49: CEMBURU KEPADA SIAPA?
“Mereka sekarang tinggal bersama Subo di Pulau Ular,” jawab Li Hong akan tetapi ia merasa malu untuk mengatakan bahwa kini subonya, Ban-tok Niocu, menjadi isteri ayahnya. “Sudahlah, jangan bercerita tentang aku, yang penting sekarang kita bicara tentang engkau, Ceng Ceng. Aku yakin bahwa jahanam Kim Bayan itu tidak akan mau berhenti sebelum mendapatkan peta itu darimu. Engkau akan terus dikejar-kejar."
Ceng Ceng menghela napas panjang. “Biar bagaimanapun juga, aku tidak akan menyerahkan peta itu kepada Panglima Kim Bayan dan Pemerintah Kerajaan Mongol. Mereka tidak berhak memiliki harta karun itu. Harta karun itu harus diserahkan kepada para pejuang yang menentang penjajah Mongol dan yang berjuang membebaskan tanah air dari tangan penjajah. Biarpun harus berkorban nyawa, seperti yang dilakukan Ayah Ibuku, aku rela dan tidak akan menyerahkan peta itu!”
“Sebetulnya, harta karun apakah yang disembunyikan dalam peta itu, Ceng Ceng? Mengapa pula Ayah Ibumu mempertahankannya sampai berkorban nyawa dan engkau juga mempertahankannya mati-matian? Apakah engkau ingin memiliki harta karun dan menjadi kaya?” tanya Li Hong.
Cun Giok mengerutkan alisnya. Pertanyaan Li Hong itu dia anggap tidak sopan, akan tetapi dia telah mengenal watak pemuda remaja ini yang memang liar dan ugal-ugalan walaupun pada dasarnya dia gagah dan membela keadilan. Apalagi karena dia melihat Ceng Ceng tersenyum saja. Agaknya memang sudah ada hubungan perasaan antara gadis dan pemuda itu!
“Sebetulnya peta itu merupakan rahasia besar Ayah...”
“Ceng-moi, kalau itu merupakan rahasia keluargamu, tidak perlu kaubicarakan kepada siapapun, bahkan tidak kepada kami berdua,” kata Cun Giok.
“Ah, mengapa harus dirahasiakan kepada kami? Apakah Ceng Ceng tidak percaya kepada kami setelah apa yang kita alami bersamamu? Huh, aku pun tidak ingin merampas harta orang!” kata Li Hong.
“Tidak, Li Hong, aku tidak akan merahasiakan kepada kalian berdua. Aku percaya sepenuhnya kepada engkau dan Giok-ko. Harta karun itu milik Kerajaan Sung yang dikorup oleh seorang pembesar kebiri, yaitu Thaikam Bong. Sebelum Kerajaan Sung jatuh, Thaikam Bong mencuri harta istana dan menyembunyikan harta itu di suatu tempat rahasia. Dia membuat peta tempat persembunyian harta itu dan kabarnya dia membunuhi semua orang yang membantunya menyimpan harta itu. Nah, sebelum pasukan Mongol menyerbu, Kerajaan Sung mengadakan pembersihan dan terutama sekali Thaikam Bong yang diketahui korup dan bersekutu dengan orang Mongol itu. Diserbu pasukan yang dipimpin oleh ayahku Liu Bok Eng yang ketika itu menjadi seorang panglima. Rumah Thaikam Bong dibakar dan hartanya dirampas. Ayah menemukan peta itu dan dibawanya ketika Ayah ikut mengawal Kaisar Sung yang melarikan diri ke selatan. Peta terus disimpan Ayah dan Ayah mengambil keputusan untuk kelak menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang hendak mengusir penjajah Mongol. Ketika Ayah dan Ibu dipaksa menyerahkan peta dan ditolak sehingga orang tuaku terbunuh, Ayah telah meninggalkan peta itu kepada seorang sahabat dan kemudian diserahkan kepadaku. Agaknya tentang adanya peta harta karun itu diketahui Panglima Kim Bayan yang sekarang bermaksud merampasnya dariku. Demikianlah riwayat peta itu.”
“Akan tetapi, Ceng Ceng, apakah Ayahmu pernah membuktikan kebenaran peta itu dan melihat sendiri harta karun yang disembunyikan?” tanya Li Hong.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Ayah belum pernah mencoba untuk mencari harta karun itu. Niatnya hanya menyerahkan peta itu kepada para pejuang agar mereka yang kelak mencari sendiri kalau mereka membutuhkan biaya perjuangan mereka melawan penjajah.”
“Ceng-moi, pertanyaan Hong-te tadi memang benar,” kata Cun. Giok. “Kalau engkau belum membuktikan bahwa peta itu memang benar menunjukkan tempat penyimpanan harta karun, bagaimana kalau engkau serahkan kepada para pejuang kemudian setelah dicari ternyata tidak ada harta karun tersembunyi menurut peta itu?”
“Ya, engkau harus yakin bahwa peta itu tidak palsu atau bohong karena ayahmu hanya merampas dari Thaikam Bong, Ceng Ceng. Kalau kelak setelah engkau serahkan peta kepada para pejuang kemudian setelah dicari harta karun itu tidak ada, tentu hal itu akan membuat engkau malu dan mendiang orang tuamu akan dianggap sebagai pembohong.”
Ceng Ceng tersenyum. “Kalian benar, akan tetapi aku sendiri juga berpendapat begitu. Sebetulnya sekarang pun aku sedang melakukan perjalanan mencari harta karun itu untuk membuktikannya.”
“Ceng Ceng, kalau engkau percaya kepadaku, aku akan membantumu mencari sampai dapat.”
“Tentu saja aku percaya padamu, Li Hong.”
“Ceng-moi, mengingat bahwa engkau tentu akan selalu dicari oleh Kim Bayan, maka perjalananmu mencari harta karun itu tentu akan mengalami banyak rintangan yang berbahaya. Maka, kalau engkau tidak keberatan, biarlah aku membantumu menghadapi semua rintangan itu,” kata Cun Giok.
“Tentu saja aku tidak keberatan, Giok-ko, bahkan aku merasa girang sekali kalau engkau mau membantuku. Dengan adanya Li Hong dan engkau membantuku, aku yakin kita bertiga akan dapat menemukan harta karun itu!” kata Ceng Ceng gembira. “Mari kita lihat peta itu, agar kalian dapat pula mempelajarinya.”
Ceng Ceng lalu mengambil gulungan peta dari balik bajunya dan setelah memeriksa dengan teliti keadaan sekeliling dan yakin bahwa tidak ada orang lain yang mengintai, mereka bertiga mempelajari peta yang dibuka oleh Ceng Ceng.
Setelah memeriksa dengan teliti, Li Hong mengeluh. “Wah, kalau aku yang disuruh mencari harta karun itu, aku menyerah dan angkat tangan! Aku sama sekali tidak mengerti maksud peta ini, seperti teka-teki saja. Apa sih maksudnya garis-garis lengkung dan gambar naga dan burung Hong di tengah itu?”
“Kalau menurut pendapatmu bagaimana, Giok-ko?”
Cun Giok juga mempelajari peta itu dengan penuh perhatian. Kemudian ia menjawab, “Garis-garis melengkung ini seperti menggambarkan pegunungan, Ceng-moi, letaknya di sebelah bawah atau sebelah selatan gambar naga dan burung Hong. Tentu tempat persembunyian itu berada di pegunungan itu. Gambar lingkaran kecil di pegunungan itu agaknya merupakan sebuah guha dan di situ ada titik merahnya. Maka kalau aku tidak keliru, harta karun itu disimpan dalam sebuah guha di pegunungan itu. Akan tetapi di mana letak pegunungan itu? Memang sukar mengartikan peta yang tidak ada tulisannya ini.”
“Coba perhatikan, Giok-ko. Gambar yang ada hanya naga dan burung Hong. Pertanda apakah itu? Bukankah itu pertanda yang berarti Kaisar? Dan Kaisar itu tempatnya di istana, di kota raja. Lihat di atas kedua burung keramat itu, terdapat garis-garis melengkung yang lebih besar. Berarti, mungkin kalau aku tidak keliru, itu adalah pegunungan yang besar di sebelah utara kota raja Peking. Dan sebelah selatan atau di bawahnya terdapat lukisan garis-garis melengkung yang lebih kecil, yang berarti perbukitan seperti yang engkau kira. Dugaanmu tentang guha di perbukitan selatan itu kukira sudah benar. Perbukitan itu tentu berada di sebelah selatan kota raja dan seingatku di sebelah selatan kota raja memang terdapat perbukitan yang subur. Mari kita mencoba menyelidiki ke sana. Siapa tahu perhitungan kita benar.”
Mereka bertiga mempelajari dan menghafal isi peta ini dalam ingatan mereka, menjaga kalau-kalau peta itu sampai hilang atau terampas orang mereka masih dapat mengingat dan mencari harta pusaka itu. Setelah bersepakat, tiga orang ini lalu melanjutkan perjalanan mereka, kini mereka menuju ke perbukitan sebelah selatan kota raja.
********************
Ketika Cun Giok, Li Hong, dan Ceng Ceng tiba di kaki perbukitan di sebelah selatan kota raja, mereka berhenti dan Ceng Ceng berseru. “Ah, tak salah lagi. Perbukitan inilah yang dimaksudkan peta itu! Lihat, Li Hong, Giok-ko, tiga puncak bukit yang berjejer itu, tepat seperti tiga garis lengkung itu! Dan bukit yang di tengah itu, yang subur dengan hutan lebat dan padang rumput, tentu di sana tempat guha itu berada. Bukankah gambar lingkaran kecil itu berada di tengah perbukitan? Tak salah lagi, kita sekarang mendaki bukit di tengah itu dan mencari guha yang dimaksudkan dalam peta!”
Mereka merasa gembira dan bersemangat membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan tempat disembunyikannya harta karun itu. Ketika mereka tiba di kaki bukit bagian tengah, mereka bertemu dengan lima orang laki-laki yarg berpakaian sebagai pemburu binatang hutan.
Lima orang itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan tubuh mereka tegap dan tampak kuat karena pekerjaan mereka memang membutuhkan tubuh yang kuat. Mereka membawa gendewa dan anak panah yang dikalungkan di leher dan pundak, dan tangan mereka memegang tombak. Gulungan tali tergantung di pinggang mereka.
Ketika lima orang itu melihat dua orang pemuda dan seorang gadis yang ketiganya tampak lemah itu hendak mendaki bukit di tengah itu, seorang di antara mereka yang mukanya berewok menegur, setelah mereka berlima saling pandang dengan heran.
“Sam-wi (Anda Bertiga) hendak pergi ke manakah?”
Cun Giok menjawab dengan ramah. “Kami bertiga hendak mendaki bukit ini. Kalau tidak salah dugaan kami, Twako berlima tentu para pemburu yang suka memburu binatang hutan, betulkah?”
“Mendaki bukit ini? Ah, maafkan kami, Taihiap (Pendekar Besar), apakah Sam-wi masih ada hubungan dengan Majikan Bukit Sorga ini?”
Cun Giok menggelengkan kepalanya. “Bukan, Twako. Kami hanya ingin jalan-jalan dan melihat keindahan bukit.”
Lima orang itu kembali saling pandang dan kelihatan heran sekali. Si Berewok itu lalu berkata lagi. “Ucapanmu itu membuktikan bahwa kalian bertiga bukan orang sini.” Kini dia tidak lagi menyebut taihiap, agaknya sebutan tadi dia pergunakan karena mengira bahwa tiga orang itu merupakan kerabat orang yang memiliki atau menguasai bukit yang disebut Bukit Sorga itu. “Kalau kalian bertiga penduduk kota raja dan sekitarnya, pasti tidak akan berani mengantarkan nyawa sendiri di Bukit Sorga!”
“Hei, jangan bicara sembarangan kau!” Li Hong membentak sambil melangkah maju, memandang Si Berewok dengan mata mencorong. “Siapa yang mengantarkan nyawa sendiri? Mungkin kalian berlima yang mengantarkan nyawa kalian kalau berani menghalangi perjalanan kami!”
Lima orang pemburu itu tertawa melihat sikap Li Hong yang galak. Mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sekarang nrenghadapi seorang pemuda remaja yang tampak lemah berani mengancam mereka, hal ini sungguh menggelikan dan juga membuat mereka marah. Akan tetapi Cun Giok segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada lima orang itu dan berkata halus.
“Ngo-wi Twako (Kakak Berlima), maafkan kami. Sesungguhnya, kami tidak mengerti apa yang Ngo-wi maksudkan tadi. Kami tidak berniat jahat, mengapa kalau mendaki bukit ini berarti mengantarkan nyawa? Siapakah yang memiliki bukit ini?”
Melihat sikap Cun Giok yang sopan, Si Berewok menghela napas panjang. “Ah, memang kalian ini agaknya sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal bahaya. Bukit Sorga ini adalah milik seorang yang amat besar kekuasaannya di kota raja, bahkan kabarnya kaisar sendiri menghormatinya dan bukit ini oleh kaisar dihadiahkan kepadanya. Majikan bukit ini selain besar kekuasaannya, juga sakti seperti seorang dewa. Tak seorang pun berani mendaki bukit ini, karena siapa berani mendaki berarti mati. Beberapa orang kawan kami dulu pernah tidak menghiraukan cegahan kami dan berburu binatang hutan di bukit ini dan mereka semua tidak kembali. Maka, kalau kalian bertiga hendak mendaki bukit, bukankah berarti kalian mengantarkan nyawa?”
“Bukan hanya sakti dan berkuasa, akan tetapi majikan bukit ini juga memiliki ilmu setan yang mengerikan sehingga kami semua hanya mengenal sebutannya, yaitu Kui-ong (Raja Setan) tanpa pernah dapat melihat orangnya,” kata orang kedua.
“Ah, Twako, mengapa repot-repot memperingatkan mereka. Ka!au dua orang pemuda ini hendak mengantarkan nyawa di bukit ini, tidak peduli dan biar mereka mati dimakan setan. Akan tetapi gadis ini yang cantik jelita seperti bidadari, sayang kalau sampai dimakan setan. Lebih baik ditinggalkan saja bersama kami, pasti selamat!” kata orang ketiga yang sejak tadi memandang Ceng Ceng dengan pandang mata penuh gairah.
“Tutup mulutmu yang busuk!” Li Hong membentak dan ia sudah siap menghajar orang yang dianggapnya menghina Ceng Ceng itu.
“Apa kau kata?!” Pemburu itu maju hendak memukul dan Li Hong sudah siap menghajarnya, akan tetapi Cun Giok lebih dulu maju dan menangkap pergelangan tangan pemburu yang hendak memukul itu dan berkata,
“Sabar, sobat. Kami tidak mencari keributan. Maafkan kami dan kami tidak akan sembarangan mendaki bukit ini.”
Pemburu itu terkejut bukan main karena begitu pergelangan tangannya dipegang pemuda itu, dia merasa seluruh tubuhnya lemas kehilangan tenaga! Maka begitu Cun Giok melepaskan lengannya, dia tidak berani banyak cakap lagi, malah berkata kepada teman-temannya.
“Mari kita pergi dari sini.” Dia mendahului pergi diikuti oleh empat orang temannya.
Setelah lima orang pemburu itu pergi menuju ke bukit di sebelah, Li Hong mengomel. “Pouw-twako, engkau ini bagaimana sih? Orang tadi seharusnya dihajar karena dia sudah mengeluarkan kata-kata kurang ajar terhadap Ceng Ceng! Kalau engkau begitu sabar, tentu orang tidak akan menghormati kita lagi!”
“Hong-te, ingat bahwa kita sedang melakukan penyelidikan. Mereka tadi setidaknya telah berjasa karena telah menceritakan keadaan bukit ini. Kalau kita membuat ribut dan terdengar oleh penghuni bukit ini, maka penyelidikan kita tentu akan menemui banyak rintangan dan kesulitan.”
“Glok-ko berkata benar, Li Hong. Sekarang kita tahu bahwa pemilik bukit ini adalah orang yang berkuasa di Kerajaan Goan (Mongol), maka kita harus berhati-hati karena tentu saja penghuni bukit ini akan memusuhi kita kalau mereka tahu kita mendaki bukit ini.”
Li Hong diam saja, hanya cemberut karena hatinya merasa tidak senang. Sudah beberapa kali Cun Giok dan Ceng Ceng saling membenarkan! Agaknya mereka itu saling dukung dan saling cocok! Dengan hati panas ia menduga bahwa Cun Giok dan Ceng Ceng saling mencinta! Akan tetapi ia pun mengerti bahwa Cun Giok berkata benar.
Mereka sedang menyelidiki tempat penyimpanan harta karun yang berada di bukit itu. Tentu saja penyelidikan ini harus dilakukan dengan diam-diam agar jangan ketahuan orang lain. Apa lagi ketahuan penghuni bukit itu yang ternyata masih kerabat istana kaisar Mongol!
Sebelum mulai dengan pendakian bukit, Ceng Ceng berkata kepada dua orang kawannya. “Giok-ko dan Li Hong, karena kita akan berada di tempat berbahaya, kurasa sebaiknya kalau peta ini kita sembunyikan di sini. Kita sudah hafal gambar peta itu maka tanpa peta pun kita dapat mencari harta karun itu. Agar jangan sampai peta ini dilihat orang lain, maka baiknya disembunyikan. Andaikata kita mendapatkan halangan, seorang dari kita dapat saja mengambil peta ini. Bagaimana pendapat kalian?”
“Mengapa harus disembunyikan, Ceng Ceng? Kalau ada yang berani mengganggu kita, kita lawan. Dengan bertiga kurasa kita akan dapat menghancurkan setiap lawan yang berani mengganggu!” kata Li Hong gagah.
“Hong-te, Ceng-moi berkata benar. Tempat yang akan kita daki ini berbahaya sekali. Aku tahu bahwa engkau tidak takut, kami juga tidak takut. Akan tetapi ketahuilah, baru muncul nenek ib!is seperti Song-bun Moli saja ia sudah begitu lihai dan berbahaya. Siapa tahu di sini muncul pula orang-orang jahat yang sakti. Peta itu sebaiknya kalau disembunyikan di sini.”
Kembali mereka saling mendukung dan membenarkan! Hati Li Hong menjadi panas sekali dan ia tidak mampu menahan kemarahan dan cemburunya. Mukanya merah, sinar matanya mencorong dan ia bangkit berdiri.
“Pouw-twako! Engkau selalu membela dan membenarkan Ceng Ceng! Ah, aku...... muak mendengarnya!” Setelah berkata demikian, Li Hong lalu berlari pergi meninggalkan mereka.
“Hong-te...!” Cun Giok berseru, akan tetapi Li Hong sudah pergi dan tak tampak lagi bayangannya.
Ceng Ceng dan Cun Giok bangkit berdiri dan mereka saling pandang, merasa kecewa dan menyesal. Cun Giok menghela napas panjang dan berkata lirih.
“Dia cemburu...” Dia yakin kini bahwa Li Hong mencinta Ceng Ceng sehingga marah mendengar dia membenarkan kata-kata gadis itu.
Ceng Ceng mengangguk. “Ia memang cemburu, Giok-ko.” Akan tetapi tentu saja ia maksudkan bahwa Li Hong cemburu kepadanya karena gadis itu mencinta Cun Giok!
“Ceng-moi, dia seorang pemuda yang baik sekali. Dia mencintamu dan menyesal sekali aku telah menyakiti hatinya, telah membikin dia cemburu padaku.”
Ceng Ceng mengerti bahwa pemuda itu salah sangka dan belum mengetahui bahwa Li Hong adalah seorang wanita. Ia masih ingat akan permintaan Li Hong agar tidak membuka rahasia penyamarannya kepada Cun Giok. Akan tetapi keadaannya sekarang berbeda. Agar menghilangkan semua kesalahpahaman, ia harus membuka rahasia penyamaran Li Hong kepada Cun Giok.
“Giok-ko, engkau salah sangka. Li Hong memang cemburu, akan tetapi bukan cemburu kepadamu, melainkan cemburu kepadaku. Ia amat mencintaimu, Giok-ko.”
Cun Giok memandang heran. “Maksudmu...?”
“Giok-ko, Li Hong adalah seorang gadis yang cantik. Ia adalah murid Ban-tok Niocu dari Pulau Ular. Ialah yang dulu melukai Goat-liang Sanjin dan membunuh paman guruku Im Yang Yok-sian untuk memenuhi perintah gurunya. Tadinya ia berpesan kepadaku agar jangan menceritakan hal ini kepadamu karena ia takut kalau-kalau sikapmu kepadanya yang akrab itu akan berubah. Ia mencintamu, Giok-ko.”
Cun Giok tertegun dan terkenanglah dia akan semua sikap Li Hong selama melakukan perjalanan dengannya. Ah, betapa bodohnya, tidak pernah menduga bahwa Li Hong seorang gadis! Dia lalu menghela napas panjang dan menatap wajah Ceng Ceng...