44: PENCURIAN HARTA PEJABAT KORUP
Setelah Cun Giok berhenti bergerak dan berdiri di pekarangan, di balik sebatang pohon dan mengintai ke arah gedung, barulah orang itu tahu akan kehadiran Cun Giok dan dia merasa terkejut dan heran menyaksikan gerakan Cun Giok yang demikian cepatnya.
Setelah merasa yakin bahwa di atas atap gedung itu tidak ada penjaganya, juga pekarangan samping itu ke gedung tidak tampak penjaga, Cun Giok berhenti sebentar dan menunggu. Dua orang petugas jaga datang meronda sambil membawa lentera, lewat di dekat gedung. Begitu mereka sudah memutari gedung, Cun Giok cepat berkelebat mendekati gedung dan tak lama kemudian dia sudah berada di atas atap!
Orang yang tadi melihatnya, tetap berada di tempat persembunyiannya dan mengintai. Orang ini bukan lain adalah Tan Li Hong, gadis perkasa murid Ban-tok Niocu yang menyamar sebagai seorang pemuda. Seperti yang biasa ia lakukan apabila sedang melakukan perjalanan merantau dan kehabisan uang bekal, ia tentu mengambil uang dari rumah para hartawan. Akan tetapi, ia agak berubah.
Kalau dulu ia mencuri uang dari siapa saja, sekarang ia mulai pilih-pilih. Sebelum melakukan pencurian ia menyelidiki lebih dulu karena ia sekarang hanya mau mencuri uang dari hartawan atau bangsawan yang jahat.
Ada hartawan yang jahat, yaitu hartawan yang pelit dan kerjanya hanya menumpuk kekayaan tanpa mempedulikan caranya, kalau perlu dengan menyogok pejabat untuk dapat bekerja sama, atau memeras tenaga rakyat yang membanting tulang untuk bekerja ikut memutar roda perusahaan si kaya itu tanpa mempedulikan penghasilan pekerja itu yang selalu kekurangan. Ada bangsawan yang jahat, yaitu bangsawan yang korup dan mengandalkan kedudukannya untuk menindas siapa saja yang tidak taat kepadanya, dan memaksakan kehendaknya. Nah, dua macam orang inilah yang sekarang ia curi sebagian hartanya.
Ketika tiba di Cin-yang, ia pun menyelidiki dan mendengar akan kejahatan Pembesar Kui Hok, malam itu ia pun datang ke situ dengan niat untuk mencuri uang. Akan tetapi melihat pemuda yang baru tiba itu, ia terkejut dan tidak berani sembarangan bertindak. Ia tidak tahu siapa pemuda yang memiliki gin-kang amat tinggi itu. Kalau pemuda itu ternyata bekerja untuk Pembesar Kui Hok, maka ia akan menghadapi lawan tangguh dan jika ia dikeroyok, ia akan berada dalam bahaya.
Kalau hanya untuk mendapatkan sambungan uang bekalnya yang sudah habis, tidak perlu ia harus mempertaruhkan nyawa. Maka, ia menunggu dan tetap bersembunyi di balik semak-semak, sambil mengikuti gerak gerik pemuda yang kini sudah berada di atas atap itu.
Setelah berada di atas atap, Cun Giok mulai mengamati dari atas, kemudian melompat turun dan tiba di sebuah taman kecil yang berada di ruangan terbuka sebelah dalam. Indah sekali taman ini, walaupun hanya kecil namun teratur rapi, ada kolam kecil dengan bunga teratai dan ikan emas. Keadaan dalam gedung besar itu sunyi dan agaknya tidak terdapat penjaga di sebelah dalam dan semua penghuninya telah tidur.
Setelah memilih kamar terbesar, Cun Giok membongkar jendela kamar itu tanpa menimbulkan suara dia melompat masuk. Sebuah lampu meja kecil bernyala dan sinarnya yang remang-remang membuat Cun Giok dapat memeriksa isi kamar yang cukup luas itu. Di balik kelambu tampak bayangan dua orang gadis remaja sedang tidur nyenyak. Setelah merasa yakin dua orang gadis remaja itu tidur pulas, Cun Giok mulai mencari-cari, akan tetapi tidak menemukan uang yang dicarinya.
Memang ada beberapa buah perhiasan emas di atas meja rias, akan tetapi dia tidak suka mengambilnya. Perhiasan itu pasti milik dua orang gadis remaja itu dan kalau dia mengambil, tentu dua orang itu akan merasa kecewa dan berduka. Dia tidak tega melakukan ini, apalagi perhiasan harus dijual dulu sebelum dapat dia pergunakan untuk biaya perjalanan.
Melihat seorang wanita setengah tua yang tidur melingkar di sudut, dia dapat menduga dari pakaian wanita itu bahwa ia tentu seorang pelayan yang melayani dua orang gadis itu. Cepat dia menghampiri dan menotok jalan darah wanita itu yang membuat ia terbangun akan tetapi tidak mampu bersuara atau bergerak. Tubuhnya lemas dan kaki tangannya seperti lumpuh. Ia terbelalak memandang pemuda yang telah berdiri di dekatnya itu.
"Jangan takut,.." Cun Giok berbisik dekat telinganya. "Aku tidak akan mengganggumu, akan tetapi tunjukkan di mana kamar tidur Pembesar Kui!" Setelah berkata demikian, Cun Giok membuka totokannya sambil mendekap mulut wanita itu agar jangan berteriak. Setelah totokan itu dibuka, dengan ketakutan pelayan itu bicara dengan suara berbisik pula.
"Kamar Tuan Besar berada... di sebelah kiri... daun pintu dan jendelanya dicat merah..."
Tiba-tiba wanita itu berhenti bicara karena ia sudah ditotok kembali oleh Cun Giok yang cepat keluar dari kamar itu. Setelah mencari sebentar dia menemukan kamar yang lebih besar lagi dengan daun pintu dan jendela bercat merah. Dia membuka jendela dan melompat masuk, menutupkan kembali daun jendela dan memeriksa keadaan dalam kamar.
Dilihatnya seorang laki-laki berusia limapuluh tahun bertubuh tinggi kurus sedang tidur mendengkur. Di ranjang kedua tampak dua orang wanita juga tidur pulas. Tentu dua orang itu selir-selir pembesar itu, pikir Cun Giok. Akan tetapi dia tidak mempedulikan mereka dan melihat sebuah almari di sudut, dia segera menghampiri dan membongkar pintu almari.
Dia tertegun melihat kantung-kantung berisi uang emas dan perak memenuhi almari! Bukan main! Tentu pejabat ini amat kaya raya dan jelas semua uang ini tidak didapatkannya dari gajinya sebagai pejabat. Dia bukan pedagang, dari mana bisa mendapatkan keuntungan yang begini besar?
Cun Giok mengambil sebuah kantong emas, cepat keluar dari kamar itu. Dari taman kecil dalam gedung itu dia melompat ke atas atap. Akan tetapi karena tergesa-gesa dan keadaan di situ agak gelap, Cun Giok menyenggol sebuah pot bunga sehingga bagian atas pot itu terjatuh menimbulkan suara yang cukup berisik. Dari atas atap, Cun Giok melompat turun ke pekarangan dari mana dia tadi naik dan baru saja kakinya menyentuh tanah, terdengar bentakan-bentakan banyak orang.
"Tangkap penjahat!!"
Ternyata ketika dia menyenggol pot bunga tadi telah menarik perhatian Kui Con, putera Pembesar Kui Hok. Kui Con, pemuda berusia duapuluh satu tahun yang juga memiliki ilmu silat lumayan, segera berlari keluar dari kamarnya dan memberi perintah kepada semua perajurit untuk melakukan pengejaran. Dia dapat menduga bahwa penjahat yang memasuki gedung ayahnya itu tentu turun ke pekarangan samping, tempat yang paling baik bagi orang yang hendak melarikan diri.
Maka begitu Cun Giok melompat turun, Kui Con dan duabelas orang perajurit itu mengepung dan mengeroyoknya tanpa banyak cakap lagi. Mereka menggunakan golok untuk menyerang Cun Giok. Pemuda ini terkejut karena tidak mengira akan diketahui orang dan dikeroyok, akan tetapi dia tidak merasa gentar. Dengan mengandalkan gin-kang yang istimewa, dia dapat mengelak dan menghindarkan diri dari semua serangan.
Dia mengambil keputusan untuk meloloskan dan melarikan diri mengandalkan ilmunya meringankan tubuh. Akan tetapi sebelum dia melompat untuk melarikan diri, tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat begitu orang itu mencabut dan menggerakkan pedangnya, tampak sinar hijau bergulung-gulung dan teriakan-teriakan kesakitan. Dalam segebrakan saja dua orang pengeroyok telah roboh mandi darah!
Melihat ada seorang pemuda membantunya dan pemuda itu ternyata amat ganas, Cun Giok terkejut. Apalagi ketika ada tiga orang pengeroyok roboh lagi dan dia tahu bahwa mereka yang roboh itu terluka parah dan kemungkinan besar tewas.
"Jangan bunuh orang!" teriaknya dan dia pun cepat menggunakan gin-kang melompat jauh keluar dari kepungan dan melarikan diri keluar dari pagar tembok gedung itu.
Pemuda itu tentu saja Tan Li Hong adanya. Dia merasa heran mengapa orang yang ditolongnya malah melarang dia membunuh para pengeroyok dan orang itu lalu melarikan diri dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Tentu saja dia merasa penasaran, apalagi ketika ia melihat tangan Cun Giok membawa sekantung kain merah yang tampaknya berat.
Dari pengalamannya Li Hong dapat menduga bahwa kantung itu tentu berisi uang emas. Ia sendiri mengunjungi gedung Pembesar Kui Hok untuk mencuri uang dan kini ternyata ada orang yang mendahuluinya! Karena merasa penasaran, ia pun melompat dan mengejar pemuda yang melarikan diri keluar dari pagar tembok gedung itu.
Terjadilah kejar-kejaran di bawah sinar bulan dan kalau ada orang melihat mereka, tentu akan merasa heran dan mungkin ketakutan mengira bahwa yang berkelebatan itu adalah hantu-hantu yang berkeliaran di waktu malam terang bulan. Gerakan mereka amat cepatnya sehingga yang tampak hanya bayangan berkelebat.
Cun Giok maklum bahwa pemuda yang menolongnya tadi melakukan pengejaran, maka dia sengaja memperlambat larinya dan menjaga jarak agar dia tidak meninggalkan pengejarnya itu. Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun pemuda itu telah membantunya tadi, maka sudah sepatutnya kalau dia berkenalan dengannya.
Setelah jauh meninggalkan kota Cin-yang dan tiba di sebuah lapangan terbuka yang cukup terang oleh sinar bulan, Cun Giok berhenti berlari dan menghadapi pengejarnya itu. Li Hong yang melakukan pengejaran menjadi semakin penasaran. Tadi ia telah mengerahkan seluruh tenaganya menggunakan ilmu berlari cepat untuk mengejar, namun tetap saja ia tertinggal di belakang dalam jarak yang tidak pernah berubah, tidak semakin dekat atau semakin jauh!
Wataknya yang keras dan tidak mau kalah itu membuat ia penasaran dan akhirnya ia marah sekali melihat orang yang dikejarnya itu berhenti dan berdiri menghadapinya seolah mengejeknya karena pemuda itu tersenyum!
Setelah mereka saling berhadapan, keduanya saling pandang dan Cun Giok merasa kagum melihat betapa pemuda yang membantunya itu masih amat muda, tampaknya masih remaja dan wajahnya tampan sekali. Akan tetapi pemuda itu telah memiliki ilmu pedang yang demikian lihainya, hanya yang membuat dia penasaran adalah melihat betapa tadi pemuda itu memainkan pedangnya yang bersinar hijau demikian ganasnya.
Tanpa memberi ampun, pedangnya telah merobohkan dan menewaskan banyak orang, padahal pemuda itu tidak terlibat permusuhan langsung dengan para pengeroyok dan hanya membantunya. Seorang pemuda yang masih muda, amat tampan dan lihai sekali, akan tetapi juga ganas bukan main.
Cun Giok mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata dengan ramah. "Tobat yang baik, terima kasih, engkau telah membantu aku menyelamatkan diri dari kepungan para perajurit tadi." Dia memandang dan bertemu dengan sepasang mata yang mencorong seperti bintang. "Kalau boleh aku mengetahui, siapakah engkau dan di mana tempat tinggalmu?"
Wajah yang tampan itu tampak tak senang, alisnya berkerut dan mulut itu cemberut. "Kalau engkau merasa sudah kubantu, sepatutnya engkau yang lebih dulu memperkenalkan nama!" katanya ketus.
Cun Giok tersenyum. Pemuda ini selain ganas, juga galak bukan main. Akan tetapi perbuatannya menolong tadi berlawanan dengan sikapnya yang galak. "Baiklah, sobat. Namaku Pouw Cun Giok, seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, ayah ibuku telah tiada, hidup sebatang kara, guruku yang juga kakek guruku adalah Pak-kong Lojin, bertapa di Ta-pie-san. Nah, sudah lengkap, bukan? Sekarang bagaimana dengan engkau?"
Li Hong tetap cemberut. "Belum lengkap, engkau belum mengatakan pekerjaanmu. Akan tetapi aku sudah tahu. Kantung itu pasti berisi emas yang kau curi dari rumah Pembesar Kui tadi. Engkau seorang pencuri!"
Cun Giok tersenyum lagi dan menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan pencuri walaupun tadi aku memang benar mencuri sedikit harta Pembesar Kui."
"Hemm, tidak malu! Bilang bukan pencuri akan tetapi mengaku mencuri!"
"Aku tidak berbohong, sobat. Seorang pencuri adalah orang yang pekerjaannya mencuri. Aku bukan pencuri karena pekerjaanku bukan mencuri. Kalau aku mengambil harta pembesar yang korup, hal itu kulakukan hanya kalau aku kehabisan bekal dan sisa harta itu kubagikan kepada mereka yang miskin."
"Hemm... sama..." Li Hong hendak mengatakan bahwa Cun Giok sama dengan ia yang juga melakukan hal serupa.
"Sama apa, sobat?"
"Sama saja! Engkau mencuri maka cepat serahkan kantung itu kepadaku!"
"Ah? Mengapa harus diserahkan kepadamu? Apakah engkau masih kerabat atau anak buah Pembesar Kui?"
"Ngawur! Siapa sudi menjadi kerabat pembesar korup jahat macam dia? Pendeknya, berikan kantung itu kepadaku atau aku akan menggunakan kekerasan mengambilnya darimu!"
"Nah, kalau begitu, jika kau sebut aku pencuri, maka engkau adalah perampok! Lebih jahat lagi karena pencuri mengambil milik orang dengan sembunyi, sebaliknya perampok mengambil milik orang dengan kekerasan! Akan tetapi karena maling dan perampok masih sekeluarga, baiklah kita bagi uang ini secara kekeluargaan. Engkau akan kuberi setengah dan yang setengahnya untuk aku. Adil, bukan?"
"Tidak adil!" kata Li Hong dengan sikap menantang. "Kita bertanding, kalau engkau dapat menangkan aku, biarlah aku menerima bagian setengahnya dari isi kantung itu. Akan tetapi kalau engkau kalah, engkau harus menyerahkannya semua kepadaku. Itu baru adil!"
Cun Giok mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya tersenyum geli. Pemuda remaja ini masih seperti seorang anak-anak yang nakal dan licik. Mau enaknya sendiri saja. Akan tetapi rasanya percuma berdebatan dengan pemuda remaja nakal ini, maka dia mengangguk.
"Baiklah kalau engkau menghendaki begitu. Mari kita saling uji ilmu silat kita," kata Cun Giok dengan tenang dan dia lalu melepaskan buntalan pakaiannya dan kantung uang itu, diletakkannya di bawah rumpun yang tumbuh di padang rumput itu. Dia lalu menghadapi Li Hong dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.
Sikap ramah ini disalah-artikan oleh Li Hong. Ia menganggap pemuda itu menantang dan memandang rendah padanya, senyumnya dianggap mentertawakannya! Maka dengan gerakan sigap dan marah, ia menanggalkan pula buntalan pakaiannya dari punggung, lalu menghadapi Cun Giok.
"Nah, aku sudah siap, mulai dan seranglah!" ia membentak.
Cun Giok menggelengkan kepalanya. "Tidak, engkau yang menantang, maka engkaulah yang mulai."
"Rambut ini, haiiiitttt...!"
Li Hong menerjang dengan serangan dahsyat. Ia menggunakan jurus Tok-liong-ta-bu (Naga Beracun Menerobos Kabut), tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah muka Cun Giok dan ini merupakan gerakan pancingan karena serangan intinya merupakan pukulan ke arah ulu hati lawan! Serangan ini dahsyat karena dilakukan dengan pengerahan sin-kang. Agaknya Li Hong ingin memperoleh kemenangan dengan cepat maka begitu menyerang ia menggunakan jurus yang berbahaya.
Akan tetapi ia terkejut sekali ketika tiba-tiba lawannya lenyap dari depannya sehingga serangan pertamanya itu gagal sama sekali. Dengan cepat ia memutar tubuhnya karena mendengar ada gerakan di belakangnya. Ketika memutar tubuh, Li Hong menggunakan jurus Tok-liong-pai-bwe (Naga Beracun Sabetkan Ekor). Tubuh yang membalik itu didahului kaki kanan mencuat dan menendang ke arah perut lawan, disusul dua tangan membentuk cakar yang siap untuk menyusulkan serangan.
Akan tetapi kembali Cun Giok mengelak dengan kecepatan yang membuat tubuhnya seolah menghilang. Li Hong semakin penasaran dan ia terus menyerang dengan ilmu silat Hek-tok Tong-sim-ciang (Tangan Racun Hitam Getarkan Jantung). Kedua tangannya menyambar-nyambar dan mengeluarkan bunyi berciutan dan ada semacam uap hitam mengepul di sekitar kedua tangannya.
Cun Giok berseru kaget karena dia mengenal ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Dia maklum bahwa sekali terkena pukulan seperti itu, dia akan menderita luka beracun parah. Maka dia cepat menambah gin-kangnya dan bersilat Ngo-heng-kun yang memiliki gerakan berubah-ubah dan karena ginkangnya tinggi maka gerakannya cepat sekali, sesuai dengan julukannya Si Tanpa Bayangan!
Karena jauh menang dalam hal kecepatan gerakan, maka Cun Giok dapat menghindarkan semua serangan lawan dengan baik, dan setelah lewat belasan jurus, dia menepuk punggung Li Hong lalu melompat menjauhi lawan.
"Sobat, kita hanya menguji ilmu silat, mengapa engkau begini tega menyerang untuk membunuh aku?" Cun Giok menegur.
Wajah Li Hong berubah merah. Bagaimanapun iuga, ia harus mengaku kalah, karena kalau pemuda itu tadi berniat buruk, tentu punggungnya bukan sekedar ditepuk, melainkan ditotok atau bahkan dipukul yang dapat mengakibatkan kematian. Perasaan malu karena jelas ia dikalahkan itu akhirnya membuat ia marah.
"Srattt!" Pedang bersinar hijau dicabutnya dan sambil melintangkan pedang di depan dada ia berkata. "Pouw Cun Giok! Aku memang kalah bertanding tangan kosong denganmu, akan tetapi coba, apakah engkau mampu menandingi pedangku!"
"Sobat, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa kita harus bertanding, apalagi menggunakan senjata? Apakah engkau ingin membunuhku? Kalau benar engkau begitu membenciku dan ingin membunuhku, jelaskan dulu mengapa engkau demikian membenciku. Apa kesalahanku kepadamu?"
"Siapa membencimu? Siapa ingin membunuhmu? Kita bertanding untuk menentukan siapa menang siapa kalah, siapa berhak memiliki kantung uang itu!"
"Sudahlah, biar aku mengaku kalah!" kata Cun Giok karena tentu saja dia tidak ingin melayani pemuda yang aneh dan liar ini, apalagi pemuda itu tadi sudah menolongnya.
"Walau engkau mengaku kalah, engkau harus menyerahkan semua uang dalam kantung itu sesuai perjanjian!"
Cun Giok mendongkol juga. Pemuda remaja ini sungguh keterlaluan, berwatak nakal dan licik sekali, ataukah memang tidak tahu malu? Sudah jelas dia mengalah, akan tetapi dia tidak tahu diri dan hendak minta semua uang dalam kantung yang tadi diambilnya dari kamar Pembesar Kui! Dia sendiri sungguh kehabisan bekal dan dia malas untuk mencuri lagi karena sesungguhnya kalau tidak terpaksa, dia pun malu kepada diri sendiri harus mencuri, sungguhpun yang diambilnya itu uang pejabat yang korup.
"Sobat yang baik, marilah kita bersahabat dan berbaikan. Biar kita bagi dua uang ini sebagai tanda persahabatan kita."
"Ah, mana bisa begitu? Kalau aku menerima setengahnya, berarti aku kalah darimu sesuai dengan perjanjian tadi. Padahal aku belum kalah, buktinya engkau tidak berani melayani aku bertanding pedang! Kalau engkau mengaku kalah, harus kauberikan semua uang itu!"
Cun Giok merasa semakin penasaran dan mendongkol. Anak ini perlu diberi pelajaran, pikirnya, agar tidak berwatak congkak, sombong, keras dan liar seperti itu. Dia lalu menghunus pedangnya perlahan-lahan sambil menghela napas dan berkata, "Baiklah, kalau itu yang kau kehendaki. Mari kita bermain-main pedang sebentar."
Li Hong memang memiliki watak yang sukar untuk mengalah. Ia kasar, keras dan ugal-ugalan, akan tetapi sesungguhnya sama sekali tidak sombong. Ia hanya ingin menonjol dan diakui kehebatannya, sukar untuk menerima kekalahan karena memang nyatanya jarang ia mengalami kekalahan dalam perkelahian. Melihat Cun Giok mencabut pedang yang bersinar emas berkilauan itu, ia tak mampu menahan diri dan berseru kagum.
"Pokiam (pedang pusaka) yang hebat...!"
Cun Giok berkata, "Pedangmu juga hebat, sayang mengandung racun yang ganas!"
"Hemm, ingin kulihat apakah pedang sinar emas di tanganmu mampu menandingi pedangku!" kata Li Hong lalu disambutnya dengan bentakan nyaring, "Sambut pedangku, syaaaaattt...!"
Sinar hijau menyambar dan Cun Ciok cepat mengelak. Kembali dia mengandalkan gin-kangnya untuk menghindarkan diri dari serangan Li Hong. Dia memang tidak ingin melukai pemuda itu maka sampai belasan jurus Li Hong menyerangnya, dia hanya mengelak saja dan tidak pernah membalas.
Setelah serangannya yang bertubi-tubi itu tidak pernah berhasil, Li Hong menjadi semakin penasaran dan ia mempercepat gerakan pedangnya sehingga yang tampak hanya sinar hijau bergulung-gulung dan menyambar-nyambar...