53: PENYERAHAN PETA DEMI DIA
Kong Sek juga diam saja. Akan tetapi hatinya merasa panas sekali. Pouw Cun Giok adalah musuh besarnya yang telah membunuh ayahnya dan telah membasmi banyak perajurit kerajaan. Dia harus membalas dendam sakit hati ini. Akan tetapi sekarang, Cui-beng Kui-ong yang menjadi guru barunya itu agaknya hendak menyetujui keinginan Li Hong untuk membunuh Ceng Ceng dan menyelamatkan Pouw Cun Giok!
Dia harus menghalangi tindakan ini. Dia harus membunuh Pouw Cun Giok! Kalau perlu dia akan mengerahkan pasukan kerajaan yang besar jumlahnya. Akan tetapi sementara ini, dia akan diam saja, karena dia merasa yakin bahwa Cui-beng Kui-ong dan Panglima Kim Bayan tentu akan mendukungnya. Kalau mereka berdua mendukung, dia tidak takut lagi akan dukungan Song-bun Moli terhadap Li Hong!
Sementara itu, Panglima Kim Bayan juga tidak peduli akan urusan Li Hong yang hendak membunuh Ceng Ceng dan merampas kembali Pouw Cun Giok dari tangan Ceng Ceng. Yang penting baginya hanyalah peta harta karun. Dia harus mendapatkan peta itu! Lalu dia teringat ketika untuk pertama kali dia dapat menangkap Ceng Ceng. Dia tahu bahwa Ceng Ceng memiliki gin-kang yang amat hebat akan tetapi dia pun tahu akan kelemahan gadis itu. Maka dia lalu berkata dengan tegas.
“Tidak dapat disangkal bahwa Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok memiliki kepandaian yang lihai, akan tetapi aku tahu bagaimana kita dapat mengalahkan mereka. Yang terpenting sekarang kita perlu mengetahui lebih dulu di mana mereka berada dan hal ini tentu diketahui oleh Nona Tan Li Hong. Nona, setelah engkau menjadi murid Subo Song-bun Moli, berarti engkau menjadi warga dan segolongan dengan. kami. Maka sudah selayaknya engkau membantu kami dan menceritakan di mana kita dapat bertemu dengan Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok.”
Li Hong merasa ragu-ragu. Ia memang membenci Ceng Ceng dan ingin membunuhnya, akan tetapi ia sama sekali tidak ingin menjadi pengkhianat, tidak mau menceritakan bahwa tadinya mereka bertiga bermaksud mencari harta karun yang menurut perhitungan banyak kemungkinannya terdapat di bukit itu. Maka ia menjawab perkataan Panglima Kim Bayan tadi dengan gelengan kepalanya dan berkata,
“Memang tadinya aku bersama mereka, akan tetapi kami lalu berpisah dan aku tidak tahu mereka berdua itu berada di mana sekarang.”
Pada saat itu, seorang anak buah Bukit Sorga yang berpakaian hitam-hitam datang memasuki ruangan depan di mana mereka sedang berbincang-bincang. Dia membungkuk dengan hormat kepada Cui-beng Kui-ong. Kakek ini membentak anak buahnya.
“Mau apa engkau mengganggu pembicaraan kami di sini?”
Anak buah itu membungkuk lagi dan tampak ketakutan melihat Cui-beng Kui-ong marah. “Mohon beribu ampun! Hamba hendak melaporkan bahwa saat ini ada seorang pemuda dan seorang gadis mendaki bukit dan sampai di lereng tengah.”
“Huh, begitu saja lapor. Lalu apa gunanya kalian melakukan penjagaan? Bunuh saja dua orang muda yang berani memasuki wilayah kita!”
“Ampunkan hamba. Tadi kami belasan orang sudah mencoba untuk menangkap atau membunuh mereka. Akan tetapi pemuda dan gadis itu pandai... menghilang. Tiba-tiba saja mereka menghilang dan tahu-tahu kami semua terkena tamparan sehingga berulang-ulang kami roboh. Akhirnya kami tidak kuat melawan dan mundur, lalu hamba yang bertugas menyampaikan laporan kepada Paduka.”
“Tidak salah lagi!” Panglima Kim Bayan berseru. “Mereka tentu Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok. Memang mereka berdua gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi sehingga Ceng Ceng dijuluki Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih) dan Cun Giok dijuluki Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan).”
“Benar sekali! Mereka tentu Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok! Bagaimana menurut pendapatmu, Li Hong?” kata Song-bun Moli sambil memandang muridnya.
Tentu saja Li Hong tahu benar bahwa dua orang yang dimaksudkan dalam laporan anak buah itu pasti Ceng Ceng dan Cun Giok. Kalau dua orang itu kini ketahuan keberadaan mereka di Bukit Sorga, hal ini bukan karena ia yang memberitahu. Ia menjawab sambil lalu.
“Mungkin saja, Subo.”
“Bagus! kalau begitu, mari kita tangkap mereka!” kata Cui-beng Kui-ong dengan girang.
Akan tetapi Kim Bayan segera berkata. “Suhu dan Subo, harap jangan tergesa-gesa. Tentu saja kalau kita maju bersama, kita akan mampu mengalahkan mereka berdua. Akan tetapi harap diingat bahwa kita ingin menangkap mereka hidup-hidup. Dan mengingat kelihaian mereka, saya suka menangkap mereka hidup-hidup. Mereka tentu akan melawan sampai mati dan kalau hal ini terjadi lalu apa untungnya bagi kita? Saya mempunyai siasat yang jauh lebih baik sehingga kita dapat menangkap mereka tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan mengorbankan banyak anak buah.”
Kim Bayan bicara lirih mengemukakan siasatnya dan mendengar siasat panglima itu, Cui-beng Kui-ong terbahak dan Song-bun Moli terkekeh. Keduanya merasa setuju dan girang sekali, memuji-muji kecerdikan Kim Bayan. Akan tetapi Kong Sek dan Li Hong mengerutkan alisnya.
Mereka merasa kecewa mendengar bahwa dua orang muda itu akan ditangkap hidup-hidup. Padahal Li Hong menghendaki matinya Ceng Ceng dan Kong Sek ingin melihat Cun Giok dibunuh untuk membalas dendam kematian ayahnya! Akan tetapi mereka tidak berani membantah, apalagi mereka masih mempunyai banyak kesempatan untuk membunuh orang-orang yang mereka benci itu. Setelah Panglima Kim Bayan mengemukakan siasatnya, mereka lalu meninggalkan gedung untuk melaksanakan apa yang telah diatur oleh Kim Bayan tadi.
********************
Matahari telah naik tinggi. Tengah hari baru saja lewat. Cun Giok dan Ceng Ceng yang melangkah perlahan-lahan karena selain harus waspada terhadap kemungkinan adanya jebakan-jebakan, juga mereka meneliti setiap bukit yang mereka lalui, mencari-cari guha yang dimaksudkan dalam peta.
Setelah lama mereka mencari dan belum juga menemukan guha yang mereka cari, mereka berhenti sejenak sambil mengaso di bawah sebatang pohon yang rindang. Cun Giok mengusap keringat dari muka dan lehernya, memandang kepada Ceng Ceng yang duduk tak jauh di depannya. Juga gadis itu mengusap keringat dengan sehelai saputangan.
“Ceng-moi, mengapa engkau bersusah payah mencari harta karun itu? Engkau dan aku juga sama sekali tidak membutuhkan harta karun dan kalau pencarian ini terlalu membahayakan dirimu, untuk apa engkau memaksakan diri? Apakah tidak lebih baik hentikan usaha pencarian harta karun itu dan kita kembali turun bukit?”
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Tidak, Giok-ko. Engkau sendiri pernah mengatakan bahwa sebelum aku menyerahkan peta ini kepada para pejuang bangsa, sebaiknya kalau kita teliti dan buktikan dulu. Kalau kuberikan sekarang kepada para pejuang kemudian setelah mereka cari ternyata harta karun itu tidak ada, tentu aku dan terutama ayahku akan dianggap sebagai pembohong. Memang banyak resikonya dan berbahaya, Giok-ko. Akan tetapi demi menaati pesan terakhir ayah, aku siap untuk berkorban nyawa, kalau perlu. Akan tetapi engkau tidak ada sangkut pautnya dengan tugas ini, maka kalau engkau hendak pergi, silakan Giok-ko!”
“Ah, bukan begitu maksudku, Ceng-moi. Aku tadi hanya mengkhawatirkan keselamatan dirimu. Maafkan ucapanku tadi. Jangan katakan bahwa aku tidak ada sangkut pautnya dengan pencarian harta karun itu, Ceng-moi. Mendiang ayahmu adalah sahabat keluarga kakek dan ayahku dan setiap orang gagah wajib menentang kekuasaan penjajah. Karena itu, kalau engkau siap berkorban nyawa untuk melaksanakan tugas itu, demikian pula aku. Aku akan menemanimu sampai engkau dapat menemukan harta karun itu!”
Ceng Ceng tersenyum dan berkata lembut, dengan pandang mata penuh kasih. “Terima kasih, Giok-ko!”
Tiba-tiba Cun Giok menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik. “Awas, Ceng-moi, ada orang datang!”
Pada saat itu memang ada tiupan angin yang tiba-tiba datangnya dan bagi kedua orang muda ahli silat itu sudah jelas bahwa ini bukan angin alami, melainkan angin buatan orang yang memiliki kesaktian. Terdengar suara tawa yang menyeramkan. Cun Giok dan Ceng Ceng cepat memutar tubuh menghadap ke arah datangnya suara itu. Tampak asap putih mengebul tebal dan ketika asap itu perlahan-lahan pergi terbawa angin, muncullah dua orang dari dalam kepulan asap itu. Seorang kakek dan seorang nenek yang menyeramkan.
Kakek Cui-beng Kui-ong yang bertubuh bongkok, mukanya keriputan dan usianya sudah tujuh puluh tahun, mengenakan pakaian mewah yang membuat dia tampak semakin aneh, lucu, dan menyeramkan. Di sampingnya berdiri nenek Song-bun Moli, berusia enampuluh tahun, kurus dan juga bongkok, pakaiannya mori putih, mukanya pucat seperti mayat. Melihat sepasang kakek nenek yang menyeramkan ini, Cun Giok dan Ceng Ceng siap siaga karena mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan dua orang yang amat lihai dan berbahaya.
“Hak-hak-hak-hak! Dua orang bocah berani sekali memasuki daerah kekuasaanku tanpa ijin! Kalian agaknya sudah bosan hidup!” Cui-beng Kui-ong mengangkat tangan kiri ke atas dan terdengar gerakan banyak orang, lalu muncul sekitar tigapuluh orang berpakaian hitam-hitam mengepung tempat itu.
Keadaan dua orang muda itu sungguh terancam dan gawat. Baru menghadapi kakek dan nenek itu saja sudah merupakan tugas amat berat dan mereka tidak dapat merasa yakin akan mampu mengalahkannya, kini muncul sekitar tiga puluh orang berpakaian hitam yang siap mengeroyok dengan golok mereka! Dan dua orang muda itu berada di tempat yang asing bagi mereka, tempat tinggal pihak lawan!
Akan tetapi Ceng Ceng dan Cun Giok sama sekali tidak merasa takut. Ceng Ceng sudah memegang sebatang tongkat ranting pohon, sedangkan Cun Giok siap untuk mencabut Kim-kong-kiam.
“Hak-hak-hak! Kalian yang bernama Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng? Orang-orang muda yang nekat dan bosan hidup. Kalian berdua lebih baik menyerah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan. Kalian melawan pun tidak ada gunanya!” kata Ciu-beng Kui-ong.
“Hik-hik-hik!” Song-bun Moli terkekeh. “Sayang kalau orang-orang muda seperti kalian mati konyol di sini. Liu Ceng Ceng, engkau tentu tahu apa yang kami cari! Serahkan peta harta karun Thaikam Bong itu kepada kami dan kami tidak akan membunuh kalian!”
Pada saat itu, Ceng Ceng dan Cun Giok teringat bahwa peta itu masih disimpan dalam baju Ceng Ceng. Rencana mereka untuk menyembunyikan peta itu ketika mereka hendak mendaki bukit tidak jadi dilaksanakan karena kemarahan Li Hong yang lari meninggalkan mereka kemudian kembali dan menyerang Ceng Ceng.
Peta itu kini berada dalam saku di balik baju Ceng Ceng, Cun Giok mengenal benar watak Ceng Ceng yang sudah mengatakan bahwa ia akan melaksanakan pesan ayahnya dengan taruhan nyawa. Benar saja, ketika mendengar ucapan Song-bun Moli dan Cui-beng Kui-ong tadi, Ceng Ceng menjawab dengan tegas.
“Aku tidak akan menyerah dan tidak dapat memberikan peta itu kepada kalian.”
“Hak-hak-hak! Engkau rela mati dan tidak mau menyerahkan peta itu kepada kami?” Cui-beng Kui-ong membentak dan memberi isyarat dengan tangannya. Tiga puluh orang anak buah berpakaian hitam itu kini mempersempit lingkaran dan agaknya mereka sudah siap untuk mengeroyok.
“Terserah, aku hanya mempertahankan benda yang bukan menjadi hak milik kalian,” kata pula Ceng Ceng.
“Hi-hi-hik! Engkau hendak memiliki sendiri harta karun itu, bukan? Serahkan saja kepada kami, kita bekerja sama dan nanti setelah harta itu ditemukan, engkau akan mendapatkan bagianmu.” Nenek Song-bun Moli membujuk.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. “Aku juga tidak berhak memiliki harta itu.”
“Lalu siapa yang berhak?” Cui-beng Kui-ong bertanya penasaran sehingga dia lupa tertawa.
“Harta karun itu milik Kerajaan Sung. Karena kerajaan itu sudah jatuh, maka harta itu yang berhak memiliki adalah rakyat!”
Cui-beng Kui-ong marah dan dia memberi isyarat lagi. Kini tiga puluh orang lebih anak buahnya yang berpakaian hitam itu mulai bergerak maju. Ceng Ceng melintangkan tongkatnya di depan dada sedangkan Cun Giok sudah mencabut Kim-kong-kiam. Mereka siap membela diri.
Begitu para pengepung itu menerjang maju, Ceng Ceng dan Cun Giok bergerak cepat seolah tubuh mereka menghilang dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya delapan orang anak buah Bukit Sorga! Dalam segebrakan saja dua orang muda perkasa itu telah mampu merobohkan delapan orang!
“Tahan! Semua mundur!!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. “Liu Ceng Ceng, lihat siapa yang menjadi tawanan kami!”
Ceng Ceng dan Cun Giok memandang dan ternyata yang membentak dan menyuruh semua pengeroyok mundur itu adalah Panglima Kim Bayan. Yang membuat wajah Ceng Ceng dan Cun Giok terkejut adalah ketika mereka melihat Kim Bayan menempelkan golok besarnya yang berkilauan itu pada leher seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Li Hong!
“Li Hong...!” Mereka berseru dengan mata terbelalak. Li Hong yang ditawan dan ditempeli golok lehernya itu menjadi tawanan dengan kedua tangan diikat ke belakang. Akan tetapi gadis yang tertawan itu memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata berapi penuh kebencian!
“Liu Ceng Ceng, sekarang pilih. Kau serahkan peta itu kepada kami atau harus kami sembelih dulu gadis ini, baru kami akan membunuh kalian?”
Li Hong sama sekali tidak tampak takut dengan ancaman itu dan ia masih memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh kebencian. Ancaman Kim Bayan itu hanya merupakan siasat yang sudah diatur lebih dulu. Kim Bayan minta ia berpura-pura menjadi tawanan dan menurut panglima itu, dengan siasat ini, pasti Ceng Ceng akan menyerahkan peta itu dengan suka rela.
Ia sudah membantah pendapat ini karena ia tahu bahwa tidak mungkin sama sekali Ceng Ceng mau menyerahkan peta hanya untuk menolongnya. Ia pernah membunuh paman guru Ceng Ceng, bahkan baru saja ia menyerang untuk membunuh Ceng Ceng dan telah melukainya dengan jarum Hek-tok-ciam. Mana mungkin Ceng Ceng mau menukarkan peta yang amat penting baginya itu dengan nyawanya?
Akan tetapi Kim Bayan didukung Song-bun Moli mengatakan bahwa kalau siasat ini tidak berhasil, baru akan dilakukan kekerasan terhadap Ceng Ceng dan Cun Giok. Mungkin saja Ceng Ceng menyembunyikan peta itu di suatu tempat, demikian kata Kim Bayan. Dan kalau demikian halnya, percuma saja membunuh Ceng Ceng karena peta tidak akan dapat mereka temukan.
Li Hong menganggap alasan ini mungkin terjadi, apa lagi ia sudah mendengar rencana Ceng Ceng untuk menyembunyikan peta itu, maka ia pun menyetujui berpura-pura menjadi tawanan dan kedua tangannya diikat ke belakang. Akan tetapi Li Hong melihat peristiwa yang sama sekali tidak disangkanya. Mendengar ancaman K im Bayan untuk membunuhnya kalau Ceng Ceng tidak menyerahkan peta itu, tanpa ragu Ceng Ceng berkata,
“Panglima Kim Bayan, berjanjilah dulu sebagai seorang panglima bahwa engkau tidak akan membunuh Li Hong, baru peta akan kuserahkan padamu.”
“Ceng-moi...!” Cun Giok berseru kaget.
Sikap kedua orang ini seketika membuat Li Hong merasa seolah semua tenaga dalam badannya melayang dan ia menjadi lemas. Ceng Ceng mau menyerahkan peta demi menyelamatkannya, setelah apa yang ia lakukan terhadap gadis itu! Padahal Ceng Ceng tahu betul bahwa ia akan membunuhnya, akan tetapi tetap saja Ceng Ceng berusaha menyelamatkannya! Dan ia pun teringat ketika ia menyerang Ceng Ceng di kaki bukit, gadis itu sama sekali tidak mau mengelak, menangkis atau melawan.
Dan hal kedua yang membuat hatinya seperti disayat adalah melihat sikap Cun Giok. Pemuda itu terkejut dan agaknya mencela sikap Ceng Ceng yang hendak menukarkan peta dengan nyawanya. Ini berarti bahwa pemuda itu tidak cinta padanya. Dugaannya selama ini ternyata keliru. Cun Giok memang tampak suka, ramah dan baik terhadap ia sebagai seorang pria, dan tidak mencinta ia sebagai seorang wanita!
Ingin rasanya Li Hong menangis dan dorongan ini ditahan-tahannya, namun tetap saja kedua matanya mengalirkan butiran-butiran air mata. Melihat Li Hong menangis tanpa suara, Kim Bayan merasa girang sekali dan kagum. Disangkanya gadis yang kini menjadi murid Song-bun Moli itu bersandiwara agar siasat itu berjalan dengan baik dan berhasil.
“Berjanji? Ha-ha-ha, aku sudah bersumpah bahwa aku tidak akan membunuh Nona Tan Li Hong kalau engkau mau menyerahkan peta itu kepada kami!”
“Akan tetapi engkau harus berjanji bahwa kalau peta diserahkan, engkau tidak akan membunuh Nona Liu Ceng Ceng!” kata Cun Giok cepat-cepat.
“Juga tidak akan membunuh Kanda Pouw Cun Giok!” Ceng Ceng menyambung cepat.
Kembali Li Hong mendapat kenyataan betapa dua orang itu saling melindungi!
“Baik, aku berjanji pula tidak akan membunuh kalian berdua kalau peta itu diberikan kepada kami,” kata Kim Bayan.
Kini tanpa ragu-ragu lagi Ceng Ceng mengambil peta itu dari saku sebelah dalam bajunya dan menyerahkannya kepada Kim Bayan. Panglima itu membuka gulungan peta dan di belakangnya berdiri pula Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang ikut memeriksa peta.
Mereka mengangguk-angguk, lalu Kim Bayan berkata kepada Ceng Ceng dan Cun Giok. “Sekarang kami minta kalian menjadi tamu kami untuk sementara. Ingat, Nona Tan Li Hong masih menjadi tawanan kami di tempat terpisah dan kami minta kalian menemani kami mencari harta karun sampai dapat kami temukan. Setelah itu, baru kalian bertiga kami bebaskan. Kalau kalian berdua membuat ulah, terpaksa kami akan tetap menahan Tan Li Hong!”
Cun Giok hendak memprotes, akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika Cun Giok memandangnya, dia tahu bahwa gadis ini minta agar dia menurut saja. Diam-diam Cun Giok semakin kagum kepada Ceng Ceng. Gadis itu setelah diperlakukan sedemikian jahatnya oleh Li Hong, kini malah berusaha menolongnya, bahkan mengorbankan peta yang baginya teramat penting itu. Ini sungguh sukar dipercaya! Akan tetapi dia tidak sampai hati untuk menentang pendapat dan kehendak Ceng Ceng.
Demikianlah, Cun Giok dan Ceng Ceng diajak mendaki puncak bukit dan Li Hong lebih dulu dibawa pergi. Karena itu, mereka tidak berani berbuat apa-apa. Selama Li Hong masih di tangan pihak lawan, mereka berdua tentu saja tidak berani menggunakan kekerasan. Akan tetapi, mereka diperlakukan sebagai tamu dan mereka tetap waspada. Mereka mendapatkan dua buah kamar terpisah dan sekeliling kamar mereka dijaga ketat oleh anak buah yang berpakaian hitam-hitam. Mereka dilayani dengan baik dan sebagai tamu-tamu yang dihormati.
Sementara itu, Panglima Kim Bayan mengadakan pertemuan dan rapat kilat di ruangan lain yang jauh dari kamar-kamar dua orang tamu setengah tawanan itu. Yang hadir di situ adalah Kim Bayan, Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, Tan Li Hong, dan Kong Sek