45: AKHIR PEMBAGIAN HARTA CURIAN
Saking dahsyatnya Li Hong menyerang, Cun Giok tidak bisa lagi hanya mengandalkan pengelakan karena hal itu lama-lama dapat membahayakan dirinya. Dia tahu bahwa sekali saja terkena sabetan pedang sinar hijau yang beracun itu, dia akan celaka. Mulailah dia menggerakkan pedangnya untuk menangkis.
“Tranggg...!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang pusaka bertemu dan Li Hong merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat. Diam-diam ia terkejut dan harus mengakui bahwa “maling” itu bukanlah maling biasa, melainkan orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ia kalah dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh), juga kalah dalam sin-kang (tenaga sakti). Akan tetapi dasar orang yang tidak pernah mau mengaku kalah, Li Hong bahkan menyerang lebih nekat lagi!
Cun Giok merasa serba salah. Kalau pemuda remaja ini tidak dia kalahkan, dia sendiri yang terancam bahaya. Memang pemuda remaja yang angkuh dan nekat ini perlu diberi pelajaran, akan tetapi dia harus mengakui bahwa tidak mudah mengalahkan pemuda itu tanpa melukainya. Dia mulai mengerahkan ginkangnya lagi, berkelebatan dan berputaran sehingga Li Hong merasa pening.
Li Hong merasa penasaran dan marah. Ia memegang pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dan telah mengerahkan seluruh tenaga dan ilmu pedangnya. Namun ia sama sekali tidak mampu mendesak lawannya. Bahkan setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan yang bersinar keemasan, ia selalu merasa tangannya tergetar hebat.
Tiba-tiba setelah berpusingan di sekeliling tubuh lawan dan membuat pemuda remaja itu pening, Cun Giok mengeluarkan bentakan nyaring melengking diikuti seruan Li Hong karena tiba-tiba pedangnya yang melekat pada pedang lawan terbetot dan sikunya tertotok tangan kiri Cun Giok sehingga mau tidak mau ia terpaksa melepaskan pedangnya yang terampas lawan!
Cun Giok melompat ke belakang dan ketika mereka berdiri berhadapan, Li Hong melihat pemuda lawannya itu memegang pedangnya dengan tangan kiri, akan tetapi baju di bagian dada lawannya itu terobek melintang cukup panjang.
“Maafkan aku, sobat, terpaksa aku merampas pedangmu, akan tetapi aku mengaku kalah karena engkau telah berhasil merobek bajuku. Kalau engkau jahat, tentu kulit dadaku yang terobek. Aku mengaku kalah dan mari, terimalah kantung uang ini karena engkau yang menang.”
Cun Giok melemparkan pedang Ban-tok-kiam dan kantung uang kepada Li Hong yang diterimanya dengan sikap masih tertegun heran. Li Hong tidak merasa telah merobek baju lawan! Akan tetapi karena kenyataannya baju itu robek, maka ia menerima kemenangan yang diakui oleh lawannya itu.
“Huh, aku pun tidak ingin merampok uangmu! Ilmu pedangmu hebat dan aku tidak pernah merasa menang, maka sudah sepatutnya kalau kita bagi saja isi kantung ini seorang separuh. Engkau yang membaginya!” Berkata demikian, Li Hong melemparkan kantung itu kepada Cun Giok dan diterima oleh pemuda itu.
Sementara itu, malam telah bergulir ke menjelang pagi dan matahari yang belum tampak sudah mengirim sinarnya yang mulai mengusir kegelapan malam. Cun Giok setelah menyimpan pedangnya dan menerima kantung uang itu, lalu mengambil tempat duduk di atas sebongkah batu.
“Silakan duduk, sobat, kita membagi uang ini sambil bercakap-cakap,” katanya.
Li Hong tidak menjawab, akan tetapi ia lalu duduk di atas sebuah batu sejauh dua tombak dari Cun Giok. Ia mulai memperhatikan pemuda itu dan diterangi sinar matahari yang kuning keemasan, ia dapat melihat jelas wajah pemuda itu. Ia mengamatinya baik-baik selagi Cun Giok mengeluarkan uang dari kantung dan mulai membagi dua.
Seorang pemuda yang berwajah tampan dan sinar matanya lembut, mulutnya yang selalu mengembangkan senyum itu membuat wajah itu tampak sabar dan penuh pengertian. Sikapnya lembut namun menyembunyikan kegagahan. Pemuda yang usianya sekitar duapuluh dua tahun itu berpakaian sederhana dan tampaknya lembut, namun Li Hong maklum benar betapa lihainya pemuda yang bernama Pouw Cun Giok itu.
Diam-diam ia merasa kagum bukan main, karena selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang sikapnya demikian sederhana, sama sekali tidak menyombongkan kepandaiannya. Selama ini ia hanya melihat pemuda-pemuda yang merasa diri pintar sendiri, gagah sendiri, kaya sendiri. Mereka itu biasanya menyombongkan kepandaiannya atau kegagahannya, atau juga menyombongkan kekayaannya atau kedudukan ayahnya.
Akan tetapi pemuda yang mengaku bernama Pouw Cun Giok ini, yang memiliki tingkat kepandaian di atas tingkatnya sendiri, sama sekali tidak menyombongkan kepandaiannya, bahkan tadi dia sengaja mengalah sampai dua kali. Li Hong menyadari benar bahwa kalau pemuda itu menghendaki, ia pasti akan dapat dikalahkannya, baik dalam adu silat tangan kosong maupun silat pedang.
“Nah, ini bagianmu, sobat,” kata Cun Giok setelah membagi rata uang dalam kantung menjadi dua tumpukan. “Engkau boleh menggunakan kantung ini.” Dia melemparkan kantung kosong itu kepada Li Hong.
Li Hong menerima kantung kosong itu, lalu bangkit berdiri dan menghampiri tumpukan uang di depan Cun Giok. Tanpa bicara ia lalu memasukkan... semua uang itu, yang dua tumpuk itu, ke dalam kantung!
Cun Giok memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi mulutnya tetap tersenyum karena dia menganggap pemuda remaja itu bertindak aneh dan juga lucu. Apalagi maunya sekarang, pikirnya sambil melihat betapa uang itu akhirnya kembali ke dalam kantung. Akhirnya karena ingin sekali tahu apa kehendak pemuda remaja yang aneh itu, Cun Giok bertanya.
“Sobat, mengapa engkau memasukkan semua uang kembali ke dalam kantung? Apakah engkau ingin memiliki semuanya?”
“Tidak! Semua isi kantung ini terlampau banyak bagiku!”
“Kalau begitu, ambil saja separuhnya.”
“Separuh juga masih terlalu banyak bagiku, bahkan sepersepuluh masih terlalu banyak. Aku hanya butuh sedikit untuk bekal perjalanan. Uang sekian banyaknya hanya cocok untuk seorang pemuda yang suka menghambur-hamburkan uang, royal-royalan. Apakah engkau ingin memilikinya semua untuk dihambur-hamburkan mencari kesenangan?”
Cun Giok menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku sama dengan engkau, sobat. Aku hanya butuh sedikit karena uang bekalku habis, aku butuh untuk membeli makan dan untuk membayar penginapan.”
“Hem, kalau begitu, mengapa engkau mengambil uang begini banyak? Jangan mencoba untuk membohongiku!”
“Aku tidak berbohong. Biasanya kalau kehabisan bekal, aku memang mengambil uang dari para pembesar jahat dan korup atau hartawan pemeras yang pelit, agak banyak yang kuambil dan sebagian besar kubagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkannya.”
“Dibagi-bagikan? Bukankah dengan demikian akan ketahuan dan mereka yang menerima bagian dapat dituduh penadah dan dituntut?”
“Tidak, aku membagi-bagikan dengan cara melempar uang ke dalam rumah penduduk miskin di waktu malam sehingga tidak ada yang mengetahuinya, bahkan pemilik rumah juga tidak tahu.”
“Wah, menarik itu! Pouw Cun Giok, mari kita lakukan pembagian uang itu bersama. Ingin aku melihat dan meniru perbuatanmu itu!”
Cun Giok mengerutkan alisnya. “Aku biasa melakukannya di waktu malam.”
“Hemm, apa salahnya dilakukan di waktu siang? Kalau kita melemparkan uang dengan cepat, siapa akan melihatnya? Pula, kalau siang kita tidak akan salah pilih, kita dapat mengetahui jelas keadaan rumah tangga orang itu. Hayolah, kita mulai dari dusun terdepan.”
“Nanti dulu, sobat. Engkau sudah mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapa engkau? Kalau kita mau bekerja sama dan menjadi sahabat, sudah sepatutnya aku mengetahui namamu, bukan?”
“Huh, kukira engkau tidak peduli akan namaku! Engkau mau tahu? Namaku Tan Li Hong, aku juga pemuda perantau seperti engkau. Orang tuaku tinggal jauh dari sini. Nah cukupkah?”
Cun Giok menggelengkan kepalanya. “Belum cukup. Engkau adalah seorang pemuda remaja biarpun kepandaianmu sudah amat tinggi, maka tidak pantas kalau setelah menjadi sahabatku engkau menyebut namaku begitu saja. Aku akan menyebutmu Hong-te (Adik laki-laki Hong) dan sudah sepatutnya pula engkau yang baru belasan tahun ini menyebut aku twako (kakak laki-laki).”
Sebetulnya Cun Giok tidak ingin sekali disebut twako, akan tetapi dia hendak mengajarkan sopan santun kepada pemuda remaja liar ini. Dia merasa sayang bahwa seorang pemuda yang memiliki ilmu silat sedemikian tingginya berwatak liar dan ugal-ugalan, juga tidak tahu sopan santun.
Mendengar ucapan Cun Giok, Li Hong tersenyum dan Cun Giok tertegun. Bukan main tampan dan manisnya pemuda itu kalau tersenyum. Kalau saja pemuda itu lebih banyak tersenyum daripada cemberut dan marah-marah, tentu semua orang akan tertarik dan senang bergaul dengannya.
“Baiklah, Twako. Asalkan engkau setelah kusebut kakak tidak lantas main perintah kepadaku.”
Cun Giok tidak bertanya lebih jauh tentang diri sahabat barunya itu. Orang yang wataknya aneh itu kalau banyak ditanya, mungkin saja akan menjadi curiga dan marah. Mereka lalu berjalan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Li Hong membawa kantung uang itu setelah memasukkan lagi setengah bagian isi kantung ke dalam kantung kembali.
Uang dalam kantung itu mereka bagi-bagikan tanpa yang diberi mengetahui. Mereka menggunakan kepandaian mereka, melempar uang tanpa diketahui orang ke atas meja dalam rumah penduduk yang miskin. Mereka melanjutkan perjalanan dan melakukan hal sama di dusun berikutnya. Akhirnya uang sekantung itu habis dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin di tiga buah dusun.
Biarpun yang diberikan kepada setiap rumah hanya sepotong uang, namun karena uang itu emas, tentu saja bagi penduduk dusun sudah merupakan harta yang cukup besar dan tidak akan habis untuk biaya makan selama beberapa bulan! Yang bijaksana menggunakan 'modal' uang emas itu untuk berdagang apa saja sehingga uang itu dapat mendatangkan keuntungan.
Menarik sekali kalau melihat bermacam-macam sikap dan perbuatan orang-orang yang menerima 'rejeki' ini. Ada orang yang merasa senang pada mulanya akan tetapi lalu merasa menyesal mendengar betapa para tetangganya juga menerima rejeki itu, menyesalkan mengapa semua uang itu tidak diberikan saja semua kepadanya. Yang bersikap begini adalah orang-orang yang angkara murka.
Ada pula orang yang mabok kesenangan mendapatkan uang emas itu dan dia menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dan menghamburkannya sehingga dalam beberapa hari saja uang itu habis karena dia hanya bersenang-senang dan tidak mau bekerja. Ia adalah orang-orang yang malas dan menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri. Akan tetapi mereka yang bijaksana dengan hati-hati dan rajin lalu mempergunakan uang emas itu untuk modal berdagang.
Setelah uang hasil curian itu dibagi-bagikan dan ditinggalkan sedikit sekadar untuk dijadikan bekal perjalanan mereka, Cun Giok dan Li Hong berhenti berjalan dan mengaso di luar sebuah dusun, di tepi sebuah anak sungai. Hari telah sore dan sehari tadi mereka berkeliling ke dalam tiga buah dusun.
Mereka duduk di atas batu-batu di tepi sungai dan mereka membuka bungkusan makanan yang mereka beli di dusun terakhir. Mereka lalu makan roti gandum dan daging kering dan minum air anak sungai itu yang jernih sekali karena air itu bersumber di bukit depan, melewati hutan dan mengalir sampai di situ menjadi anak sungal kecil. Air itu masih jernih dan bersih. Air sungai baru menjadi kotor setelah melewati tempat tinggal manusia karena para penduduk dusun maupun kota selalu membuang segala macam kotoran dan sampah ke dalam sungai.
Setelah makan dan minum, Li Hong merasa nyaman dan segar. Perasaannya juga terasa gembira. Belum pernah ia merasakan kegembiraan seperti saat itu, saat penuh kenangan akan wajah orang-orang yang menemukan uang emas di dalam rumahnya. Wajah-wajah yang bergembira dan bahagia. Baru sekarang ia merasakan betapa kebahagiaan orang lain yang disebabkan perbuatannya membuat ia merasa senang sekali!
“Aih, Pouw-twako (Kakak Pouw), Sungguh menyenangkan sekali melakukan perkerjaan seperti tadi! Ah, aku akan melakukan terus, akan kuhabiskan harta para pembesar korup dan hartawan pemeras dan kubagi-bagikan kepada semua orang melarat agar harta itu dibagi rata, tidak ada lagi yang terlalu kaya dan tidak ada lagi yang miskin!” kata Li Hong dengan suara penuh semangat. “Kalau sudah tidak ada lagi bangsawan dan hartawan yang kaya raya dan harta itu dibagi rata, kehidupan akan menjadi lebih baik.”
Cun Giok tersenyum. “Hong-te, bukan begitu caranya untuk menyejahterakan rakyat kecil yang miskin. Perbuatanmu itu akan mendatangkan kekacauan dan akan ditiru oleh mereka yang memiliki kepandaian. Akan menimbulkan hukum rimba, siapa kuat dia menang dan memiliki segalanya dan akibatnya terjadi pula ketidakadilan yang lebih parah bagi rakyat. Kehidupan ini membutuhkan uang, dan uang harus diusahakan, diputar agar mendatangkan keuntungan. Modal hanya didapat dari si kaya. Akan tetapi modal saja tanpa tenaga kerja juga tidak akan dapat berjalan. Tenaga kerja dimiliki oleh si miskin. Karena itu haruslah ada kerja sama antara si kaya yang bermodal dan si miskin yang menjadi tenaga kerja. Barulah roda perdagangan dapat berjalan, lancar, mendatangkan keuntungan untuk menghidupi seluruh rakyat.”
“Akan tetapi, biasanya si kaya itu memeras tenaga para pekerjanya, Twako. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, melipat gandakan kekayaan mereka dengan memeras keringat para pekerjanya yang miskin.”
“Aku tahu, Hong-te. Aku melihat betapa si kaya memeras tenaga si miskin dan bekerja sama dengan pembesar sehingga kedudukan mereka terlindungi. Akibatnya para pekerja menjadi malas dan tidak jujur. Semestinya, si kaya yang bermodal haruslah membagi keuntungan kepada para pekerjanya sehingga para pekerjanya mendapatkan penghasilan yang layak. Dengan begini, para pekerja itu pasti akan bekerja dengan rajin dan setia karena pekerjaannya itu menjamin mereka sekeluarga hidup layak. Keadaan yang seimbang ini haruslah ditangani dan diatur oleh pemerintah sehingga kedua pihak tidak akan bertindak sewenang-wenang dan keadaan menjadi tertib. Kedua pihak haruslah jujur dan terbuka, tidak saling menipu atau mencari keuntungan diri pribadi.”
“Akan tetapi bagaimana kalau para pembesar masih melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan mereka, mengadakan kerja sama dan melindungi para hartawan sehingga kembali mereka melakukan pemerasan terhadap rakyat jelata?”
“Memang itulah yang menjadi sumber persoalan dan ketidak-adilan. Pemerintah harus memiliki pejabat, dari yang tertinggi sampai yang terendah, yang jujur dan setia sehingga tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Dengan demikian, negara akan menjadi kuat, pemasukan pendapatan juga dapat besar melalui para pedagang dan pengusaha, kehidupan rakyat kecil yang menjadi pekerja dapat terjamin kesejahteraannya. Kalau sudah begitu, rakyat pasti akan hidup tenteram dan menaati semua peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah karena semua aparat pemerintah berwibawa karena kejujuran dan keadilannya.”
“Wah, Pouw-twako, apakah pemerintahan yang didirikan oleh kaum penjajah akan dapat mengatur seperti itu?” tanya Li Hong ragu.
Cun Giok menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak tahu. Akan tetapi kalau mereka mau melakukan itu, bukan hanya rakyat yang sejahtera, juga para pejabat menjadi senang karena ditaati dan dihormati semua warga negara.”
“Wah, sudah hampir gelap lagi, Twako. Di mana kita bermalam nanti malam?”
“Kalau tidak salah, sekitar lima mil dari sini terdapat sebuah kota. Kita dapat mencari rumah penginapan di sana, dan tentu akan dapat membeli makanan yang lebih enak daripada yang kita makan tadi. Mari kita melanjutkan perjalanan.”
Li Hong bangkit berdiri dan kini dara yang menyamar sebagai pemuda ini semakin percaya dan kagum kepada Cun Giok. Dengan mengerahkan ilmu berlari cepat, sebelum gelap mereka telah memasuki sebuah kota kecil yang cukup ramai, walaupun tidak banyak dikunjungi orang luar kota.
Sebuah rumah penginapan merangkap rumah makan berada di pusat kota dan mereka lalu memasuki rumah penginapan itu untuk menyewa kamar. Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan ramah.
“Selamat malam, Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua), apakah Ji-wi hendak menyewa sebuah kamar?”
“Bukan sebuah, melainkan dua buah kamar,” kata Li Hong cepat sebelum Cun Giok menjawab.
Cun Giok merasa heran, akan tetapi karena Li Hong memang berwatak aneh, dia pun diam saja, khawatir sahabat baru itu menjadi marah.
“Dua buah kamar? Baik, silakan Ji-wi mengikuti saya.”
Pelayan itu mengajak mereka masuk dan ternyata hanya ada beberapa orang tamu saja di rumah penginapan itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan setelah pelayan meninggalkan mereka, baru Cun Giok bertanya kepada sahabat barunya itu.
“Hong-te, kita hanya berdua, menyewa sebuah kamar pun cukup. Mengapa engkau minta dua buah kamar?”
“Aku mempunyai kebiasaan tidur seorang diri, Twako. Kalau ada orang lain dalam kamar tidurku, aku tidak akan dapat tidur pulas semalam suntuk.”
Cun Giok mengangguk dapat mengerti. Tidak terlalu mengherankan kebiasaan ganjil itu bagi seorang pemuda aneh seperti Tan Li Hong. Mereka memasuki kamar masing-masing, mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, keduanya bertemu pula di luar kamar dan Li Hong memberi isyarat dengan jari telunjuk di depan mulut dan tangan yang lain menggapai.
Cun Giok merasa heran, akan tetapi dia mengerti isyarat itu dan mengikuti Li Hong memasuki kamarnya. Setelah berada dalam kamar Li Hong mendekati dinding yang menyambung ke kamar lain dan menempelkan daun telinganya pada dinding sambil memberi isyarat kepada Cun Giok untuk meniru perbuatannya. Cun Giok merasa semakin heran...