50: PERTEMUAN DUA HATI YANG PERTAMA
“Kalau begitu dugaan kita tadi berlawanan! Akan tetapi, baik Li Hong sebagai laki-laki maupun Li Hong sebagai perempuan, mengapa kita menduga bahwa ia marah karena cemburu kepada kita?”
“Hemm, mungkin karena engkau tadi membenarkan pendapatku,” kata Ceng Ceng lirih.
“Dan engkau juga pernah membenarkan pendapatku. Tadinya kusangka Li Hong seorang laki-laki yang cemburu karena mengira aku mencintamu dan ternyata ia seorang perempuan yang cemburu karena mengira engkau mencintaku. Ceng Ceng, benarkah perkiraan Li Hong itu?”
Sepasang pipi yang halus itu berubah kemerahan dan sambil menundukkan mukanya Ceng Ceng bertanya lirih. “Perkiraan apa, Giok-ko?”
“Perkiraan pemuda Li Hong bahwa aku mencintaimu dan perkiraan gadis Li Hong bahwa engkau mencintaiku. Benarkah perkiraan itu?”
Kepala gadis itu semakin menunduk dan kini wajah yang jelita itu menjadi merah padam. Suaranya lirih dan gemetar ketika ia menjawab. “Aku... aku tidak tahu, Giok-ko...”
Cun Giok seolah terpesona. Getaran suara bisikan gadis itu seperti memiliki daya tarik yang luar biasa. Belum pernah selama hidupnya Cun Giok merasakan pengalaman seperti ini. Dia merasa seperti ditarik oleh kekuatan yang amat hebat sehingga kedua kakinya melangkah menghampiri Ceng Ceng.
Seperti dengan sendirinya, seolah sudah sewajarnya, setelah mereka berhadapan dekat, Cun Giok dengan lembut menggunakan kedua tangannya untuk menyentuh kedua pipi Ceng Ceng dan mengangkat muka itu agar menghadap padanya. Ketika Ceng Ceng diangkat mukanya sehingga dua pasang mata itu bertemu pandang, Cun Giok melihat betapa mata yang bening itu basah dan berlinang air mata.
Suara Cun Giok juga lirih gemetar ketika dia berkata, “Ceng-moi, benarkah kedua perkiraan Li Hong itu?”
Ceng Ceng tidak dapat menundukkan mukanya karena kedua tangan Cun Giok dengan lembut masih menahan kedua pipinya, akan tetapi pandang matanya tertunduk ketika ia berkata dengan suara berbisik lirih sekali. “Perkiraan apa...?”
“Bahwa aku mencintaimu dan engkau mencintaiku. Ceng-moi, terus terang kuakui bahwa sejak pertama kali berjumpa denganmu, aku telah jatuh cinta padamu, kalau perasaan ini dapat dinamakan cinta karena belum pernah aku merasakan seperti ini. Demi Tuhan, aku cinta padamu, Ceng-moi dan perkiraan Li Hong itu benar. Akan tetapi, benarkah perkiraannya bahwa engkau... juga cinta padaku...?”
Ceng Ceng berbisik lirih. “Aku juga... baru sekali merasakan... akan tetapi... ahh, aku tidak mau menyakiti hati Li Hong...” Kini beberapa tetes air mata turun ke atas kedua pipi yang halus kemerahan itu.
Melihat gadis itu menangis, hati Cun Giok tenggelam ke dalam keharuan cinta. Dia mencium kedua pipi Ceng Ceng dan menghapus beberapa titik air mata itu dengan bibirnya. Cinta mendatangkan keajaiban dalam diri manusia. Beberapa tetes air mata gadis yang dicintainya itu terasa asin namun bagaikan air embun yang menyirami tunas cinta yang bersemi dalam hati Cun Giok!
Ceng Ceng sendiri gemetar ketika merasa Cun Giok mencium kedua pipinya dan mengecup air matanya. Tubuhnya seperti dimasuki getaran yang membuat hatinya terguncang dan tubuhnya menjadi lemas.
“Koko...” Ia berbisik dan tenggelam ke dalam rangkulan Cun Giok, membenamkan mukanya di dada pemuda itu. Ia merasa begitu aman, tenteram, bahagia dan nikmat sehingga ia memejamkan kedua matanya dan tidak ingin membuka kembali matanya, tidak ingin keadaan seperti itu berubah, ingin selamanya berada dalam dekapan pemuda yang dicintanya itu.
Cun Giok merasakan hal yang sama. Merangkul tubuh Ceng Ceng, mendekap muka itu di depannya, dia merasa seolah mendapatkan sebuah mustika yang tak terbayangkan nilainya, yang harus dilindunginya selama hidupnya. Dia merasa seolah gadis itu memang sejak dulu menjadi bagian dari hidupnya. Dengan hati dipenuhi rasa kasih dan haru, dia mempererat dekapannya, menunduk dan membenamkan kepalanya di rambut yang halus Iembut dan harum itu.
“Moi-moi...” Dia berbisik dan pada saat seperti itu, dua hati seolah menjadi satu, segala sesuatu terasa indah, dan hidup berarti bahagia!
Akan tetapi, sudah menjadi kodratnya bahwa segala sesuatu di dunia ini sifatnya hanyalah sementara dan segala sesuatu pasti mengalami perubahan, tidak kekal adanya. Demikian pula dengan keadaan Cun Giok dan Ceng Ceng. Suasana asyik masyuk ketika keduanya tenggelam ke dalam lautan asmara, seperti terlena dalam dekapan, melayang-layang di angkasa dan terayun-ayun penuh kenikmatan, juga hanya sementara dan tidak kekal.
Seperti sebuah mimpi indah yang terganggu, seperti sinar matahari yang terhalang awan yang lewat, Ceng Ceng yang memejamkan mata bersandar di dada Cun Giok, tiba-tiba melihat bayangan wajah Li Hong dan telinganya yang tadinya hanya dipenuhi bunyi detak jantung pemuda yang dikasihinya itu, kini mendengar suara Li Hong ketika mengatakan bahwa gadis itu mencinta Cun Giok!
Awan itu tidak hanya menghalangi sinar matahari yang menerangi hati Ceng Ceng, akan tetapi juga menghalangi sinar matahari yang menerangi hati Cun Giok. Kalau tadi, dalam keadaan asyik masyuk, dia pun memejamkan mata dan membenamkan mata dalam rambut Ceng Ceng, tiba-tiba hati dan pikiran yang tadinya dipenuhi gadis yang berada dalam dekapannya, kini muncul wajah lain. Wajah seorang gadis yang manis, dengan wajah bulat dan lesung pipi yang menarik, sikapnya sederhana dan lembut, wajah Siok Eng, gadis lemah yang telah menjadi tunangannya!
Sinar kebahagiaan yang menerangi hati kedua orang muda yang dimabok cinta itu kini tidak secerah tadi. Teringat akan Siok Eng, Cun Giok mengangkat mukanya dari belaian rambut kepala Ceng Ceng, sebaliknya Ceng Ceng yang teringat kepada Li Hong, juga mengangkat mukanya yang tadinya terbenam di dada Cun Giok.
Gerakan mereka ini berbareng dan Ceng Ceng melepaskan diri dari rangkulan kedua lengan Cun Giok. Pemuda itu membiarkan gadis itu melepaskan diri, tidak menahannya. Kini mereka berdiri berhadapan, dekat, namun tidak lagi bersentuhan. Pandang mata mereka penuh kasih sayang, namun mengandung pula bayangan duka.
“Giok-ko, tidak seyogianya kita begini... aku merasa bersalah kepada Li Hong...” kata Ceng Ceng sambil membetulkan sanggul rambutnya yang agak kacau karena tadi diobrak-abrik muka Cun Giok.
Cun Giok menghela napas panjang. “Maafkan aku, Ceng-moi. Akan tetapi, aku bersumpah bahwa cintaku hanya untukmu seorang, Ceng-moi. Tidak mungkin hatiku dapat mencinta wanita lain seperti aku mencintamu.”
Ceng Ceng menghela napas panjang. “Aku juga cinta padamu, Giok-ko. Akan tetapi aku tidak mau meletakkan cintaku di atas kehancuran hati Li Hong. Kebahagiaan cintaku akan ternodai oleh kedukaan hati Li Hong.”
Cun Giok merasa terharu. Alangkah mulia hati gadis ini! Dia teringat akan dirinya sendiri. Dia sudah ditunangkan secara sah dengan Siok Eng. Kalau dia kini mengkhianatinya, alangkah akan rendah budinya dan mana dapat dibandingkan dengan keluhuran budi Ceng Ceng? Dia menghela napas panjang dan merasa hatinya tertindih berat.
“Sudahlah, Ceng Ceng. Saat ini cukup bagi kita kalau kita merasa yakin akan cinta kasih kita satu sama lain. Ini akan mendatangkan kekuatan batin dan gairah untuk hidup. Soal ini kita bicarakan lain waktu. Sekarang yang terpenting, kita lanjutkan usahamu mencari harta karun itu. Akan tetapi, sebelum itu, ijinkanlah aku memelukmu sekali lagi, Ceng-moi."
Ceng Ceng merasa terharu dan ia hanya mengangguk dengan mata basah. Air matanya berlinang ketika Cun Giok merangkul dan mendekap kepalanya ke dada yang bidang itu. Cun Giok menundukkan mukanya dan mencium dahi gadis itu, di antara sepasang keningnya. Mereka berdekapan seperti itu, tanpa bergerak, sampai lama, seperti tenggelam dalam mimpi indah.
Kini sepasang mata Ceng Ceng mengalirkan air mata karena ia merasa seolah dekapan itu merupakan tanda selamat berpisah. Demi Li Hong, ia tidak akan membolehkan lagi Cun Giok memeluknya karena kalau ia membiarkan dirinya dipeluk dan dicium, ia tidak akan kuat menolak dan hal ini merupakan pengkhianatan terhadap janjinya kepada Li Hong.
“Jahanam busuk! Engkau pengkhianat tak tahu malu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Tentu saja Ceng Ceng dan Cun Giok merasa terkejut bukan main mendengar bentakan yang mereka kenal sebagai suara Li Hong itu. Mereka tadi tidak mengetahui akan kedatangan Li Hong karena dalam keadaan asyik masyuk seperti itu kesadaran dan kewaspadaan mereka tentu saja berkurang. Mereka cepat saling melepaskan diri dan memutar tubuh menghadapi Li Hong.
Cun Giok tertegun melihat bahwa yang dia hadapi adalah seorang gadis yang cantik jelita dengan sepasang mata bintang. Dia mengenal betul mata itu. Gadis itu adalah Li Hong dan setelah kini berpakaian sebagai wanita dengan tata rambut wanita pula tampak cantik sekali. Akan tetapi pada saat itu, Li Hong tampak marah bukan main. Matanya seperti berapi memandang kepada Ceng Ceng.
“Li Hong, bersabarlah, mari kita bi¬carakan baik-baik persoalan ini...” kata Ceng Ceng.
“Bicarakan baik-baik apalagi? Dasar gadis pengkhianat! Mampuslah!” Ceng Ceng yang merasa bersalah, tidak menjawab. Ia hanya memandang ketika Li Hong bergerak menyerangnya dengan dorongan kedua tangan yang mengeluarkan uap hitam!
Cun Giok terkejut, menduga bahwa tentu itulah pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang yang amat dahsyat itu, pukulan yang telah membunuh Im-yang Yok-sian dan melukai Goat-liang Sanjin! Melihat gadis yang dikasihinya terancam bahaya maut, Cun Giok melompat sambil mendorongkan tangan menepis serangan Li Hong dari samping.
“Wuuutt! Desss!”
Li Hong terhuyung ke samping dan Cun Giok juga merasa betapa hawa panas memasuki tubuhnya melalui tangan yang menepis pukulan Li Hong. Akan tetapi Ceng Ceng yang tadi sama sekali tidak mengelak itu selamat. Begitu melihat Cun Giok melindungi Ceng Ceng, Li Hong semakin marah. Tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah Ceng Ceng. Gadis itu terkulai roboh.
“Li Hong, engkau jahat!” Cun Giok berseru sambil melompat mendekati tubuh Ceng Ceng yang roboh.
Li Hong maklum bahwa tidak mungkin ia melawan Cun Giok. Selain ia tidak akan mampu menang, juga ia tidak ingin membunuh pemuda yang membuatnya tergila-gila itu. Maka, sambil mengeluarkan pekik seperti orang menangis dan marah, ia melompat jauh dan melarikan diri.
Cun Giok tidak mempedulikan Li Hong lagi. Dia membiarkan gadis liar itu melarikan diri dan seluruh perhatiannya dia curahkan kepada Ceng Ceng yang terkapar, telentang dalam keadaan pingsan. Ketika memeriksa denyut nadi Ceng Ceng, Cun Giok merasa agak lega karena denyut nadinya masih kuat. Akan tetapi dia melihat ada tanda darah di baju Ceng Ceng di bagian dada, sekitar sejari di bawah tenggorokkan.
Cun Giok menjadi bingung. Untuk memeriksanya, dia harus membuka baju di bagian itu dan hal ini berarti melanggar kesusilaan. Akan tetapi kalau tidak dibuka, bagaimana dia dapat memeriksanya? Pula, dia melihat dari sinar hitam yang dilontarkan Li Hong tadi, timbul dugaannya bahwa Ceng Ceng agaknya terkena serangan senjata rahasia. Maka, menyelamatkan nyawa Ceng Ceng yang terpenting.
Dengan hati-hati dia lalu membuka kancing baju bagian atas gadis itu dan tampaklah dua bintik hitam yang mengeluarkan beberapa tetes darah sehingga tampak noda darah dari luar. Untunglah bahwa yang terluka itu bukan tenggorokan, juga bukan payudara Ceng Ceng, melainkan sejari di bawah tenggorokan.
Karena dua batang jarum hitam itu mengenai tulang dada, maka tidak menancap semua, masih tampak sedikit tersembul di luar kulit dada. Cun Giok cepat menggunakan tenaganya mencabut dua batang jarum itu dan dengan khawatir dia melihat betapa di sekitar luka yang hanya merupakan titik itu dilingkari warna hitam. Itu tandanya bahwa jarum-jarum itu memang mengandung racun! Kalau dia tidak salah duga, jarum-jarum macam itu disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam).
Biarpun payudara gadis itu tidak tampak sepenuhnya, namun kulit dada yang tampak itu putih mulus dan melihat dua lingkaran kecil menghitam menodainya, Cun Giok menjadi marah sekali kepada Li Hong.
“Gadis liar yang kejam!” dia berkata perlahan, kemudian dia menatap wajah Ceng Ceng yang tak bergerak dengan mata terpejam seperti tidur dan berkata, “Ceng-moi, maafkan kelancanganku. Aku terpaksa harus melakukan ini.”
Kemudian Cun Giok mendekatkan mukanya ke dada Ceng Ceng dan menempelkan mulutnya pada kulit dada yang terluka, lalu menyedot perlahan-lahan. Setelah itu, dia meludahkan darah kehitaman dari sedotannya itu dan hal ini dilakukan berganti-ganti pada dua luka itu. Setelah menyedot masing-masing tiga kali, sedotan keempat menghasilkan darah merah yang berarti bahwa racun itu sudah disedotnya semua. Ceng Ceng mengeluh lirih dan membuka matanya, tepat pada saat Cun Giok melakukan persedotan terakhir.
Cepat-cepat pemuda itu menjauhkan mukanya, menutupkan kembali baju itu pada dada bagian atas akan tetapi tidak sempat mengaitkan lagi tiga buah kancing baju itu. Mukanya menjadi merah sekali ketika Ceng Ceng bangkit duduk sambil memandangnya dengan sinar mata heran dan juga terkejut.
“Maafkan aku, Ceng-moi. Melihat engkau terluka jarum beracun hitam, terpaksa aku harus mencabut batang jarum itu lalu aku... aku menyedot darah yang keracunan keluar. Maafkan aku atas kelancangan dan pelanggaran susila itu, Ceng-moi.”
Ceng Ceng menundukkan mukanya mengamati dada yang terluka, lalu mengancingkan kembali tiga kancing baju paling atas yang tadi terbuka. “Ah, engkau tidak bersalah, Giok-ko. Engkau malah menolongku dan memudahkan aku mengobati lukaku ini. Hanya luka kecil, setelah racunnya kau keluarkan, tidak berbahaya lagi dan sehari dua hari pun akan sembuh. Akan tetapi engkau... kulihat mukamu merah sekali dan ketika aku sadar tadi, aku merasa betapa bibirmu panas sekali. Giok-ko, engkau terkena pukulan beracun!” Ceng Ceng lupa akan keadaan dirinya sendiri dan mengkhawatirkan keadaan Cun Giok.
“Aku tadi menangkis pukulan Li Hong yang ditujukan padamu, Ceng-moi. Kalau aku tidak salah duga, ia menggunakan pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang seperti yang ia gunakan untuk membunuh Paman Gurumu dan melukai ketua Hoa-san-pai. Mungkin aku hanya terkena hawa beracun yang tidak berbahaya. Aku dapat membersihkannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.”
“Kalau begitu, lakukanlah sekarang, Giok-ko. Aku sendiri akan mengobati, bekas luka ini,” kata Ceng Ceng dengan suara mengandung penuh perhatian terhadap Cun Giok.
Pemuda itu lalu bersila mengatur pernapasan, menggunakan sin-kang (tenaga sakti) untuk mendorong keluar hawa beracun itu dari tubuhnya. Baru menepis saja, dia sudah terkena hawa beracun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang, apalagi kalau sampai terkena pukulan ampuh itu. Tidak mengherankan kalau Im Yang Yok-sian tewas oleh pukulan itu dan Goat-liang Sanjin terluka parah.
Hanya selama air dijerang sampai mendidih, Cun Giok menghentikan pengobatan dirinya karena semua hawa beracun telah diusir dari tubuhnya. Sementara itu, Ceng Ceng juga sudah menaruh obat bubuk pada lukanya.
“Sungguh tidak kusangka Li Hong dapat berbuat sedemikian kejinya terhadap dirimu, Ceng-moi. Betapa liar dan jahatnya gadis itu!” kata Cun Giok dengan marah, mengingat akan bahayanya penyerangan Li Hong terhadap Ceng Ceng tadi.
Kalau dia tidak menepis pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang tadi, atau kalau dua batang Hek-tok-ciam tadi mengenai satu jari lebih atas sehingga mengenai tenggorokan atau satu jari lebih ke bawah mengenai payudara, kiranya nyawa Ceng Ceng tidak mungkin dapat tertolong Iagi!
Ceng Ceng tersenyum. “Tidak, Giok-ko, ia tidak jahat hanya kehilangan kesadarannya oleh perasaan marah.”
“Akan tetapi mengapa engkau tadi sama sekali tidak membela diri, tidak mengelak atau menangkis ketika diserang Li Hong?”
“Giok-ko, ketika tadi Li Hong muncul dan menyaksikan keadaan kita, aku merasa bersalah kepada Li Hong. Aku merasa betapa hancur hatinya, betapa cemburu telah membakarnya sehingga api kemarahannya mendorong ia melakukan penyerangan kepadaku. Maka, aku pasrah dan tidak mau melawan.”
Cun Giok menghela napas panjang. “Ceng Ceng, mengapa pendapatmu seperti itu? Engkau keliru, Ceng-moi. Engkau tentu maklum bahwa aku sama sekali tidak mencintai Li Hong sebagai seorang wanita, aku tidak tahu bahwa ia wanita dan aku suka kepadanya sebagai seorang sahabat sesama pria. Engkau tidak mengkhianati siapa-siapa. Apakah kalau ada sepuluh orang wanita jatuh cinta padaku engkau juga sepuluh kali mengalah? Yang penting aku hanya mencinta engkau seorang. Tak mungkin aku dapat membalas cinta seorang gadis yang begitu jahat dan kejam seperti Li Hong! Ia telah membunuh paman gurumu Im Yang Yok-sian, melukai bahkan hampir membunuh Goat-liang Sanjin, sekarang ia hampir membunuhmu, betapa jahat dan kejamnya!”
“Giok-ko, engkau harus dapat memaafkannya. Ia tidak jahat karena semua perbuatannya itu ada yang mendorongnya. Ia melukai Goat-liang Sanjin karena mematuhi perintah gurunya, dan ia membunuh Paman Guru Im Yang Yok-sian karena menganggap bahwa Paman Guruku itu hendak menyembuhkan Goat-liang Sanjin yang berarti tugasnya akan gagal. Dan tadi ia hendak membunuhku karena ia dibakar cemburu dan menganggap aku berkhianat. Tempo hari ia pernah mengaku padaku bahwa ia mencintamu, Giok-ko. Aku tidak mau menyakiti hati orang karena hal itu pasti akan membawa akibat buruk.”
“Aih, Ceng-moi, betapa mulia hatimu, engkau selalu mengutamakan perbuatan baik. Aku semakin kagum padamu, Ceng-moi.” Pandang mata Cun Giok penuh kasih sayang dan dia sudah menjulurkan tangan karena ingin ia merangkul gadis yang amat dicintanya itu. Akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur dan sinar matanya menegur dan mengingatkan Cun Giok sehingga pemuda itu menekan keinginannya itu.
“Aku sama sekali tidak mulia, Koko. Aku sama saja dengan engkau atau orang-orang lain. Mungkin aku hanya lebih menyadari tentang makna kehidupan. Perbuatan yang didasari dan disengaja oleh pelakunya sebagai perbuatan baik, maka perbuatan itu sama sekali tidak baik lagi. Kalau orang menyadari bahwa dia melakukan kebaikan, maka di balik perbuatannya itu pasti tersembunyi pamrih mendapatkan imbalan. Imbalan itu dapat berujud uang atau benda berharga, dapat juga harapan atau pamrih imbalan lebih halus lagi seperti pujian dan dianggap orang yang baik, atau ditingkatkan lagi harapan imbalan mendapatkan sorga.”
Cun Giok terkejut. “Aih, Ceng-moi. Aku mengerti kalau melakukan kebaikan dengan pamrih mendapatkan imbalan uang, harta, atau pujian adalah salah. Akan tetapi apa salahnya kalau orang berbuat baik dengan harapan mendapatkan sorga kelak?”
“Giok-ko, pamrih atau harapan mendapatkan imbalan sorga apa bedanya dengan pamrih mendapatkan imbalan pujian atau harta benda? Pujian, harta benda, ataupun sorga itu dianggap menyenangkan dan menguntungkan, bukan? Kita menggambarkan sorga sebagai tempat yang indah dan menyenangkan, karena itu diinginkan orang. Coba, andaikata sorga itu digambarkan sebagai tempat yang amat tidak menyenangkan, apakah kita lalu tidak mau berbuat baik lagi karena imbalannya tidak menyenangkan? Perbuatan seperti itu, betapapun baik tampaknya seperti menolong sesama manusia umpamanya, bukan lain merupakan jual beli yang mengharapkan keuntungan atau kesenangan bagi diri sendiri. Kalau kita sengaja dan menyadari melakukan perbuatan baik dengan harapan mendapatkan sorga kelak, sama saja dengan kita menyogok Tuhan dengan perbuatan baik agar kelak mendapatkan sorga. Alangkah munafik dan palsunya perbuatan baik seperti itu, Giok-ko!”