38: PENYELESAIAN CINTA KASIH MASA LALU
Tan Kun Tek kagum melihat kegesitan pemuda itu. Sore tadi dia dan isterinya mengalami siksa cambukan. Biarpun dia sendiri hanya merasa panas dan pedih karena kulit tubuhnya lecet-lecet berdarah, namun isterinya yang lebih parah. Kini, melihat ada pemuda hendak menolongnya, bangkit semangatnya dan dia pun melompat keluar.
Dia masih agak sangsi karena tentu saja dia curiga melihat pemuda yang berpakaian perajurit ini. Apakah ini merupakan siasat dari Panglima Kim? Dia harus waspada dan melihat ada tombak bersandar di luar pintu kamar, dia lalu menyambarnya.
“Biarkan aku yang memondong isteriku!” katanya kepada pemuda berpakaian perajurit itu. “Engkau yang membuka jalan dan aku mengikuti di belakangmu!”
Li Hong memandang kagum dan juga bangga. Benar kata gurunya, ayahnya bukan orang lemah. Dan memang lebih baik kalau ayahnya yang menggendong ibunya sehingga ia dapat melindungi mereka. Tanpa bicara ia menyerahkan wanita itu yang kini digendong di belakang punggung oleh Tan Kun Tek.
Nyonya Tan yang lemah itu merangkul leher suaminya dan Tan Kun Tek menggunakan tali yang dia temukan di situ untuk mengikat tubuh isterinya kepadanya sehingga kalau dipakai bergerak membela diri apabila diserang, tubuh isterinya tidak akan terlepas dan terjatuh dari gendongannya.
“Mari cepat...!” Li Hong berkata dan ia lalu berkelebat keluar. Ternyata para perajurit masih ramai berusaha memadamkan kebakaran.
“Li Hong, ke sini...!” terdengar teriakan Ban-tok Niocu yang muncul tiba-tiba.
Li Hong girang melihat gurunya dan cepat ia pun mengikuti sambil memberi isyarat kepada Tan Kun Tek untuk mengikutinya. Tan Kun Tek semakin heran melihat ada perajurit kedua muncul dan agaknya hendak membantunya menunjukkan jalan keluar! Mulai berkurang kecurigaannya. Dia melihat dalam benteng itu gempar karena ada kebakaran. Tak mungkin semua ini merupakan siasat pancingan!
Agaknya dua orang ini memang benar ingin menolong ia dan isterinya. Dan melihat pakaian perajurit yang mereka kenakan agak kedodoran dan tidak pas, dia dapat menduga bahwa mereka itu jelas bukan perajurit, melainkan orang luar yang kini menyamar sebagai perajurit. Mereka tiba di dekat pagar tembok di kebun tanpa mendapat halangan karena para perajurit masih sibuk berusaha memadamkan kebakaran.
“Dapatkah engkau melompat ke atas pagar tembok sambil menggendong?” tanya Li Hong.
Akan tetapi Ban-tok Niocu cepat memegang lengan kanan Tan Kun Tek dan berkata, “Li Hong, cepat pegang lengan kirinya, kita bantu dia melompat!”
Li Hong segera tanggap. Ia menangkap lengan kiri Tan Kun Tek dan mereka bertiga melayang ke atas pagar tembok. Sebetulnya kalau dia melompat sendiri, Tan Kun Tek tentu dapat mencapai atas pagar tembok itu. Akan tetapi dia agak lemah karena mengeluarkan banyak darah, juga dia menggendong isterinya, maka kalau dia tidak dibantu dua orang yang menyamar sebagai perajurit itu, pasti dia akan gagal melompat sampai ke atas pagar tembok. Akan tetapi begitu mereka tiba di atas pagar tembok, terdengar teriakan-teriakan dari bawah.
“Tawanan lepas!”
“Dua orang perajurit itu palsu!”
“Tangkap mereka berempat!”
Banyak sekali perajurit melakukan pengejaran. Melihat ini, Li Hong berkata kepada Tan Kun Tek. “Cepat bawa ia melompat keluar dan lari!”
Ban-tok Niocu menyambung. “Lari ke arah sana, masuk hutan dan di sana ada kuil tua kosong. Tunggu kami di sana!”
Tan Kun Tek semakin heran. Cuaca gelap, dia tidak dapat melihat wajah dua orang ini dengan jelas. Akan tetapi, suara mereka ketika bicara jelas menunjukkan bahwa mereka adalah wanita! Melihat Tan Kun Tek seperti termenung dan tidak segera melompat turun Li Hong berkata,
“Cepat, pergi, biar kami yang menahan mereka!”
Kini tampak bayangan beberapa orang berkelebat naik ke atas tembok. Mereka adalah perwira-perwira yang memiliki kepandaian silat. Sementara itu, ratusan orang perajurit membuka pintu benteng dan keluar hendak menghadang di luar tembok.
Melihat ini Tan Kun Tek cepat melompat turun dan menghilang dalam kegelapan malam, berlari menggendong isterinya ke arah yang ditunjuk penolongnya kedua tadi. Setelah berlari beberapa lamanya, dia menemukan kuil tua di tengah hutan dan dia membawa isterinya masuk.
Di ruangan tengah kuil tua yang rusak itu terdapat ruangan yang tertutup dan cukup bersih, bahkan lantainya ditutupi rumput-rumput kering. Tan Kun Tek merebahkan isterinya di situ dan membiarkan isterinya tidur. Dia menanti dengan hati tegang.
Sementara itu, Li Hong dan Ban-tok Niocu mengamuk. Mereka menyambut para perwira yang melompat naik ke atas tembok dengan serangan pedang mereka. Setelah merobohkan tujuh perwira, keduanya melompat turun ke luar tembok. Akan tetapi mereka segera dikepung puluhan orang perajurit yang telah tiba di situ lebih dulu.
“Kita lari ke jurusan lain!” kata Ban-tok Niocu kepada muridnya.
Li Hong mengerti. Gurunya hendak memancing agar para perajurit melakukan pengejaran ke arah lain sehingga suami isteri itu selamat. Mereka lalu mengamuk, merobohkan belasan orang perajurit lalu melarikan diri ke arah timur, arah kota Seng-hai-lian, berlawanan dengan larinya Tan Kun Tek dan isterinya yang menuju barat. Para perajurit terus mengejarnya, kini jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang.
Dengan cerdik Ban-tok Niocu berlari menjaga jarak sehingga para pengejar makin bersemangat dan terus mengejar sampai masuk kota Seng-hai-lian. Karena saat itu baru lewat tengah malam maka kota itu masih sepi. Belum ada orang keluar rumah sehingga kejar-mengejar itu terjadi tanpa hambatan.
Tentu saja keributan di jalan raya itu membangunkan banyak penduduk akan tetapi begitu melihat banyak perajurit bersenjata, mereka menutupkan kembali daun pintu dan tidak berani keluar. Ban-tok Niocu dan Li Hong terkadang menunggu dan merobohkan beberapa orang pengejar terdepan, lalu lari lagi sehingga mereka keluar dari pintu kota sebelah timur. Mereka terus berlari dan terus dikejar sampai belasan lie jauhnya. Ketika mereka memasuki sebuah hutan, Ban-tok Niocu berkata kepada muridnya.
“Kita menghilang di sini dan cepat kembali ke barat untuk menyusul Tan Kun Tek dan isterinya.”
Mereka berdua melompat ke atas pohon dan berlompatan dari pohon ke pohon untuk menghilangkan jejak. Kemudian mereka melompat turun setelah jauh dari para pengejar mereka dan melanjutkan dengan berlari cepat menuju ke barat.
********************
Biarpun hawa amat dinginnya, Tan Kun Tek tidak berani membuat api unggun, khawatir kalau ketahuan para perajurit yang melakukan pengejaran. Dia membuka jubahnya sendiri yang sudah koyak-koyak dan menyelimuti isterinya yang masih tidur. Lalu dia duduk tepekur, masih heran memikirkan dua orang penolongnya. Jelas mereka berdua itu adalah wanita, akan tetapi siapa mereka dan mengapa begitu berani membebaskan dia dan isterinya, padahal mereka sendiri terancam bahaya maut di benteng itu?
Cuaca mulai berubah. Biarpun mataharinya sendiri belum tampak namun sinarnya sudah mendahuluinya dan mendatangkan penerangan yang kemerahan, perlahan dan lembut mengusir embun dan menguak selimut hitam sang malam. Cuaca yang kemerahan itu remang-remang bertirai kabut yang membubung ke atas. Nyonya Tang mengerang lirih dan bergerak.
Tan Kun Tek cepat mendekati. “Bagaimana keadaanmu?”
Wanita itu membuka mata dan bangkit duduk, dibantu suaminya. Ia memandang ke sekeliling dan tampak terheran-heran seolah baru bangun dari tidur. “Di mana kita ini...?”
“Kita sudah keluar dari tempat tahanan, ditolong oleh dua orang wanita sakti,” kata suaminya. “Engkau rebahlah saja dulu agar kesehatanmu pulih. Kita harus menanti datangnya dua orang penolong itu di sini.” Dia membantu isterinya agar rebah kembali di atas tumpukan rumput kering.
Tiba-tiba Tan Kun Tek bangkit berdiri dan menyambar tombak yang dibawanya ketika melarikan diri keluar dari markas pasukan tadi. Dia menyelinap di balik dinding, siap menyerang karena mungkin saja yang dia dengar gerakan di luar itu adalah mereka yang melakukan pengejaran.
Matahari mulai muncul dan sinarnya, biarpun masih lemah, namun cukup memberi penerangan di tempat itu. Ketika Tan Kun Tek yang mengintai melihat bahwa yang muncul itu adalah dua orang wanita, dia mengendurkan syarafnya yang tadinya menegang dan siap. Dia lalu keluar dari balik tembok dan memandang dua orang wanita yang berdiri di depannya. Gadis yang muda belia itu tidak dikenalnya, akan tetapi wanita kedua, yang setengah tua, membuat dia terbelalak dan ragu-ragu.
“Lili... engkau Lili...?” tanyanya gagap.
Ban-tok Niocu tersenyum, manis sekali. Senang hatinya bahwa bekas kekasihnya itu masih belum melupakannya! “Tek-ko (Kanda Tek), engkau masih belum lupa padaku? Aku datang... dan engkau lihat siapa gadis ini?”
Tan Kun Tek memandang Li Hong dengan mata terbelalak. “Kalian yang menolong aku dan isteriku? Siapa gadis ini? Lili, katakan siapa gadis ini!”
Hatinya sudah menduga, akan tetapi dia masih belum yakin. Dia dulu sudah tahu bahwa penculik puterinya tentu Gak Li atau Lili dan melihat usia gadis yang berdiri di depannya itu, membuat dia menduga dengan hati ragu bahwa gadis itu adalah puterinya yang dulu diculik Lili!
“Li Hong, inilah Tan Kun Tek, ayah kandungmu,” kata Ban-tok Niocu kepada muridnya.
Sejak tadi memang Li Hong sudah menatap wajah laki-laki itu dengan mata basah. Kini ia tidak ragu lagi dan ia segera maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tan Kun Tek.
“Ayah, aku adalah Tan Li Hong, puterimu!”
Tan Kun Tek terbelalak, cepat memegang kedua pundak gadis itu, menariknya sehingga bangkit berdiri, dan dia mengamati wajah gadis itu! Kemudian, ia merangkul dan mendekap kepala gadis itu seolah menemukan kembali pusaka yang hilang.
“Li Hong...! Engkau Li Hong anakku...!”
Ketika diculik dahulu, Li Hong yang berusia dua tahun sudah dapat menyebutkan namanya, maka Ban-tok Niocu memakai terus nama itu. “Anakku, mari temui Ibumu...!” Tan Kun Tek menarik tangan Li Hong yang merasa terharu sehingga air mata mengalir turun membasahi kedua pipiya.
“Isteriku, bangunlah dan lihat siapa ini?” seru Tan Kun Tek girang sambil membantu isterinya bangkit duduk.
Nyonya Tan dengan bingung memandang gadis yang kini sudah berlutut di dekatnya.
“Ibu...!” Li Hong berbisik dengan suara tergetar.
“Apa...? Siapa...? Apa artinya ini...?” tanya ibu yang tubuhnya masih amat lemah itu.
“Ia Tan Li Hong, anak kita yang hilang! Ia telah kembali!” seru Tan Kun Tek.
“Ibu, aku Li Hong, Ibu...”
Nyonya Tan menjerit lirih sambil terisak dan dua orang wanita itu saling berpelukan sambil menangis. Setelah puas menangis, Nyonya Tan memegang pundak Li Hong dengan kedua tangannya dan menatap wajah gadis itu melalui genangan air matanya. Wajah cantik yang serupa dengan wajahnya sendiri ketika muda.
“Li Hong, Anakku...!” Ia mendekap lagi dan menangis saking bahagia hatinya.
Sementara itu, Tan Kun Tek berdiri berhadapan dengan Ban-tok Niocu dan sampai lama mereka saling tatap dengan berbagai macam perasaan. Akhirnya Tan Kun Tek yang mulai bicara lirih. “Lili, jadi benar seperti sangkaanku, engkau yang dulu menculik anak kami ketika ia berusia dua tahun! Dan sekarang engkau membawa ia ke sini, bahkan menolong kami suami isteri lolos dari penjara. Sebetulnya, apa artinya semua itu?”
“Panjang ceritanya, Tek-ko. Sekarang yang terpenting, mengobati luka-luka yang engkau dan isterimu derita, dan harus cepat melarikan diri dari sini karena pasukan pemerintah pasti akan terus mencari dan memburumu.” Ia berhenti sejenak lalu menyambung, “Tidak ada tempat yang cukup aman bagi kalian berdua kecuali di pulauku. Li Hong, mari cepat kita bawa ayah ibumu ke Coa-to.”
Mereka lalu melakukan perjalanan cepat meninggalkan tempat itu. Nyonya Tan digendong Tan Kun Tek dan Li Hong secara bergantian. Berita tentang lolosnya Tan Kun Tek dan isterinya yang dibebaskan oleh 'dua orang yang menyamar sebagai perajurit' itu terdengar oleh Panglima Besar Kim Bayan. Tentu saja dia marah bukan main. Dia memaki para perwira habis-habisan, lalu dia mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran dan pencarian.
Akan tetapi karena tidak ada yang tahu siapa dua orang yang menyamar sebagai perajurit itu, pencarian dilakukan secara ngawur sehingga empat orang yang melarikan diri itu dapat tiba di tepi teluk Po-hai tanpa halangan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan sebuah perahu yang memang telah disediakan anak buah Pulau Ular yang setiap hari berada di pantai untuk menjemput majikannya.
Selama dalam perjalanan itu, Gak Li atau Ban-tok Niocu dengan terus terang menceritakan sebab yang membuat ia melakukan penculikan atas diri Li Hong. Setelah Tan Kun Tek memutus cinta dan menikah dengan gadis lain, ia mendendam akan tetapi ketika malam itu ia datang, ia dihalangi Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai sehingga mereka bertanding dan ia menderita luka pada pipinya. Karena cacat mukanya membuat ia semakin merasa sakit hati maka ia lalu menculik Li Hong dan membawa anak itu ke Pulau Ular.
“Agar engkau merasakan bagaimana sakitnya ditinggal orang yang kau sayang, Tek-ko,” katanya.
Dan selanjutnya ia menceritakan sampai perbuatannya membebaskan Tan Kun Tek dan isterinya dari tempat tahanan di markas pasukan Mongol itu. Tan Kun Tek merasa terharu mendengar betapa bekas kekasihnya itu menderita karena dia memutus cinta. Juga Nyonya Tan yang mendengar cerita itu merasa terharu.
“Harap maafkan suamiku yang telah menyebabkan engkau menderita, Enci Gak Li. Dan maafkan aku yang tanpa kusadari telah memisahkan engkau dari laki-laki yang kaucinta,” kata Nyonya Tan yang telah mendapat obat dari Ban-tok Niocu sehingga tubuhnya tidak begitu lemah lagi.
“Akulah yang bersalah dan tidak tahu diri. Aku yang sepatutnya minta maaf,” kata Ban-tok Niocu dengan suara sedih.
Suami isteri itu merasa senang mendengar bahwa puteri mereka yang merupakan anak tunggal itu selain dapat ditemukan kembali, juga telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Mereka berdua merasa terheran-heran dan kagum ketika tiba di Pulau Ular yang keadaannya demikian aneh, banyak rahasia sehingga amat sukar bagi orang luar untuk dapat masuk, dan amat kagum ketika diajak masuk ke dalam rumah induk tempat tinggal Gak Li yang indah seperti istana atau gedung bangsawan tinggi itu.
“Nah, kalian boleh tinggal di sini bersama anak kalian Li Hong, dan di sini pasti tidak akan ada yang dapat mengganggu kalian,” kata Ban-tok Niocu kepada suami isteri yang masih terheran-heran itu.
“Tapi... kami tidak ingin mengganggumu, Enci Gak Li! Kami tidak ingin menjadi beban...” kata Nyonya Tan.
“Tidak, Ibu!” kata Li Hong serius. “Subo tak pernah berbohong dan apa yang diucapkannya selalu jujur! Subo tidak akan pernah merasa terganggu atau dibebani. Ayah dan Ibu dapat hidup di sini bersama aku dan Subo. Di sini Ayah dan Ibu akan aman dari jangkauan panglima keparat itu!”
“Anak kalian benar, Tek-ko. Kalian sama sekali tidak mengganggu dan aku menawarkan dengan hati tulus,” kata Ban-tok Niocu.
“Akan tetapi, Lili! Mengapa... mengapa engkau begini baik kepada kami setelah aku... aku pernah menyakiti hatimu?”
Ban-tok Niocu tersenyum lalu berkata dengan tegas. “Aku telah bersalah kepada kalian, telah menculik Li Hong dari kalian. Biarlah kalian sekarang memberi kesempatan kepadaku untuk menembus kesalahanku itu.”
“Tidak, Enci Gak Li! Kalau benar engkau bersalah, hal itu sebagai balas dendam dan kesalahan itu telah kau tebus berkali-kali! Pertama, suamiku yang menyakiti hatimu memutus cinta dan menikah dengan aku. Karena sakit hati engkau menculik Li Hong. Akan tetapi engkau memelihara dan mendidik anak kami dengan baik. Hal itu sudah merupakan tebusan dan kami berterima kasih kepadamu. Kemudian engkau malah membolehkan Li Hong kembali kepada kami. Itu kebaikanmu yang kedua. Setelah itu, engkau malah menyelamatkan kami dengan taruhan keselamatanmu sendiri, ini merupakan budi kebaikanmu ketiga dan masih ada lagi, kebaikanmu ditambah kebaikan budi keempat yaitu membolehkan kami mencari keamanan dan hidup di pulau mu. Kami benar-benar merasa malu sekali karena budimu yang bertumpuk-tumpuk. Kalau penculikanmu itu merupakan kesalahan, maka kesalahanmu sudah tertebus secara berlebihan. Sebaliknya kesalahan suamiku yang membuat engkau patah hati bahkan kemudian menanggung derita karena mukamu cacat, sama sekali suamiku tidak akan mampu membalasnya. Karena itu, Enci Gak Li... aku rela... biarlah sekarang suamiku menebus kesalahannya, hidup berdua di sini denganmu, menyambung lagi tali kasih yang dulu diputus suamiku... dan aku, biarlah aku hidup dengan puteriku, jauh dari sini...” Nyonya Tan menangis lirih tanpa suara, hanya air matanya saja yang menetes¬netes turun dari kedua matanya.
“Ibu...!” Li Hong merangkul ibunya.
Ban-tok Niocu tersenyum dan ia memandang bekas kekasihnya yang duduk sambil menundukkan mukanya. Diam-diam ia merasa bahwa sampai sekarang, cintanya terhadap laki-laki ini tidak pernah berkurang, walaupun kalau ia ingat akan penderitaannya selama duapuluh tahun ini, membuat hatinya sakit...