dapat melupakan pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Ia tentu akan menyerahkan harta karun itu kepada Cun Giok agar dapat disumbangkan kepada para pejuang patriot. Nanti, apabila sudah berhasil, ia akan membujuk ayahnya untuk menguasai semua harta karun itu dan diserahkan kepada Cun Giok. Ayahnya amat sayang dan memanjakannya, maka permintaannya itu tentu tidak akan ditolak!
Dalam benak Huo Lo-sian terdapat pikiran yang lain lagi. Dia membujuk ayah dan anak itu untuk bekerja sama karena dia ingin berhasil menguasai harta karun itu. Kalau mereka berhasil, dia akan mencari jalan dan akal untuk menguasai harta itu semua. Akan tetapi kalau tidak mungkin, setidaknya dia akan mendapat setengahnya dan itu sudah amat banyak sekali.
Demikianlah, di dalam dunia ini, kebanyakan manusia mendasari semua pikiran, kata-kata, dan perbuatannya dengan pamrih untuk keuntungan atau kesenangan dirinya sendiri. Ke-akuan yang dipertebal nafsu itu hanya mementingkan dirinya sendiri, keuntungan diri sendiri, baik keuntungan materi berupa uang atau harta benda, maupun keuntungan batin berupa sanjungan, pujian, nama, dan sebagainya.
Bahkan dalam memberi pertolongan kepada orang lain atau perbuatan yang pada umumnya disebut sebagai kebaikan, sebagian besar dilakukan dengan dasar pementingan diri sendiri. Perbuatan baik, menolong orang dan sebagainya baru dilakukan kalau di situ tampak kemungkinan mendapatkan imbalan berupa keuntungan lahiriah, yaitu materi, atau keuntungan batiniah tadi. Pamrih yang tersembunyi di balik setiap pikiran, kata-kata, atau ucapan itulah yang membuat perbuatan itu, bagaimanapun bentuknya, menjadi palsu dan sama sekali tidak baik.
Pamrih itu membuat setiap perbuatan hanya merupakan sarana untuk keuntungan diri pribadi. Misalnya perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih agar kelak mendapatkan sorga, sama saja perbuatan baik itu dipergunakan untuk membeli sorga. Andaikata tidak ada janji sorga, lalu apakah perbuatan baik itu tetap akan dilakukan?
Tiga orang itu, Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin ketiganya mau bekerja sama dengan pamrih masing-masing yang berlainan.
Karena semua orang mengejar kesenangan itulah maka di mana-mana timbul permusuhan, pertentangan dan perebutan. Dan selama manusia masih diperhamba nafsu keinginan mementingkan diri sendiri, maka dunia tidak akan pernah ada keamanan, kedamaian dan ketenteraman. Masing-masing berlumba untuk memenuhi keinginan diri sendiri dan jika ada yang merintangi, maka yang merintangi itu akan ditendang.
Mereka bertiga lalu mengadakan perundingan untuk merencanakan tindakan mereka selanjutnya dalam usaha mereka untuk mencari pencuri harta karun.
“Tadinya kami mencurigai Thai-san-pai sebagai pencuri harta karun, akan tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, agaknya bukan mereka yang melakukan pencurian itu. Sukar untuk menduga siapa sebetulnya yang telah mencuri harta karun itu. Yang jelas, kami tidak melakukannya dan agaknya Thai-san-pai juga tidak melakukannya. Sebagai penghuni tetap di Thai-san hanya tinggal dua golongan lagi yang terbesar, yaitu Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka dan Ang-tung Kai-pang. Terus terang saja, aku juga mencurigai dua golongan itu. Hek Pek Mo-ko adalah sepasang iblis yang kiranya tidak akan segan untuk melakukan pencurian, sedangkan Ang-tung Kai-pang adalah perkumpulan pengemis dan kiranya golongan pengemis itu tidak mustahil kalau melakukan pencurian. Selain dua golongan yang memiliki anak buah yang cukup besar itu, masih ada beberapa orang pertapa yang mengasingkan diri di puncak-puncak bukit yang terbesar di pegunungan ini. Biarpun mereka itu tidak pernah mencampuri urusan dunia, namun keadaan mereka yang penuh rahasia itu juga patut diselidiki. Nah, seperti sudah kuceritakan tadi, anak buahku juga melihat orang-orang kang-ouw berbondong mendatangi pegunungan ini. Bahkan baru kemarin ada rombongan pasukan Mongol datang ke sini dan agaknya mereka itu menuju ke utara. Sekarang terserah kepadamu, Bu-tek Sin-liong, apa yang harus kita lakukan, ke mana kita akan melakukan penyelidikan lebih dulu.”
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. “Sebelum kita bertindak, sebaiknya kalau kita sebarkan anak buah untuk melakukan penyelidikan apa yang terjadi di daerah Thai-san ini. Dengan demikian, kalau terjadi perebutan antara dua kelompok, kita dapat mengetahui kelompok mana yang bertanding dan siapa yang kiranya paling mencurigakan. Kita tidak perlu turun tangan sebelum mengetahui dengan pasti agar tidak sia-sia usaha kita.”
Huo Lo-sian setuju dengan rencana ini. Dia merasa telah bertindak keliru ketika dia melakukan pengacauan terhadap Thai-san-pai yang tadinya dia anggap sebagai pencuri harta karun. Akan tetapi di Thai-san-pai dia malah mendapat malu karena dalam adu tenaga sakti, dia dikalahkan oleh dua orang gadis dan seorang pemuda tak terkenal yang melawannya dengan tenaga digabung. Demikianlah, Huo Lo-sian lalu menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, melihat gerak-gerik Ang-tung Kai-pang dan Hek Pek Mo-ko, juga memantau gerakan para pendatang dari luar daerah Pegunungan Thai-san.
Pegunungan Thai-san mulai ramai didatangi banyak tokoh kang-ouw untuk mencari harta karun yang kabarnya dicuri oleh orang yang tinggal di Thai-san. Seperti kita ketahui, mereka yang mencari pencuri harta karun itu, yang sudah kita kenal adalah Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Huo Lo-sian yang kini bergabung dengan Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Cu Ai Yin, Hek Pek Mo-ko, lalu Yauw Tek yang kini mencari Liu Ceng Ceng bersama Tan Li Hong. Kemudian Pouw Cun Giok bersama si kembar The Kui Lan dan The Kui Lin.
Masih ada lagi rombongan Kim Bayan yang membawa pasukan cukup besar, dan juga Kong Sek yang ditemani kedua gurunya, Cui Beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Selain mereka ini masih ada rombongan atau perorangan dari dunia persilatan yang mencoba nasib ikut pula mencari harta karun yang kabarnya amat besar itu. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan sebagainya tidak ketinggalan, mengirim wakil untuk ikut berlumba, atau setidaknya meninjau keramaian mencari harta pusaka di Thai-san itu.
********************
Setelah selama tiga hari tiga malam melakukan pencarian terhadap Yauw Tek dan Tan Li Hong tetap saja belum dapat menemukan dua orang itu, maklumlah Ceng Ceng bahwa ia telah salah jalan, atau mencari ke arah lain sehingga mungkin sekali ia malah semakin jauh dari dua orang itu. Akan tetapi hati Ceng Ceng tidak khawatir karena selain ia percaya akan kemampuan Li Hong menjaga diri, juga tentu Yauw Tek telah menemukan adik angkatnya itu dan dengan adanya Yauw Tek di samping Li Hong, maka ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan mereka.
Ia sendiri juga tidak gentar menghadapi perjalanan melalui daerah pegunungan amat luas penuh bukit jurang dan hutan itu, daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak gentar karena memang sejak remaja Ceng Ceng banyak melakukan perantauan seorang diri. Bagi gadis yang biarpun baru berusia sekitar dua puluh tahun namun memiliki pengertian mendalam tentang kehidupan ini, yang menjadi pelindung utamanya bukanlah ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasainya, melainkan penyerahannya secara total lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia yakin benar bahwa segala sesuatunya, pada akhirnya yang menentukan adalah Tuhan. Yang penting ia tidak melakukan kejahatan dan sebagai seorang ahli silat keturunan pendekar besar ia tentu selalu menggunakan ilmu silatnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun sewenang-wenang. Juga dengan keahliannya dalam soal pengobatan, ia dapat menolong banyak orang. Maka siapa yang akan mengganggunya? Kalaupun ada orang yang bertindak jahat kepadanya, kalau usahanya membela diri tidak mampu menolongnya, ia sudah memasrahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa.
Ia harus melanjutkan perjalanannya, menjelajahi daerah Thai-san untuk melaksanakan tugasnya yang dipesankan mendiang ayahnya, yaitu menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para patriot bangsa yang berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.
Ia menjelajahi dusun-dusun yang berada di sekitar kaki Pegunungan Thai-san dan setiap kali menemukan orang yang sakit berat, Ceng Ceng dengan penuh perhatian segera mengobatinya. Obatnya manjur sekali dan yang telah ia tolong, sembuh dari penyakitnya dan gadis itu sama sekali tidak menuntut imbalan. Maka namanya segera menjadi buah bibir penduduk dusun-dusun yang dilewatinya. Ceng Ceng tidak pernah memperkenalkan julukan Pek-eng Sianli yang dulu diberikan orang kepadanya dan kini para penduduk dusun memberinya sebuah julukan baru, yaitu Yok Sianli (Dewi Obat)!
Pada suatu siang Ceng Ceng memasuki sebuah dusun di lereng bukit yang paling bawah dari pegunungan itu, sebuah dusun kecil yang penduduknya terdiri dari beberapa puluh keluarga petani. Kebetulan sekali pada waktu itu penduduk dilanda penyakit perut yang sudah mengorbankan belasan orang. Melihat ini, Ceng Ceng segera turun tangan, mengobati mereka yang sedang sakit dan minta kepada kepala dusun kecil itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari beberapa macam daun dan akar obat untuk diminum semua anggauta keluarga penduduk agar jangan terkena penyakit itu.
Penduduk dusun keci1 itu berterima kasih sekali kepada Yok Sianli yang namanya sudah mereka dengar. Mereka mencari daun-daun dan akar obat yang diminta lalu Ceng Ceng membagi-bagi obat itu agar diminum semua orang. Saking girang dan sebagai pernyataan terima kasih mereka, kepala dusun memberi tempat bagi gadis penolong itu untuk melewatkan beberapa malam, mereka lalu mengadakan perjamuan selamat jalan kepada Ceng Ceng yang hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun. Sudah lima hari ia berada di dusun itu.
Seluruh penghuni dusun itu mengadakan perjamuan dengan gembira. Walaupun sederhana, namun meriah sekali karena semua orang mengagumi Ceng Ceng yang duduk di tempat kehormatan bersama kepala dusun. Namun menjelang akhir perjamuan itu, tiba-tiba masuk dua orang wanita ke rumah kepala dusun itu dan semua orang memandang mereka dengan heran. Dua orang wanita itu berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajah mereka cukup manis namun dengan alis berkerut, mata tajam dan mulut cemberut, mereka mendatangkan kesan galak.
Apalagi di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Pakaian mereka yang berwarna serba hijau juga ringkas seperti pakaian para wanita kang-ouw. Mereka tidak mempedulikan pandang mata para penduduk dusun yang sedang berpesta itu, dan langsung saja mereka menghampiri meja di mana kepala dusun sedang menjamu Ceng Ceng sebagai tamu kehormatan dusun itu. Melihat datangnya dua orang wanita baju hijau yang menghampiri mejanya itu, Si Kepala Dusun terbelalak dan tampak marah.
“Hei! Siapakah Ji-wi (Kalian Berdua) dan mengapa kalian masuk begini saja tanpa aturan?” dia menegur.
Seorang di antara dua wanita baju hijau itu berkata ketus kepadanya. “Diam kamu! Kami tidak ada urusan denganmu!” Kemudian ia memandang kepada Ceng Ceng dan bertanya. “Apakah engkau yang disebut Yok Sianli?”
Dengan senyum sabar Ceng Ceng menjawab. “Benar, orang-orang menyebut aku Yok Sianli walaupun aku tidaklah sehebat sebutan itu. Ada kepentingan apakah kalian mencari aku, dan siapakah kalian ini?”
“Mari engkau ikut kami. Kami membutuhkan pertolonganmu untuk mengobati Su-kouw (Bibi Guru) kami.”
“Ah, tidak begitu caranya orang minta tolong! Kalian seolah memaksa dengan kasar!” Kepala dusun itu berseru marah melihat dua orang wanita itu tidak menghormati gadis penolong yang amat dihormati di dusun itu.
Melihat dua orang wanita baju hijau itu memandang dengan mata mencorong marah kepada Si Kepala Dusun, Ceng Ceng cepat bangkit berdiri dan berkata, “Biarlah Paman. Mereka datang minta bantuanku, sudah semestinya aku pergi menolong orang yang sakit.” Lalu kepada dua orang wanita baju hijau itu ia berkata, “Harap kalian menunggu sebentar di luar, aku hendak berkemas membawa pakaian dan obat-obat.”