42: LOLOSNYA PUTERI TUNGGAL PANGLIMA SUNG
Ceng Ceng duduk termenung depan makam, menunggu sampai api yang membara di ujung hio-swa membakar habis dupa lidi itu. Barulah ia berlutut lagi depan makam mohon diri pamit kepada ayah ibunya. Akan tetapi begitu ia bangkit berdiri, terdengar gerakan banyak orang. Ia cepat memutar tubuhnya dan melihat sedikitnya enam belas orang perajurit mengepungnya, dipimpin seorang berpakaian panglima gemerlapan, gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar.
Melihat para pengepung itu bersikap galak, Ceng Ceng tetap tenang saja dan ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya agak tegang menduga bahwa mereka itu tentu ada hubungannya dengan kematian kedua orang tuanya. Ia memandang panglima tinggi besar itu dengan sinar mata tajam menyelidik.
“Nona, engkaukah puteri Liu Bok Eng yang bernama Liu Ceng Ceng?” tanya panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Kim Bayan dengan suara keren.
Memang dia yang memerintahkan agar selalu ada perajurit yang diam-diam mengawasi kuburan itu dan melaporkan kepadanya kalau puteri pendekar datang bersembahyang di situ. Tadi, begitu memasuki tanah kuburan, Ceng Ceng sudah tampak dan para pengamat itu segera memberitahu Kim Bayan yang cepat datang membawa enambelas orang perajurit. Dia merasa girang sekali karena dia yakin bahwa peta harta karun yang dicarinya itu pasti oleh mendiang Liu Bok Eng diberikan kepada puterinya ini.
Mendengar pertanyaan itu, Ceng Ceng menjawab tenang. “Benar, aku adalah Liu Ceng Ceng, puteri mendiang ayah bundaku yang dibunuh tanpa alasan. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian karena aku yakin kalian pasti mengetahui siapa pembunuh ayah bundaku.”
“Ha-ha-ha,” Panglima Kim Bayan tertawa dan memandang remeh gadis yang tampaknya lembut itu. “Benar, kami tidak menyangkal bahwa kami yang membunuh Liu Bok Eng dan isterinya.”
Kim Bayan sudah siap menghadapi kalau gadis itu menjadi marah dan hendak membalas dendam kematian orang tuanya. Dia tidak akan membunuh gadis ini, melainkan akan menangkapnya. Sayang gadis secantik dewi itu dibunuh, pula, dia yakin gadis ini yang membawa peta harta karun. Akan tetapi dia merasa heran melihat gadis itu sama sekali tidak tampak marah dan tidak ada tanda-tanda akan menyerangnya walaupun mendengar pengakuannya yang jujur.
“Hemm, kalau engkau yang membunuh Ayah Ibuku, Ciang-kun, aku ingin tahu, siapakah engkau dan apa alasanmu membunuh Ayah Ibuku?”
Kim Bayan tersenyum, senang melihat sikap yang demikian tenang dari gadis cantik itu, yang sama sekali tidak kelihatan marah. “Aku adalah Panglima Kim Bayan yang mengepalai seluruh pasukan di daerah selatan ini. Alasanku membunuh Liu Bok Eng dan isterinya adalah jelas dan harap engkau tidak merasa penasaran. Pertama, Liu Bok Eng adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai dan juga seorang bekas panglima perang Kerajaan Sung yang telah jatuh. Dua hal itu saja sudah cukup untuk menangkap Liu Bok Eng. Kami masih dapat memaafkannya kalau dia mau bekerja sama membantu pemerintah kami. Akan tetapi ketika dia dan isterinya kami panggil ke kantor kejaksaan, dia bukan saja menolak, bahkan bersama isterinya mengamuk dan membunuh duapuluh orang lebih perajurit kami. Terpaksa kami membunuh mereka. Nona, apakah engkau mendendam kepadaku dan hendak menuntut balas?”
Ceng Ceng menggeleng kepala. “Tidak, biarlah karma buruk yang akan menimpa dirimu kelak sebagai balasan kejahatanmu, datang melalui orang lain. Sekarang biarkan aku pergi, harap jangan mengepung aku.”
“Eeiit, nanti dulu, Nona Liu Ceng Ceng,” Kim Bayan lalu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur menjauhinya. Setelah para perajurit menjauh, Panglima Kim Bayan berkata lirih.
“Nona Liu Ceng Ceng, sebetulnya menurut hukumnya, kami harus menangkap engkau juga sebagai puteri orang yang dituduh pemberontak. Akan tetapi aku tidak tega untuk mengganggu seorang gadis muda seperti engkau yang ternyata amat bijaksana dan tidak mendendam karena kematian orang tuamu. Karena itu, kami memaafkanmu dengan satu syarat ringan saja.”
“Hemm, syarat apa?”
“Ringan saja, engkau tentu menyimpan peta harta karun yang dulu disembunyikan Ayahmu.”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Ayahnya telah menyerahkan peta itu kepadanya dengan pesan agar peta itu tidak terjatuh ke tangan pemerintah Mongol, dan ia harus mencari harta karun itu untuk disumbangkan kepada para patriot bangsa yang berjuang untuk menentang penjajah Mongol. Kewajibannya adalah menjaga peta itu dan mempertahankannya dengan taruhan nyawa!
“Peta harta karun milik siapakah itu yang engkau maksudkan?”
“Peta harta karun peninggalan Thaikam Bong dari Kerajaan Sung. Ayahmu meninggalkannya kepadamu, bukan? Nah, serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan bebas.”
“Kalau harta karun itu peninggalan Kerajaan Sung, mengapa engkau memintanya? Engkau tidak berhak!”
“Hemm, Nona yang baik, sebagai puteri bekas panglima engkau tentu pernah mendengar aturan ini, yaitu semua milik kerajaan yang kalah perang menjadi hak milik kerajaan yang memenangkan perang itu. Nah, Kerajaan Sung kalah dan sudah jatuh oleh Kerajaan Goan yang menang, maka semua harta peninggalannya, termasuk harta karun itu, menjadi hak milik Kerajaan Goan (Mongol). Sebagai panglima besar Mongol aku berhak memiliki peta itu. Hayo cepat serahkan peta itu kepadaku kalau engkau ingin terbebas dari tuntutan dan hukuman.”
“Ciang-kun, pada saat ini, peta tidak berada di tanganku,” kata Ceng Ceng tegas.
Sejak kecil ia mendapat pendidikan ayah ibunya, di antaranya agar ia tidak bicara bohong. Kini ia bicara dengan suara tegas karena ia sama sekali tidak berbohong. Peta itu memang ada padanya, akan tetapi saat itu memang tidak berada di tangannya!
Panglima Kim Bayan menatap wajah gadis itu penuh perhatian. Melihat sikap gadis itu yang demikian tenang dan ketika bicara suaranya juga tegas, dia percaya dan menduga bahwa tentu gadis itu sebelumnya telah menyembunyikan peta itu di suatu tempat. Gadis setenang ini pasti memiliki hati yang teguh. Kalau dia memaksanya, sedikit sekali kemungkinannya ia akan mengaku di mana peta itu atau menyerahkannya kepadanya.
Tiba-tiba timbul gagasan yang dianggapnya amat baik dan menguntungkan. Memaksa dan membunuh gadis ini sekalipun tidak ada untungnya. Lebih baik dia membujuknya agar Ceng Ceng mau menjadi selirnya. Kim Bayan bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi kalau dia dapat mengambil Ceng Ceng menjadi selir, ada dua keuntungan baginya. Pertama, gadis ini memang cantik jelita dan tentu akan menyenangkan kalau dapat menjadi selirnya, kedua, kalau gadis ini sudah menjadi isterinya, tentu peta harta karun itu akan diberikan kepadanya!
“Nona Liu Ceng Ceng, sebetulnya menurut peraturan pemerintah, sebagai puteri pemberontak, aku harus menangkap atau bahkan membunuhmu. Akan tetapi aku merasa kasihan kepadamu melihat engkau hidup sebatang kara. Maka, marilah engkau ikut aku dan tinggal di rumahku sebagai isteriku. Engkau akan hidup bahagia, aman dan dihormati.”
Ceng Ceng mengerutkan keningnya. “Tidak, Kim-ciangkun, aku tidak mau menjadi isterimu. Sudahlah, tidak ada perlunya kita bicara lagi. Aku pergi!”
“Hemm, Liu Ceng Ceng, engkau tidak tahu diri, tidak mengenal budi kebaikan orang. Engkau menolak untuk menjadi keluargaku, berarti engkau menentangku! Dan menentang aku sama dengan memberontak!” Kim Bayan lalu memberi isyarat kepada pasukannya dan mereka segera berlarian datang mengepung Ceng Ceng.
“Tangkap gadis ini, jangan dibunuh!” perintahnya.
Para perajurit segera berebutan hendak meringkus gadis cantik itu. Akan tetapi begitu gadis itu bergerak, mereka semua terkejut karena gadis itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih berkelebatan cepat bukan main. Semua terkaman mereka luput, bahkan begitu Ceng Ceng menggerakkan kaki tangannya, beberapa orang perajurit terpelanting roboh.
Melihat ini, Panglima Kim Bayan terkejut juga. Tak disangkanya gadis yang tampaknya demikian lemah lembut itu dapat bergerak sedemikian cepatnya. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi. Dia sendiri lalu terjun dan menggerakkan tangan yang membentuk cakar untuk mencengkeram pundak Ceng Ceng, sambil membentak nyaring. Panglima ini selain lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu gulat. Kalau cengkeramannya itu mengenai pundak Ceng Ceng, jangan harap gadis itu akan mampu lolos.
“Haaiiiihhh...!” Ceng Ceng berseru dan tubuhnya berkelebat ke depan mengelak sambil merobohkan dua orang perajurit di depannya, lalu cepat memutar tubuh menghadapi Kim Bayan yang tadi menyerang dari belakang namun luput. Panglima Kim yang penasaran kini menubruk gadis itu bagaikan seekor biruang menubruk kambing. Dengan tubuh lentur sekali dan gerakan luar biasa cepatnya, Ceng Ceng mengelak ke kiri dan kaki kanannya mencuat, menendang ke arah perut Panglima Kim!
Panglima itu terkejut, tidak menyangka bahwa serangannya yang dahsyat tadi pun bukan saja dapat dielakkan, melainkan gadis itu bahkan menyambut dengan tendangan yang cukup kuat!
“Plakk!” Tangannya menangkis sambil berusaha untuk menangkap pergelangan kaki gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu mencelat ke atas dan dengan tubuh diputar kakinya yang kiri menyambar ke arah kepala Kim Bayan.
Panglima itu berseru kaget karena hampir saja mukanya kena disambar kaki Ceng Ceng. Dia membuang diri ke belakang dan terhindar dari tendangan yang dilakukan dengan tubuh di udara dan tubuh berputar itu, akan tetapi dia terhuyung ke belakang. Wajah panglima itu menjadi merah karena malu dan marah.
“Pergunakan senjata! Kalau perlu kita lukai gadis ini akan tetapi jangan dibunuh!” teriaknya kepada para perajurit.
Kini hasrat untuk mempersunting gadis itu lenyap dari pikiran Panglima Kim. Yang ada hanya keinginan mendapatkan peta dan kalau dia sudah berhasil meringkus Ceng Ceng, terluka atau tidak, dia akan menggunakan paksaan, kalau perlu dengan penyiksaan!
Karena sudah merasa jerih terhadap gadis itu, para perajurit begitu mendengar perintah komandan mereka, segera mencabut golok dan mengepung Ceng Ceng dengan wajah buas. Ceng Ceng maklum akan bahaya yang mengancam. Untuk melarikan diri, tidak ada kesempatan karena selain banyak perajurit mengepungnya, juga Panglima Kim yang lihai itu sudah mencabut goloknya yang besar dan berat. Cepat ia melompat dan menyambar sebatang kayu ranting sebesar lengannya dan menggunakan ranting itu sebagai senjata untuk membela diri.
Kini para perajurit mulai menyerang dengan golok mereka. Ceng Ceng menyambut dengan ranting di tangannya. Gadis itu berkelebatan dan selain menangkis dan mengelak dari hujan senjata lawan, ia pun membalas dan setiap kali rantingnya berkelebat, tentu ada seorang pengeroyok terpelanting jatuh. Akan tetapi ia tidak mau membunuh dan yang dirobohkan itu hanya menderita luka yang tidak berbahaya.
Melihat ketangguhan Ceng Ceng, Kim Bayan ikut pula menyerang dan gerakan golok panglima itu dahsyat sekali sehingga Ceng Ceng harus mengeluarkan semua kecepatan dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Andaikata tidak dikeroyok, kiranya Ceng Cerg mampu mengimbangi Panglima Kim Bayan. Akan tetapi karena dikeroyok banyak perajurit, ia pun mulai kerepotan.
Andaikata para pengeroyok itu bermaksud membunuhnya, kiranya Ceng Ceng tidak akan dapat bertahan lama. Akan tetapi para perajurit itu, juga Panglima Kim Bayan sendiri, menjaga serangan mereka agar jangan sampai membunuh gadis itu dan inilah yang memungkinkan Ceng Ceng untuk dapat bertahan. Namun gadis ini maklum bahwa tidak ada jalan baginya untuk melarikan diri dan kalau pertempuran itu dilanjutkan, akhirnya ia akan terluka dan tertawan juga. Pada saat yang gawat bagi Ceng Ceng yang sudah terdesak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tak tahu malu! Laki-laki pengecut mengandalkan jumlah banyak mengeroyok seorang gadis!”
Tampak bayangan berkelebat dan seorang pemuda yang tampan sekali telah menerjang memasuki kepungan. Hebat sekali gerakan pemuda itu. Dia memegang sebatang pedang dan ketika dia bergerak, sinar hijau menyambar-nyambar dan sebentar saja empat orang perajurit pengeroyok sudah roboh dan tewas!
Pemuda berpedang hijau itu segera menyerang Panglima Kim Bayan dan gerakan pedangnya mendatangkan angin yang kuat. Kim Bayan terkejut bukan main. Dia mengerahkan tenaga dan menggunakan goloknya untuk menangkis pedang sinar hijau itu.
“Tranggg...!” Bunga api berpijar dan berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan Kim Bayan merasa betapa tangannya yang memegang gagang golok tergetar hebat! Dia terkejut bukan main karena maklum bahwa tingkat kepandaian pemuda yang baru datang ini tidak kalah lihainya dibandingkan tingkat kepandaian Ceng Ceng! Dia memutar goloknya dan berseru memberi aba-aba.
“Bunuh pemuda ini!” Setelah memberi aba-aba, Panglima Kim kembali menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Dia membacokkan goloknya sambung-menyambung dan bertubi-tubi, akan tetapi pemuda itu selalu dapat menangkis dengan pedangnya yang bersinar hijau.
Sementara itu, Ceng Ceng yang kini hanya menghadapi pengeroyokan para perajurit, dapat membela diri dengan baik, bahkan merobohkan beberapa orang dengan totokan rantingnya. Setelah menangkis serangan golok Panglima Kim beberapa kali, pemuda itu membalas dengan serangan yang dahsyat. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar hijau menerjang bagaikan gelombang ke arah Panglima Kim.
Panglima Mongol ini memutar golok menangkis dan berseru minta bantuan anak buahnya. Empat orang perajurit menyerang pemuda itu dari belakang membantu komandan mereka. Akan tetapi pemuda itu mengeluarkan teriakan melengking, pedangnya menyambar-nyambar dan empat orang perajurit itu roboh mandi darah dan tewas seketika!
Melihat ini, Panglima Kim Bayan terbelalak dan merasa gentar juga. Biarpun dia mampu menandingi pemuda itu, namun dia pasti berada dalam bahaya karena pemuda itu sungguh tangguh dan gerakan pedangnya selain dahsyat juga liar dan aneh. Dia berseru lagi dan lebih banyak perajurit mengeroyok pemuda itu.
Ternyata pasukan pembantu datang ke tanah kuburan itu dan jumlah mereka semua tidak kurang dari limapuluh orang! Pemuda mengamuk sambil mencari Panglima Kim Bayan, akan tetapi panglima itu telah lenyap karena melihat kehebatan pemuda itu dan ketangguhan Ceng Ceng, diam-diam dia telah melarikan diri!
Ceng Ceng yang dikeroyok banyak perajurit, seperti biasa ia tidak mau membunuh, hanya merobohkan mereka dengan totokan ranting, tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Ketika ia melihat betapa pemuda yang menolongnya itu mengamuk bagaikan seekor naga, membunuh banyak perajurit, ia merasa ngeri. Dengan gin-kangnya yang tinggi ia meloncat dan keluar dari kepungan, mendekati pemuda yang sedang mengamuk lalu berkata,
“Sobat, tidak perlu membunuh banyak orang. Mari kita pergi sebelum lebih banyak perajurit datang!”
Pemuda itu agaknya maklum bahwa kalau makin banyak perajurit datang, ratusan orang mungkin ribuan, dia sendiri tentu akan celaka. Tidak mungkin mereka berdua melawan ribuan orang perajurit yang mengeroyok.
“Baik, kita pergi!” katanya dan dia lalu mengamuk untuk membuka jalan. Terjangannya demikian hebat sehingga para perajurit mundur ketakutan karena siapa yang berani maju tentu roboh. Pemuda itu melihat bayangan Ceng Ceng berkelebat ringan dan cepat bukan main. Dia kagum dan melompat lalu mengejar.
Ceng Ceng sudah berlari meninggalkan tanah kuburan dengan cepat sekali. Pemuda itu mengejar dan mengerahkan gin-kangnya untuk menyusul. Akan tetapi alangkah heran dan kagumnya ketika melihat kenyataan bahwa biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tetap saja gadis berpakaian putih itu selalu berada di depannya dalam jarak sekitar lima tombak dan tak pernah lebih dekat! Tahulah dia bahwa dalam hal gin-kang gadis itu benar-benar istimewa dan dia tidak mampu menandinginya!
Setelah mereka tiba jauh dari kota Nan-king, barulah Ceng Ceng berhenti dalam sebuah hutan. Ia berhenti dan membalikkan tubuhnya, tersenyum menyambut pemuda penolongnya. Pemuda itu pun berhenti di depan Ceng Ceng. Sejenak mereka saling berpandangan dan Ceng Ceng tersenyum manis. Lalu ia merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.
Setelah mengamati wajah dan gerak-gerik pemuda tampan itu, tahulah Ceng Ceng bahwa ia berhadapan dengan seorang gadis yang menyamar pria. Akan tetapi ia tidak mau membuka rahasia orang. Biarlah gadis itu sendiri yang mengaku. Siapa tahu gadis itu memiliki rahasia pribadi mengapa ia menyamar sebagai seorang pemuda.
“Sobat, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau engkau tidak keburu datang membantu, agaknya mustahil bagiku untuk dapat meloloskan diri dari pengepungan mereka.”
Dugaan Ceng Ceng memang tepat. Pemuda itu adalah seorang gadis yang menyamar. Ia adalah Tan Li Hong yang kita ketahui telah meninggalkan Coa-to (Pulau Ular) untuk pergi merantau untuk menentang Kim Bayan yang telah menangkap ayah ibunya dan yang agaknya memusuhi partai-partai persilatan besar yang dianggap sebagai kekuatan yang menentang pemerintah Kerajaan Mongol.
Juga ia ingin membalaskan sakit hati ayah bundanya yang hampir tewas ketika berada dalam tahanan karena disiksa. Tadinya secara kebetulan ia melihat gadis yang dikepung pasukan di tanah kuburan itu dan ia mengintai, mendengarkan percakapan mereka. Ia sudah marah sekali ketika mengetahui bahwa Panglima Mongol itu adalah Kim Bayan, orang yang menyiksa ayah ibunya, yang ia anggap sebagai musuh besarnya.
Akan tetapi ia merasa kecewa sekali mendengar betapa gadis itu, yang orang tuanya dibunuh Kim Bayan, tidak ingin membalas dendam. Walaupun akhirnya ia membantu setelah melihat Ceng Ceng terdesak dalam kepungan, namun ia pun merasa tidak senang melihat sikap Ceng Ceng yang dianggapnya lemah.
Tadi ketika mengintai, ia tidak mendengar jelas siapa gadis yang dikepung pasukan Mongol itu. Ia merasa semakin penasaran ketika melihat bahwa gadis itu cukup lihai dan melihat pula betapa gadis itu tidak mau membunuh para pengeroyoknya, hanya merobohkan mereka tanpa membunuh atau melukai berat, seperti yang ia lakukan. Kini, setelah berhadapan, ia tidak tahan untuk tidak melampiaskan rasa penasarannya.
“Huh, tidak perlu merendahkan diri. Kulihat engkau memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan gin-kangmu hebat. Sayang seorang gadis selihai engkau ternyata hanya seorang pengecut dan seorang anak put-hauw (tidak berbakti)!”
Li Hong berkata demikian sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ceng Ceng dan matanya yang jernih itu mengeluarkan sinar mencorong marah....