25. MURID GO BI PAI KENA BATUNYA
DUA orang wanita baju hijau itu mengangguk lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah gesit menunjukkan bahwa keduanya adalah ahli-ahli silat yang tangguh.
Ceng Ceng lalu memasuki rumah, mengambil pakaian dan obat dari dalam kamar, kemudian keluar dan berpamit kepada semua penduduk dusun itu. Beberapa orang wanita yang merasa telah diselamatkan angauta keluarganya oleh Ceng Ceng, menangis terharu. Seluruh penduduk merasa terharu dan kehilangan ditinggal gadis yang muncul sebagai dewi penolong itu.
Di luar rumah kepala dusun, Ceng Ceng sudah ditunggu dua orang wanita baju hijau. Seluruh penduduk mengikuti dan mengantar kepergian Ceng Ceng sampai di luar dusun mereka. Setelah keluar dari dusun, wanita bermata sipit yang tadi bicara, berkata kepada Ceng Ceng.
“Hayo cepat, Bibi Guru kami sakit keras, perlu cepat ditolong!” katanya dengan nada memerintah.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap mereka yang murung dan galak, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Mereka sudah jauh dari dusun dan tidak ada orang lain melihat mereka.
“Sobat, sikap kalian yang kasar dan galak ini tentu membuat lain orang yang hendak menolong menjadi enggan!”
Tiba-tiba mereka mencabut pedang dari punggung mereka dan Si Mata Sipit mengancam. “Kalau engkau tidak mau menolong, pedang kami yang akan memaksamu!”
Ceng Ceng merasa penasaran juga, walaupun mulutnya masih tersenyum. Dua orang wanita ini sudah keterlaluan dan mereka agaknya perlu disadarkan. Maka ia lalu berkata, “Hemm, begitukah? Andaikata aku menolak, lalu kalian mau berbuat apa?”
Dua orang wanita itu membuat gerakan dengan pedang mereka, agaknya hendak menodong dan mengancam. Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut karena begitu berkelebat, gadis baju putih itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih berkelebat. Sebelum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba saja pedang di tangan mereka dirampas orang tanpa dapat mereka pertahankan karena lengan mereka yang memegang pedang tiba-tiba tertotok lumpuh! Mereka terkejut dan cepat memutar tubuh. Di sana mereka melihat Ceng Ceng berdiri memegang dua batang pedang yang dirampasnya dengan cepat tadi.
“Hemm, belum pernah aku melihat orang minta tolong dengan sikap seburuk kalian! Apakah aku berhadapan dengan dua orang anggauta gerombolan penjahat?” Setelah berkata demikian, kedua tangan Ceng Ceng yang memegang pedang rampasan itu bergerak.
“Sing-singg...!” Sepasang pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di atas tanah, dekat sekali dengan kaki dua orang wanita baju hijau itu!
Wajah dua orang wanita itu menjadi pucat. Sekarang baru mereka menyadari bahwa yang diberi julukan Yok Sianli, selain ahli pengobatan, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian silat yang luar biasa.
Wanita bermata sipit itu lalu mengangkat kedua tangan depan dada, diikuti temannya dan ia berkata sendu. “Sianli maafkan kami. Kami baru saja menerima musibah yang mengakibatkan dua orang rekan kami tewas dan Bibi Guru kami terluka parah. Karena penasaran dan sedih, maka kami lupa diri dan bersikap sangat tidak baik kepadamu. Harap maafkan kami berdua.”
“Kalau kalian menyesali kesalahan sendiri, hal itu sudah cukup, tidak ada yang perlu dimaafkan. Akan tetapi kuharap kalian suka menceritakan dengan singkat siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan kalian.”
Ceng Ceng lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah dan mempersilakan dua orang wanita itu duduk pula. Mereka menghela napas panjang, mencabut pedang dan menyarungkannya kembali, lalu duduk berhadapan dengan Ceng Ceng.
“Kami adalah murid-murid Go-bi-pai. Ketua kami mengutus Bibi Guru Thian-li Niocu sebagai wakil Go-bi-pai untuk meninjau ke Thai-san di mana para tokoh persilatan katanya mencari harta karun Kerajaan Sung. Bibi Guru mengajak kami, tujuh orang muridnya. Kemarin dulu, ketika kami bertujuh diutus Su-kouw melakukan penyelidikan dengan berpencar, dua orang su-moi (adik seperguruan) kami yang termuda hilang. Kami dan Su-kouw mencari dan menemukan kedua orang murid Go-bi-pai itu telah tewas dan sebelum dibunuh agaknya mereka diperkosa orang. Kami marah sekali dan mencari pelakunya. Tak jauh dari situ kami menemukan orangnya yang ternyata seorang kakek iblis, datuk besar yang tinggi sekali ilmunya dan berkelakuan seperti iblis. Dia mengaku terang-terangan bahwa dia yang memperkosa lalu membunuh dua orang su-moi kami itu. Bibi Guru marah sekali. Kami lalu mengeroyoknya, akan tetapi Bibi Guru terluka sebatang panah kecil beracun sehingga kami terpaksa melarikan diri. Kemudian, dari penduduk dusun kami mendengar akan Yok Sianli yang ahli mengobati, maka kami mencarimu dan telah bersikap kasar karena kami bingung dan marah, juga sedih.”
“Hemm, siapakah kakek datuk yang jahat itu?” tanya Ceng Ceng yang dapat menduga betapa lihainya datuk itu sehingga seorang tokoh Go-bi-pai seperti bibi guru wanita-wanita ini kalah dan terluka walaupun sudah mengeroyok kakek itu bersama lima orang keponakan muridnya.
“Kakek iblis sombong itu adalah Cui-beng Kui-ong yang berkata bahwa semua orang yang hendak mencari harta karun akan berhadapan dengan dia karena harta itu katanya milik Kerajaan Mongol dan dia mewakili kerajaan penjajah itu.”
“Ah, kiranya Raja Iblis itu yang datang ke sini dan melakukan kekejian itu!”
“Ah, engkan sudah mengenalnya, Yok Sianli?”
Ceng Ceng mengangguk. “Siapa tidak mengenal Raja Iblis Pengejar Roh, antek Mongol yang memusuhi semua patriot bangsa itu? Dia memang lihai sekali, akan tetapi kelihaiannya itu pasti akan musnah, dihancurkan kejahatannya sendiri. Mari kita ke bibi guru kalian, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya, mudah-mudahan.”
Mereka lalu memasuki sebuah hutan kecil di mana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tiga orang murid wanita Go-bi-pai menyambut dan Ceng Ceng lalu dibawa masuk kuil tua itu. Thian-li Niocu berusia sekitar lima puluh tahun, berpakaian pertapa sederhana berwarna hijau. Ia rebah di atas dipan batu yang ditilami rumput dan daun kering, telentang dengan mata terpejam dan wajahnya agak membiru, napasnya terengah-engah. Melihat wajah wanita itu saja Ceng Ceng dapat menduga bahwa wanita itu keracunan. Tanpa diminta lagi ia segera duduk di tepi dipan batu itu dan memeriksa dengan teliti.
Setelah mendapatkan luka di pundak kanan wanita itu, luka oleh anak panah kecil yang sudah dicabut, tahulah ia bahwa racun itu disebabkan oleh anak panah yang melukai pundak. Anak panah yang mengandung racun. Ia lalu dengan teliti memeriksa luka yang berwarna hitam menghijau di sekelilingnya. Memeriksa pula detak nadi untuk menemukan racun yang bagaimana sifatnya yang terkandung dalam tubuh melalui luka itu.
Ia minta bantuan seorang murid Go-bi-pai untuk mendudukkan Thian-li Niocu yang masih pingsan dan menahan kedua pundaknya dari depan. Kemudian Ceng Ceng duduk bersila di belakang tokoh Go-bi-pai itu dan menotok beberapa hiat-to (jalan darah) di tubuh bagian belakang lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Si Sakit dan mengerahkan sin-kang untuk membantunya mendorong keluar hawa beracun dari dalam tubuhnya.
Perlahan-lahan muncul uap hitam mengepul dari tubuh Thian-li Niocu dan tak lama kemudian ia muntahkan darah menghitam yang mengenai baju murid yang duduk di depannya dan menahan kedua pundaknya. Thian-li Niocu mengeluh dan Ceng Ceng membantunya rebah telentang kembali. Thian-li Niocu siuman dari pingsannya, namun tampak masih lemah.
Ceng Ceng mengambil obat pulung (pel) yang diberi nama Pai-tok-san (Pel Pendorong Racun) sebanyak dua butir lalu menyuruh murid Go-bi-pai meminumkan obat itu kepada Thian-li Niocu. Setelah minum obat itu, Thian-li Niocu tertidur. Namun kini pernapasannya sudah normal kembali dan warna kehijauan pada mukanya makin menghilang. Pada luka di pundak itu, Ceng Ceng memberi obat bubuk, ditaburkan pada luka lalu pundak itu dibalut.
Setelah mengobati Thian-li Niocu, Ceng Ceng keluar dari ruangan itu dan mencari tempat di sudut ruangan depan yang sudah dibersihkan oleh lima orang murid Go-bi-pai dan ia lalu duduk bersila di atas tumpukan jerami untuk memulihkan tenaganya karena tadi ia mengerahkan cukup banyak tenaga sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh Thian-li Niocu.
Setelah lewat beberapa lamanya, Ceng Ceng mendengar orang-orang menghampirinya. Ia membuka matanya dan melihat Thian-li Niocu diikuti lima orang muridnya memasuki ruangan depan itu dan menghampirinya. Ceng Ceng bangkit berdiri dan Thian-li Niocu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Ceng Ceng cepat membalas penghormatan itu.
“Nona, para muridku memberi tahu bahwa engkau adalah Yok Sianli yang telah menolongku dan menyembuhkan lukaku. Terimalah ucapan terima kasihku yang setulusnya.”
“Ah, Bibi, harap jangan sungkan. Saya kira sudah semestinya kalau orang suka saling menolong, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kebetulan saja saya mempunyai kemampuan mengobatimu, maka hal itu merupakan kewajaran saja dan tidak perlu Bibi berterima kasih kepada saya.”
“Siancai...! Menurut para murid, selain pandai ilmu pengobatan, engkau pun memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Luar biasa sekali seorang gadis muda seperti engkau telah memiliki dua macam ilmu itu, dan mendengar ucapanmu tadi, engkau pun memiliki kebijaksanaan. Mari duduk, Nona, aku ingin sekali berbincang denganmu dan mengenalmu lebih baik lagi.”
Mereka lalu duduk di atas lantai yang ditilami jerami kering. Ceng Ceng duduk berhadapan dengan Thian-li Niocu dan lima orang muridnya.
“Biarlah kami memperkenalkan diri lebih dulu, Nona. Aku bernama Thian-li Niocu, adik seperguruan Ketua Go-bi-pai yang menjadi seorang di antara pengurus Go-bi-pai. Aku ditunjuk oleh Ketua kami untuk mewakili Go-bi-pai meninjau Thai-san di mana kabarnya menjadi tempat pencuri harta karun Kerajaan Sung yang akan menjadi ajang pencarian dan perebutan di antara orang-orang kang-ouw. Go-bi-pai tidak menginginkan harta karun, hanya ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi kami mengalami bencana. Dua orang murid kami telah dihina dan dibunuh oleh seorang datuk jahat, yaitu Cui-beng Kui-ong. Aku berusaha membalas dendam, akan tetapi ternyata dia lihai bukan main sehingga kami tidak mampu menandinginya, bahkan aku terluka dan nyaris tewas. Nah, kami ingin sekali mengenalmu lebih baik, Yok Sianli. Siapakah namamu yang sesungguhnya, siapa pula gurumu dan mengapa engkau juga berada di Thai-san ini.”
Karena orang-orang Go-bi-pai itu sudah memperkenalkan diri dengan sejujurnya, dan Ceng Ceng juga sudah mendengar bahwa perkumpulan Go-bi-pai adalah satu di antara partai-partai persilatan yang beraliran bersih, maka ia pun tidak ragu-ragu untuk memperkenalkan dirinya dan menceritakan keadaannya.
“Nama saya Liu Ceng Ceng, Bibi...”
“She (marga) Liu? Dari mana asalmu?” potong Thian-li Niocu.
“Saya berasal dari Nan-king di mana mendiang orang tuaku tinggal.”
“Di Nan-king? Apa engkau masih ada hubungan keluarga dengan Liu Bok Eng?”
Ceng Ceng tersenyum. “Liu Bok Eng adalah mendiang ayah saya, Bibi.”
“Ahh...!” Thian-li Niocu berseru. “Kiranya engkau adalah puteri pendekar patriot yang terkenal itu! Engkau tadi mengatakan bahwa ayah ibumu telah meninggal dunia?”
“Benar, Bibi, dan sesungguhnya, semua keributan di Thai-san ini adalah saya yang menyebabkannya. Mendiang Ayah meninggalkan sebuah peta kepada saya dengan pesan agar mencari harta karun pada peta itu.”
“Akan tetapi kami mendengar kabar bahwa peta harta karun itu tadinya milik seorang wanita yang disebut Pek-eng Sianli yang bekerja sama dengan pemerintah Mongol untuk mencari harta pusaka itu!”
Ceng Ceng tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Sayalah yang diberi julukan itu, Bibi. Akan tetapi tidak benar kalau saya bekerja sama dengan pihak Pemerintah Mongol. Karena seorang adik angkat saya tertawan oleh seorang panglima Mongol bernama Kim Bayan, maka untuk menyelamatkan Adik angkat saya itu, terpaksa saya menyerahkan peta kepadanya dan terpaksa pula membantunya mencari harta karun sesuai dengan petunjuk peta itu. Setelah tempat harta karun itu ditemukan, yaitu di Bukit Sorga tak jauh dari kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong yang menjadi antek pemerintah penjajah.”
“Hemm, pantas kalau datuk iblis itu menjadi pengkhianat bangsa!” kata Thian-li Niocu marah. “Selanjutnya bagaimana, Nona Liu?”
“Di tempat itu kami menemukan tempat penyimpanan harta karun, akan tetapi peti tempat harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan THAI SAN. Saya dan Adik angkat saya bersama seorang sahabat berhasil meloloskan diri dan demikianlah, berita itu tersiar dan semua orang ingin mencari pencuri dan merampas harta karun itu, Bibi.”
“Hemm, pantas ketika baru tiba di sini, kami melihat rombongan pasukan Pemerintah Mongol! Sebetulnya, dari mana asal peta harta karun itu dan bagaimana mendiang Pendekar Liu Bok Eng bisa mendapatkannya?”
Ceng Ceng menghela napas panjang. “Ketika Kerajaan Sung dikalahkan bangsa Mongol, seorang pembesar istana bernama Thai-kam (Orang Kebiri) Bong mencuri harta Kerajaan Sung. Harta yang besar itu lalu dia sembunyikan dan dia membuat sebuah peta untuk tempat penyimpanan harta karun itu. Karena diketahui bahwa Thai-kam Bong itu korup dan jahat, bahkan hendak menjadi pengkhianat, berhubungan dengan bangsa Mongol, maka Ayah saya yang ketika itu menjadi panglima, melakukan penggerebekan dan membunuh pembesar korup yang berkhianat itu. Ayah saya menemukan peta itu, akan tetapi dia tidak sempat mencari harta karun karena Kerajaan Sung diserang bangsa Mongol sampai akhirnya kalah dan jatuh. Setelah Kerajaan Sung jatuh, Ayah saya juga tidak mencari harta karun itu karena tidak mungkin dikembalikan kepada Kerajaan Sung yang sudah tiada. Ayah hanya menyimpannya saja. Akan tetapi agaknya rahasia itu diketahui pihak Kerajaan Mongol yang baru berkuasa, maka Ayah lalu dipaksa untuk menyerahkan peta itu kepada mereka. Ayah menolak dan sebelum ayah tewas, Ayah menitipkan peta itu kepada seorang sahabat dengan pesan agar diserahkan kepada saya. Nah, demikianlah, Bibi, maka peta itu terjatuh ke tangan Ayah lalu diberikan kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu.”
Thian-li Niocu mengangguk-angguk. “Ah, kiranya begitu? Kalau begitu, engkau datang ke Thai-san ini tentu hendak mencari harta karun yang menjadi hak ayahmu dan sudah diwariskan kepadamu?”
“Benar, Bibi. Akan tetapi bukan untuk mendapatkannya sebagai warisan. Mendiang orang tuaku tidak membutuhkan harta karun itu, dan saya juga sama sekali tidak menginginkannya untuk diri saya sendiri.”
“Ah, begitukah? Kalau begitu, seandainya engkau berhasil mendapatkan harta karun itu, lalu untuk apa dan untuk siapa?”
“Saya akan melaksanakan apa yang dipesan mendiang Ayah saya yaitu apabila saya berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada yang berhak.”
“Yang berhak? Siapakah yang berhak, Nona Liu? Harta itu milik Kerajaan Sung yang kini telah musnah. Lalu kepada siapa harta karun itu akan engkau berikan?”
“Menurut pesan Ayah saya, harta karun itu harus diserahkan kepada para pejuang rakyat yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol. Maka seandainya saja berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada para pejuang yang dimaksudkan itu.”
“Siancai...! Bagus sekali! Sungguh mengagumkan! Nona Liu, jangan khawatir, Go-bi-pai pasti berdiri di belakangmu dan kami akan membantumu sekuat tenaga karena kami juga akan merasa gembira sekali kalau dapat membantu perjuangan rakyat untuk merobohkan penjajah Mongol,” kata Thian-li Niocu dengan gembira sekali.
“Bibi, terima kasih banyak. Hati saya sudah merasa senang kalau ada pihak yang menyetujui pendirian mendiang Ayah.”
“Kalau menurut pendapatmu, siapakah kiranya yang telah mencuri harta karun itu, Nona Liu?”
“Masih sulit untuk menduga siapa yang melakukan pencurian itu, Bibi. Beberapa hari yang lalu, saya datang ke Thai-san ini bersama Adik angkat saya dan seorang sahabat. Kami pergi mengunjungi Ang-tung Kai-pang. Di sana muncul Hek Pek Mo-ko dan Adik angkat saya terlibat perkelahian dengan Hek Pek Mo-ko yang sikapnya jahat dan kurang ajar. Saya membantu Adik angkat saya, melawan Hek Pek Mo-ko. Akhirnya Hek Pek Mo-ko melarikan diri...”
“Siancai ! Engkau dan Adik angkatmu dapat mengalahkan Hek Pek Mo-ko yang berilmu tinggi itu? Sungguh mengagumkan dan sukar dipercaya melihat engkau masih begini muda, Nona Liu. Kemudian bagaimana?”
“Setelah mereka berdua melarikan diri, adik saya Tan Li Hong melakukan pengejaran. Adik saya itu memang berwatak keras. Kamudian sahabat kami menyusulnya karena khawatir kalau-kalau adik saya terjebak musuh. Setelah menanti lama dan mereka berdua belum juga pulang, saya lalu mencari mereka. Akan tetapi usaha saya gagal. Saya tidak dapat menemukan mereka biarpun saya telah mencari selama beberapa hari. Akhirnya saya bertemu dengan dua orang Cici (Kakak Perempuan) ini dan diajak ke sini untuk mengobati Bibi. Oleh karena itu saya belum dapat melakukan penyelidikan kepada golongan lain. Akan tetapi menurut keyakinan saya, golongan yang sudah saya datangi, yaitu Ang-tung Kai-pang, pasti bukan pelaku pencurian harta karun itu.”
“Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko? Kami mendengar bahwa Hek Pek Mo-ko merupakan datuk-datuk yang jahat dan kejam. Mungkinkah mereka yang menjadi pencurinya?”
“Sukar dipastikan, Bibi. Hek Pek Mo-ko sendiri menuduh Ang-tung Kai-pang yang menjadi pencurinya. Ada dua kemungkinan memang. Hek Pek Mo-ko benar-benar bukan pencuri harta karun atau merekalah pencurinya dan sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan kecurigaan para pencari harta karun yang lain.”
Thian-li Niocu mengangguk-angguk. “Nona Liu, kami kira keadaan di daerah Thai-san ini sekarang amatlah berbahaya. Ini sudah kami rasakan sendiri. Kami melakukan penyelidikan dengan berpencar dan akibatnya, dua orang murid kami tewas, entah masih berapa banyak lagi orang jahat yang berilmu tinggi berkeliaran di sini. Maka, sebaiknya kita bersama melakukan penyelidikan agar kita lebih kuat menghadapi bahaya...”