46: RENCANA BUSUK PANGLIMA MONGOL
Dia merasa tidak pantas untuk mencuri dengar percakapan orang di sebuah kamar lain. Akan tetapi melihat wajah Li Hong yang bersungguh-sungguh, dia tertarik juga lalu menempelkan daun telinganya ke dinding sambil mengerahkan pendengarannya. Terdengar suara wanita, suaranya serak seperti tangis namun mengandung getaran kuat.
“Yakin benarkah engkau bahwa peta itu berada padanya?”
“Saya yakin, Subo (Ibu Guru)? Peta itu tadinya dimiliki ayahnya. Setelah ayah ibunya tewas, saya tidak dapat menemukan peta itu pada mereka, juga seluruh rumah mereka digeledah namun peta itu tidak ada. Jelaslah bahwa peta itu berada di tangan puteri mereka itu,” terdengar suara seorang laki-laki menjawab.
“Hemm, bagus! Di mana ia sekarang berada?” tanya suara wanita.
“Di kuil tua yang berada di dalam hutan sebelah timur kota ini.”
“Ih, mengapa tidak kau tangkap saja?”
“Subo, ia memiliki kepandaian tinggi, saya khawatir ia akan lolos lagi kalau saya sergap. Akan tetapi saya yakin sekarang ia masih berada di sana karena saya telah menyuruh seorang pembantu melakukan pengintaian.”
“Kalau begitu, kita tangkap ia sekarang?”
“Jangan malam ini, Subo. Udara mendung dan gelap, dan ia memiliki ginkang yang hebat. Besar kemungkinan ia lolos lagi kalau kita sergap malam ini. Lebih baik besok pagi-pagi, kita sergap dan Subo bantu menangkapnya, pasti ia tidak akan dapat lolos.”
“Bagaimana kalau peta itu tidak berada padanya?”
“Kalau tidak ia bawa, tentu ia sembunyikan di suatu tempat. Saya akan menggunakan cara yang paling mengerikan untuk memaksa ia mengaku!”
“Hemm, cara bagaimana?”
Terdengar suara laki-laki itu bisik-bisik dan tidak dapat didengar lagi oleh dua orang yang mencuri dengar dari kamar Li Hong itu. Li Hong memberi isyarat kepada Cun Giok untuk keluar dari kamarnya. Setelah menutup pintu kamar, ia mengajak Cun Giok memasuki kamar pemuda itu.
“Kita harus menolong orang yang hendak mereka tangkap besok pagi!” katanya lirih.
“Ah, Hong-te, mengapa engkau hendak mencampuri urusan mereka? Apakah engkau mengenal dua orang yang bicara tadi dan apakah engkau juga mengenal orang yang hendak mereka tangkap besok?”
“Aku mengenal suara laki-laki tadi. Dia pasti Panglima Mongol yang lihai dan jahat itu, yang bernama Kim Bayan. Suara wanita itu tidak kukenal. Akan tetapi aku mengenal baik siapa yang hendak mereka tangkap karena tadi sebelum aku memberitahu padamu, aku telah mendengar mereka menyebut nama orang itu. Aku berhutang budi kepada gadis itu yang pernah menyembuhkan muka guruku yang tadinya cacat.”
Cun Giok membelalakkan kedua matanya. Tentu saja dia terkejut sekali mendengar itu dan segera dia dapat menduga siapa adanya gadis yang dimaksudkan itu. Akan tetapi dia menahan ketegangan hatinya dan bertanya, agar mendapatkan kepastian.
“Hong-te, siapakah gadis itu?”
“Namanya Liu Ceng Ceng.”
“Ah, aku mengenalnya, Hong-te?”
“Engkau mengenalnya?” Li Hong menatap wajah Cun Giok dengan tajam penuh selidik.
“Ya, ia seorang gadis yang lihai dan dikenal sebagai Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), selain lihai ilmu silatnya, ia pun ahli pengobatan murid Im Yang Yok-sian, cantik jelita dan menarik, terutama lemah lembut sekali.” Cun Giok mengenang karena sesungguhnya, sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh cinta kepada Ceng Ceng.
“Huh, begitu? Engkau suka dan tergila-gila kepada gadis yang lemah lembut, Twako?”
Cun Giok merasa heran melihat raut wajah Li Hong tampak marah dan senyumnya mengejek. Pemuda itu cemburu, pikirnya. Tentu Li Hong telah jatuh cinta kepada Ceng Ceng dan kini mendengar dia memuji Ceng Ceng, dia menjadi cemburu!
“Ah, bukan begitu, Hong-te. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”
“Apakah engkau mengenal baik gadis itu?”
“Mengenal baik sekali memang tidak,” Cun Giok berkata untuk meredakan kecemburuan Li Hong. “Akan tetapi kami berdua pernah melakukan perjalanan ke Pulau Ular untuk memintakan obat penawar pukulan beracun Hek-tok Tong-sim-ciang yang diderita Ketua Hoa-san-pai.”
Kini Li Hong yang terkejut. Matanya terbelalak memandang pemuda itu. “Ah, jadi engkaukah pemuda yang bersama Ceng Ceng berkunjung ke Pulau Ular seperti diceritakan Subo kepadaku itu? Subo tidak menyebutkan namamu maka aku tidak tahu bahwa engkaulah pemuda itu!”
Cun Giok mengerutkan alisnya. Inikah murid Ban-tok Niocu yang mewakili gurunya membunuh Im Yang Yok-sian dan melukai Goat-liang Sanjin dengan pukulan beracun? Ketika itu, Ban-tok Niocu tidak mengatakan siapa muridnya, laki-laki ataukah wanita. Demikian seingatnya. Ketika mengetahui bahwa pemuda ini yang melakukan kekejaman itu, Cun Giok menjadi penasaran sekali.
“Dan engkau adalah murid Ban-tok Niocu yang telah dengan kejam membunuh Im Yang Yok-sian dan melukai Goat-liang Sanjin?”
Muka Li Hong menjadi kemerahan, akan tetapi mulutnya cemberut. “Aku hanya menaati perintah Subo. Aku menyesal sekali dan aku sudah minta maaf kepada Ceng Ceng atas kematian Im Yang Yok-sian dan aku juga akan pergi ke Hoa-san minta maaf kepada Goat-liang Sanjin. Maka, untuk membuktikan penyesalanku, sekarang aku harus pergi mencari Ceng Ceng dan membantunya menghadapi rencana kejahatan Panglima Kim Bayan yang hendak menangkapnya. Atau, aku akan serbu saja kamar sebelah dan kubunuh dua orang itu!”
“Ssstt, jangan gegabah begitu, Hong-te! Panglima itu pasti lihai dan mendengar suaranya, wanita yang berada di kamar itu juga bukan orang biasa. Dari getaran suaranya aku dapat menangkap tenaga sakti yang amat berwibawa seperti mengandung kekuatan sihir. Selain itu, kalau engkau menyerang mereka di sini, pasti akan menimbulkan keributan dan pasukan penjaga akan berdatangan sehingga berbahaya sekali.”
“Aku tidak takut!”
“Aku percaya engkau tidak takut, akan tetapi semua tindakan harus diperhitungkan lebih dulu. Apa artinya engkau mengamuk kalau hasilnya masih amat diragukan, bahkan akan membahayakan keselamatan dirimu sendiri? Keberanian bukan berarti kenekatan yang konyol.”
Li Hong mengangguk-angguk. Boleh jadi ia seorang yang keras dan nekat, akan tetapi ia pun bukan seorang bodoh dan ia mengerti bahwa ucapan Cun Giok tadi memang benar. “Kalau begitu, sekarang aku akan pergi mencari Ceng Ceng!” katanya.
“Hong-te, untuk apa malam-malam gelap begini mencarinya? Lebih baik besok pagi kita mencari ke sana dan kita membantunya apabila ia benar-benar hendak ditangkap. Sekarang, sebaiknya kita mengaso dulu, mengumpulkan tenaga karena mungkin besok pagi kita membutuhkan kesegaran untuk menghadapi lawan-lawan berat.”
Setelah berkata demikian, Cun Giok memasuki kamarnya tanpa menengok karena dia yakin sahabat barunya itu pun akan pergi tidur. Dia mulai merasa terganggu dengan pikiran dan pendapat-pendapat Li Hong yang dianggapnya liar dan nekat tanpa perhitungan itu. Akan tetapi dia pun merasa kasihan kepada Li Hong, seorang pemuda remaja yang agaknya memerlukan bimbingan dan nasihat, karena kalau tidak, akhirnya dia akan tertimpa mala petaka oleh ulahnya sendiri.
********************
Pagi-pagi sekali, Cun Giok terbangun oleh suara ayam jantan berkeruyuk. Dia agak gelagapan karena merasa kesiangan. Semalam dia hampir tidak dapat pulas karena pikirannya terus membayangkan Ceng Ceng yang terancam bahaya. Bahkan terbawa dalam mimpi dia melihat Ceng Ceng tertawan dan diseret-seret banyak perajurit dan dia menolongnya.
Selain teringat dan mengkhawatirkan gadis itu, dia juga masih heran memikirkan Li Hong. Sungguh hal yang amat kebetulan dan tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa pemuda remaja yang aneh dan nakal itu adalah murid Ban-tok Niocu yang disuruh wanita itu untuk membunuh Goat-liang Sanjin dan karena tidak ingin ketua Hoa-san-pai itu terobati, terpaksa membunuh Im Yang Yok-sian, paman guru Ceng Ceng!
Pantas saja pemuda itu liar karena dia adalah murid wanita yang dulunya berjuluk Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun) akan tetapi setelah wajahnya yang cantik diobati tidak lagi menyeramkan seperti biang hantu!
Teringat akan Li Hong, Cun Giok cepat melompat turun dari atas pembaringan. Dia sudah berjanji dengan Li Hong untuk berangkat pagi-pagi mencari Ceng Ceng dan melindunginya dari ancaman Panglima Kim Bayan yang hendak menangkap gadis itu!
Dengan cepat Cun Giok mencuci muka, berganti pakaian dan dia segera keluar dari kamarnya dan mengetuk perlahan daun pintu kamar Li Hong di sebelahnya. Akan tetapi tidak ada jawaban dan ketika dia mendorong, pintu itu dengan mudah terbuka karena tidak terkunci dari dalam. Dan Li Hong ternyata tidak berada dalam kamarnya. Bahkan buntalan pakaian dan pedangnya juga tidak ada.
Tahulah dia bahwa pemuda itu telah pergi tanpa memberitahu kepadanya. Baiknya uang sewa kamar telah mereka bayar dimuka, maka Cun Giok lalu menggendong buntalan pakaiannya dan cepat meninggalkan rumah penginapan itu untuk mencari Ceng Ceng yang menurut percakapan yang dia dengar dari kamar sebelah semalam berada di sebuah kuil tua yang terdapat dalam hutan sebelah timur kota itu. Dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menuju ke arah timur.
Seperti yang telah diduga oleh Cun Giok, Li Hong memang mendahuluinya pergi meninggalkan rumah penginapan untuk mencari Ceng Ceng. Akan tetapi bukan pagi-pagi sekali, melainkan malam tadi. Tanpa memberi tahu kepada Cun Giok, malam itu ia membawa buntalan pakaian dan pedangnya, diam-diam meninggalkan rumah penginapan dan menuju ke sebelah timur kota.
Gadis yang pemberani ini dengan cepat melakukan perjalanan dan setelah tiba di tepi sebuah hutan yang amat gelap karena malam itu udara hanya diterangi bintang-bintang, ia membuat api dan dengan obor kayu kering ia memasuki hutan kecil itu. Ia tak tahu di mana adanya kuil tua itu, maka setelah memasuki hutan, khawatir kalau-kalau Ceng Ceng melarikan diri melihat orang membawa obor memasuki hutan, ia lalu berteriak.
“Ceng Ceng, di mana engkau? Ini aku, Li Hong!” Teriakan ini diulang-ulang sambil melangkah ke depan. Tak lama kemudian terdengar jawaban yang ditunggu-tunggunya.
Li Hong menjadi girang sekali dan menuju ke arah suara. Tak lama kemudian ia melihat Ceng Ceng muncul menyongsongnya. Ceng Ceng lalu memegang tangan Li Hong.
“Aih, Li Hong, bagaimana engkau tahu aku berada di hutan. Dan angin apa yang meniupmu malam-malam gelap begini mencariku?”
“Ah, Ceng Ceng, gembira sekali aku dapat menemukanmu! Aku membawa berita yang teramat penting bagimu!” Lalu ia menengok ke sekelilingnya dan menaikkan kedua pundaknya karena ngeri. “Gila betul kau ini! Masa seorang gadis tinggal seorang diri dalam hutan yang gelap dan menyeramkan begini? Ih, kalau aku, diupah berapa pun aku tidak sudi! Menghadapi seratus orang lawan manusia aku tak gentar, akan tetapi menghadapi setan iblis siluman dan arwah gentayangan? Ihh, meremang bulu kudukku!”
Ceng Ceng tertawa geli dan merangkul Li Hong. “Mari kita ke kuil dan bicara di sana.” Ia memandang Li Hong yang masih memegang kayu bernyala sebagai obor dan mengajak Li Hong ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi.
Memasuki kuil tua yang memang tampak angker itu, Li Hong bergidik dan merasa seram ketika digandeng Ceng Ceng memasuki bangunan tua itu. Masih terdapat patung-patung rusak, meja sembahyang dan di mana-mana terdapat sarang laba-laba.
“Wih, di sini pasti sarang siluman dan hantu!” katanya dengan suara agak gemetar.
Ceng Ceng tertawa dan mengajak temannya memasuki sebuah ruangan yang cukup bersih dan di sudut terdapat dua batang lilin bernyala. Di atas lantai terdapat hamparan rumput kering. Buntalan pakaian Ceng Ceng berada di atas lantai. Setelah memasuki kuil, Li Hong memadamkan obor kayunya dan Ceng Ceng mengajak ia duduk di atas hamparan rumput kering.
“Setan dan hantu tidak dapat membunuh kita, Li Hong. Mereka hanya dapat menggoda orang dan yang berbahaya adalah orang yang dikuasai setan karena hanya orang yang dikuasai iblis dapat melakukan kejahatan.”
“Tetapi, bukankah setan itu jahat, Ceng Ceng? Semua orang mengatakan begitu. Setan itu jahat sekali!”
Ceng Ceng tersenyum. “Setan adalah kejahatan itu sendiri, mana bisa jahat lagi? Seperti malam adalah kegelapan itu sendiri, mana bisa gelap lagi? Pekerjaan setan memang sejak semula untuk mengganggu manusia. Nah, tinggal si manusia itu mau menuruti kehendak setan atau menolaknya, menjadi hamba setan atau menjadi hamba Tuhan. Sudahlah, mengapa kita bicara tentang setan? Kalau kita bicarakan, nanti mereka akan mulai mengganggu untuk menakut-nakuti kita. Katakan, Li Hong, engkau yang takut terhadap kegelapan malam, mengapa bersusah payah datang ke tempat ini mencariku?”
“Wah, gawat nih, Ceng Ceng. Keselamatanmu terancam!”
“Hemm, siapa yang mengancamku?” tanya Ceng Ceng dengan sikap tenang.
“Kim Bayan! Panglima brengsek itu bersama seorang yang dia panggil Subo merencanakan untuk menangkapmu besok pagi dan memaksamu menyerahkan peta harta karun yang katanya ditinggalkan orang tuamu kepadamu. Dia hendak mengulang lagi usahanya di tanah kuburan dulu, Ceng Ceng. Kebetulan aku menyewa di kamar rumah penginapan yang sama dengan mereka. Aku mendengarkan percakapan Kim Bayan dan Subonya. Mereka merencanakan penangkapan atas dirimu dan hendak memaksa, menyiksamu agar mau menyerahkan peta itu.”
“Hemm, begitukah? Dan engkau malam-malam mencari aku untuk menolong ku? Terima kasih, Li Hong, engkau memang seorang sahabat yang baik sekali. Di balik keliaranmu itu engkau memiliki hati yang baik dan aku sudah menduga ini. Panglima Kim Bayan itu memang jahat sekali. Peta harta karun itu adalah hak milik rakyat Han, sama sekali Pemerintah penjajah Mongol tidak berhak memilikinya dan mengambil harta karun itu!”
“Ceng Ceng, sejak peristiwa di tanah kuburan itu, aku sudah tahu bahwa mereka ingin merampas peta harta karun darimu. Sebetulnya, harta karun apakah itu?”
Ceng Ceng percaya kepada Li Hong. Biarpun ia tahu bahwa gadis yang satu ini liar dan ugal-ugalan, aneh dan adalah murid seorang datuk yang pernah sesat dan dikenal sebagai Biang Iblis, namun ia tahu benar bahwa di balik keganasannya, Li Hong adalah seorang gadis yang baik dan pada dasamya menentang kejahatan membela kebenaran dan keadilan. Maka ia tidak merasa keberatan untuk menceritakan keadaan yang sesungguhnya.
“Li Hong, engkau adalah sahabat baikku yang kupercaya sepenuhnya, maka engkau boleh mendengar rahasia ini. Ketahuilah, sebelum Kerajaan Sung jatuh, seorang Thaikam (Pembesar Kebiri) yang korup menguras harta istana dan dia sembunyikan harta karun yang amat besar jumlahnya dan amat berharga berupa emas dan intan permata, lalu menguburnya di suatu tempat rahasia. Hal itu diketahui oleh mendiang ayahku yang ketika itu menjadi seorang Panglima Sung yang setia. Ayah membunuh Thaikam Bong itu dengan semua anak buahnya lalu mengubur mayat mereka beserta harta karun itu. Ayah tidak mengambil harta karun itu karena merasa tidak berhak dan harta milik Kerajaan Sung itu kelak akan disumbangkan kepada para patriot untuk membiayai perjuangan mereka menentang dan mengusir penjajah Mongol. Ayah hanya membuat sehelai peta yang dirahasiakan dan disimpan baik-baik. Akan tetapi agaknya ada yang mengetahui bahwa Thaikam Bong dahulu menyimpan harta karun dan karena thaikam korup itu beserta anak buahnya dibasmi ayah, maka otomatis Panglima Kim Bayan menduga bahwa tentu ayah yang mendapatkan peta itu. Demikianlah, ayah dipaksa menyerahkan peta akan tetapi ayah menolak sehingga terjadi pengeroyokan dan kedua orang tuaku tewas.”
“Dan peta itu?”
“Sebelum ayah memenuhi panggilan Kim Bayan, ayah menitipkan peta itu kepada seorang sahabat, diselipkan dalam surat dan setelah ayah tewas, sahabat itu menyerahkan surat ayah kepadaku. Peta itu berada padaku, Li Hong.”
“Hemm, jadi dugaan Kim Bayan tadi benar. Maka dia berkeras hendak menangkapmu dan memaksamu menyerahkan peta itu. Ceng Ceng, apa yang hendak kaulakukan dengan peta itu?”
“Seperti juga mendiang ayahku, aku tidak ingin memiliki harta itu. Akan tetapi sebelum menyerahkannya kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang, aku harus menunggu sampai benar-benar ada golongan pendekar patriot yang berjuang melawan penjajah Mongol. Juga aku harus melihat sendiri buktinya bahwa harta karun itu memang benar ada. Kalau kelak aku menyerahkan peta kepada para pejuang kemudian mereka tidak mendapatkan harta itu, alangkah akan malunya aku dan hal itu mencemarkan nama baik ayah.”
Li Hong mengangguk-angguk. “Engkau memang seorang gadis yang cerdik, pandai dan bijaksana, Ceng Ceng. Aku sungguh amat kagum padamu. Jangan khawatir akan ancaman Panglima Kim Bayan yang brengsek itu. Kami akan membela dan membantumu!” kata Li Hong penuh semangat.
“Kami...?” Ceng Ceng bertanya heran dan memandang ke sekeliling untuk melihat apakah selain Li Hong ada orang lain yang datang untuk menolongnya.
Li Hong tersenyum. “Maksudku, kami berdua, aku dan Pouw-twako yang akan membantumu menghadapi tikus-tikus itu. Pouw-twako sudah mengenalmu dengan baik, Ceng Ceng.”
“Pouw-twako? Siapa dia?”
“Hemm, apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal Pouw Cun Giok?”
“Ahhh... dia...?” Ceng Ceng tergagap dan merasa betapa mukanya panas, tanda bahwa mukanya tentu menjadi kemerahan. Akan tetapi karena penerangan di situ hanya dua batang lilin, maka merahnya muka ini tidak sampai ketahuan...