57: PENYELAMATAN PEK HWA SIANLI
Cun Giok berlari cepat dan setelah jauh meninggalkan dua orang gadis itu, dia berhenti di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah bertilam rumput tebal dan mukanya masih pucat, pandang matanya kosong dan termenung menatap air yang mengalir perlahan, bermain-main dengan batu-batu yang menonjol sehingga mengeluarkan bunyi gemericik. Rumput alang-alang (ilalang) di sepanjang tepi sungai itu bergoyang perlahan tertiup angin semilir, seolah-olah ilalang itu menari-nari mengikuti irama musik yang diciptakan oleh gemericik air sungai.
Cun Giok merasa gundah gulana, penderitaan hati yang pernah dirasakannya ketika dia meninggalkan Siang Ni yang membunuh diri di depan makam ibunya. Teringatlah dia kepada adik misannya itu dan dia merasa amat sedih. Pengalamannya dengan Siang Ni sampai sekarang masih membekas, meninggalkan luka yang membuatnya rapuh dan luka itu mudah terobek kembali. Kini luka itu terbuka lagi dan berdarah. Betapa buruk nasibnya dalam pertemuannya dengan gadis-gadis lain sesudah Siang Ni.
Pertama dia bertemu dengan Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin yang telah menolongnya, bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa gadis itu telah menghindarkannya dari maut karena kalau dia tidak ditemukan gadis itu, dari keadaan pingsan mungkin saja dia akan terus mati karena kehabisan banyak darah. Akan tetapi kehadirannya bahkan meretakkan hubungan antara gadis itu dan ayahnya.
Demikian pula pengalamannya dengan Siang Ni. Andaikata dia tidak muncul dalam kehidupan Siang Ni, andaikata dia tidak kesalahan tangan membunuh Pangeran Lu Kok Kong, ayah kandung Siang Ni, belum tentu nasib Siang Ni akan seburuk itu. Demikian pula dengan Cu Ai Yin. Andaikata gadis itu tidak menyelamatkannya, belum tentu ia sekarang bentrok dengan ayahnya sehingga minggat meninggalkan Bukit Merak, tempat tinggal ayahnya.
Agaknya dua peristiwa itu masih disusul yang lain lagi, bahkan lebih parah. Dia telah membikin kecewa hati Li Hong yang tadinya dia tidak tahu bahwa Li Hong seorang wanita karena ia menyamar sebagai pria. Biarpun tidak dia sengaja, akan tetapi kenyataannya tetap saja dia membuat Li Hong patah hati dan hampir saja Li Hong membunuh Ceng Ceng gara-gara dia.
Kemudian, yang membuat dia bersedih dan menyesal adalah hubungan cintanya dengan Ceng Ceng. Dia harus mengakui bahwa selama hidupnya baru sekali ini dia mencinta seorang gadis seperti dia mencinta Ceng Ceng dan merasa yakin bahwa tidak mungkin dia dapat mencinta wanita lain seperti dia mencinta Ceng Ceng. Memang dia akhirnya mengakui bahwa dia telah bertunangan, akan tetapi pengakuannya itu terlambat. Dia merasa berdosa kepada Ceng Ceng. Dia sudah mempermainkan gadis yang dikasihinya itu.
Semestinya sejak pertama kali dia menceritakan tentang pertunangannya itu. Sesungguhnya dia sama sekali tidak berhak mencintai Ceng Ceng dan sekarang, dia menghancurkan perasaan gadis yang bijaksana dan baik budi itu! Ah, betapa besar penyesalannya. Belum lagi diingat bahwa dia telah mengkhianati pertunangannya dengan Siok Eng! Dia telah bertunangan dengan Siok Eng akan tetapi jatuh cinta kepada Ceng Ceng! Padahal yang mengesahkan pertunangannya itu adalah mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, yang dihormati dan disayanginya!
Ketika matanya menatap ke air sungai, dia terbelalak. Tampak bayangan wajah Siang Ni lalu berubah menjadi wajah Cu Ai Yin. Tan Li Hong, Liu Ceng Ceng, kemudian sekali wajah Siok Eng! Dia melempar sebuah batu ke permukaan air dan bayangan itu pun lenyap.
Bodoh! Mengapa aku menjadi selemah ini? Sungguh tidak pantas menjadi murid mendiang Suhu Suma Tiang Bun dan Sukong Pak-kong Lojin! Dia memang telah melakukan kesalahan-kesalahan, akan tetapi manusia manakah yang tidak pernah melakukan kesalahan? Yang terpenting sekarang bukan hanya menyesali semua kesalahan itu lalu patah semangat, melainkan melangkah lebih lanjut dalam kehidupan ini, waspada akan langkah sendiri agar jangan sampai tersesat ke jalan yang pernah dilaluinya dan membuat kesalahan baru! Menyesal dan bertaubat tanpa mengubah kesalahannya, sama sekali tidak ada gunanya!
Cun Giok mendadak merasa haus dan lapar. Dia lalu menuruni tepi sungai dan dengan kedua tangannya menciduk air dan diminumnya. Terasa dingin dan segar, membuat hatinya menjadi tenang kembali. Semangatnya bangkit dan dia lalu memperhitungkan apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Yang jelas, dia harus pergi ke kota Cin-yang di Propinsi Shan-tung, berkunjung ke rumah Chao Kung mantu dari Siok Kan di mana tinggal Siok Kan dan puterinya, Siok Eng. Sudah menjadi kewajibannya untuk mengunjungi tunangannya dan calon ayah mertuanya itu, yang sudah lebih dari dua tahun dia tinggalkan. Tiba-tiba dia merasa kasihan sekali kepada Siok Eng. Tunangannya itu pasti menanti-nantinya dengan penuh kegelisahan.
Baru sekarang dia menyadari betapa kejam hatinya, membiarkan gadis yang tak berdosa itu, merana. Juga dia merasa malu kepada calon mertuanya, yaitu Siok Kan yang tentu akan menganggap dia seorang calon mantu yang tak bertanggung jawab.
Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan keadaan dirinya. Dia seorang pemuda yatim piatu, sebatang kara yang tidak mempunyai apa-apa dan miskin. Bahkan rumah untuk tempat tinggal pun tidak punya! Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti ini dia akan dapat membangun rumah tangga? Seorang isteri tidak cukup hanya diberi cinta semata! Harus diberi rumah tinggal, makan setiap hari dan pakaian pengganti. Dan semua itu mem?butuhkan uang! Padahal, dia sama sekali tidak mempunyai uang, juga tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan uang.
Apakah untuk keperluan rumah tangganya dia harus mencuri seperti yang dilakukan ketika dalam perantauan kehabisan bekal? Ah, tidak, dia tidak ingin menjadi seorang penjahat, seorang pencuri! Memalukan, seorang pendekar berubah menjadi pencuri! Dan dia akan merasa malu sekali, setelah hampir tiga tahun merantau, dia datang ke rumah tunangannya tanpa membawa hasil apa-apa! Dia harus berhasil melakukan sesuatu yang penting!
Teringatlah dia akan harta pusaka yang dicuri orang di Bukit Sorga! Dia akan ikut mencarinya! Bukan hanya untuk membantu Ceng Ceng agar harta itu diserahkan kepada para pejuang, akan tetapi juga untuk membuat jasa. Menerima sedikit saja bagian harta karun itu kiranya akan cukup baginya untuk dipakai sebagai modal bekerja atau berdagang. Demi memenuhi kebutuhan rumah tangga yang akan dia dirikan. Nanti kalau dia sudah berhasil, barulah dia akan pergi ke Cin-yang dan dia tidak akan merasa malu.
Setelah mengambil keputusan, dia lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Thai-san. Seperti yang lain, Cun Giok juga mempunyai dugaan bahwa harta karun itu tentu dicuri orang yang tinggal di Thai-san, atau setidaknya ada hubungannya dengan Thai-san. Memang terdapat keraguan dalam hatinya. Mana ada pencuri yang meninggalkan tanda agar orang-orang dapat mengejar dan mencarinya? Hanya ada dua kemungkinan.
Kalau tanda THAI-SAN itu aseli, maka pencuri dan penulisnya itu tentu seorang datuk persilatan yang sombong bukan main, sengaja memberitahu di mana dia berada karena dia sama sekali tidak takut menghadapi mereka yang mencarinya! Atau bukan mustahil tanda itu palsu dengan niat dari pencurinya untuk menghilangkan jejak dan untuk menyesatkan mereka yang hendak melakukan pengejaran dan pencarian!Karena tidak ada petunjuk lain untuk dapat mencari pencuri harta karun itu, maka Cun Giok lalu melakukan perjalanan dengan cepat menuju Pegunungan Thai-san.
Pada suatu hari tibalah dia di perbatasan Propinsi Shan-si sebelah barat dan berhenti di tepi Sungai Huang-ho yang airnya sedang besar sekali sampai penuh dan hampir meluap. Agaknya di sebelah utara, di daerah yang dilewati sungai itu bagian hulu sudah terdapat banyak hujan sehingga Sungai Kuning itu menampung curah hujan dan setibanya di perbatasan barat Propinsi Shan-si menjadi amat lebar dan luas.
Pantai sebelah timur sungai itu cukup ramai dengan para nelayan dan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu kepada para pedagang yang perlu menyeberang. Di sini terdapat pula pasar ikan di mana orang-orang melakukan tawar menawar hasil tangkapan para nelayan.
Tiba-tiba semua kesibukan terhenti dan semua orang memandang ke arah perahu-perahu besar yang menyeberangi sungai itu dari barat. Belasan buah perahu besar menyeberang dan setelah tiba di seberang timur, ratusan orang perajurit Kerajaan Mongol mendarat. Mereka berbaris dengan rapi dan melanjutkan perjalanan mereka ke timur.
Cun Giok merasa heran sekali. Pada beberapa hari yang lalu, dia pun bertemu dengan banyak pasukan yang berbaris menuju kota raja. Wajah para panglima komandan pasukan tampak muram dan serius. Ketika melihat seorang kakek sibuk memberi keterangan kepada orang-orang di sekitarnya yang mengelilinginya, Cun Giok tertarik dan cepat menghampiri.
Dari cerita kakek yang agaknya berpengalaman luas dan mengetahui banyak kejadian itu dia mendengar bahwa Kaisar Kubilai Khan telah wafat (Tahun I294)! Inilah sebabnya mengapa balatentara yang melakukan penjagaan di bagian barat ditarik kembali ke kota raja Peking. Akan tetapi berita kematian Kaisar Kubilai Khan ini tidak berarti apa-apa bagi Cun Giok. Kematian Kaisar bangsa Mongol itu tentu akan dianggap biasa oleh bangsa Pribumi Han yang semua orang tahu bahwa pasti akan ada penggantinya yang juga seorang bangsa Mongol. Bagi dia penggantian kaisar itu tidak akan mengubah keadaan karena tetap saja tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mongol.
Akan tetapi tentu saja tidak demikian dengan penilaian para tokoh pejuang yang memperhatikan keadaan pemerintahan Mongol. Mereka ini maklum bahwa Kaisar Kubilai Khan adalah seorang kaisar yang hampir sama dengan Kaisar Jenghis Khan. Pandai mengatur barisan, pandai pula mengatur pemerintahan, besar kekuasaannya dan berpengaruh, ditakuti dan disegani para pembesar bawahannya. Akan tetapi setelah Kaisar Kubilai Khan wafat, agaknya tidak akan ada yang dapat menyamai dalam hal mengatur pemerintah dan balatentara. Ini merupakan pertanda baik bagi para pejuang karena tanpa adanya Kaisar Kubilai Khan, kekuatan bangsa Mongol mulai berkurang kekuatannya.
Tiba-tiba seorang nelayan berseru dan menudingkan telunjuknya ke tengah sungai yang amat lebar dan luas itu. Semua orang, termasuk Cun Giok, memandang. Dia melihat seorang penumpang sebuah perahu kecil, dari bentuknya seperti seorang wanita, sedang dikepung dua buah perahu besar seperti perahu-perahu yang tadi ditumpangi ratusan orang perajurit. Di atas dua buah perahu itu terdapat banyak perajurit yang bergerak-gerak seolah hendak mengeroyok wanita yang berada di perahu kecil. Orang-orang yang melihatnya hanya memandang dengan hati tegang, tidak berani mencampuri karena tentu saja mereka tidak berani menentang para perajurit Mongol.
"Huh, anjing-anjing Mongol itu beraninya hanya mengganggu wanita!" terdengar gerutu seorang laki-laki.
Ketika Cun Giok memandang, ternyata yang mengomel itu adalah seorang nelayan berusia sekitar empatpuluh tahun yang bertubuh tegap. Dia memegang sebatang dayung besi dan melangkah ke arah perahunya yang berada di atas pasir di tepi sungai. Cepat Cun Giok mendekati orang itu.
"Maaf, Twako, bolehkah aku menyewa perahumu dan menyeberangkan ke sana?" Cun Giok menunjuk ke arah barat.
Nelayan yang bertubuh kokoh kuat itu memandang ke arah tudingan Cun Giok yang mengarah perahu kecil yang dikepung dua perahu besar.
"Hemm, di sana agaknya terjadi keributan," katanya sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu. Agaknya ada wanita yang diganggu para perajurit Mongol."
"Apa engkau tidak takut?" Nelayan itu bertanya sambil mengamati pemuda yang tampaknya lemah itu.
Cun Giok menggelengkan kepalanya. "Mengapa takut? Aku justeru ingin menolongnya menyelamatkan wanita itu. Akan tetapi kalau engkau takut mengantarku, biar kusewa perahumu saja dan aku akan mendayung sendiri."
"Huh, kalau engkau berani, mengapa aku tidak? Mari, kawan, mari kita tolong gadis itu dan hajar orang-orang Mongol yang kurang ajar itu!" Setelah berkata demikian, nelayan itu mendorong perahunya ke dalam sungai.
Cun Giok melompat ke atas perahu dan perahu itu cepat didayung oleh nelayan yang bertubuh kuat itu. Dayung besi itu dia gerakkan kuat-kuat sehingga perahu meluncur dengan cepat melintasi air sungai yang mengalir tenang perlahan di bagian itu.
Setelah tiba dekat dengan perahu kecil yang dikepung dua buah perahu besar itu, Cun Giok melihat seorang gadis berpakaian serba putih sedang berdiri di perahunya yang kecil dengan sepasang pedang pendek di kedua tangannya. Di dekat perahu itu tampak dua orang perajurit terapung, agaknya tewas terkena sambaran sepasang pedang itu.
Kini di atas perahu besar itu terdengar orang-orang memaki marah dan tampak dua orang perajurit melompat dari perahu yang berada di depan gadis itu, dan dua orang pula yang melompat dari perahu besar di belakangnya. Empat orang itu melompat sambil menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi gadis itu menggerakkan sepasang pedangnya dengan cepat dan lihai sekali sehingga empat orang perajurit Mongol itu berteriak dan tubuh mereka yang mandi darah itu tercebur ke dalam air sungai! Akan tetapi perahu kecil itu menjadi guncang karena gerakan gadis itu yang menggunakan tenaga cukup besar.
"Nona Cu Ai Yin...!" Cun Giok berseru ketika sudah tiba dekat dan dapat melihat wajah gadis berpakaian putih itu dengan jelas.
Pada saat itu, karena sukar untuk mempertahankan diri berdiri tegak di perahu itu dan ada bahaya ia terpelanting jatuh ke air, tiba-tiba Ai Yin lalu melompat ke atas sebuah perahu besar yang terdekat. Begitu tiba di perahu besar, segera puluhan orang perajurit di atas perahu itu mengeroyoknya. Ai Yin mengamuk dengan sepasang pedang pendeknya.
"Tangkap gadis pemberontak ini! Ia telah membunuh banyak rekan kita!" terdengar teriakan-teriakan para pengeroyok.
Beberapa orang perwira yang berada di perahu itu pun maju mengeroyok dengan pedang mereka. Ada empat orang perwira yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada para perajurit mereka, maka Ai Yin dikepung ketat dan menjadi repot juga. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan merobohkan beberapa orang, akan tetapi para pengeroyok semakin banyak jumlahnya karena dari perahu besar kedua, banyak pula perajurit Mongol yang datang dan naik ke perahu itu untuk ikut mengeroyok!
"Nona Cu, jangan khawatir, aku datang membantumu!" Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu empat orang pengeroyok roboh ketika Cun Giok melayang naik ke perahu itu dan begitu kaki tangannya bergerak, empat orang pengeroyok roboh. Pemuda itu lalu mencabut Kim-kong-kiam dan mengamuk, membuat para pengeroyok kocar-kacir.
"Cun Giok...!" Ai Yin berseru girang ketika mengenal pemuda yang membantunya itu. Mereka berdua lalu mengamuk dan belasan orang pengeroyok telah mereka robohkan.
"Serang dengan panah!" terdengar seorang perwira berseru dan belasan orang perajurit ahli panah telah mempersiapkan busur dan anak panah.
Melihat ini, Cun Giok merasa khawatir. Kalau para perajurit itu mempergunakan panah untuk menyerang, tentu akan berbahaya sekali bagi dia, terutama bagi Ai Yin. Ruangan di atas perahu itu kurang luas sehingga tidak banyak ruangan untuk bergerak menghindarkan diri.
"Nona Cu, kita lari!" teriaknya dan dia lalu merobohkan mereka yang menghalang di depan mereka. Setelah berlari sampai ke tepi perahu, dengan kaget Cun Giok melihat bahwa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah hanyut jauh dan Si Nelayan telah terkapar mati di atas perahunya, terkena anak panah!
"Nona Cu, kita loncat!" Dia mendahului untuk memberi contoh kepada gadis itu dan dia meloncat keluar dari perahu.
Cu Ai Yin agak ragu untuk meloncat. Ia tidak begitu pandai berenang, maka melihat air yang begitu luas, ia menjadi gentar. Karena mereka sudah mulai menyerang dengan melepaskan anak panah, Ai Yin memutar sepasang pedangnya sehingga semua anak panah itu terpukul runtuh. Melihat keadaan mendesak, barulah ia meloncat keluar dari perahu, ke arah jatuhnya Cun Giok tadi. Akan tetapi para perajurit sudah mengejar sampai di tepi perahu dan beberapa orang melepaskan anak panah ke bawah.
Cun Giok yang terapung di air dan melihat Ai Yin melompat, terkejut bukan main ketika melihat sebatang anak panah yang meluncur dari perahu mengenai punggung gadis itu.
"Nona Cu...!" Dia berseru dan cepat dia berenang ke arah jatuhnya tubuh Ai Yin di air. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi agak gelagapan karena selain kurang pandai berenang, juga luka di punggungnya membuat sebelah lengannya nyeri kalau digerakkan. Tiba-tiba lengan Cun Giok yang kuat menangkapnya dan pemuda itu berseru. "Ambil napas dan tahan!"
Ai Yin mengambil napas dalam, kemudian menahan napas ketika Cun Giok membawanya menyelam. Untung Cun Giok membawanya menyelam karena kalau tidak cepat-cepat dia menyelam, tentu mereka akan menjadi korban hujan anak panah yang dilepaskan dari atas perahu besar.
Dengan cepat, Cun Giok yang membawa Ai Yin menyelam, berenang di bawah permukaan air menuju ke pantai. Perahu besar yang hanyut terbawa air itu tentu saja semakin menjauh sehingga ketika Cun Giok tiba di daratan, tidak ada orang di perahu itu yang dapat melihatnya.
Setelah tiba di tepi sungai dan melihat betapa tubuh Ai Yin lemas dan terengah-engah, terbatuk-batuk karena tadi menahan napas dan hampir tidak kuat sehingga ada air memasuki perutnya, Cun Giok segera memondongnya dan membawanya lari ke dalam sebuah hutan yang tumbuh di tepi sungai. Tempat itu sudah jauh dari tepi sungai yang banyak orangnya tadi. Ketika memondong tubuh Ai Yin dan membawanya berlari cepat, dia berlaku hati-hati sekali agar jangan sampai menyentuh anak panah yang masih menancap di punggung gadis
Setelah tiba di tengah hutan, tiba-tiba tubuh Ai Yin terkulai lemas dan Cun Giok segera merebahkan tubuh gadis itu miring, lalu dicabutnya dengan hati-hati anak panah dari punggung gadis itu. Untung bahwa anak panah itu agaknya tidak mengenai jantung dan ketika dicabut, Ai Yin tidak mengeluh. Ketika diperiksanya, gadis itu ternyata pingsan dan napasnya terhenti!
Cun Giok tahu apa yang harus dia lakukan. Cepat dia menelentangkan tubuh Ai Yin, membuka mulut gadis itu lalu dia menempelkan mulutnya pada mulut yang terbuka itu dan meniupkan napas dengan kuat. Beberapa kali hal ini dia ulangi dan akhirnya Ai Yin terbatuk-batuk dan dapat bernapas kembali!
Gadis itu agaknya sudah siuman, akan tetapi masih dalam keadaan setengah sadar. Cun Giok tidak membuang waktu lagi. Dia menggulingkan tubuh gadis itu sehingga menelungkup, lalu dibukanya baju Ai Yin bagian belakang agar dia dapat memeriksa lukanya. Hatinya merasa lega. Luka itu tidak terkena racun. Anak panah yang menancap di punggung tadi tidak beracun dan hanya melukai kulit dan daging lalu anak panah itu terhalang tulang rusuk sehingga tidak masuk terlalu dalam sehingga tidak merusak alat vital yang berada di rongga dada. Agaknya yang membuat gadis itu pingsan bukan lukanya itu, melainkan menyelam terlalu lama sehingga kehabisan napas. Cun Giok membuka buntalan pakaiannya yang basah kuyup, mengeluarkan bungkusan obat luka dan memoleskan sehingga menutupi luka yang tidak terla1u besar itu.
Tiba-tiba Ai Yin membuka matanya dan ketika merasa betapa tubuhnya yang menelungkup itu diraba-raba orang di bagian punggung, ia berseru nyaring dan tubuhnya melompat berdiri. Otomatis ia mencabut sepasang pedang pendek yang tadi digunakan untuk mengamuk dan yang sempat ia sarungkan kembali sebelum melompat ke air. Ia merasa betapa bajunya di bagian punggung terbuka, maka dengan marah ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk Cun Giok sambil memaki.
"Jahanam busuk! Berani engkau menjamahku dan bertindak kurang ajar? Kubunuh engkau!" Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan membentuk dua gulungan sinar yang berbahaya sekali.
Cun Giok harus menggunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari sambaran sepasang pedang pendek itu. Sambil melompat agak jauh ke belakang, dia berseru, "Ai Yin, sadar dan tenanglah. Ini aku, Cun Giok, dan baru saja kita meloloskan diri dari perahu pasukan Mongol!"
Ai Yin menghentikan serangannya dan berdiri tegak, menatap wajah Cun Giok lalu berkata ketus. "Hemm, lebih jahat lagi kalau engkau yang melakukan perbuatan tidak sopan terhadap diriku tadi, Cun Giok!"
"Tenanglah, Ai Yin, dan dengarkan penjelasanku. Agaknya engkau masih pening dan belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Ingatkah engkau ketika dikeroyok banyak perajurit Mongol di atas perahu kecilmu kemudian engkau melompat ke atas perahu besar dan mengamuk?"