40: PERLAWANAN PANGLIMA KERAJAAN SUNG
SELURUH pasukan Mongol sudah mengenal kakek itu dan mereka memandang dengan takut karena maklum bahwa kakek itu selain lihai ilmu silatnya dan pandai menggunakan sihir, juga kabarnya kejam sekali terhadap siapa saja yang membuatnya tidak senang.
Setelah melayani dan menemani gurunya makan minum sampai puas dan agak mabok, Cui-beng Kui-ong mengajak muridnya bicara empat mata dalam kamar rahasia agar jangan sampai ada yang mendengar pembicaraan mereka. Panglima Kim membawa gurunya ke dalam kamar rahasia dan mereka duduk berhadapan.
“Perkara penting apakah yang hendak Suhu sampaikan kepada saya? Agaknya merupakan rahasia besar.”
“Memang ada urusan yang amat penting,” kata kakek kurus bongkok yang tampaknya seperti orang berpenyakitan dan lemah itu setelah minum lagi secawan arak. “Aku mencari seorang murid Siauw-lim-pai yang bernama Liu Bok Eng dan kabarnya tinggal di Nan-king. Tahukah engkau siapa orang itu?”
“Liu Bok Eng di Nan-king? Ya, saya tahu siapa dia walaupun tidak mengenal dekat. Kabarnya dia murid Siauw-lim-pai yang lihai, ilmu silatnya tinggi. Akan tetapi ada urusan apa dengannya maka Suhu mencarinya?”
“Aku mempunyai dugaan kuat bahwa Liu Bok Eng itulah yang menyimpan peta harta karun Kerajaan Sung yang dulu dikumpulkan oleh seorang Thaikam (Pembesar Kebiri). Harta karun yang tak ternilai harganya, berikut beberapa buah pusaka Kerajaan Sung.”
Panglima Kim Bayan menatap wajah gurunya dengan hati tegang dan ingin sekali dia mengetahui lebih banyak. “Suhu, bagaimana harta karun Kerajaan Sung disembunyikan dan petanya berada di tangan Liu Bok Eng?”
“Dengarkan cerita yang kudapat dari orang yang bisa dipercaya, akan tetapi ingat, yang mengetahui hal ini hanya aku dan engkau harus merahasiakannya.”
Setelah Panglima Kim Baya mengangguk, kakek itu bercerita. Ketika terjadi perang antara pasukan Mongol yang menyerang pasukan Sung dan Kerajaan Sung sudah hampir jatuh, terdapat seorang Pembesar Kebiri kepercayaan Kaisar Sung, yaitu Thaikam Bong yang selain pandai menjilat kaisar, juga merupakan seorang koruptor besar. Dia berhasil mengumpulkan harta kekayaan Kerajaan Sung karena ketika kerajaan itu sudah di ambang kehancuran, Kaisar Sung mempercayakan Thaikam Bong untuk menyembunyikan harta karun istana berikut beberapa benda pusaka.
Thaikam Bong mempergunakan kesempatan itu untuk mengangkut semua harta itu ke suatu tempat tersembunyi, menyembunyikannya kemudian dia membunuh semua orang yang membantu dia mengangkut dan menyembunyikan harta itu. Kemudian dia membuat gambar peta tempat penyimpanan harta karun yang dirahasiakan itu. Tiada orang lain kecuali Thaikam Bong yang tahu di mana tersimpannya harta karun itu walaupun banyak yang mengetahui bahwa Thaikam Bong diserahi tugas menyelamatkan harta Kerajaan Sung yang hampir jatuh.
“Nah, demikianlah riwayat harta karun itu. Ketika pasukan kita sudah mendekati kota raja, seorang panglima yang membawa pasukannya menyerbu Thaikam Bong yang memang tidak disukai oleh kebanyakan pejabat karena ia dianggap seorang yang menjilat dan membuat Kaisar Sung menjadi lemah. Thaikam Bong terbunuh, rumahnya dibakar dan semua hartanya yang berada dalam gedung dirampas oleh pasukan. Sejak itu, peta tempat persembunyian harta karun itu lenyap. Kemudian aku mendapatkan keterangan bahwa yang memimpin pasukan yang menyerbu rumah Thaikam Bong dan yang membunuh orang kebiri itu bukan lain adalah Liu Bok Eng! Nah, mudah ditarik kesimpulannya, bukan? Pasti peta harta karun yang hilang itu berada di tangannya karena dia yang memimpin penyerbuan. Besar sekali kemungkinannya bahwa sebelum membunuh Thaikam Bong, dia merampas peta itu!” Cui-beng Kui-ong mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Panglima Kim Bayan.
“Wah, cerita yang menarik sekali, Suhu! Saya pun yakin bahwa peta harta karun itu pasti berada di tangan Liu Bok Eng. Kebetulan sekali. Saya memang sedang menyelidiki dan mengawasi para tokoh partai persilatan besar, terutama sekali Siauw-lim-pai. Karena Liu Bok Eng itu seorang tokoh Siauw-lim-pai, apalagi baru saja Suhu menceritakan bahwa dia bekas panglima Kerajaan Sung, maka kita dapat menggertak dan memaksanya untuk menyerahkan peta itu!”
“Bagus! Kalau begitu, mari kita pergi ke rumah Liu Bok Eng di Nan-king dan kita minta agar dia mau menyerahkan peta itu. Kalau dia menolak, kita paksa dia!”
“Nanti dulu, Suhu. Bukan saya tidak berani memaksanya, akan tetapi kalau kita menggunakan cara itu, tentu akan menimbulkan heboh dan rahasia peta harta karun itu akan diketahui orang banyak.”
“Hemm kalau begitu bagaimana kita harus bertindak?”
“Sebaiknya kita menggunakan cara yang lebih halus agar perkara ini tidak sampai terdengar orang luar. Kita pergi berkunjung ke rumah Jaksa Ciang. Dia adalah seorang sahabat yang akan mematuhi semua perintah saya. Melalui Jaksa Ciang kita panggil Liu Bok Eng dan isterinya. Nah, di rumah itu kita dapat memaksa suami isteri itu menyerahkan peta dan tidak akan ada orang mengetahui sehingga rahasia itu dapat terjaga rapat.”
Cui-beng Kui-ong mengangguk-angguk senang dan mereka berdua lalu berangkat ke Nan-king yang tidak berapa jauh 1etaknya dan langsung mengunjungi rumah Jaksa Ciang.
Jaksa Ciang menyambut kunjungan Panglima Kim dengan hormat, apalagi ketika dia mendengar bahwa kakek kurus bongkok itu adalah guru Panglima Kim Bayan yang dia kagumi dan juga takuti. Dua orang tamu agung itu menginap semalam di situ dan Panglima Kim menyuruh Jaksa Ciang untuk memanggi1 Liu Bok Eng dan isterinya.
********************
Ketika Liu Bok Eng dan Nyonya Liu tiba di kantor kejaksaan, Jaksa Ciang sendiri yang menerima mereka. Kemudian Jaksa Ciang membawa mereka ke dalam rumahnya dan memasuki sebuah ruangan luas yang letaknya di bagian belakang rumahnya.
“Panglima Besar Kim dan gurunya ingin bicara dengan kalian, maka kalian masuk dan bicara dengan mereka,” kata Jaksa Ciang.
Dia sendiri tidak berani masuk mengganggu pembicaraan antara Panglima Kim dan Liu Bok Eng karena dia sudah dipesan agar tidak ada orang lain mendengarkan pembicaraan mereka. Jaksa Ciang mengenal betul siapa Panglima Kim, maka tentu saja dia tidak berani melanggar larangan itu, karena melanggar berarti mati!
Liu Bok Eng dan isterinya menanti Jaksa Ciang mengetuk daun pintu. Setelah daun pintu dibuka, yang muncul adalah Panglima Kim Bayan sendiri. Jaksa Ciang menjura dan berkata dengan hormat.
“Kim Thai-ciangkun, Liu-enghiong (Pendekar Liu) dan Nyonya Liu telah datang memenuhi undangan Thai-ciangkun!”
“Baik, Liu-enghiong dan Nyonya Liu, silakan masuk!” kata Kim Bayan yang memberi isyarat kepada Jaksa Ciang agar meninggalkan tempat itu.
Setelah Jaksa Ciang pergi, Panglima Kim menutup rapat daun pintu dan mengajak suami isteri itu duduk menghadapi sebuah meja. Di seberang meja telah duduk kakek bongkok Cui-beng Kui-ong yang memegang sebatang tongkat hitam yang ujungnya runcing.
“Silakan duduk!” kata Kim Thai-ciangkun sambil duduk di dekat gurunya, berhadapan dengan suami isteri yang duduk di depannya. Melihat Kim Bayan dan kakek kurus itu tidak menyambut dengan salam, maka Liu Bok Eng dan isterinya juga tidak memberi hormat, melainkan duduk saja dengan sikap tenang.
Setelah mengamati wajah suami isteri itu beberapa saat lamanya, Panglima Kim lalu berkata dengan suaranya yang berat, namun dia yang biasanya bicara dengan suara nyaring itu kini menahan suaranya sehingga terdengar lirih.
“Liu Bok Eng dan Nyonya Liu, perkenalkan, aku adalah Panglima Besar Kim Bayan, komandan semua pasukan di propinsi ini. Adapun ini adalah guruku, Suhu Cui-beng Kui-ong dari kota raja.”
Liu Bok Eng dan isterinya mengangguk sebagai tanda penghormatan karena mereka diperkenalkan, lalu dia bertanya dengan sikap tenang.
“Melalui Jaksa Ciang, Kim-ciangkun memanggil kami suami isteri ke sini, sebetulnya ada urusan penting apakah yang akan Ciang-kun bicarakan?”
Menghadapi sikap pendekar yang demikian tenang dan gagah, hati Kim Bayan merasa agak segan juga. Orang seperti ini pasti memiliki kegagahan dan merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi karena di situ terdapat gurunya, pula karena hatinya sudah amat tertarik dan bersemangat mendengar akan adanya harta karun tak ternilai harganya, dia menekan rasa segannya dan berkata dengan mata mencorong penuh wibawa.
“Hemm, benarkah engkau tidak tahu mengapa kami panggil, ataukah hanya pura-pura tidak tahu?”
“Kami benar tidak tahu, Ciang-kun. Seingat kami, belum pernah ada persoalan di antara Ciang-kun dan kami. Tentu saja kami merasa heran dan tidak mengerti.”
“Liu Bok Eng, engkau adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, bukan?”
“Benar, saya murid Siauw-lim-pai!” jawab pendekar itu tegas.
“Dan engkau dulu adalah seorang panglima Kerajaan Sung?”
“Benar!” Liu Bok Eng memang tidak pernah menyangkal bahwa dia bekas panglima Kerajaan Sung walaupun kini telah mengundurkan diri setelah kerajaan itu jatuh.
“Nah, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai dan bekas panglima Kerajaan Sung, tentu mengerti apa kesalahanmu terhadap pemerintah Kerajaan Goan!” Kini suara Kim Bayan terdengar mengancam.
Liu Bok Eng mengerutkan alisnya dan berkata, “Ciang-kun, Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan dengan pemerintah, dan biarpun sebagai panglima Kerajaan Sung dahulu saya pernah berperang melawan pasukan Mongol, akan tetapi hal itu terjadi di waktu perang. Sekarang saya bukan panglima Kerajaan Sung lagi dan tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap pemerintah Kerajaan Goan.”
“Hemm, Liu Bok Eng, pandai engkau bicara! Apa kaukira aku tidak tahu akan keadaanmu? Biarpun mukamu manis, namun hatimu diam-diam membenci pemerintah kami! Buktinya, semua penawaran pemerintah padamu untuk memegang jabatan membantu pemerintah, kau tolak! Dan kami tahu bahwa Siauw-lim-pai bersikap tidak bersahabat dengan para pejabat pemerintah kami. Dua hal itu saja sudah cukup untuk menangkap dan menghukummu sebagai pemberontak!”
Diam-diam Liu Bok Eng marah mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa Panglima Kim hanya mengada-ada agar dapat mencelakakannya. Biarpun dia tahu bahwa dia dan isterinya terancam bahaya, Liu Bok Eng masih bersikap tenang ketika dia menjawab.
“Kalau ada tuduhan bahwa saya memberontak, hal itu hanya fitnah belaka. Akan tetapi Ciang-kun adalah seorang panglima yang berkuasa, tentu berhak mengambil keputusan untuk menyalahkan atau membenarkan orang tanpa melihat bukti. Silakan kalau Ciang-kun hendak menangkap saya, akan tetapi harap membiarkan isteri saya pulang karena ia bukan murid Siauw-lim-pai dan juga bukan seorang bekas perwira Kerajaan Sung!”
“Hemm, tidak bisa! Bagaimanapun juga, ia adalah isterimu ia tentu mengetahui pula akan semua rahasiamu. Kalian berdua akan kami tahan dan periksa dengan teliti. Kalau dalam pemeriksaan itu tidak ada bukti bahwa engkau menentang pemerintah kami, barulah kalian berdua bebas dari tuduhan!”
Liu Bok Eng maklum bahwa kalau dia dan isterinya ditangkap, tidak dapat diharapkan akan dibebaskan. Jelas bahwa Panglima Kim Bayan ini sengaja hendak menangkap dia dan isterinya karena dendam kepada bekas panglima Kerajaan Sung dan karena dia murid Siauw-lim-pai yang mungkin sedang dia curigai. Akan tetapi hati pendekar ini masih penasaran kalau isterinya ikut ditahan.
“Silakan kalau Ciang-kun hendak menahan dan memeriksa saya. Akan tetapi demi keadilan, jangan menahan isteri saya!”
Panglima Kim hendak membantah, akan tetapi pada saat itu, seperti yang sudah mereka atur dan rencanakan, Cui-beng Kui-ong mengangkat tangan ke atas dan berkata, “Ciang-kun, tidak perlu bersikap keras. Sekarang tidak ada lagi permusuhan antara pemerintah dan Kerajaan Sung yang sudah hancur. Maka, daripada bermusuhan lebih baik bersahabat. Kalau Liu Bok Eng mau menyerahkan peta harta milik Kerajaan Sung itu kepada kita, kita sudahi saja urusan ini dan biar suami isteri ini pulang dengan aman.”
Panglima Kim berkata kepada Liu Bok Eng. “Nah, engkau mendengar sendiri ucapan Suhu tadi. Kami dapat memaafkanmu dan tidak akan menuntut kalau engkau mau mengembalikan peta harta milik Kerajaan Goan kami.”
Kini tahulah Liu Bok Eng apa yang tersembunyi di balik penahanan dirinya dan isterinya. Hal yang sudah dia khawatirkan terjadi. Entah bagaimana, agaknya guru dan murid itu telah mengetahui tentang harta karun yang disembunyikan mendiang Thaikam Bong yang berada di tangannya!
Liu Bok Eng menjawab. “Ciang-kun, bagaimana mungkin ada harta karun Kerajaan Goan yang datang dari luar Tiongkok? Saya tidak tahu tentang harta karun Kerajaan Goan!”
Kini Cui-beng Kui-ong yang bicara. “Orang she Liu, tidak perlu engkau berbohong! Kami tahu bahwa engkau yang memimpin pasukan menyerbu rumah Thaikam Bong dan membunuhnya. Pasti engkau yang merampas peta harta karun itu dari tangannya. Lebih baik serahkan saja peta itu kepada kami karena engkau tidak mempunyai pilihan lain!”
Liu Bok Eng masih berkeras membantah. “Mendiang Thaikam Bong adalah seorang pembesar Kerajaan Sung, bagaimana mungkin dia menyimpan peta harta karun Kerajaan Goan? Ini mustahil!”
“Liu Bok Eng!” Panglima Kim membentak marah. “Harta karun itu dahulunya memang milik Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan mendiang Thaikam Bong. Akan tetapi sebagai seorang bekas panglima engkau tentu mengetahui peraturan perang, yaitu semua harta milik pihak yang kalah menjadi hak milik pihak yang menang. Maka, harta pusaka itu yang berasal dari Kerajaan Sung yang kalah, harus menjadi hak milik pemerintah Kerajaan Goan! Kalau engkau masih berkeras tidak mau menyerahkan peta itu kepada kami, berarti engkau hendak memberontak dan engkau dan isterimu, juga anakmu termasuk semua pembantumu akan dihukum mati!"
Nyonya Liu yang sejak tadi diam saja mendengarkan, tidak kuat menahan rasa penasaran di hatinya. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata, suaranya tetap lembut namun mengandung serangan tajam. “Kim-ciangkun! Saya seringkali mendengar didengang-dengungkan bahwa pemerintah Kerajaan Goan adalah pemerintahan yang adil terhadap rakyat, tidak seperti pemerintah yang telah lalu. Akan tetapi Ciang-kun hendak bertindak sewenang-wenang terhadap kami yang tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya bersumpah bahwa peta yang Ciang-kun cari itu tidak ada pada suami saya! Ciang-kun hendak memaksa dan mengancam membasmi seluruh keluarga kami. Di mana adanya keadilan yang didengang-dengungkan itu?”
Wajah Kim Bayan menjadi merah mendengar ucapan dengan suara lembut yang terisi teguran keras itu. Dia membentak kepada Liu Bok Eng. “Orang she Liu! Apakah engkau tidak dapat mengajarkan kesopanan kepada isterimu? Hayo sekarang jawab, mau tidak engkau menyerahkan peta harta karun itu kepada kami?”
Liu Bok Eng adalah seorang memiliki banyak pengalaman dan dia bukan orang bodoh. Dia tahu benar bahwa kalau dia menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, tidak urung dia dan isterinya tidak akan dibiarkan hidup karena sudah tahu akan rahasia peta harta karun. Pula, di lubuk hatinya dia tidak rela kalau harta karun itu terjatuh ke tangan orang Mongol. Maka dengan tegas dia menjawab.
“Peta itu tidak berada pada saya, bagaimana dapat saya berikan?”
“Hemm, engkau memilih ditangkap dan dijatuhi hukuman?”
“Terserah!”
Panglima Kim Bayan lalu berteriak ke arah pintu. “Perwira pengawal, kerahkan pasukan untuk menangkap suami isteri ini!”
Daun pintu terbuka dan belasan orang perajurit yang dipimpin seorang perwira pendek gendut memasuki ruangan itu dan mengepung Liu Bok Eng dan isterinya yang masih duduk, sedangkan Kim Bayan dan Cui-beng Kui-ong sudah menjauhkan diri.
Melihat diri mereka dikepung, suami isteri itu bangkit berdiri. Sikap Nyonya Liu mengagumkan karena ia berdiri dengan mata bersinar penuh keberanian. Setelah memandang kepada Panglima Kim dan menerima isyarat dengan anggukan kepala, perwira itu berseru,
“Tangkap dua orang ini!” Dia menudingkan telunjuknya ke arah suami isteri itu.
Seorang perajurit seolah segerombolan srigala kelaparan hendak memperebutkan domba mendengar perintah ini. Bagaikan berlomba mereka menubruk ke arah Nyonya Liu, ingin lebih dulu dapat meringkus dan merangkul wanita yang masih tampak cantik menarik itu!
Akan tetapi, kejutan yang tidak enak didapatkan empat orang perajurit yang bergerak paling depan. Nyonya Liu menyambut mereka dengan tamparan dan tendangan. Mereka berteriak mengaduh dan terpelanting roboh dengan kepala pening tertampar atau dada sesak tertendang!
Melihat ini, enam orang perajurit menerjang nyonya itu, sekarang lebih berhati-hati dan mereka bukan terdorong keinginan untuk merangkul dan meringkus wanita cantik itu, melainkan merobohkan dan menangkap! Nyonya Liu melawan dengan gerakan gesit.
“Kalian pengecut-pengecut tak tahu malu!” Liu Bok Eng membentak marah melihat isterinya dikeroyok. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, belasan orang perajurit, dipimpin perwira gendut pendek itu, telah menyerangnya!
Liu Bok Eng dan isterinya mengamuk. Tentu saja delapanbelas orang perajurit dan seorang perwira itu bukan apa-apa bagi Liu Bok Eng yang lihai bukan main. Bahkan isterinya, yang tidak setinggi dia ilmu silatnya, juga bukan merupakan makanan lunak bagi para perajurit yang mengeroyoknya. Akan tetapi suami isteri itu masih membatasi tenaga mereka sehingga mereka hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa membunuhnya.
Melihat betapa suami isteri itu melakukan perlawanan, Kim Bayan menjadi marah sekali. Dia memberi isyarat kepada Cui-beng Kui-ong dan mereka berdua maju. Panglima Kim Bayan menghampiri Nyonya Liu sedangkan Cui-beng Kui-ong menghampiri Liu Bok Eng.
Nyonya Liu yang mengamuk telah terkena sabetan golok sehingga pangkal lengan kanannya terluka. Karena ini gerakannya agak melemah, namun ia masih mengamuk dengan hebat bagaikan seekor harimau betina!
Tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari samping. Ia berusaha mengelak akan tetapi serangan golok yang menyambar itu dahsyat sekali karena yang menyerangnya adalah Panglima Kim Bayan sendiri! Ujung golok Panglima Kim menyambar leher nyonya itu sehingga terluka parah. Darah menyembur dan tubuh Nyonya Liu roboh dan ia tewas seketika!
Melihat isterinya roboh mandi darah, Liu Bok Eng mengeluarkan teriakan melengking seperti seekor singa marah. Tubuhnya menyambar ke kanan kiri dan setiap kali kaki atau tangannya menendang dan menampar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh dan tewas!
Sekali ini dia tidak membatasi tenaganya. Kemarahan dan sakit hati melihat isterinya terkapar tewas membuat pendekar ini mengamuk. Dia berhasil merampas sebatang golok lalu menerjang dengan hebat. Dia merasa seolah bertempur dalam sebuah peperangan! Para pengeroyoknya adalah tentara Mongol dan dia masih menjadi seorang Panglima Kerajaan Sung!
Dalam waktu singkat, belasan orang perajurit roboh tewas. Mayat mereka berserakan malang melintang dan ruangan itu banjir darah! Akan tetapi, dari luar masuk lagi belasan orang perajurit bantuan dan kembali Liu Bok Eng dikepung dan dikeroyok banyak orang...