48: ILMU SIHIR NENEK SONG BUN MOLI
Song-bun Mo-li juga kaget mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga sin-kang gadis berpakaian pria itu. Ia menjadi semakin tertarik. Kalau ia dapat mempunyai murid seperti ini, lihai, kuat, wataknya juga liar dan ganas, ia akan merasa bangga sekali! Akan tetapi ia kecewa melihat betapa pengaruh sihirnya tidak mampu membuat gadis itu takluk kepadanya, juga terkejut melihat pedang bersinar hijau itu, karena ia mengenal senjata yang mengandung hawa beracun amat berbahaya, juga ia teringat bahwa ia pernah melihat pedang pusaka itu.“Heii! Bukankah itu Ban-tok-kiam yang berada di tanganmu?”
“Hemm, sudah mengenal Ban-tok-kiam? Bersiaplah untuk mampus karena pedangku ini akan minum darahmu!”
“Huh! Pedang itu milik Ban-tok Kui-bo majikan Pulau Ular, bagaimana bisa berada di tanganmu?"
“Aku adalah muridnya!” jawab Li Hong dan ia sudah menerjang lagi.
Akan tetapi sekarang nenek itu melawan dengan ganas karena ia tidak tertarik untuk mengambil Li Hong sebagai muridnya. Gadis itu murid Ban-tok Kui-bo yang pernah menjadi lawannya beberapa tahun yang lalu, maka inilah kesempatan yang baik baginya untuk menyatakan permusuhannya terhadap Ban-tok Kui-bo, dengan membunuh muridnya! Ia memutar tongkatnya yang juga mengandung racun dan sinar hitam bergulung-gulung, menyambut sinar hijau pedang Ban-tok-kiam!
Dua gulungan sinar itu saling desak dan saling bergumul, merupakan pertandingan hebat dan mati-matian karena siapa yang terkena senjata lawan pasti akan keracunan dan tewas! Akan tetapi, nenek itu memperkuat gerakan tongkat hitamnya dengan bentakan-benatakan yang mengandung kekuatan sihir sehingga beberapa kali Li Hong sempat terguncang dan ini tentu saja amat mengganggunya.
Masih baik baginya bahwa menghadapi nenek yang berbahaya itu, ia masih menang dalam hal kecepatan gerakan, maka biarpun mulai terdesak, Li Hong masih dapat meloloskan diri dengan kecepatan gerakannya. Apalagi ketika kemudian ada lima orang anak buah yang berpakaian serba hitam itu membantu nenek itu mengeroyok, Li Hong menjadi semakin terdesak dan ia harus memutar pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya dilindungi gulungan sinar hijau.
Akan tetapi tetap saja ia terdesak dan beberapa kali hampir terkena sabetan golok para pengeroyok karena ia harus mencurahkan perhatiannya terhadap sinar hitam tongkat nenek itu yang bergulung-gulung bagaikan naga hitam mengamuk. Tiba-tiba ketika Li Hong menangkis tongkat hitam yang meluncur dari samping ke arah pinggangnya, dua batang golok menyambar dari belakang. Li Hong memutar tubuh sambil menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam lembut menyambut dua orang anak buah dan mereka menjerit dan roboh berkelojotan terkena Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang dilepas tangan kiri Li Hong!
Song-bun Mo-li menjadi marah melihat robohnya dua orang anak buah dan ia menyerang lebih ganas lagi. Li Hong cepat mengelak dan melihat tiga orang anak buah berpakaian hitam menerjangnya, ia yang sudah mempersiapkan sehelai saputangan merah, mengebutkan saputangan itu ke arah muka mereka. Debu kemerahan mengepul, akan tetapi Song-bun Mo-li yang sudah waspada berseru kepada anak buahnya.
“Tahan napas dan menjauh!” Tiga orang itu menahan napas dan berlompatan ke belakang. Li Hong adalah murid Ban-tok Kui-bo yang kini mengubah julukannya menjadi Ban-tok Niocu, maka tentu saja ia merupakan seorang ahli dalam hal penggunaan pukulan beracun atau senjata beracun. Akan tetapi Song-bun Mo-li adalah seorang datuk yang banyak pengalamannya, maka tentu saja ia dapat menghadapi serangan-serangan Li Hong dengan senjata beracunnya.
Kini kembali Li Hong diserang dan didesak sehingga ia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk menggunakan senjata rahasia beracun berupa Hek-tok-ciam atau saputangan yang mengandung Ang-tok (Racun Merah). Keadaan Ceng Ceng tidak lebih baik daripada keadaan Li Hong. Melawan Kim Bayan seorang saja sudah merupakan lawan berat, apalagi masih ada empat orang anak buah yang ikut mengeroyoknya.
Tadinya bahkan ada enam orang anak buah yang mengeroyok, akan tetapi yang dua orang lagi kini membantu Song-bun Mo-li mengeroyok Li Hong yang lebih berbahaya bagi mereka. Li Hong sudah membunuh dua orang anak buah dan gadis ini memang mengamuk untuk membunuh.
Sebaliknya, Ceng Ceng tidak mau membunuh orang dan serangannya hanya ditujukan untuk merobohkan lawan tanpa membunuh. Hal ini mengurangi bahaya serangannya. Akan tetapi ia mengandalkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat sehingga biarpun dikeroyok, ia mampu berkelebatan mengelak sehingga tubuhnya berubah menjadi bayangan putih.
Tongkat ranting di tangannya juga menyambar-nyambar mencari sasaran dan ia sudah berhasil menotok dua orang pengeroyok sehingga mereka roboh dengan tubuh terkulai lemah. Akan tetapi Kim Bayan cepat memulihkan totokan itu sehingga para pengeroyok tetap ada empat orang anak buah membantu Kim Bayan.
Seperti juga Li Hong, Ceng Ceng terdesak hebat. Hanya bedanya, kalau Li Hong terancam maut karena memang Song-bun Mo-li berniat membunuhnya, maka Kim Bayan yang tidak ingin membunuh Ceng Ceng memberi perintah kepada empat orang pembantunya untuk merobohkan Ceng Ceng, boleh melukai akan tetapi dilarang keras membunuh gadis itu.
Ketika dua orang gadis itu berada dalam keadaan yang gawat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan yang luar biasa cepatnya. Bayangan itu menyambar ke arah para pengeroyok Li Hong dan tiba-tiba saja dua orang pengeroyok berteriak dan roboh mandi darah disambar sinar keemasan!
“Pouw-twako!” Li Hong berseru girang. Melihat bayangan yang amat cepat didahului sinar keemasan itu ia pun tahu siapa yang datang membantunya.
“Li Hong, engkau cepat bantu Ceng Ceng!” kata Cun Giok dan dia lalu memutar pedang Kim-kong-kiam menyerang Song-bun Mo-li yang cepat menggunakan tongkat hitamnya untuk menangkis.
“Cringgg...!” Kini nenek itu terkejut karena pertemuan senjata itu membuat ia terhuyung ke belakang!
Tiga orang anak buah yang membantunya juga gentar karena ketika sinar keemasan yang menyambar dan mereka menyambut dengan golok, sebatang golok besar patah menjadi dua! Akan tetapi yang goloknya patah cepat mengambil golok kawannya yang tewas dan mereka berempat kembali membantu Song-bun Mo-li mengeroyok pemuda yang baru datang dan yang ternyata amat lihai itu!
Sementara itu, Li Hong merasa girang melihat kedatangan Cun Giok. Apalagi ia memang amat membenci Kim Bayan yang sudah menyiksa ayah ibunya dan membunuh orang tua Ceng Ceng. Maka, mendengar ucapan Cun Giok, tanpa ragu lagi ia lalu melompat dengan cepatnya ke arah Ceng Ceng dan mengamuk. Pedangnya yang bersinar hijau menyambar-nyambar dan dua orang pengeroyok roboh dan tewas dengan tubuh berubah menghitam terkena tusukan pedang Ban-tok-kiam yang beracun!
Melihat ini Kim Bayan menjadi pucat dan gentar. Dia pernah menghadapi Ceng Ceng yang dibantu pemuda remaja ini dan dia tahu betapa lihainya mereka berdua. Kini pembantunya hanya tinggal dua orang, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat ke belakang, diikuti dua orang pembantunya. Ketika Ceng Ceng dan Li Hong hendak mengejar, Kim Bayan membanting sebuah benda yang meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal!
“Tahan napas dan mundur!” seru Ceng Ceng yang segera mengetahui bahwa asap itu mengandung pembius. Li Hong melompat ke belakang.
Sementara itu, Song-bun Mo-li juga gentar menghadapi pemuda yang gerakannya demikian cepat sehingga tidak dapat tampak nyata bayangan tubuhnya, segera mengerahkan kekuatan sihirnya dan berteriak melengking. Cun Giok terkejut sekali karena dia merasa betapa jantungnya tergetar hebat.
Cepat dia mengerahkan sin-kang untuk menahan serangan suara yang mengandung sihir amat kuat itu. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Song-bun Mo-li untuk melarikan diri, diikuti anak buahnya yang tinggal tiga orang karena yang dua orang tadi sudah roboh tewas terserang pedang Kim-kong-kiam.
Ketika dia hendak mengejar, kembali Kim Bayan membanting alat peledak di belakang Song-bun Mo-li dan anak buahnya. Asap hitam yang mengandung pembius itu menghalang dan Cun Giok tidak dapat mengejar. Ketika asap menipis, Song-bun Mo-li, Kim Bayan, dan lima orang anak buah mereka yang berpakaian hitam itu telah lenyap.
Cun Giok menghampiri Ceng Ceng dan Li Hong. “Ceng-moi, Hong-te, aku girang melihat kalian selamat. Mereka itu sungguh lihai sekali, terutama nenek itu amat berbahaya!” kata Cun Giok.
Ceng Ceng teringat akan pesan Li Hong agar jangan membuka rahasia penyamarannya, maka ia pun tersenyum dan berkata lembut. “Giok-ko, kalau tadi tidak ada... Adik Li Hong ini yang semalam datang membantuku, aku tentu telah tertawan oleh mereka.”
“Pouw-twako, nenek iblis tadi adalah Song-bun Mo-li seorang datuk dari utara yang selain lihai ilmu silatnya, juga mahir menggunakan ilmu setan dan sihir! Syukur engkau datang. Tadi aku sudah merasa heran mengapa engkau belum juga muncul, padahal semalam aku sudah mengatakan kepada Ceng Ceng bahwa engkau akan datang membantu.”
“Maaf, aku memang kesiangan. Setelah melihat engkau tidak ada dan juga Kim Bayan dan subonya itu sudah pergi, aku cepat melakukan pengejaran. Hong-te, mengapa engkau pergi begitu saja semalam dan tidak memberitahu kepadaku?”
“Ah, aku sangat mengkhawatirkan keadaan Ceng Ceng, maka aku pergi mencarinya malam tadi. Untung bahwa aku dapat membantunya ketika anjing-anjing itu datang menyerang!” Sambil tersenyum cerah Li Hong memegang tangan Ceng Ceng.
Melihat keakraban ini wajah Cun Giok menjadi merah dan jantungnya berdebar. Li Hong jelas mencinta Ceng Ceng, pikirnya dan dia merasa betapa hatinya merasa kehilangan. Dia cemburu! Akan tetapi segera diusirnya perasaan itu dari hatinya. Mengapa dia harus cemburu? Li Hong bebas mencinta Ceng Ceng, dan Ceng Ceng juga bebas mencinta Li Hong. Dia sendirilah yang tidak berhak mencintai wanita lain kecuali Siok Eng yang telah menjadi tunangan, menjadi calon isterinya!
“Nanti saja kita bicara. Sekarang yang penting aku harus mengubur enam buah mayat itu!” kata Cun Giok untuk melupakan jalan pikirannya tadi.
“Bukan enam orang melainkan tujuh orang yang mampus, Pouw-twako! Semalam aku membunuh seorang anak buah mereka dan mayatnya berada di luar kuil dekat jendela,” kata Li Hong yang merasa bangga karena selain semalam ia sudah membunuh seorang musuh, tadi ia masih membunuh empat orang lagi. Cun Giok merobohkan dua orang sehingga anak buah berpakaian hitam itu yang tewas ada tujuh orang sedangkan yang lima orang lagi berhasil melarikan diri. “Akan tetapi, Pouw-twako, untuk apa susah payah mengubur mayat orang-orang jahat itu? Biarkan saja di situ dan kita pergi dari sini!”
“Li Hong, Giok-ko benar. Mayat-mayat itu harus dikubur. Mereka itu jahat sewaktu hidup, kini sudah mati dan tidak dapat berbuat jahat lagi. Yang kita tentang adalah kejahatannya bukan orangnya, apalagi kalau sudah mati. Dan menjadi kewajiban kita untuk mengubur jenazah orang, demi prikemanusiaan.” Lalu ia menoleh kepada Cun Giok dan berkata lembut. “Giok-ko, mari kubantu engkau mengubur semua jenazah itu.”
Cun Giok memandang kagum kepada gadis itu. Setiap kali gadis itu bicara, selalu saja ada hal-hal baru yang amat mengagumkan, yang mencerminkan kepribadian yang amat bijaksana. Sungguh tepatlah julukan gadis itu sebagai Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih) karena ia memang seperti seorang dewi kahyangan, baik kecantikannya maupun wataknya.
Dia mengangguk dan mereka berdua lalu mulai menggali lubang besar di depan kuil itu. Walaupun mereka menggali lubang besar untuk tujuh buah mayat itu hanya menggunakan alat sederhana, yaitu batu dan kayu, namun karena keduanya memiliki lweekang (tenaga dalam) yang kuat, maka tak lama kemudian mereka sudah berhasil menggali sebuah lubang yang cukup besar.
Selama mereka berdua menggali itu, Li Hong hanya duduk di atas sebuah batu, memandang dengan mulut cemberut, sama sekali tidak mau membantu. Ia merasa jengkel bukan karena mereka berdua hendak mengubur mayat-mayat itu walaupun ia tidak setuju, melainkan karena melihat keakraban antara Ceng Ceng dan Cun Giok.
Ia memang melihat sikap Ceng Ceng biasa saja, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu amat kagum dan tertarik kepada Ceng Ceng. Hal itu dapat ia rasakan melihat senyum dan pandang mata Cun Giok kepada Ceng Ceng. Api cemburu membakar dadanya, akan tetapi ia diam saja, hanya cemberut murung.
Setelah lubang siap, Cun Giok mengangkut mayat-mayat itu dan akan memasukkannya ke dalam lubang. Dia merebahkan dulu enam buah mayat yang masih utuh ke dekat lubang dan dia bergidik ketika hendak mengangkut mayat ketujuh. Kepala mayat itu terpisah dari tubuhnya. Kepala itu pecah dan tubuh mayat itu terluka dadanya sampai tembus.
“Giok-ko, mayat yang ini tadi mendadak hidup lagi, kepala yang terpisah dari badan itu mengamuk, juga badan tanpa kepala Li Hong yang merobohkannya. Ini merupakan ilmu setan yang mengerikan, agaknya Song-bun Mo-li yang melakukannya.”
Ceng Ceng menerangkan kepada Cun Giok, melihat pemuda itu tampak ngeri melihat jenazah ketujuh itu. Cun Giok merasa heran dan dia lebih dulu memasukkan mayat ketujuh itu ke dalam lubang. Setelah itu dia memasukkan semua mayat itu, satu demi satu ke dalam lubang. Akhirnya Li Hong merasa tidak enak juga berdiam diri saja melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng tadi menggali lubang, kemudian melihat Cun Giok mengangkuti mayat-mayat itu.
“Mari kubantu menimbuni lubang!” katanya sambil menghampiri lubang kuburan yang terisi tujuh buah mayat itu.
Akan tetapi sebelum mereka bertiga melakukan penimbunan, tiba-tiba saja enam buah mayat berpakaian hitam itu berloncatan keluar dari lubang galian! Hanya mayat ketujuh yang tetap menggeletak di dalam lubang. Enam mayat hidup itu lalu menyerang Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong.
Tiga orang muda itu terkejut dan merasa ngeri. Ceng Ceng menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak, akan tetapi ia terus dikejar dan dikeroyok tiga orang mayat hidup yang bergerak kaku namun gerakan tangan mereka mendatangkan angin, tanda bahwa mereka memiliki tenaga aneh yang amat kuat!
Li Hong juga terkejut, mukanya pucat, akan tetapi gadis ini sudah mencabut pedangnya dan melawan tiga orang mayat hidup lain yang mengeroyoknya. Agaknya mayat-mayat hidup itu hanya mengeroyok Ceng Ceng dan Li Hong. Mungkin hanya dua orang gadis itulah yang mereka kenal, sedangkan Cun Giok yang datang belakangan tidak mereka kenal maka tidak mereka serang!
Cun Giok percaya akan kemampuan Ceng Ceng dan Li Hong. Dia lapat-lapat mendengar suara seperti orang berdoa yang datangnya dari arah barat. Melihat betapa Ceng Ceng dan Li Hong dapat menghindarkan serangan pengeroyokan mayat-mayat hidup itu, Cun Giok berkata kepada mereka.
“Ceng-moi dan Hong-te, kalian pertahankan, aku akan mencari biang keladinya!”
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat lenyap ke arah barat. Penciumannya dapat menangkap bau wangi yang aneh dan dia segera menuju ke arah dari mana datangnya bau aneh itu. Benar saja dugaannya, tak berapa jauh dari situ dia melihat nenek baju putih yang seperti mayat itu sedang duduk bersila. Ada dupa besar membara di depannya, di tengah-tengah lingkaran berbentuk aneh dari batu-batu kecil.
Nenek itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa. Kim Bayan tampak berdiri agak jauh di belakang nenek itu, bersama lima orang anak buah yang berpakaian hitam-hitam. Marahlah Cun Giok!
“Nenek siluman!” Dia membentak lalu melompat dan menyerang nenek itu dengan pukulan Pai-bun-twi-san (Dorong Pintu Tolak Gunung), kedua tangannya dengan jari terbuka mendorong ke arah tubuh nenek yang duduk bersila itu.
“Wuuuuttt! Darrrr...!”
Tubuh Song-bun Mo-li sudah mencelat ke belakang menghindarkan pukulan dan yang terkena pukulan dari atas itu adalah dua batang lilin menyala, dupa besar yang membara, dan susunan batu-batu membentuk lingkaran aneh itu sehingga berhamburan!
Song-bun Mo-li sudah tahu akan kelihaian Cun Giok, maka sambil mengeluarkan suara setengah menangis setengah tertawa ia melarikan diri, diikuti Kim Bayan dan anak buahnya. Mereka khawatir kalau-kalau dua orang lawan yang lainnya datang sehingga mereka akan menghadapi bahaya, maka mereka melarikan diri tunggang-langgang!
Sementara itu, Ceng Ceng dan Li Hong yang masing-masing dikeroyok tiga orang mayat hidup, merasa ngeri. Beberapa kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Li Hong membabat putus lengan pengeroyoknya, akan tetapi mayat hidup itu tetap saja maju menyerangnya dan lengannya yang buntung seolah tidak terasa sama sekali, juga tidak mengeluarkan darah!
Demikian pula Ceng Ceng. Beberapa kali ujung tongkat ranting di tangannya menotok dengan tepat jalan darah yang penting, namun mayat-mayat hidup yang ditotoknya itu sama sekali tidak roboh seolah totokan itu tidak dirasakannya. Beberapa kali ia menendang dan begitu roboh, mayat hidup itu bangkit kembali dan menyerang membabi buta!
Tentu saja mereka merasa ngeri juga. Li Hong teringat ketika ia membuat mayat hidup pertama benar-benar mati, yaitu dengan menusuk tembus jantungnya dan memecah kepalanya. Maka kini ia menujukan pedangnya untuk menusuk dada sebelah kiri dan membelah kepala para pengeroyoknya yang mengerikan itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja enam buah mayat hidup itu terkulai dan tak bergerak lagi! Hal ini terjadi ketika Cun Giok memukul berantakan alat-alat yang dipergunakan oleh Song-bun Mo-li untuk berdoa dan menghidupkan mayat-mayat itu!
Ceng Ceng dan Li Hong saling berpandangan dengan heran. Akan tetapi Ceng Ceng yang lebih banyak mengetahui tentang ilmu sihir dan ilmu setan seperti yang ia pernah dengar dari mendiang ayah dan paman gurunya, segera berkata,
“Li Hong, cepat kautusuk tembus jantung mereka!”
Li Hong bergerak cepat, pedangnya menyambar-nyambar dan dalam waktu singkat ia telah menusuk tembus dada kiri enam buah mayat itu. Ia juga membacok kepala mayat-mayat itu sehingga batok kepala mereka pecah. Setelah itu, Li Hong menendangi mayat-mayat itu sehingga terlempar memasuki lubang galian!
Cun Giok berkelebat datang dan dia merasa lega melihat Li Hong dan Ceng Ceng dalam keadaan selamat. Dia juga melihat betapa mayat-mayat yang tadi hidup lagi itu kini sudah berada dalam lubang galian.
“Benar saja, nenek iblis itu yang menggunakan ilmu setan menghidupkan lagi mayat-mayat tadi. Ia dan Kim Bayan sudah melarikan diri,” katanya.
“Li Hong telah menusuk tembus jantung mayat-mayat itu, dan membelah kepala mereka,” kata Ceng Ceng. “Mari kita timbun lubang ini dengan tanah.”
Mereka bertiga bekerja dan lubang itu telah ditimbuni tanah. Mereka masih menindih gundukan tanah itu dengan batu-batu besar. “Kita harus cepat pergi dari sini. Agaknya Kim Bayan tidak akan tinggal diam. Kalau dia kembali ke sini membawa pasukan yang besar jumlahnya, akan sukarlah bagi kita untuk menghadapinya. Mari kita cepat pergi!”
Mereka lalu berlari cepat meninggalkan kuil di tengah hutan itu. Setelah berlari puluhan mil jauhnya tanpa berhenti, akhirnya mereka berhenti di tepi sebuah sungai dan duduk di bawah sebuah pohon yang rindang. Tempat itu teduh dan nyaman sekali. Duduk di bawah pohon dekat sungai, dikipasi angin semilir, tiga orang yang baru saja berlari cepat itu merasa nyaman. Mereka duduk di atas batu-batu yang terdapat banyak di tepi sungai.
“Jahanam Kim Bayan, sayang aku tidak dapat memenggal lehernya untuk membalaskan Ayah Ibuku yang pernah disiksanya!” kata Li Hong penasaran.
“Hong-te, di mana sekarang Ayah Ibumu itu?” tanya Cun Giok...