Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 47

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar tanpa bayangan jilid 47
Sonny Ogawa
47: BERSAING? APA MAKSUDMU?

“Ya, dia yang dulu bersamamu datang ke Pulau Ular. Engkau tentu sudah mengenal baik, bukan? Kalian telah melakukan perjalanan jauh bersama-sama, tentu persahabatan kalian akrab sekali.”

“Memang, Giok-ko adalah seorang pemuda yang baik sekali, ilmu silatnya tinggi, bijaksana, dan dia menjadi sahabat baik yang boleh dipercaya.”

“Ah, engkau memujinya setinggi langit. Agaknya engkau tentu telah jatuh cinta padanya, Ceng Ceng!” suara Li Hong terdengar keras dan penuh curiga.

Ceng Ceng merasakan hal ini dan ia menghela napas panjang. “Li Hong, jangan terlalu jauh menyangka. Aku dan Giok-ko hanya menjadi sahabat baik.”

Li Hong menghela napas lega. “Syukurlah kalau begitu, Ceng Ceng. Aku tidak suka bersaing denganmu karena aku pasti akan kalah. Engkau begini lihai, pandai mengobati, cantik jelita dan lemah lembut, bijaksana seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)!”

“Bersaing? Apa maksudmu, Li Hong?”

“Maksudku, eh... kalau engkau jatuh cinta kepada Pouw-twako, berarti engkau menjadi sainganku karena aku juga telah jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok!!” Ucapan ini dilakukan dengan mantap dan sama sekali tidak mengandung perasaan malu.

Ceng Ceng tersenyum walaupun di dalam dadanya ada perasaan hampa mendengar ucapan Li Hong. “Ah, baik sekali kalau begitu! Tentu dia juga mencintamu, bukan?”

Li Hong tertawa. “Bagaimana aku tahu? Dia menganggap aku sebagai seorang pemuda!”

“Eh, mengapa begitu, Li Hong? Kalau engkau mencintanya, engkau harus membuka rahasia penyamaranmu!”

“Tidak, dan aku minta agar engkau tidak mengatakan kepadanya bahwa aku seorang wanita. Kami memang bergaul dengan akrab, dan aku tidak mau kalau keakraban itu akan berubah jika dia mengetahui bahwa aku seorang wanita. Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membuka rahasia penyamaranku ini, Ceng Ceng!”

Ceng Ceng mengangguk. “Aku berjanji.”

“Terima kasih, Ceng Ceng, engkau memang baik sekali. Seperti kukatakan tadi, jangan khawatir, aku dan Pouw-twako siap membantu menghadapi para tikus busuk itu. Besok pagi-pagi Pouw-twako akan datang ke sini.”

“Akan tetapi kenapa kalian berdua tidak datang bersama-sama?”

“Pouw-twako tidak setuju untuk mencarimu malam-malam, dia akan ke sini besok pagi karena kami mendengar bahwa Panglima Kim itu pun akan menangkapmu besok pagi. Maka aku lalu pergi sendiri tanpa memberi tahu padanya. Untung aku bertemu. denganmu, Ceng Ceng, kalau tidak... hiiihh... aku bisa mati ketakutan karena seramnya tempat hantu ini!”

“Jangan takut, Li Hong. Justeru rasa takutmu itu yang akan munculkan bayangan-bayangan tentang hantu dan setan. Bagi orang yang tidak takut, hantu dan setan tidak akan dapat memperlihatkan diri. Percayalah, selama hidupku ini aku belum pernah melihat adanya hantu dan setan dengan mata kepala ini. Mereka memiliki alam yang berbeda dengan kita.”

Biarpun hatinya percaya akan ucapan Ceng Ceng itu, karena memang dalam lubuk hati Li Hong sudah ada perasaan takut dan ngeri terhadap hantu, tetap saja Li Hong memandang ke sekeliling dengan mata gelisah. Ia melihat beberapa buah patung yang tidak jelas rupanya, karena cuaca yang gelap, hanya tampak seperti bayangan berbentuk manusia. Rasa takut membuat patung-patung itu seolah bergerak-gerak dalam pandang matanya dan ia bergidik.

“Ihh...! Patung-patung itu sungguh menyeramkan!”

Ceng Ceng tersenyum dan ia menyalakan dua batang lilin baru di sudut ruangan. “Patung-patung hanya buatan tangan manusia, benda-benda mati yang bagaimanapun juga tidak akan dapat mengganggu kita. Kalaupun dapat mengganggu, dengan kepandaianmu yang tinggi, apa sukarnya mengalahkan mereka? Hayo, tidurlah, Li Hong karena waktu baru sedikit lewat tengah malam. Pagi hari baru akan datang beberapa jam lagi.”

Li Hong menghela napas lega dan ia pun merebahkan diri di atas rumput kering, telentang berbantal bungkusan pakaiannya. Pedang Ban-tok-kiam ia letakkan di dekat tangan kanannya, siap dipergunakan sewaktu-waktu! Ceng Ceng lalu duduk bersila di dekat Li Hong, segera tenggelam dalam samadhi.

Akan tetapi Li Hong gelisah dan tidak dapat pulas. Telinganya yang sejak tadi mendengar suara kutu malam, belalang dan jengkerik, paduan suara yang merupakan musik malam, seolah menangkap suara-suara yang menyeramkan, seolah ia mendengar suara hantu-hantu saling berbisik, ada yang tertawa atau menangis. Bulu tengkuknya meremang dan ia merasa tubuhnya dingin.

Ketika melirik ke arah Ceng Ceng, ia melihat gadis itu duduk bersila dengan tenangnya. Ia lalu bangkit duduk dan duduk bersila seperti Ceng Ceng, mencoba untuk melakukan siu-lian (samadhi). Akan tetapi karena hatinya masih mengandung perasaan takut, maka samadhinya sering terganggu, tidak dapat hening betul dan terkadang ia tidak mampu menahan diri untuk tidak membuka mata melihat ke depan, kanan dan kiri karena ia merasa seolah-olah ada yang bergerak di dalam kegelapan malam!

Menjelang fajar, terdengar ayam hutan berkeruyuk dan suara burung-burung mulai sibuk saling sahut dalam persiapan mereka meninggalkan sarang dan berangkat mencari makan. Munculnya suara ayam dan burung itu nneredam musik malam yang mulai menghilang seolah binatang-binatang kecil itu terkejut dan takut mendengar suara yang lebih nyaring itu.

Dengan hati lega Li Hong membuka matanya. Biarpun cuaca masih gelap, namun keruyuk ayam jantan dan kicau burung itu menandakan bahwa fajar mulai menyingsing. Tiba-tiba matanya terbelalak, tangan kanannya otomatis menyambar pedang Ban-tok-kiam di sampingnya. Ia melihat patung-patung hitam itu seolah bergerak! Rasa takut dan ngeri yang amat hebat membuat Li Hong nekat dan marah.

“Setan-setan jahanam busuk!” Ia berteriak dan tubuhnya berkelebat ke depan, lalu pedang hijaunya menyambar-nyannbar ke arah leher patung-patung itu! Terdengar suara berisik ketika leher patung-patung itu terbabat putus dan kepala patung berjatuhan di atas lantai. Tidak ada yang tertinggal, semua patung yang jumlahnya delapan buah itu terpenggal lehernya!

“Li Hong! Ada apakah?” seru Ceng Ceng terkejut.

Li Hong melompat mendekatinya, tubuhnya masih gemetar karena marah dan takut. Wajahnya pucat dan dingin, kedua pundaknya bergerak seperti menggigil kedinginan. “Ada... hantu...!” katanya.

Ceng Ceng memegang tangannya dan menarik Li Hong sehingga terduduk kembali di atas lantai bertilam rumput kering. “Tenanglah, Li Hong. Tidak ada hantu. Yang kau amuk itu hanya patung-patung. Kasihan, agaknya engkau memenggal leher semua patung yang berada di sini.”

“Tidak, Ceng Ceng! Aku melihat patung yang di sana tadi benar-benar bergerak!”

“Hemm yang di mana?”

“Di sana!” Li Hong menudingkan telunjuknya ke arah jendela di samping.

“Di jendela itu? Ah, Li Hong, di sana tidak ada patungnya. Engkau tentu melihat bayangan karena rasa seram menghantuimu. Sekarang lebih baik engkau duduk menenteramkan hatimu karena sebentar lagi cuaca akan menjadi terang. Kita harus siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.”

Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menambahkan lagi dua batang lilin yang bernyala di samping dua batang yang tinggal sedikit. Dengan empat batang lilin bernyala, keadaan dalam ruangan itu menjadi lebih terang dan tiba-tiba Li Hong berseru.

“Ceng Ceng, lihat ini!”

Ceng Ceng memandang ke arah pedang yang dipegang Li Hong dan diperlihatkan kepadanya. Ia mengerutkan alisnya melihat ada noda darah baru pada pedang itu! Darah yang masih cair! Ini hanya berarti bahwa pedang di tangan Li Hong baru saja melukai tubuh seorang manusia.

“Ah, kalau begitu patung yang kau lihat di jendela itu...” kata Ceng Ceng sambil mengangkat sebuah lilin untuk melihat ke arah jendela.

Ia tidak melihat patung ataupun manusia, akan tetapi ada darah pada kayu bingkai jendela itu. Mungkin sekali yang dilihat Li Hong adalah orang yang berada di luar jendela dan orang itu tentu telah terpenggal batang lehernya oleh pedang di tangan Li Hong yang gerakannya dahsyat sekali itu! Akan tetapi keadaan masih terlampau gelap untuk memeriksa bagian luar jendela karena kalau mereka diserang dalam kegelapan, keadaan mereka lebih berbahaya dan sukar untuk membela diri.

“Kita tunggu saja sampai sinar matahari menerangi tempat ini,” bisik Ceng Ceng dan dua orang gadis itu lalu duduk bersila dalam keadaan siap siaga.

Setelah tahu bahwa bukan hantu yang dilihatnya, melainkan manusia karena tak mungkin hantu dapat terluka mengeluarkan darah terbacok pedangnya, Li Hong menjadi lebih tenang. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan manusia betapapun lihai dan banyaknya. Ia juga tidak takut terhadap hantu, hanya ngeri dan seram karena sejak kecil terpengaruh oleh dongeng-dongeng menyeramkan tentang setan, iblis, atau hantu.

cerita silat online karya kho ping hoo

Perlahan-lahan cuaca mulai terang. Sinar matahari yang masih lemah mulai menerobos pohon-pohon memasuki hutan itu sehingga di dalam kuil itu pun mulai terang. Ceng Ceng memberi isyarat kepada Li Hong dan keduanya bangkit lalu menghampiri jendela untuk menjenguk keluar, melihat apakah ada orang yang terluka oleh pedang Li Hong semalam.

Dan benar saja seperti yang mereka duga, di luar jendela itu, tampak rebah telentang di atas lantai yang kotor, sesosok tubuh orang tanpa kepala yang berlepotan darah, mungkin darah yang tadinya menyembur keluar dari leher yang terpenggal!

Dua orang gadis itu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan menemukan kepala orang itu menggeletak tak jauh dari situ, sebuah kepala yang menengadah dan tampak matanya melotot dan mulutnya ternganga, juga kepala itu berlumuran darah. Mengerikan! Orang itu berpakaian serba hitam dan tubuhnya tinggi besar. Tentu dia yang semalam dikira patung hidup dan menjadi korban amukan Li Hong yang nekat dan marah!

“Ah, kiranya ada yang mengintai kita malam tadi,” kata Ceng Ceng. “Li Hong, kita harus waspada. Agaknya mereka sudah berada di sini.”

Baru saja Ceng Ceng berkata demikian, mereka berdua terbelalak melihat betapa mayat tanpa kepala itu bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang golok besar dan dia melangkah ke arah jendela!

“Iihhhh...!” Li Hong menjerit ngeri dan melompat ke belakang.

Mayat tanpa kepala itu melompat masuk melalui pintu dan goloknya menyambar, menyerang Ceng Ceng yang masih berada dekat jendela. Namun Ceng Ceng dapat mengelak dengan lincah sehingga sambaran golok besar itu mengenai tempat kosong. Kembali Li Hong menjerit ngeri dan Ceng Ceng segera berkata.

“Li Hong, ini ilmu setan, sihir jahat. Kerahkan tenaga saktimu dan lawan rasa takutmu!”

Pada saat itu tampak sebuah benda melayang memasuki jendela dan benda itu melayang dan menyambar ke arah Li Hong. Gadis itu terbelalak dengan muka pucat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah kepala berlumuran darah yang tadi menggeletak di atas lantai luar jendela. Kepala itu kini meluncur ke arah ia dengan mata melotot dan mulut ternganga, seolah hendak menggigit lehernya!

“Ihhhh...!” Kembali ia menjerit ngeri, akan tetapi ia menaati ucapan Ceng Ceng tadi, mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan mengelak ke samping lalu membacokkan pedangnya ke arah kepala itu. Sinar kehijauan menyambar dengan cepat dan kuat ke arah kepala itu.

“Crakkk...!”

Kepala itu terbelah dua dan jatuh ke atas lantai! Malihat hasil ini, lenyaplah rasa takut dan ngeri dari hati Li Hong. Ketika ia menengok ke arah Ceng Ceng, ia melihat sahabatnya itu masih terus mengelak dari serangan mayat tanpa kepala yang gerakannya lamban dan kaku itu. Ia menjadi marah dan sekali melompat dan menggerakkan pedangnya, ia menusuk punggung kiri mayat itu sambil mengerahkan tenaganya.

“Haiiittt...!” Li Hong berseru dan pedangnya menusuk tubuh itu dari punggung menembus ke dada kiri mayat. Begitu ia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam, tubuh mayat tanpa kepala itu pun roboh dan tidak bergerak lagi. Jantung mayat itu tertembus pedang!

“Li Hong, mari cepat kita keluar dari tempat sempit ini!” kata Ceng Ceng.

Li Hong maklum apa yang dimaksudkan kawannya karena kalau menghadapi pengeroyokan, tempat sempit amat tidak menguntungkan. Mereka lalu menyambar buntalan pakaian dan berlari keluar sambil mengikatkan buntalan masing-masing di punggung mereka. Ketika mereka tiba di luar, Li Hong sudah memegang Ban-tok-kiam pedang pusakanya, dan Ceng Ceng sudah membawa sebatang tongkat ranting pohon yang tadi ia letakkan di lantai ruangan itu.

Ketika mereka tiba di pekarangan kuil yang ditumbuhi rumput tebal, Ceng Ceng dan Li Hong melihat belasan orang berpakaian hitam-hitam seperti orang yang telah dibunuh Li Hong tadi dan mayatnya hidup lagi sehingga terpaksa dibunuh lagi. Ada sebelas orang berpakaian hitam-hitam dan berwajah bengis membuat setengah lingkaran di depan kuil seolah mereka itu menghadang dua orang gadis yang keluar dari kuil. Masing-masing memegang sebatang golok besar.

Melihat ini, Ceng Ceng dan Li Hong sudah siap untuk membela diri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa yang tinggi serak dan aneh karena suara itu setengah tertawa setengah menangis! Kalau suara itu terdengar malam tadi, pasti Li Hong akan tersentak kaget dan ketakutan. Akan tetapi karena malam sudah terganti pagi, ia tidak kaget atau terkejut, lalu bersama Ceng Ceng memandang ke arah datangnya suara tawa itu.

Muncullah si pemilik suara. Ia seorang nenek-nenek akan tetapi lebih pantas disebut hantu daripada manusia. Atau lebih menyerupai mayat berjalan. Tubuhnya kurus agak bongkok, rambutnya riap-riapan sudah putih semua. Yang mengerikan adalah pakaian dan wajahnya. Pakaiannya dari kain mori putih yang biasa dipakai orang yang sedang berkabung dan mukanya putih pucat seperti muka mayat. Akan tetapi matanya mencorong aneh.

Usianya tentu sudah lebih dari enampuluh tahun. Tangannya yang kurus, hanya tulang terbungkus kulit, memegang sebatang tongkat hitam dan sepatunya juga hitam dengan lapis besi pada ujung dan bagian bawahnya. Mengerikan sekali keadaan nenek ini yang mengeluarkan suara seperti tawa dan tangis itu.

Akan tetapi Li Hong dan Ceng Ceng lebih memperhatikan laki-laki tinggi besar yang mengenakan pakaian panglima dan yang berjalan di samping nenek itu. Dia bukan lain adalah Kim Bayan, panglima Mongol yang pernah bertanding melawan mereka itu.

Kalau Ceng Ceng yang orang tuanya dibunuh masih tampak tenang saja, sebaliknya Li Hong menjadi marah bukan main melihat panglima yang telah menangkap dan menyiksa orang tuanya. Dengan tangan memegang Ban-tok-kiam, telunjuk tangan kiri Li Hong menuding ke arah muka panglima itu sambil membentak marah.

“Anjing srigala Kim Bayan! Engkau datang menyerahkan nyawamu? Bagus! Pedangku akan minum darahmu untuk menebus dosamu terhadap orang tuaku dan orang tua Ceng Ceng!”

Setelah berkata demikian Li Hong sudah menerjang dengan pedangnya ke arah Panglima Kim Bayan. Pedangnya berubah menjadi sinar hijau ketika meluncur dan menusuk ke arah dada Kim Bayan. Panglima itu sudah tahu akan kehebatan 'pemuda' itu, maka dia cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Ketika Li Hong hendak mengejar, tiba-tiba sebuah tongkat hitam menghadangnya dan ternyata nenek yang menyeramkan itu telah berdiri di depannya sambil terkekeh.

“Heh-heh-hi-hi-hik...!” Ia setengah terkekeh setengah menangis dan wajahnya yang pucat seperti mayat itu tidak menunjukkan perasaan apa pun, tetap dingin seperti wajah yang sudah mati. “Inikah gadis pembawa peta yang kau maksudkan itu, Kim Bayan?”

Panglima itu mengerutkan alisnya. Mengapa bibi gurunya yang juga dia sebut ibu guru itu mengatakan 'gadis' padahal yang dihadapinya adalah seorang pemuda? Akan tetapi dia sudah mengenal keanehan bibi guru yang juga menurunkan ilmunya kepadanya, maka dia tidak berani mencela, hanya menjawab.

“Subo, bukan pemuda itu yang saya maksudkan, melainkan gadis berpakaian putih ini.”

“Heh-heh-hi-hik! Mana ada pemuda? Kim Bayan, agaknya matamu sudah kurang awas, maka gadis berpakaian pria ini kau sangka seorang pemuda. Hi-hi-hik, gadis ini baik sekali, cocok kalau menjadi muridku. Aku suka gadis ini, Kim Bayan. Kau tangkaplah gadis yang kau inginkan itu, aku akan menangkap yang ini!” lalu memandang Li Hong dengan matanya yang mencorong dan bertanya dengan suara lembut. “Eh, manis, siapa namamu?”

Ceng Ccng sudah pernah mendengar dari mendiang ayahnya maupun paman gurunya tentang orang-orang yang menguasai ilmu setan, maka cepat ia berseru, “Jangan sebutkan namamu!”

“Heh-heh-heh, anak manis, apakah engkau begitu pengecut sehingga takut menyebutkan namamu?”

Li Hong yang tadi mendengar seruan Ceng Ceng, tadinya percaya dan tidak ingin menyebutkan namanya. Akan tetapi nenek itu ternyata sudah dapat mengenal watak gadis ini, maka sengaja memancing dengan mengatakan ia takut dan pengecut. Dengan mata melotot dan muka merah Li Hong membentak.

“Nenek iblis! Siapa takut padamu? Namaku adalah Tan Li Hong! Hayo katakan siapa engkau agar tidak mampus di ujung pedangku tanpa meninggalkan nama!”

“Hi-hi-hik, anak manis. Dengar baik-baik, namaku disebut Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)! Tan Li Hong, dengar dan taati perintahku. Engkau berjodoh untuk menjadi muridku dan engkau akan kuberi pelajaran semua ilmuku. Berlututlah, muridku, dan beri hormat kepada gurumu!” Suara nenek itu meninggi dan mengandung getaran yang amat berwibawa.

Li Hong terkesima dan seolah menjadi lumpuh ingatan, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan perintah itu demikian kuatnya sehingga ia hendak menjatuhkan diri berlutut!

“Li Hong! Jangan menyerah, kerahkan tenaga saktimu dan lawanlah! Demi Ayah Ibumu, jangan mau menyerah terhadap pengaruh sihirnya!” teriak Ceng Ceng yang tahu bahwa keteguhan batin mampu menolak kekuatan sihir. Hanya orang yang percaya dan lemah batinnya saja yang dapat tunduk terhadap kekuatan sihir.

“Tangkap gadis ini!” Kim Bayan sudah memberi perintah kepada sebelas orang anak buahnya dan dia sendiri pun sudah menubruk untuk meringkus Ceng Ceng.

Terpaksa Ceng Ceng mengalihkan perhatiannya dari Li Hong dan untuk menghindarkan tangkapan Kim Bayan dan anak buahnya, ia bergerak cepat, mengerahkan seluruh ilmu gin-kang (meringankan tubuh) dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan putih yang sukar sekali dipegang, apalagi diringkus!

Mendengar teriakan Ceng Ceng tadi, Li Hong sadar. Teriakan itu seolah merupakan kilat yang menerangi pikirannya yang tadi gelap dan ia menyadari bahwa dirinya dipengaruhi sihir. Nenek itu sama sekali bukan gurunya! Nenek itu jahat dan harus dilawan dan dibasminya!

Cepat ia menggerakkan pedangnya dan mengeluarkan teriakan melengking didorong kekuatan khi-kang yang dahsyat. Kemarahan membuat serangan Li Hong hebat sekali. Pedang Ban-tok-kiam menyambar ke arah leher nenek itu.

“Trangg...!”

Tongkat hitam nenek itu menangkis dan Li Hong merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, menandakan betapa kuatnya tenaga sakti nenek yang seperti mayat hidup itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.