52: PERSEKUTUAN DENGAN PARA IBLIS
Tadinya Li Hong tidak sudi mengaku sebagai murid nenek iblis itu. Ia pun tidak peduli kalau kaki tangannya dibuntungi atau dibunuh sekalipun. Akan tetapi sebuah pikiran menyelinap di otaknya yang masih panas. Ia teringat akan sakit hatinya terhadap Ceng Ceng. Belum tentu ia mampu mengalahkan Ceng Ceng yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) istimewa itu, apalagi kalau ia dilindungi Pouw Cun Giok!
Akan tetapi, kalau ia dapat memperoleh ilmu dari nenek yang sakti ini, tentu ada harapan baginya untuk mengalahkan Ceng Ceng dan Cun Giok sehingga ia akan dapat membunuh Ceng Ceng yang sudah mengkhianatinya dan sudah merampas Cun Giok! Kalau saja tidak ada pikiran ini, pasti ia tidak sudi mengakui nenek ini sebagai guru dan ia tidak takut mati!
“Baiklah, aku menjadi muridmu!” katanya dengan suara ketus.
“Hi-hi-hi...! Nah, kaudengar sendiri, Kui-ong? Gadis ini muridku, apakah engkau masih ingin membunuhnya? Aku pasti akan membelanya mati-matian!” kata nenek itu.
“Ha-ha-hak, terserah kalau engkau hendak mencari penyakit, Mo-li!” Sambil tertawa terbahak-bahak kakek itu lalu berkelebat pergi menuju puncak bukit.
Nenek itu lalu menghampiri Li Hong yang masih rebah telentang di atas tanah. “Heh, muridku. Aku lupa lagi, siapa namamu?”
"Namaku Tan Li Hong.”
“Bagus, Li Hong, mulai sekarang engkau menjadi murid Song-bun Moli dan kelak engkaulah yang akan mengangkat namaku menjadi semakin besar dan terkenal, he-he-heh. Berjanjilah bahwa engkau akan menjadi muridku yang baik.”
Li Hong memang tidak berniat membohongi nenek ini. Ia memang bersungguh-sungguh ingin mempelajari ilmu dari Song-bun Moli untuk memperkuat diri agar ia dapat membalas dendamnya kepada Ceng Ceng. Maka ia pun menjawab dengan tegas.
“Aku berjanji akan menjadi murid Subo Song-bun Moli, murid yang taat dan baik.”
“Hi-hi-hik, bagus-bagus. Engkau muridku yang baik!”
Nenek itu menggerakkan tongkatnya. Ujung tongkatnya menotok pundak Li Hong dan gadis itu seketika dapat bangkit berdiri lagi dengan pedang masih di tangannya. Song-bun Moli memandang dengan waspada dan siap siaga seandainya gadis liar itu menyerangnya. Akan tetapi Li Hong tidak menyerangnya, bahkan ia lalu menyarungkan kembali Ban-tok-kiam dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Bagaimanapun juga, ia masih merasa belum dapat melakukan penghormatan yang lajim, yaitu berlutut di depan kaki nenek yang mengerikan itu.
“Subo, (Ibu Guru), teecu (murid) Tan Li Hong siap menerima petunjuk.”
“Li Hong, mari kita pulang dulu. Kui-ong sedang menanti kunjungan muridnya dan tamu dari kota raja. Di sana ada pesta, kita jangan ketinggalan!”
“Pulang ke mana, Subo?” Li Hong bertanya.
“Ke mana lagi? Ke puncak, aku tinggal bersama Cui-beng Kui-ong, Suhengku (Kakak Seperguruanku). Hayo, jangan kita terlambat!”
Diam-diam Li Hong terkejut. Kiranya nenek yang lihai ini adalah adik seperguruan Cui-beng Kui-ong yang sakti. Padahal, Kim Bayan menyebut ibu guru kepada nenek ini. Kalau begitu, mereka yang berada di belakang Kim Bayan, yaitu kakek dan nenek ini, adalah dua orang yang amat sakti! Pantas saja Panglima Kim Bayan berani bertindak sewenang-wenang terhadap siapa saja. Kiranya di belakangnya ada dua orang yang dapat dia andalkan!
Mendengar bahwa Cui-beng Kui-ong mengadakan pesta menyambut kedatangan muridnya dan tamu dari kota raja, Li Hong mengerutkan alisnya. Mungkin Panglima Kim Bayan akan muncul dan kalau bertemu dengannya tentu terjadi keributan. Akan tetapi ia tidak takut, apalagi sekarang ia telah diaku sebagai murid Song-bun Moli.
Mereka lalu berlari cepat mendaki bukit menuju puncak. Song-bun Moli merasa girang melihat betapa muridnya itu dapat berlari cepat sekali, bahkan dapat mengimbanginya! Ia pun pernah bertanding dengan Li Hong maka ia tahu bahwa gadis ini setelah menerima pelajaran ilmu-ilmu yang paling diandalkan olehnya, tentu akan menjadi seorang tokoh wanita yang sulit dicari tandingannya di dunia persilatan! Dan ia sebagai gurunya tentu akan merasa bangga sekali!
Ketika mendaki bukit menuju puncak, di sepanjang jalan Li Hong melihat perajurit berpakaian hitam-hitam berdiri berjajar di tepi jalan. Mereka itu berdiri seperti patung, tak bergerak sama sekali. Teringatlah ia akan lima orang mayat hidup yang pernah membantu Song-bun Moli dan Kim Bayan menghadapi ia, Ceng Ceng, dan Cun Giok. Mayat-mayat hidup juga berpakaian hitam-hitam seperti mereka yang melakukan penjagaan di sepanjang jalan menuju puncak itu!
“Subo, apakah mereka itu mayat-mayat hidup seperti yang pernah membantu Subo ketika menghadapi aku?”
“Hi-hik, bukan, Li Hong. Mereka ini sama dengan anak buah yang dulu dibawa Kim Bayan, hanya orang-orang biasa yang sudah dilatih silat. Ketika mayat-mayat itu hidup lagi, itu adalah karena aku menggunakan ilmuku untuk menghidupkan mereka! Engkau akan kuajari ilmu sihir yang menghidupkan anak buah yang sudah mati, heh-heh-heh!”
Li Hong bergidik. Biarpun gurunya seorang yang disebut Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun) sebelum berganti menjadi Ban-tok Niocu dan gurunya itu ahli menggunakan racun yang amat hebat, namun gurunya tidak pernah mempelajari segala macam ilmu setan seperti itu!
Menghidupkan kembali orang mati? Hebat sekali, akan tetapi mengerikan karena mayat-mayat hidup itu sudah bukan merupakan manusia biasa, melainkan benda mati yang hidup! Baru setelah ditusuk jantungnya, mayat hidup itu akan tewas. Kalau cuma ada bagian badannya yang buntung, dia akan menyerang terus. Mengerikan! Dan ia akan mempelajari ilmu setan itu? Ia tidak suka, akan tetapi tentu saja ia diam dan tidak membantah.
Mereka tiba di puncak. Di situ terdapat sebuah gedung mewah dan besar, teratur rapi dan dikelilingi taman bunga yang indah. Di pekarangan depan terdapat sebuah alun-alun yang cukup luas. Ketika mereka melewati alun-alun itu, Li Hong melihat beberapa orang laki-laki berpakaian serba putih berjalan-jalan di situ.
Akan tetapi cara mereka berjalan tidak seperti manusia biasa, melainkan dengan gerakan kaki yang kaku dan kedua lengannya tergantung kaku, tidak ikut bergerak! Ia menghitung, ada sembilan orang seperti itu. Rata-rata mereka bertubuh tinggi besar dan ketika ia melewat dekat, ia melihat betapa muka mereka itu pucat sekali dan mata mereka memandang kosong ke depan, tak pernah melirik, apalagi berkedip!
“Subo, siapakah mereka itu?” ia tak dapat menahan keinginan-tahunya.
Song-bun Moli menyeringai. “Jangan pandang rendah mereka, Li Hong! Aku sendiri pun gentar kalau membayangkan ketangguhan mereka. Mereka itu adalah Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Berjalan) yang merupakan Kiu-kwi-tin (Barisan Sembilan Iblis) yang diciptakan oleh Suheng Cui-beng Kui-ong. Mereka itu selain diisi tenaga mujijat oleh Kui-ong, juga diisi ilmu silat yang tinggi sehingga mereka menjadi barisan yang luar biasa tangguhnya.”
Li Hong bergidik. Ia merasa masuk ke sarang Raja Setan yang amat berbahaya. ia memang dapat menimba ilmu-ilmu yang lihai di sini, akan tetapi apakah ia juga harus menjadi anggauta keluarga setan? Hatinya menolak, akan tetapi ia diam saja.
Dari pintu depan muncul kakek berpakaian mewah tadi. Cui-beng Kui-ong melangkah Keluar bersama seorang berpakaian panglima Kerajaan Mongol. Hati Li Hong berdebar tegang karena ia mengenal Kim Bayan, bekas musuhnya. Selain dua orang ini, terdapat pula seorang pemuda tampan gagah yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian mewah seperti seorang Kongcu (Tuan Muda) bangsawan. Pemuda itu bukan lain adalah Kong Sek.
Seperti kita ketahui, Kong Sek adalah putera mendiang Panglima Kong Tek Kok. Setelah dia gagal membunuh Pouw Cun Giok untuk membalas dendam kematian ayahnya dan musuh besarnya itu bahkan dibela Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, sumoi (adik seperguruan) yang juga menjadi tunangannya, Kong Sek merasa sedih dan juga marah sekali.
Dia merasa sedih melihat betapa Ai Yin yang dicintanya itu malah menentangnya dan membela musuh besarnya, dan dia juga marah karena gagal membunuh Pouw Cun Giok. Maka dia lalu menghadap Bu-tek Sin-liong Cu Liong, gurunya dan juga ayah kandung Ai Yin dan mengadu kepada datuk besar itu.
Akan tetapi Bu-tek Sin-liong Cu Liong adalah seorang datuk besar yang keras dan aneh, akan tetapi juga gagah perkasa dan menghargai keadilan. Dia menyambut dingin saja ketika Kong Sek mengadu tentang Ai Yin dan mengatakan bahwa menjadi hak Ai Yin untuk menentukan jodohnya dan dia tidak mau mencampuri urusan permusuhan antara Kong Sek dan Pouw Cun Giok.
Melihat gurunya tidak mendukungnya, Kong Sek lalu menghubungi Panglima Kim Bayan yang dulu menjadi pembantu ayahnya. Dia menceritakan segala tentang Pouw Cun Giok yang berjuluk Pendekar Tanpa Bayangan dan minta bantuan panglima itu untuk menangkap atau membunuh musuh besarnya itu. Ketika mendengar bahwa Kim Bayan sedang berusaha mencari peta harta karun, dia pun menyatakan siap membantu panglima itu.
Bahkan Kong Sek juga minta agar Kim Bayan membawanya kepada Cui-beng Kui-ong agar dia dapat mempelajari ilmu-ilmu kakek sakti guru Kim Bayan, maka pada hari itu dia bersama Kim Bayan berkunjung ke Bukit Sorga. Karena Kong Sek putera Panglima Kong Tek Kok yang terkenal, juga karena pemuda itu membawa hadiah yang amat berharga, Cui-beng Kui-ong menerimanya, sehingga Kong Sek merasa gembira sekali.
Ketika Song-bun Moli muncul bersama seorang gadis yang amat cantik dan sikapnya gagah, Kong Sek memandang dengan heran akan tetapi juga tertarik sekali. Di gedung milik Cui-beng Kui-ong memang terdapat belasan orang wanita muda yang cantik, yang menjadi selir-selir merangkap pelayan kakek itu, akan tetapi Kong Sek tidak merasa tertarik. Maka, kini melihat seorang gadis cantik di situ, dia merasa heran akan tetapi diam-diam juga girang.
Sebaliknya melihat gadis itu, Cui-beng Kui-ong mengerutkan alisnya. Gadis itu telah berani menghinanya dan dia diam-diam merasa iri kepada Song-bun Moli yang mendapatkan seorang murid yang demikian baiknya. Dia sendiri hanya mempunyai seorang murid, yaitu Panglima Kim Bayan dan dia belum merasa puas memiliki murid yang seorang ini karena dia menganggapnya masih kurang berbakat. Karena itu pula dia mau menerima Kong Sek sebagai murid dan mengharapkan pemuda itu yang kelak akan mengangkat namanya.
Yang terkejut sekali adalah Kim Bayan. Panglima ini terkejut karena dia mengenal wajah Li Hong, yang pernah dua kali dijumpainya sebagai lawan membantu Ceng Ceng. Akan tetapi ketika itu Li Hong berpakaian sebagai seorang pemuda. Dia ingat betul wajah Li Hong, akan tetapi karena Li Hong kini berpakaian wanita, dia menjadi ragu.
Sebaliknya, ketika Li Hong melihat Kim Bayan berada di situ dan panglima itu memandangnya dengan mata melotot penuh selidik, ia tidak dapat menahan kemarahannya.
“Mau apa engkau melotot memandangku? Apa ingin melanjutkan perkelahian antara kita tempo hari?” katanya dengan ketus.
Kini Panglima Kim Bayan tidak ragu-ragu lagi. Inilah pemuda yang pernah melawan dia dan membantu Ceng Ceng sehingga dia gagal menangkap Ceng Ceng yang dia yakin tentu mempunyai peta harta karun itu. Dia mencabut goloknya dan siap untuk menyerang gadis itu.
“Inilah orangnya yang menggagalkan aku menangkap gadis puteri bekas Panglima Liu Bok Eng itu!” serunya sambil melangkah maju.
“Kim Bayan, jangan lancang engkau! Gadis ini adalah muridku, berani engkau hendak menyerangnya?” Song-bun Moli berkata dengan sikap marah.
Mendengar ini, Panglima Kim Bayan terbelalak heran. “Murid Subo...?”
Cui-beng Kui-ong terbahak. “Hak-hak, Tan Li Hong ini memang menjadi murid Song-bun Moli. Jangan ganggu ia, Kim Bayan. Ia bahkan dapat membantu kita!” Lalu kakek itu menghadapi Li Hong dan berkata sambil menyeringai lebar. “He, bocah liar. Kenalkan, ini juga muridku yang baru, namanya Kong Sek!”
Akan tetapi Li Hong hanya memandang kepada Kong Sek tanpa memberi hormat. Sebaliknya Kong Sek sambil tersenyum mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata lembut. “Nona Tan Li Hong, aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu.”
“Mari, kita duduk dan menikmati hidangan, baru kita bercakap-cakap!” kata Cui-beng Kui-ong dan dia memberi isyarat kepada para pelayan.
Mereka duduk mengitari sebuah meja bundar dan para pelayan lalu datang menghidangkan bemacam-macam sayuran dan minuman anggur. Makanan yang dihidangkan itu serba mewah, juga disediakan anggur manis selain arak yang harum dan keras. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil hidup di Pulau Ular, makanan mewah dan makan bersama orang-orang lain merupakan hal biasa bagi Li Hong, maka ia pun makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah terasa lapar sekali.
Baru saja mereka selesai makan dan duduk di ruangan depan, Song-bun Moli yang sudah mendengar dari Kim Bayan tentang peta harta karun yang menurut dugaan dibawa Ceng Ceng, bahkan ia pun sudah membantu Kim Bayan untuk mendapatkan peta itu dari puteri mendiang Liu Bok Eng, segera bertanya kepada muridnya.
“Li Hong, muridku yang manis. Katakan kepada kami apakah gadis puteri mendiang Liu Bok Eng yang bernama Liu Ceng Ceng dan berjuluk Pek-eng Sianli itu mempunyai sebuah peta tentang harta karun yang dulu disembunyikan oleh mendiang Bong Thaikam kemudian terjatuh ke tangan mendiang bekas Panglima Liu Bok Eng ayah gadis itu?”
Li Hong menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu, Subo.”
“Tan Li Hong, jangan berbohong engkau!” Panglima Kim Bayan membentak. “Sudah jelas engkau membela Liu Ceng Ceng dan engkau masih dapat berbohong bahwa engkau tidak tahu akan hal itu?”
Li Hong mengangkat muka dan memandang dengan sinar mata galak. “Kalau aku tidak tahu, engkau mau apa?”
Lalu timbul lagi kemarahannya kepada Ceng Ceng. Bagaimanapun bencinya kepada Ceng Ceng, bukan watak Li Hong untuk menjadi pengkhianat dan membuka rahasia tentang peta itu yang sudah ia janjikan untuk ia ketahui sendiri besama Ceng Ceng dan Cun Giok. Justeru kesetiaannya memegang janji ini membuat ia semakin marah kepada Ceng Ceng! Ia lalu membentak. “Persetan dengan Liu Ceng Ceng! Biar ia mampus, aku tidak peduli!”
Kim Bayan saling berpandangan dengan Cui-beng dan Song-bun Moli. Agaknya mereka senang mendengar ucapan terakhir Li Hong.
“Li Hong muridku! Apakah engkau ingin melihat Ceng Ceng mati?”
“Aku akan senang kalau dapat membunuhnya!” kata Li Hong.
“Hemm, engkau memiliki ilmu yang cukup tinggi. Mengapa engkau tidak membunuhnya, bahkan membantunya? Jangan bohong! Engkau membantu Ceng Ceng mati-matian, kenapa sekarang mendadak berubah pikiran dan ingin membunuhnya?” tanya Cui-beng Kui-ong.
Li Hong cemberut karena teringat kepada Cun Giok yang selalu membela Ceng Ceng. “Ia mengkhianatiku! Ia harus mati di tanganku!“ katanya seperti sedang bermimpi.
“Hi-hik, muridku. Apa sih sukarnya membunuhnya? Kulihat ilmu kepandaianmu sudah cukup tinggi untuk dapat membunuhnya,” kata Song-bun Moli.
“Aku tidak takut kepada Ceng Ceng! Akan tetapi Pouw Cun Giok itu selalu membelanya dan terus terang saja aku tidak mungkin dapat mengalahkan Pouw Cun Giok, apalagi mereka berdua!” kata pula Li Hong dengan suara gemas dan marah.
“Ah, Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan? Nona, biarkan aku membantumu! Aku harus bunuh si jahanam Pouw Cun Giok itu!” kata Kong Sek sambil bangkit berdiri dan mengepal tinjunya dengan muka berubah kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan.
Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati Kong Sek ketika tiba-tiba Li Hong juga bangkit dan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah mukanya. “Engkau hendak membunuh Pouw Cun Giok? Aku akan lebih dulu membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Li Hong mencabut pedang hitamnya.
Cui-beng Kui-ong berkata tanpa mengeluarkan suara tawanya yang terbahak. Suaranya terdengar marah. “Song-bun Moli, murid macam apakah yang engkau pilih ini? Sebentar ia berpihak kepada kita, di lain saat ia membela pihak musuh dan menentang kita!”
Song-bun Moli menghadapi murid barunya. “Hei, Li Hong. Apa maksud sikapmu ini? Engkau membenci dan hendak membunuh Ceng Ceng, akan tetapi engkau marah dan membela Cun Giok mati-matian! Bagaimana sesungguhnya isi hatimu? Engkau memihak kami atau memihak musuh?”
“Subo, aku harus membunuh Ceng Ceng karena ia telah merebut Pouw Cun Giok dariku!”
Mendengar ini, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli tertawa, suara tawa mereka yang aneh itu amat menyeramkan. Suara tawa Cui-beng Kui-ong berkakakan seperti suara burung gagak atau kabarnya ular yang besar suka mengeluarkan suara seperti itu. Adapun suara tawa Song-bun Moli seperti orang tertawa setengah menangis. Li Hong yang pemberani itu merasa ngeri juga mendengarnya. Memang kelemahan Li Hong adalah kalau menghadapi sebangsa setan, iblis atau siluman yang serba menyeramkan!
“Hak-hak-hak, kiranya muridmu sedang tenggelam ke dalam lautan asmara, Mo-li! Hak-hak-hak!”
“Li Hong, jadi engkau mencinta Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng itu merampasnya darimu? Aduh kasihan muridku sayang. Jangan khawatir, Ceng Ceng pasti akan mampus di tanganmu dan Pouw Cun Giok pasti akan kembali ke pelukanmu! He-he-heh-hi-hi-hik!”
Li Hong diam saja. Bagaimanapun juga, persekutuan dengan kakek dan nenek ini sebetulnya membuat hatinya tidak nyaman. Akan tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Kalau tadi ia tidak menyerah, ia pasti sudah mati dan ia tidak ingin mati dulu sebelum dapat membunuh Ceng Ceng dan lebih dari itu, sebelum ia mendapatkan Cun Giok sebagai kekasihnya. Dan kiranya mereka inilah yang akan dapat membantunya sehingga niatnya itu terlaksana...