56: PENGAKUAN JUJUR MESKIPUN PAHIT!
"Hemm... pencuri harta itu dari Thai-san? Tokoh Thai-san yang berilmu tinggi dan sombong? Pasti ada hubungannya dengan Thai-san-pai (Aliran Persilatan Gunung Agung)! Yang berani mengambil harta karun dari Bukit Sorga, berilmu tinggi dan sombong, tiapa lagi kalau bukan Ketua Thai-san-pai?"
Suhu, siapakah Ketua Thai-san-pai?"
"Dia menamakan dirinya Thai-san Sianjin (Manusia Dewa Thai-san), akan tetapi nama aselinya Thio Kong dan tentang orang ini, Song-bun Moli lebih mengenalnya!"
"Heh-heh-hi-hi-hik, Thio Kong itu, siapa tidak mengenalnya? Ketika mudanya, dia mata keranjang dan ugal-ugalan, akan tetapi setelah tua dia pura-pura alim, menjadi pendeta dan menjadi Ketua Thai-san-pai! Hi-hi-hu-hu-huuu!" Tawa aneh dari nenek itu kini muncul kembali.
"Hak-hak-hak! Tidak perlu mencela, Mo-li! Lupakah engkau bahwa dulu engkau juga tergila-gila kepadanya dan menjadi seorang di antara kekasihnya?"
"Hi-hi-hi! Itu dulu! Kalau sekarang aku bertemu dengan dia pasti akan kupenggal lehernya, kucabut dan kumakan jantungnya!"
"Ha-ha-hak! Aku percaya itu karena sejak dulu engkau merasa sangat cemburu dan marah yang selalu engkau pendam dalam hatimu."
Melihat kakek dan nenek ini kembali saling bertengkar, Kong Sek cepat menengahi. "Suhu dan Subo, memang agaknya tepat dugaan Ji-wi (Anda Berdua) bahwa yang mencuri harta karun itu adalah Thai-san Sianjin ketua Thai-san-pai! Kalau bukan orang yang tinggi kedudukannya, lihai ilmu silatnya, dan mempunyai banyak anak buah, tentu tidak akan berani mencuri dari bukit ini, apalagi dengan meninggalkan tanda pengenal THAI-SAN itu! Marilah kita mengejar ke sana agar sekali bertindak kita mendapatkan dua keuntungan, yaitu merampas kembali harta karun dan membunuh Thai-san Sianjin seperti dikehendaki Subo tadi."
Kakek dan nenek itu merasa setuju dan berangkatlah mereka bertiga menuruni Bukit Sorga menuju ke Thai-san. Perjalanan itu amat jauh, akan tetapi kakek dan itu melakukan perjalanan santai karena mereka ingin menikmati keadaan di luar setelah bertahun-tahun mengasingkan diri di Bukit Sorga. Setelah tiba di luar daerah tempat tinggal mereka, kakek dan nenek itu kambuh kembali kesenangan mereka yang bagi Kong Sek amat aneh, menjijikkan dan juga mengerikan.
Baru dia tahu bahwa Cui-beng Kui-ong memiliki kesenangan aneh, yaitu menangkapi gadis yang menarik hatinya, memperkosa dan minum darahnya sebelum dibunuhnya! Song-bun Moli juga melaksanakan kesenangannya yang tidak kalah keji dan seramnya. Setiap kali melihat bayi yang masih menyusu ibunya, yang berwajah montok dan bertubuh sehat, ia lalu menculik bayi itu dan pada keesokan paginya mayat bayi itu dibuang begitu saja dengan tubuh yang tak berdarah lagi!
Kong Sek bergidik ngeri. Dia merasa tidak suka melihat kelambatan perjalanan itu, apalagi melihat kebiasaan aneh yang mengerikan itu, akan tetapi dia tidak berani menegur. Juga dia tidak mau pergi meninggalkan dua orang aneh itu karena dia mengharapkan bantuan mereka untuk dapat membalas dendamnya, yaitu membunuh Pouw Cun Giok! Demikianlah, perjalanan itu dilakukan dengan santai dan lambat.
********************
Setelah jauh meninggalkan Bukit Sorga dengan berlari cepat, tiga orang muda itu berhenti dalam sebuah hutan, di bawah sebatang pohon yang besar dan rindang. Mereka bertiga berdiri saling pandang dan Ceng Ceng sambil tersenyum mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada Li Hong lalu berkata.
"Li Hong, engkau telah menolong dan menyelamatkan kami, sungguh perbuatanmu itu baik sekali dan aku sangat berterima kasih kepadamu!"
Mendengar ini, sepasang mata Li Hong yang memandang wajah Ceng Ceng tiba-tiba berlinang air mata dan ia lalu maju dan merangkul Ceng Ceng.
"Ceng Ceng... maafkan aku, Ceng Ceng..." Li Hong menangis ketika berangkulan dengan Ceng Ceng.
Ceng Ceng, tersenyum dan mencium pipi yang basah itu. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Li Hong, engkau tidak bersalah apa-apa kepadaku," katanya lembut.
Cun Giok tercengang menyaksikan sikap kedua orang gadis cantik itu. Setelah kini dia dapat mengamati dengan jelas Li Hong sebagai seorang gadis, harus dia akui bahwa Li Hong memang merupakan seorang gadis yang cantik menarik. Dia membiarkan dua orang gadis itu berangkulan, setelah Li Hong berhenti menangis, barulah Cun Giok berkata dengan suara mengandung keheranan.
"Ceng-moi dan Hong-moi, marilah kita duduk sambil mengaso dan bicara. Aku sungguh heran melihat kalian berdua. Apakah yang telah terjadi? Aku melihat Hong-moi menyerang Ceng-moi, kemudian ketika melihat Hong-moi ditangkap Kim Bayan dan kawan-kawannya, Ceng-moi mengorbankan petanya untuk menyelamatkan Hong-moi. Kemudian, Hong-moi dengan mati-matian menolong Ceng-moi ketika kami dikeroyok anak buah Bukit Sorga. Apa artinya semua itu?"
"Semua itu membuktikan bahwa Ceng Ceng memang seorang gadis yang amat mulia hatinya, amat baik dan memang sudah sepatutnya kalau... ia menjadi jodohmu, Twako," kata Li Hong.
Ceng Ceng menghela napas panjang. "Tidak seperti yang kalian sangka," katanya. "Ketika melihat Li Hong tertawan dan dijadikan sandera, kemudian kebebasannya hendak ditukar dengan peta harta karun, aku berpendapat bahwa Li Hong setia merahasiakan peta itu. Kalau tidak begitu, bukankah ia sudah hafal pula akan isi peta? Maka, untuk menyelamatkan Li Hong yang begitu setia menjaga kerahasiaan peta itu, aku rela menyerahkan peta kepada mereka."
Li Hong mengusap dua titik air mata yang tersisa di pelupuk matanya, lalu berkata lantang seolah ia mengerahkan kekuatan untuk menegaskan ucapannya. "Tidak, Ceng Ceng. Aku tidak sebaik itu. Terus terang saja, Ceng Ceng, dan engkau juga Pouw-twako, melihat kemesraan antara kalian berdua, aku menjadi... cemburu dan marah, suatu sikap yang sebenarnya memalukan!"
"Tidak, Li Hong. Engkau berhak cemburu dan marah karena aku sudah tahu bahwa engkau mencinta Giok-ko dan engkau pernah bilang bahwa engkau tidak ingin bersaing dengan aku. Ternyata akulah yang melanggar penyangkalanku sendiri bahwa aku tidak akan menyainginya..." kata Ceng Ceng.
"Aku yang tidak tahu diri dan aku mengira bahwa Pouw-twako mencinta diriku."
"Hong-moi, engkau tentu mengerti bahwa sikapku yang baik terhadapmu dulu adalah sikap seorang sahabat karena engkau kuanggap sebagai seorang pemuda remaja yang baik dan menyenangkan," Cun Giok membela diri.
"Sudahlah, semua memang salahku. Kalau aku berani membuka penyamaranku, tentu aku tahu bahwa Pouw-twako tidak mencinta aku seperti cinta seorang pria terhadap seorang wanita. Dan tentu tidak akan terjadi persoalan ini. Seperti kuceritakan tadi, aku menyerang Ceng Ceng karena marah dan cemburu, lalu aku pergi meninggalkan kalian. Aku mendaki bukit untuk mencari sendiri harta karun itu. Bukan karena aku murka dan ingin memiliki harta itu, melainkan untuk mendahului kalian, untuk melampiaskan kemarahanku. Di atas, aku dikalahkan Cui-beng Kui-ong, nyaris dibunuh akan tetapi ditolong Song-bun Moli dan diambil murid. Aku mau saja diambil murid agar aku dapat mempelajari ilmu untuk kelak dapat menandingi kalian berdua! Pada waktu itu aku sungguh-sungguh seperti gila oleh cemburu dan kemarahan dan amat membenci Ceng Ceng. Nah, lega hati ini setelah menceritakan semua perasaanku yang amat jahat itu kepada kalian."
"Akan tetapi... buktinya sekarang engkau malah menolong kami dan memusuhi mereka. Bagaimana ini?" kata Cun Giok bingung.
"Giok-ko, ini membuktikan bahwa Li Hong tidaklah sejahat seperti yang diakuinya," kata Ceng Ceng tersenyum.
"Kalian berdua belum mengetahui betapa jahatnya aku! Setelah diaku murid oleh Song-bun Moli, aku dipercaya sebagai sekutu mereka. Akan tetapi, entah mengapa, aku tidak sudi membuka rahasia tentang peta yang sudah kuhafal isinya itu. Di lubuk hatiku, aku sebenarnya tidak suka kepada mereka. Aku hanya marah kepada kalian dan hendak menggagalkan kalian menemukan harta itu. Maka aku lalu mengusulkan agar aku dijadikan sandera untuk menjebak kalian. Aku sudah mengenal watak Ceng Ceng yang murah hati walaupun aku sama sekali tidak mengira engkau mau berkorban untukku, Ceng Ceng! Aku tadinya hanya ingin agar Pouw-twako tidak dapat melindungimu kalau kalian menyerah. Siapa tahu, ternyata engkau sungguh-sungguh mau berkorban untukku, mau menyerahkan peta yang amat berharga bagimu itu untuk menyelamatkan aku. Nah, pada saat itulah pikiranku berubah sama sekali. Mendung hitam berupa cemburu dan benci itu seketika menghilang dari hatiku, dan aku melihat betapa engkau seorang yang amat budiman, dan engkau sajalah yang pantas berjodoh dengan Pouw-twako. Maka, ketika kalian memasuki perkampungan dan dikeroyok oleh Kiu-kui-tin, aku segera keluar dan membantu kalian. Nah, sekarang engkau mengetahui semuanya. Aku memang jahat, berbeda dengan engkau yang bijaksana dan berbudi, Ceng Ceng."
Ceng Ceng merangkul Li Hong. "Sudahlah, Li Hong. Lupakan semua itu. Aku mengerti mengapa engkau menjadi cemburu dan marah. Aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku sendiri juga merasa bersalah. kepadamu."
"Ceng Ceng, kalau engkau benar-benar mau memaafkan aku, aku minta buktinya!"
Ceng Ceng mengangkat alisnya dan memandang heran. "Membuktikannya? Bagaimana?"
"Dengan mengahgkat aku menjadi adikmu! Nah, maukah engkau menjadi enciku?"
"Mengangkat saudara? Wah, tentu saja aku senang sekali, Li Hong! Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini! Kalau engkau mau menjadi adikku, ah, aku berterima kasih dengan penuh rasa syukur kepada Thian akan karunia ini!"
"Enci Ceng...!"
"Adik Hong...!"
Mereka kembali saling rangkul dan saling cium. Melihat ini, Cun Giok menjadi terharu sekali. Dua orang gadis yang sama cantik jelita, sama gagah perkasa dan biarpun Li Hong memiliki watak yang keras dan liar namun pada dasar hatinya terkandung keadilan dan kegagahan dan kini menjadi adik angkat Ceng Ceng, tentu ia akan mendapat tuntunan yang baik sekali. Sungguh berbahagia sekali Li Hong mendapatkan seorang saudara tua seperti Ceng Ceng! Siapa pun dia yang dapat berdekatan dengan Ceng Ceng, berarti memperoleh kebahagiaan besar. Ceng Ceng bagaikan matahari yang mendatangkan penerangan dalam kehidupan seseorang.
Dan dia telah mendapat balasan cinta dari Ceng Ceng! Sesungguhnya hal ini merupakan kebahagiaan yang tak dapat diukur dalamnya. Akan tetapi apakah dia berhak untuk menjadi jodoh Ceng Ceng? Bukankah dia telah bertunangan dengan Siok Eng? Tiba-tiba kebahagiaan besar karena saling mencinta dengan Ceng Ceng itu membuyar dan kesadaran akan keadaan dirinya terasa bagaikan ujung pedang menusuk perasaan hatinya.
Tidak, dia tidak boleh bertekuk lutut terhadap cintanya sendiri. Cinta memang suci dan bersih, namun dia sama sekali tidak bersih, sama sekali tidak berhak untuk mencinta dan dicintai seorang gadis semulia Ceng Ceng! Dia melakukan dosa besar yang amat memalukan! Merasa betapa perasaan hatinya seperti ditusuk-tusuk, tanpa disadarinya Cun Giok menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah merasa malu menatap dunia.
Ceng Ceng dan Li Hong yang tadinya saling rangkul dengan hati merasa terharu dan berbahagia, melepaskan rangkulan masing-masing ketika mereka melihat keadaan Cun Giok.
"Pouw-twako, engkau kenapakah?" tanya Li Hong.
"Giok-ko, engkau berduka, ada apakah?" tanya pula Ceng Ceng sambil menatap pemuda yang dikasihinya itu penuh selidik.
Cun Giok menghela napas, menurunkan kedua tangannya dan baru menyadari apa yang dia lakukan. Wajahnya tampak pucat dan muram ketika dia memandang kepada Ceng Ceng. Hatinya terasa pedih sekali. Tidak, dia tidak boleh merahasiakan keadaan dirinya. Ini tidak adil dan merupakan penipuan! Dia harus membuka rahasianya!
"Aku berdosa, berdosa besar sekali. Aku berdosa kepadamu, Hong-moi, juga kepadamu, Ceng-moi, harap kalian berdua memaafkan aku."
Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran.
"Twako, apa maksudmu dengan kata-kata itu?" tanya mereka hampir berbareng sambil menatap wajah pemuda itu.
Memang berat sekali rasanya bagi Cun Giok untuk mengatakan apa yang menjadi suara hatinya. Demi kejujuran dan keadilan dia harus mengatakannya, padahal dia maklum bahwa pengakuannya itu jelas akan memutuskan tali percintaan antara dia dengan Ceng Ceng! Hal ini akan terasa berat sekali dan akan menghancurkan hatinya, menghilangkan kebahagiaannya. Setelah menekan semua kegelisahan hatinya dia lalu berkata,
"Kepadamu, Hong-moi, aku minta maaf karena tanpa kusengaja aku telah mengecewakan perasaan hatimu..."
"Ah, tidak, Twako. Bukan salahmu, akulah yang bersalah dan akulah yang sepatutnya minta maaf padamu!" kata Li Hong.
"Dan kepadamu, Ceng-moi aku... ampunkanlah aku.... sesungguhnya, tidak pantas bagi aku untuk mencintamu karena.... karena... tidak mungkin kita dapat berjodoh..."
Ceng Ceng terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat, sedangkan Li Hong bangkit berdiri dengan marah.
"Twako, apa-apaan ini? Engkau dan Enci Ceng sudah saling mencinta! Bagaimana engkau sekarang mengatakan bahwa kalian tidak dapat berjodoh? Apa artinya ini? Jelaskan!" bentak Li Hong sambil memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan muka merah.
Akan tetapi Cun Giok tidak mempedulikan Li Hong, pandang matanya tertuju kepada Ceng Ceng dengan sayu. "Ceng-moi, ketahuilah, aku tidak mungkin dapat berjodoh denganmu karena... karena... aku sudah bertunangan dengan seorang gadis lain sejak dua tiga tahun yang lalu..."
"Ahhh..." Ceng Ceng cepat menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan air mata yang mengalir keluar dari kedua matanya.
"Jahanam keparat!" Li Hong melotot dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cun Giok. "Tak kusangka engkau ternyata seorang pemuda hidung belang yang suka mempermainkan wanita! Kalau sudah bertunangan dengan gadis lain, mengapa engkau merayu Enci Ceng Ceng sehingga ia jatuh cinta padamu? Engkau harus malu! Beginikah watak seorang pendekar? Aku harus menghajarmu atas penghinaanmu terhadap Enci Ceng ini!"
Dengan kemarahan meluap-luap Li Hong sudah mencabut Ban-tok-kiam dan sinar hijau bergulung-gulung ketika ia menyerang dengan dahsyat kepada Cun Giok! Pemuda itu cepat menghindarkan diri dari serangan maut itu dengan loncatan ke belakang. Li Hong masih hendak mengejar, akan tetapi Ceng Ceng merangkul pinggangnya dari belakang dan menahannya.
"Jangan, Hong-moi. Tidak selalu cinta harus berakhir dengan pernikahan." Melihat Cun Giok berdiri dengan wajah pucat, ia berkata. "Giok-ko, pergilah, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Pergilah!" Suaranya mengandung isak dan melihat betapa Li Hong meronta hendak melepaskan diri dari rangkulan Ceng Ceng.
Cun Giok mengeluarkan suara keluhan yang keluar dari rintihan suara hatinya dan dia lalu melompat pergi dengan cepat sekali sehingga bayangannya pun tidak tampak.
"Lepaskan aku, Enci Ceng! Aku harus mengejar dan membunuh jahanam yang telah berani mempermainkanmu itu!"
"Sudahlah, Adikku, tidak perlu dikejar lagi. Bagaimanapun juga, Giok-ko sudah menebus kesalahannya dengan pengakuannya tadi. Kalau dia berniat buruk, tentu dia akan terus merahasiakan pertunangannya itu."
Engkau... engkau tidak merasa hancur hatimu dan merasa sakit hati, Enci Ceng?" tanya Li Hong sambil memandang wajah Ceng Ceng dengan perasaan iba.
Ceng Ceng mengusap air matanya dan tersenyum, menggeleng kepalanya. "Sudah sewajarnya kalau aku merasa bersedih karena putus cinta, akan tetapi aku tidak sakit hati. Mengapa? Giok-ko tidak bersalah. Bagaimana orang jatuh cinta dapat disalahkan? Pengakuannya tadi menghapus semua kesalah-pahaman. Aku hanya mendoakan semoga dia dapat hidup bahagia di samping tunangannya yang akan menjadi isterinya."
Li Hong menghela napas. "Ah, hatimu terlalu baik, Enci Ceng, terlalu baik dan terlalu lemah. Sekarang bagaimana, Enci? Apakah engkau tidak berniat mencari harta karun itu?"
"Harta karun itu telah diambil orang lain, Hong-moi."
"Maksudmu telah diambil oleh Kim Bayan dan teman-temannya?"
"Tidak, ada orang lain yang telah mendahului dan mengambil harta itu."
Ceng Ceng lalu menceritakan hasil pencarian harta karun itu. Biarpun tempat penyimpanan telah ditemukan namun ternyata peti harta karun itu kosong dan hanya ada tulisan THAI-SAN. Li Hong mengerutkan alisnya.
"Peti kosong? Dan ada dua huruf THAI-SAN dalam kotak itu? Hemm, kalau begitu jelas bahwa isi kotak itu telah diambil orang dan pengambilnya adalah seorang atau orang-orang yang sombong maka berani menuliskan asal-usul mereka. Tentu pengambilnya ada hubungan dengan Thai-san!"
"Aku juga berpendapat demikian, Li Hong."
"Lalu apa yang hendak kaulakukan, Enci?"
"Mencari harta karun itu merupakan kewajibanku, Hong-moi, karena itu merupakan pesan atau peninggalan ayahku. Juga, sekarang aku tidak dapat pulang ke bekas rumah orang tuaku karena rumah itu sekarang tentu sudah diambil-alih atau dirampas pemerintah yang menganggap orang tuaku sebagai pemberontak. Maka, aku akan pergi mencari ke Thai-san."
Li Hong memegang tangan kakak angkatnya. "Enci Ceng, kenapa engkau merasa tidak mempunyai rumah lagi? Engkau adalah kakak angkatku, maka rumahku juga merupakan rumahmu. Marilah, Enci, kita pergi ke Coa-to (Pulau Ular)!"
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya. "Terima kasih, Li Hong, akan tetapi sungguh aku tidak ingin merepotkan dan mengganggu ketenteraman keluarga orang tuamu."
"Aih, Enci! Orang tuaku juga menjadi pengganti orang tuamu! Justeru aku ingin memperkenalkan engkau kepada ayah ibuku. Guruku sudah kaukenal baik. Selain itu, kita perlu minta nasehat Subo (Ibu Guru) yang kini juga menjadi ibuku. Tentu ia akan dapat memberi petunjuk kepada kita siapa kiranya pencuri harta karun itu yang ada hubungannya dengan Thai-san. Guruku itu mengenal para tokoh kang-ouw sehingga mungkin ia dapat memberi petunjuk. Kalau kita hanya mencari secara ngawur saja, tentu akan sulit untuk menemukan pencuri itu."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Ceng Ceng tidak dapat menolak ajakan Li Hong dan kedua orang gadis perkasa itu lalu melakukan perjalanan menuju ke Pulau Ular...