35: KEMBALI MATAHARI BERSINAR BAGI BAN TOK NIOCU
KINI Cun Giok mulai membalas dan mereka berdua bertanding dengan serunya. Yang tampak hanya gulungan sinar hitam dan sinar emas yang saling melibat dan saling mendesak. Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar hitam semakin mengecil dan majikan Pulau Ular itu terdesak hebat.
Akan tetapi biarpun dia lebih unggul, Cun Giok tidak mau terlalu mendesak sehingga pertandingan itu berjalan seimbang. Setelah lewat tiga puluh jurus, bahkan hampir empat puluh jurus, tiba-tiba pedang hitam bertemu dengan pedang sinar emas.
“Tranggg...!”
Keduanya melangkah kebelakang dan Cun Giok lalu memberi hormat sambil menyimpan pedangnya. “Kiam-hoat (i1mu Pedang) Lo-cianpwe hebat, saya mengaku kalah.”
“Hemm, tidak percuma engkau menjadi murid Suma Tiang Bun dan mewarisi Kim-kong-kiam. Setelah kalian berdua mampu menandingi aku selama tiga puluh jurus, kalian memang pantas menjadi tamuku. Mari kita bicara di rumahku!”
Wanita itu lalu melangkah keluar dari gedung latihan, diikuti oleh Cun Giok dan Ceng Ceng. Ban-tok Kui-bo mengajak mereka memasuki sebuah bangunan terbesar di pulau itu dan berada di tengah-tengah perkampungan.
Ketika mereka memasuki gedung itu Ceng Ceng dan Cun Giok diam-diam merasa kagum. Sungguh tak pernah mereka duga bahwa di pulau yang tampaknya liar itu terdapat sebuah gedung yang selain besar juga amat indah dan mewah. Perabot-perabotnya serba halus dan mahal, seperti sebuah istana saja! Orang-orang yang bertugas di rumah itu mengenakan pakaian dari sutera serba hitam dan mereka semua memberi hormat dengan membungkukkan badan ketika Ban-tok Kui-bo lewat!
Ban-tok Kui-bo mengajak mereka memasuki kamar tamu yang juga indah. Mereka duduk berhadapan terhalang meja yang bundar dan besar. Pelayan datang menghindangkan anggur manis dan makanan ringan. Setelah semua pelayan meninggalkan ruangan, Ban-tok Kui-bo lalu berkata,
“Nah, sekarang bicaralah. Sebutkan lagi nama kalian dan apa keperluan kalian mencari aku.”
Cun Giok memandang kepada Ceng Ceng dan membiarkan gadis itu yang bicara. “Lo-cianpwe, saya bernama Liu Ceng dan dia ini bernama Pouw Cun Giok. Seperti sudah saya ceritakan tadi, mendiang Im Yang Yok-sian adalah Susiok (Paman Guru) saya dan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai adalah sahabat baik kakek guru Pouw Cun Giok. Kami berdua menemukan Susiok Im Yang Yok-sian terbunuh dan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin terluka parah. Karena melihat bahwa yang membunuh susiok dan melukai ketua Hoa-san-pai adalah ilmu pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang, maka saya teringat akan cerita Susiok dahulu bahwa yang menguasai pukulan itu adalah Lo-cianpwe sendiri. Oleh karena itu, kami berdua mengambil keputusan untuk menemui Lo-cianpwe. Pertama, untuk bertanya mengapa Susiok Im Yang Yok-sian dibunuh dan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin dilukai, dan kedua, kami mengharapkan budi kebaikan Lo-cianpwe untuk memberi obat penawar kepada Ketua Hoa-san-pai.”
“Tidak kusangkal, memang aku yang menyuruh seorang muridku untuk membunuh Goat-liang Sanjin. Muridku berhasil melukainya dan musuh besarku itu pasti akan mati. Akan tetapi muridku mendengar bahwa orang-orang Hoa-san-pai hendak minta bantuan Im Yang Yok-sian untuk menyembuhkannya. Maka, terpaksa untuk mencegah penyembuhan itu, muridku lalu membunuh Im Yang Yok-sian.”
Pouw Cun Giok yang sejak tadi diam saja kini bertanya dengan hati-hati dan sikap sopan. “Lo-cianpwe, saya yakin bahwa setiap perbuatan pasti ada alasan dan penyebabnya. Kalau boleh saya bertanya, mengapa Lo-cianpwe menyuruh orang untuk membunuh Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin? Apa kesalahan Ketua Hoa-san-pai itu? Setahu saya, beliau adalah seorang pendeta yang sudah berusia lanjut dan tidak pernah melakukan kejahatan.”
“Huh, menilai watak orang tidak dapat hanya melihat keadaan lahiriah saja. Semua orang memakai topeng dan selalu topeng yang baik. Mau tahu mengapa aku mendendam kepada Goat-liang Sanjin? Nih, lihat baik-baik wajahku! Bagaimana pendapatmu tentang wajahku?”
Cun Giok menjawab dengan hati-hati. “Lo-cianpwe, maafkan, menurut saya wajah Lo-cianpwe baik dan cantik.”
“Hemm, semua laki-laki adalah perayu yang mengobral rayuan gombal kepada setiap wanita! Hei, engkau Liu Ceng, katakan, apa yang salah dengan wajahku?”
Ceng Ceng menjawab. “Lo-cianpwe memang berwajah cantik sekali dan tampak masih muda. Akan tetapi sayang, ada codet bekas luka di pipi sebelah kiri.”
“Nah, cacat pada mukaku ini adalah perbuatan Goat-liang Sanjin dua puluh lima tahun yang lalu. Aku menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk melatih seorang murid dan akhirnya aku berhasil menyuruh muridku membalas dendam. Nah, pertanyaanmu tentang mengapa aku suruhan membunuh Goat-liang Sanjin sudah kujawab, juga mengapa muridku terpaksa membunuh Im Yang Yok-sian. Sekarang permintaanmu yang ke dua untuk mendapatkan obat penyembuh Goat-liang Sanjin. Huh, mana mungkin aku memberikannya? Kalau engkau hendak mengobatinya, carilah sendiri obatnya. Aku tidak sudi menolongnya!”
Cun Giok mengerutkan alisnya. Wanita itu memang sesat, pikirnya. Kalau Goat-liang Sanjin sampai melukai pipinya, tentu wanita itu melakukan hal yang tidak baik! Sekarang, dengan kejinya ia membunuh Im Yang Yok-sian dan membunuh pula Goat-liang Sanjin kalau ia tidak mau memberikan obat penawarnya. Dia sudah siap untuk menggunakan kekerasan memaksa Ban-tok Kui-bo menyerahkan obat. Akan tetapi Ceng Ceng mendahuluinya.
“Lo-cianpwe, melihat bekas luka di pipimu itu, jelas bahwa itu disebabkan goresan senjata tajam yang tidak mengandung racun. Saya pernah mempelajari cara mengobati luka seperti itu, dan saya merasa yakin bahwa codet bekas luka di pipi Lo-cianpwe itu akan dapat saya obati sampai sembuh.”
Wanita itu membelalakkan matanya memandang tajam kepada Ceng Ceng. “Benarkah? Benarkah engkau dapat mengobati codet di pipiku ini sampai pulih? Dapat hilang codetnya?”
Ceng Ceng mengangguk. “Saya kira dapat, Lo-cianpwe. Dulu pernah saya mengobati luka yang meninggalkan bekas seperti itu dan codet itu dapat hilang dalam waktu beberapa hari.”
Wajah Ban-tok Kui-bo berseri gembira. “Liu Ceng, aku berjanji. Kalau engkau dapat mengobati pipiku sehingga cacat ini hilang, aku pasti akan memberimu obat penawar yang dibutuhkan Goat-liang Sanjin!”
“Baik, Lo-cianpwe.”
Kini dengan amat ramah Ban-tok Kui-bo lalu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan dua buah kamar untuk Cun Giok dan Ceng Ceng, dan ia lalu menjamu pesta makan untuk dua orang tamunya itu. Kini Ban-tok Kui-bo bersikap baik sekali, akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng tetap saja bersikap waspada karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang menjadi datuk sesat ini sama sekali tidak boleh dipercaya.
Mulai hari itu Ceng Ceng memeriksa dan mengobati codet di pipi kiri Ban-tok Kui-bo. Ia memang pernah beberapa kali mengobati bekas luka macam itu, maka ketika ia melihat codet di pipi Ban-tok Kui-bo, ia merasa yakin akan mampu menyembuhkannya sehingga cacat itu tidak tampak lagi atau hampir-hampir tidak tampak dan dengan sedikit bedak maka pipi itu akan tampak licin dan halus kembali. Kalau saja yang menggores pipi itu pedang yang mengandung racun sehingga kulit pipi rusak terkena racun, akan amat sukarlah mengobatinya sampai pulih.
Untuk menyelesaikan pengobatan itu, Ceng Ceng harus menggunakan waktu hampir satu bulan. Selama itu, ia dan Cun Giok mendapat perlakuan yang amat baik, dihormati dan dicukupi semua kebutuhan mereka, bahkan hampir setiap hari mereka menghadapi hidangan yang serba mewah dan lezat.
Akhirnya pengobatan itu selesai. Setelah Ban-tok Kui-bo yakin bahwa pipinya sudah normal kembali. Ia merasa sangat gembira dan tarikan keras pada garis wajahnya kini menghilang, terganti wajah yang cerah menghadapi masa depan yang gemilang. Dan ternyata apa yang dikhawatirkan Ceng Ceng dan Cun Giok tidak terjadi. Ban-tok Kui-bo sama sekali tidak mengganggu mereka dan ia pun memenuhi janjinya, menyerahkan obat penawar untuk Goat-liang Sanjin.
Bukan hanya itu, ketika Cun Giok dan Ceng Ceng berpamit, Ban-tok Kui-bo menemani mereka keluar dari pulau dan menggunakan perahu menyeberang ke daratan Muara Po-hai. Wanita itu saking girangnya hendak menyusul muridnya dan ingin bertemu dengan bekas kekasihnya untuk minta maaf dan berbaik kembali!
Setelah tiba di pantai daratan, mereka berpisah. Ketika Cun Giok dan Ceng Ceng sebelum berpisah mengucapkan terima kasih mereka, Ban-tok Kui-bo tersenyum manis sekali. Setelah codetnya tidak tampak lagi, kecantikannya masih menonjol.
“Aih, akulah yang mengucapkan banyak terima kasih kepadamu, Ceng Ceng. Engkau telah membuat matahari bersinar kembali dalam hidupku. Mulai sekarang, harap kalian berdua menjadi saksi, aku memakai lagi namaku, yaitu Gak Li atau dahulu biasa dipanggil Lili dan aku tidak sudi lagi diberi julukan Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun)! Karena aku memang ahli dalam pengetahuan tentang racun, aku masih menggunakan julukan Ban-tok (Selaksa Racun) akan tetapi bukan Kui-bo (Biang Hantu) lagi, melainkan Ban-tok Niocu (Nona Selaksa Racun)!”
“Akan kami kabarkan kepada semua orang, karena engkau memang tidak pantas berjuluk Kui-bo, Ban-tok Niocu!” kata Ceng Ceng yang kini sudah akrab dengan wanita itu sehingga majikan Pulau Ular itu menyebut namanya dan nama Cun Giok begitu saja, sedangkan mereka berdua juga diminta menyebut julukannya yang mulai hari ini berubah dari Kui-bo menjadi Niocu!
Setelah mereka berpisah dari Ban-tok Niocu, Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan cepat menuju Hoa-san untuk menyerahkan obat penawar racun yang diterima dari Ban-tok Niocu kepada ketua Hoa-san-pai. Di dalam perjalanan ini, Cun Giok yang merasa semakin kagum dan juga heran terhadap sikap Ceng Ceng, bertanya.
“Ceng-moi, aku merasa heran sekali. Untuk mendapatkan obat bagi Goat Liang Sianjin, engkau bersusah payah, menandingi Ban-tok Niocu, bahkan lalu mengobati codetnya sampai sembuh. Akan tetapi, mengapa engkau tidak mendendam kepada Ban-tok Niocu yang telah menyuruh muridnya membunuh Im Yang Yok-sian, susiokmu yang tidak berdosa itu? Padahal, paman gurumu itu juga gurumu karena engkau mempelajari ilmu pengobatan darinya.”
Ceng Ceng menghela napas panjang sebelum menjawab. “Begini, Giok-ko, balas membalas merupakan mata rantai sebab akibat yang mengikat manusia sebagai karma. Mata rantai itu tidak akan berhenti mengikat diri kita selama kita tidak berani untuk memutuskannya sendiri. Karena itulah aku tidak membalas dendam kematian Susiok Im Yang Yok-sian. Aku tahu bahwa sikapku ini dimengerti dan disetujui oleh mendiang susiok karena pengertian ini pun kudapatkan dari dia.”
“Coba jelaskan, Ceng-moi.”
“Yang menjadi sebab pertama adalah perbuatan Goat-liang Sanjin, yaitu dia membuat wajah Gak Li atau Ban-tok Niocu menjadi cacat. Sebab ini mengakibatkan ia menjadi sakit hati, mendendam dan melalui muridnya ia membalas dendam untuk membunuh Goat-liang Sanjin. Susiok Im Yang Yok-sian terbunuh karena dia dikaitkan dengan karmanya, hendak dimintai tolong menyembuhkan Goat-liang Sanjin yang terluka. Kalau aku sebagai murid keponakan membalaskan kematiannya, andaikata aku membunuh Ban-tok Niocu, berarti aku menambah panjang rantai karma berupa balas membalas itu. Tentu akan ada orang yang akan mencariku dan membalaskan kematiannya. Kemudian, kalau aku terbunuh, mungkin akan ada orang lain yang membalaskan kematianku. Nah, rantai karma itu akan bersambung terus. Sebab menjadi akibat, dan akibat itu pun melahirkan sebab baru. Sebaliknya, kalau aku tidak membalaskan kematian susiok, berhentilah rantai itu dan tidak ada ikatan lagi bagiku. Mengertikah engkau, Giok-ko, mengapa aku tidak berniat membalaskan kematian Susiok? Tugasku adalah mengobati, menjaga kehidupan manusia, bukan membunuh.”
Cun Giok mengangguk kagum. “Karena itukah maka engkau tidak membalaskan kematian paman gurumu, akan tetapi bersusah payah mencarikan obat untuk Goat-liang Sanjin yang bukan apa-apamu?”
“Tentu saja. Susiok Im Yang Yok-sian telah tewas, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mengobati atau menyembuhkannya. Akan tetapi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin masih dapat disembuhkan kalau bisa mendapatkan obatnya. Maka aku lalu mencari obatnya yang aku tahu pasti dimiliki Ban-tok Niocu.”
“Dan untuk mendapatkan itu, engkau malah menyembuhkan Ban-tok Niocu yang telah membunuh susiokmu, walaupun meminjam tangan muridnya!”
“Giok-ko, seandainya Ban-tok Niocu tidak mempunyai urusan dengan kematian susiok atas terlukanya ketua Hoa-san-pai, seandainya aku tidak membutuhkan obat darinya, kalau ia minta tolong kepadaku untuk mengobati codetnya, pasti akan kupenuhi permintaannya.”
Cun Giok merasa kagum bukan main. “Ah, Ceng-moi, mendengar ucapanmu itu, aku teringat akan ucapan kakek guruku bahwa dalam kehidupan ini, manusia harus selalu siap melakukan perbuatan yang baik dan selalu menolak keras untuk melakukan perbuatan jahat. Sukong (Kakek Guru) pernah berkata bahwa yang disebut perbuatan baik itu adalah perbuatan yang membahagiakan orang lain, sedangkan perbuatan jahat adalah perbuatan yang merusak kebahagiaan orang lain.”
“Benar, Giok-ko, namun ada sambungannya lagi. Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi karena kalau si pelaku menganggap perbuatannya itu baik, pasti tersembunyi pamrih dalam batinnya. Pamrih itu dapat berupa duniawi seperti balas jasa, pujian agar diakui sebagai orang baik dan sebagainya, adapun pamrih rohani yang diharapkan adalah mendapatkan imbalan dari Thian, masuk sorga, dan sebagainya. Justeru pamrih ini yang mengotori setiap perbuatan, karena pamrih ini berarti kesenangan untuk diri pribadi. Orang merampok untuk mendapatkan uang, membunuh karena dendam untuk mendapatkan kepuasan. Sebaliknya kalau menolong dengan pamrih mendapatkan balas jasa, bukankah itu sama saja dengan pamrih perbuatan jahat?”
“Wah, aku menjadi bingung, Ceng-moi. Bukankah ada pamrih yang baik dan pamrih yang tidak baik?”
“Semua pamrih itu membuat perbuatannya menjadi palsu, Giok-ko. Segala macam pamrih itu tidak benar kalau ditujukan untuk menyenangkan diri sendiri dan baru benar kalau pamrih itu untuk membahagiakan orang lain.”
“Akan tetapi semua pamrih untuk mendapatkan keuntungan duniawi memang tidak benar, Ceng-moi, sebaliknya kalau pamrih itu untuk mendapatkan berkat Thian dan untuk Sorga, apakah itu tidak benar?”
“Giok-ko, sudah kukatakan tadi bahwa semua pamrih untuk kesenangan diri sendiri itu tidak benar. Apa bedanya pamrih duniawi dan pamrih sorgawi? Pamrih harta dasarnya menyenangkan diri sendiri, dan pamrih berkat atau sorga itu bukankah dasarnya juga untuk menyenangkan diri sendiri? Ingat bahwa sorga digambarkan sebagai tempat yang amat menyenangkan, bukan? Jadi jelas, yang dikejar itu adaah kesenangan, walaupun kesenangan itu diperhalus dengan sebutan sorga!”
“Wah, semakin dalam wawasanmu, Ceng-moi! Mendengar pendapatmu tadi, aku mengerti sekarang dan memang apa yang kaukatakan itu benar. Kalau Sorga itu digambarkan sebagai tempat yang tidak menyenangkan sebaliknya Neraka digambarkan sebagai tempat menyenangkan, maka orang yang berpamrih tentu berbuat baik untuk mendapatkan Neraka! Atau kalau Sorga itu tidak ada, maka belum tentu orang yang berpamrih itu mau berbuat kebaikan! Engkau benar sekali, Ceng-moi. Akan tetapi aku menjadi penasaran sekali. Kalau begitu, apa yang mendorongmu mengobati orang dan menolong orang kalau engkau tidak mempunyai pamrih?”
“Yang mendasari perbuatanku adalah Cinta Kasih, Giok-ko. Cinta Kasih terhadap sesama manusia. Cinta Kasih ini yang menghapus semua kebencian nafsu, cinta kasih ini yang menumbuhkan perasaan tanggung jawab dan kewajiban untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Perbuatan yang didorong cinta kasih merupakan kewajiban dalam penghidupan ini, maka tanpa pamrih. Cinta kasih membuat setiap perbuatan tidak bermaksud untuk kesenangan diri pribadi.”
“Ceng-moi, engkau mempunyai kelebihan, pandai mengobati orang akan tetapi bagaimana dengan aku misalnya yang tidak pandai mengobati orang lain?”
“Giok-ko, cinta kasih dalam batin merupakan pohon yang akan memberikan bunga dan buah. Bunga dan buahnya itulah yang akan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Bunga dan buah itu adalah segala macam sikap dan perbuatan yang baik kepada siapa saja. Setiap orang memiliki kemampuan masing-masing. Aku dapat menolong orang dengan pengobatan. Engkau dapat menolong dengan kepandaianmu, membela yang tertindas menentang kejahatan, itu pun membahagiakan orang. Yang berharta dapat menolong mereka yang hidupnya melarat dan serba kekurangan. Yang pandai dapat memberi penerangan kepada mereka yang tidak mengerti. Yang kuat dapat menolong mereka yang lemah, dan demikian seterusnya. Setiap orang pasti mempunyai sesuatu untuk membahagiakan orang lain dan semua perbuatan itu merupakan buah dari cinta kasih yang tumbuh subur dalam hati-sanubari.”
“Kalau ada orang yang tidak memiliki harta karena dia sendiri miskin, tidak mempunyai tenaga karena dia sendiri lemah, tidak memiliki kepandaian karena dia sendiri bodoh, lalu orang seperti dia itu dapat melakukan perbuatan baik apakah? Biarpun andaikata ada pohon cinta kasih dalam hatinya, buah apakah yang dihasilkan pohon itu kalau dia tidak memiliki apa-apa untuk dibagikan kepada orang lain?”
“Engkau agaknya lupa, Giok-ko, bahwa setiap orang, biarpun serba tidak mampu seperti yang kausebutkan tadi, masih dapat melakukan sesuatu demi kebahagiaan orang lain, yaitu sikap yang ramah dan manis budi! Senyum ramah, pandang mata yang tulus, ucapan yang lemah lembut, bukankah sikap ini dapat menyenangkan dan membahagiakan hati siapa saja? Jangan dikira bahwa sikap ini tidak ada harganya! Bahkan jauh lebih berharga daripada harta dan pertolongan apapun juga. Bayangkan, Twako, andaikata ada orang memberimu harta benda yang amat besar akan tetapi dia memberimu dengan sikap yang memandang rendah, menghina atau marah atau andaikata ada yang menolongmu dengan apa saja namun sikapnya menghina seperti itu, bagaimana tanggapanmu?”
“Hemm, aku tidak sudi menerima pertolongannya!” jawab Cun Giok seketika.
“Nah, berarti bahwa sikap yang manis budi itu amat berharga, Twako. Jadi, bagi siapa saja, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, kuat atau lemah, dapat saja memberikan sesuatu yang amat berharga dan dapat membahagiakan orang lain, yaitu sikap yang manis budi, ramah dan sopan.”
Cun Giok mengangguk-angguk kagum. “Benar juga semua pendapatmu tadi. Bahkan sikap baik sekalipun, kalau berpamrih, tentu bukan kebaikan lagi melainkan penjilatan agar mendapatkan sesuatu untuk kesenangan diri sendiri.”
“Benar sekali, Giok-ko. Kalau ada cinta kasih dalam hati, maka semua perbuatan kita terhadap sesama kita tentu baik dan benar. Cinta kasih mendatangkan belas kasih dan menyadarkan kita bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan kewajiban hidup. Bukan kita yang memiliki harta benda, kepandaian, kekuatan dan segala kelebihan lain. Semua itu milik Thian (Tuhan) yang diberikan kepada kita sebagai berkatNya. Maka, seyogianya kita bersyukur kepada Thian atas berkatNya dan rasa syukur itu kita buktikan dengan menyalurkan berkat itu kepada mereka yang membutuhkan: Berbahagialah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menyalurkan berkatNya.”
Cun Giok tercengang mendengarkan semua ucapan penuh kebijaksanaan yang bukan sekadar merupakan pelajaran itu. Bagaimana seorang gadis muda belia seperti Ceng Ceng memiliki pengertian mendalam seperti itu? Hatinya dipenuhi perasaan kagum dan dia semakin tertarik kepada kepribadian Ceng Ceng, bukan hanya tertarik oleh wajahnya yang cantik jelita dan bentuk tubuhnya yang indah, karena keindahan lahiriah itu hanya mengusik rasa cinta nafsu. Akan tetapi dia tergetar oleh kebijaksanaan yang keluar melalui mulut gadis itu. Dia merasa benar betapa amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada Ceng Ceng!
Dia teringat kepada mendiang Liu Siang Ni, adik misannya yang bernasib malang itu. Dia mencinta Lu Siang Ni sebagai adik. Kemudian dia bertemu dengan Cu Ai Yin dan dia pun kagum dan suka kepada puteri Datuk Besar Cu Liong majikan Bukit Merak itu. Akan tetapi, belum pernah hatinya tertarik seperti ketika dia bertemu Ceng Ceng!
Namun, Cun Giok tidak dapat melupakan kenyataan bahwa dia telah bertunangan dengan Siok Eng. Teringat akan Siok Eng, dia menghela napas panjang. Dia telah terikat perjodohan dengan Siok Eng, sungguhpun ikatan itu atas kemauan mendiang gurunya, dia tidak boleh mengingkari dan harus tetap setia. Biarpun dia jatuh cinta kepada Ceng Ceng, hal itu harus dia rahasiakan dan dia tidak ingin melanggar tali perjodohan yang telah diikatkan kepadanya...