58: APAKAH SEMUA PRIA BEGITU?
Ai Yin mengerutkan alisnya yang berbentuk indah, kemudian dalam pandang matanya muncul sinar kesadaran. Ia memejamkan matanya seolah mengenang apa yang telah terjadi.
"Aku... aku dihadang dua perahu besar penuh perajurit Mongol, mereka hendak menangkapku dan aku mengamuk... di perahu besar aku dikeroyok banyak perajurit lalu... lalu... ah, aku ingat sekarang, engkau muncul dan membantuku, Cun Giok!" Ia membuka matanya dan menatap wajah pemuda itu sambil menyarungkan pedangnya. Gerakannya masih tampak lemas dan tubuhnya bergoyang-goyang.
"Mari kita duduk, Ai Yin, dan engkau perlu menenangkan diri dan mengumpulkan tenaga," kata Cun Giok.
Ai Yin menghela napas lega lalu ia duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah. Cun Giok juga duduk di depannya. "Engkau sudah ingat akan semua yang terjadi tadi, sekarang?"
"Aku ingat bahwa engkau muncul membantuku, kemudian engkau mengajak aku melompat dari atas perahu ke air. Hanya itu yang kuingat, selanjutnya aku tidak ingat dan tahu-tahu aku berada di sini dan... dan... aku telungkup, bajuku di belakang terbuka dan punggungku diraba-raba. Cun Giok! Engkaukah yang melakukan itu? Hayo katakan, mengapa engkau melakukan perbuatan tidak sopan itu? Salahkah dugaanku semula bahwa engkau seorang pendekar yang sopan dan baik budi?" Sepasang mata itu mencorong kembali, memandang penasaran dan menuntut keterangan dari pemuda itu.
"Tenanglah, Ai Yin. Engkau salah paham dan aku tidak menyalahkanmu karena engkau baru sadar dan tentu merasa lemas dan pening. Ketahuilah, ketika engkau melompat keluar dari perahu pasukan Mongol, sebatang anak panah mengenai punggungmu dan engkau jatuh ke air dalam keadaan terluka dan hampir pingsan."
Mendengar ini, Ai Yin menjulurkan tangan meraba luka di punggungnya dan menyeringai. "Aduhhh...!"
"Jangan khawatir, lukanya hanya luka kulit dan daging. Anak panahnya sudah kucabut dan tidak beracun. Aku sudah memolesi luka itu dengan obat luka."
"Aih, kiranya engkau yang menyelamatkan aku, Cun Giok. Maafkan sikapku tadi dan lanjutkan ceritamu tadi."
"Melihat engkau terkena anak panah, aku lalu membawamu menyelam karena kalau tidak, kita berdua tentu telah tewas dihujani anak panah dari atas perahu. Nah, aku membawamu berenang di bawah permukaan air ke tepi dan menjauh dari perahu. Untung tidak ada yang melihatku. Setelah mendarat, aku lalu membawamu lari secepatnya memasuki hutan ini. Setelah tiba di tengah hutan ini, aku merebahkanmu dan mencabut anak panah itu dari punggungmu. Akan tetapi aku sempat bingung dan gelisah karena engkau bukan hanya pingsan, bahkan pernapasanmu berhenti!"
"Ihh! Kalau napasku berhenti mengapa aku sekarang masih hidup, Cun Giok?"
"Aku juga menjadi bingung dan takut kalau-kalau engkau mati, Ai Yin. Maka aku menghilangkan segala keraguan dan melakukan satu-satunya cara pertolongan yang aku tahu, yaitu dengan... menyambung pernapasanmu yang terhenti itu agar paru-parumu bekerja kembali."
"Menyambung pernapasanku yang sudah terhenti? Apa maksudmu?"
Wajah Cun Giok berubah merah. "Yaitu dengan... napasku ke dalam paru-parumu agar dapat bekerja kembali..."
"Eh? Caranya?" Gadis itu memandang dengan mata terbelalak heran karena tidak mengerti.
Wajah Cun Giok semakin merah seperti udang direbus. "Caranya? Tentu saja dengan... meniupkan napasku ke dalam paru-parumu...... lewat... dari mulut ke mulut..."
"Ihh...!" Sepasang mata yang indah itu terbelalak menatap ke arah mulut Cun Giok dan kedua tangannya diangkat menyentuh mulutnya sendiri dengan jari-jari tangan gemetar. Wajah yang jelita itu sebentar pucat sebentar merah menandakan gejolak hatinya yang berdebar-debar.
Cun Giok tidak berani bertemu pandang dengan Ai Yin. Dia menundukkan mukanya dan menanti reaksi gadis itu. Pasti Ai Yin yang berwatak keras itu akan marah sekali. Memakinya, mungkin memukulnya. Dia tidak akan melawan, akan tetapi tentu saja dia akan menghindar kalau gadis itu hendak membunuhnya.
Sampai lama sekali mereka berdiam diri. Cun Giok yang menunduk tidak tahu apa yang dilakukan Ai Yin. Gadis ini sejak mendengar keterangan terakhir tadi, bengong memandang Cun Giok sambil menyentuh bibir sendiri, dan setiap kali membayangkan peristiwa 'menyambung napas melalui mulut' itu, wajahnya menjadi merah sekali.
Cun Giok tidak dapat menahan perasaannya lebih lama lagi. Tadi aku... sengaja membuka bajumu bagian belakang untuk memeriksa dan mengobati luka punggungmu..."
Tidak ada jawaban ucapan Cun Giok yang masih menundukkan mukanya itu. Sampai lama keduanya diam saja. Cun Giok merasa semakin gelisah. Dia tidak tahu bagaimana sikap Ai Yin menanggapi semua keterangannya tadi.
Setelah menanti cukup lama, akhirnya Cun Giok memberanikan diri mengangkat muka memandang wajah Ai Yin. Dia melihat Ai Yin masih menutupi mulutnya dengan jari-jari tangan, matanya seperti kosong memandang ke depan, seperti orang tenggelam ke dalam renungan sendiri. Tiba-tiba Cun Giok merasa iba sekali, merasa betapa dia telah bersalah besar, telah menyinggung perasaan dan harga diri serta kehormatan gadis itu.
"Ai Yin, maafkanlah aku..." sungguh, aku tidak berniat buruk, akan tetapi kalau engkau menganggap aku tidak sopan, maki dan tamparlah aku..."
Mendengar ini, bagaikan baru sadar dari lamunannya, Ai Yin memandang Cun Giok dan beberapa butir air mata keluar cari pelupuk matanya, mengalir turun ke atas kedua pipinya. Akan tetapi, cepat kedua tangannya mengusap dan menghapus air mata itu, dan Ai Yin tersenyum!
"Ah, Cun Giok, aku bukan orang yang tidak mengenal budi seperti itu. Engkau telah menolongku, menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut. Engkau tidak bersalah, engkau terpaksa melakukan semua itu hanya dengan satu maksud, yaitu untuk merenggut kembali nyawaku dari cengkeraman Giam-lo-ong (Dewa Maut). Bagaimana aku dapat marah padamu? Aku malah sangat berterima kasih kepadamu, Cun Giok."
Bukan main lega rasa hati Cun Giok, seolah sebuah batu besar dan berat yang tadi menindih hatinya kini terangkat. Dia menghela napas panjang dan tersenyum. "Tidak perlu berterima kasih, Ai Yin. Kalau perbuatanku ini kauanggap pertolongan, biarlah ini untuk membalas pertolonganmu dahulu yang telah menyelamatkan nyawaku pula. Akan tetapi, apakah yang terjadi, Ai Yin? Engkau hendak pergi ke mana dan mengapa pula pasukan Mongol itu hendak menangkapmu?"
"Engkau tentu telah mendengar bahwa Kaisar Kubilai Khan telah wafat dan pasukan yang berada di daerah, terutama yang berada di barat, ditarik kembali. Nah, aku bertemu dengan banyak perajurit dan tiga hari yang lalu aku bertemu dengan tiga orang perajurit Mongol. Mereka itu agaknya mabok dan melihat aku berjalan seorang diri, mereka menggangguku dan selain mengeluarkan ucapan yang tidak sopan, juga mereka hendak menangkapku dengan niat keji. Aku melawan dan membunuh dua orang, sayang, yang seorang sempat melarikan diri sehingga agaknya dia melapor kepada kawan-kawannya. Aku lalu dikejar-kejar dan ketika aku menyeberangi Huang-ho (Sungai Kuning), mereka menggunakan dua buah perahu besar menyergapku."
"Akan tetapi, engkau hendak pergi ke mana. Ai Yin?"
"Merantau! Sejak kita saling berpisah dahulu itu, aku belum pulang ke Bukit Merak. Suhengku itu, Kong Sek, tentu mengadu kepada Ayah dan aku tidak mau ribut dengan Ayah. Aku sayang Ayah dan aku tidak ingin melihat dia marah dan sedih karena perbuatanku."
Cun Giok teringat betapa gadis ini menjadi begini, bertentangan dengan ayahnya, juga dengan Kong Sek, adalah karena dia! Kalau Ai Yin tidak menolongnya dan membawanya pulang untuk dirawat, tentu kini masih berada di Bukit Merak, hidup tenang dengan ayahnya, dan mungkin saja juga rukun dengan Kong Sek, suheng yang mencintainya itu. Dia menghela napas panjang.
"Ai Yin, pulanglah, Ai Yin. Engkau beruntung mempunyai seorang ayah dan tempat tinggal. Jangan seperti aku yang tidak mempunyai orang tua dan saudara, hidup sebatang kara, seperti sehelai daun kering tertiup angin ke sana sini tanpa tujuan. Pulanglah, Ai Yin. Tidak kasihankah engkau kepada ayahmu yang tentu merasa khawatir dan sedih karena kau tinggalkan? Ingat, ayahmu itu amat menyayangmu dan menanti-nanti kepulanganmu."
Ai Yin cemberut. Manis sekali wajahnya ketika cemberut. Tahi lalat hitam kecil di sudut kanan mulutnya ikut bergerak seperti menari. "Aku jengkel karena akan dijodohkan dengan Suheng Kong Sek!"
"Ai Yin, aku percaya ayahmu tidak akan memaksa puteri tunggalnya. Kalau engkau tidak suka, katakan terus terang kepada ayahmu. Dia pasti akan mengerti dan tidak memaksamu."
"Kaupikir begitukah, Cun Giok? Bagaimana kalau ayahku marah dan memaksaku untuk menikah dengan Kong Sek?" tanya Ai Yin.
"Percayalah padaku, Ai Yin. Aku yakin Ayahmu adalah seorang gagah perkasa, adil dan menyayangmu. Kalau engkau berterus terang mengatakan bahwa engkau tidak suka menjadi isteri Kong Sek, pasti dia tidak akan memaksamu. Pula, bagaimana dia dapat memaksamu? Setiap saat bisa saja engkau pergi."
Setelah berpikir beberapa lamanya, Ai Yin mengangkat muka menatap wajah Cun Giok. "Baiklah, Cun Giok, aku akan menuruti nasehatmu. Aku akan pulang ke Bukit Merak. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah?"
Cun Giok merasa bahwa dia tidak perlu menyembunyikan urusan harta karun dari gadis ini. Dia percaya bahwa Ai Yin bukan seorang gadis yang murka akan harta benda, juga jelas bukan antek Kerajaan Mongol. Buktinya, tadi pun ia membunuh banyak perajurit Mongol yang mengganggunya. Pula, urusan harta karun itu sekarang telah diketahui banyak orang, apalagi setelah harta karun itu dicuri atau diambil oleh seorang yang tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Aku akan pergi ke Thai-san."
"Eh, ada apa di Thai-san?"
"Begini, Ai Yin. Ada orang yang telah mencuri harta karun peninggalan Kerajaan Sung. Harta karun itu seharusnya menjadi hak para pejuang yang hendak mengusir penjajah Mongol dari tanah air. Maka sudah menjadi kewajibanku pula untuk mencari pencuri itu dan kalau mungkin mengembalikan harta itu dari tangan orang yang tidak berhak. Aku harus membantu usaha para pejuang membebaskan tanah air dari penjajah Mongol."
"Wah, menarik sekali! Siapa pencuri itu, Cun Giok?"
"Aku tidak tahu. Tidak seorang pun tahu siapa yang mencuri harta karun yang bukan menjadi haknya. Hanya diketahui bahwa pencuri itu meninggalkan tanda huruf Thai-san di dasar peti yang isinya sudah dia bawa pergi. Nah, demikianlah, Ai Yin, aku akan mencoba untuk mencari pencuri itu di Thai-san."
"Dan seandainya engkau berhasil menemukan pencuri dan berhasil merampas kembali harta karun itu?"
"Tentu saja akan kuserahkan kepada yang berhak, yaitu para pemimpin pejuang pembebas tanah air dari belenggu penjajah Mongol."
"Siapa itu, Cun Giok? Siapa pemimpin pejuang yang kau maksudkan itu?"
"Aku sendiri pun belum tahu, Ai Yin. Akan tetapi aku yakin, sekali waktu pasti akan muncul pemimpin pejuang sejati dan kepada dialah harta karun itu harus diserahkan untuk membiayai perjuangannya melawan penjajah."
"Wah, menarik sekali! Aku akan memberitahukan hal itu kepada Ayah. Aku yakin Ayah akan tertarik juga."
"Hemm, apakah hal itu tidak berbahaya, Ai Yin. Aku melihat hubungan Ayahmu dengan pembesar bangsa Mongol amat baik. Buktinya Kong Sek, putera Panglima Besar Kong Tek Kok diterima menjadi muridnya."
"Benar, akan tetapi hai itu bukan berarti Ayah suka kepada orang Mongol. Memang antara mendiang Panglima Besar Kong Tek Kok dan Ayahku terjalin persahabatan pribadi, dan karena persahabatan itulah Ayah menerima Kong Sek sebagai murid..."
"Dan sebagai calon mantu," sambung Cun Giok.
Ai Yin menghela napas panjang. "Benar sekali. Mungkin hanya itulah yang membuat ayah mengambil keputusan untuk menerima Kong Sek sebagai calon mantunya. Karena mengingat akan persahabatannya dengan ayah Kong Sek yang telah meninggal dunia."
Cun Giok menghela napas panjang. "Ah, kalau saja Ayahmu itu menerima Kong Sek sebagai murid karena pemuda itu memang berbakat dan menerimanya sebagai calon mantu karena dia memang baik dan pantas untuk itu, hai ini memang tidak ada salahnya. Akan tetapi kalau dia menerimanya sebagai murid dan calon mantu karena mengingat mendiang Panglima Kong Tek Kok, maka perhitungan Ayahmu itu kurang tepat. Mungkin Ayahmu tidak mengetahui benar orang macam apa adanya Kong Tek Kok itu. Dia kejam sekali terhadap bangsa Han, membunuhi banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw, bahkan memusuhi partai-partai persilatan besar. Dan dia pun telah merusak kehidupan banyak gadis keluarga para pendekar. Dosanya sungguh bertumpuk-tumpuk. Kalau Ayahmu mengenal siapa Kong Tek Kok, aku yakin dia tidak sudi menerima Kong Sek mengingat persahabatannya dengan Panglima Mongol yang jahat itu."
Ai Yin mengangguk-angguk. "Sebetulnya Suheng bersikap baik sekali, juga amat sayang kepadaku. Sejak dia menjadi Suhengku, aku tidak melihat watak jahat pada dirinya, maka terus terang saja, aku suka padanya. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa aku mencintanya dan suka menjadi isterinya. Aku akan memberi penjelasan kepada Ayah. Nah, kita berpisah di sini, sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu, Cun Giok. Mudah?mudahan kita akan dapat bertemu kembali."
"Selamat berpisah, Ai Yin dan berhati-hatilah karena setelah peristiwa yang terjadi di perahu itu, pasti engkau dianggap musuh atau pemberontak oleh pemerintah Mongol."
Pemuda dan gadis itu berpisah. Ai Yin yang berjuluk Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih) karena rambutnya selalu dihias setangkai bunga putih menuju pulang ke Bukit Merak tempat tinggal ayahnya, sedangkan Cun Giok melanjutkan perjalanannya ke Thai-san.
Di sepanjang perjalanannya, Cun Giok banyak merenung. Pertemuannya dengan Ai Yin mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Dia kini menyadari betapa dia telah bertemu dengan gadis-gadis yang gagah perkasa, cantik jelita dan juga baik budi. Betapa mudahnya untuk jatuh cinta kepada gadis-gadis seperti Ceng Ceng, Li Hong, atau Cu Ai Yin tadi. Dia menghela napas. Betapa mudahnya dia jatuh cinta atau tertarik kepada wanita.
Apakah semua pria juga begitu? Mudah tertarik kalau bertemu wanita yang mempesona hatinya, baik karena kecantikannya, kegagahannya, maupun budi pekertinya yang baik? Akan tetapi apa artinya cinta kalau tidak dilandasi kesetiaan? Tanpa kesetiaan, maka pria akan menjadi seorang laki-laki mata keranjang, mudah jatuh cinta sehingga melupakan atau menyia-nyiakan yang lama.
Tidak, cinta harus didasari kesetiaan! Demikian tekad hatinya. Dia sudah ditunangkan dengan Siok Eng. Biarpun kini terdapat rasa kecewa mengingat bahwa Siok Eng adalah seorang gadis yang lemah, tidak seperti para pendekar wanita yang pernah dijumpai dan yang menarik hatinya, namun dia harus bertanggung jawab. Harus setia terhadap ikatan jodoh yang sudah diresmikan oleh mendiang gurunya, Suma Tiang Bun, dan ayah Siok Eng, yaitu Siok Kan.
Cinta yang hanya timbul karena tertarik oleh keindahan rupa, belum tentu dapat bertahan lama karena rupa itu keindahannya hanya sementara. Biasanya, kalau yang dianggap indah pada mulanya itu sudah dimiliki, maka keindahannya juga akan menyuram. Yang terpenting itu kecocokan watak dan terutama sekali perasaan setia satu sama lain, penuh tanggung jawab, dan sudah bertekad untuk membina rumah tangga bersama, tetap setia dalam suka dan duka. Kalau demikian, barulah sebuah rumah tangga dapat diharapkan akan bertahan selama hidup.
Setelah muncul pikiran ini, Cun Giok membelokkan tujuan perjalanannya, tidak ke Thai-san, melainkan ke Cin-yang di Propinsi Shan-tung di mana Siok Eng dan ayahnya tinggal di rumah mantu Siok Kan yang bernama Chao Kung.
Sampai di sini selesailah sudah Kisah PENDEKAR TANPA BAYANGAN bagian pertama ini. Pembaca yang ingin mengetahui bagaimana kisah selanjutnya dari Pouw Cun Giok, Si Pendekar Tanpa Bayangan, dipersilakan membaca bagian kedua yang berjudul Harta Karun Kerajaan Sung yang menjadi kisah lanjutan dari Pendekar Tanpa Bayangan. Sampai jumpa di lain kisah!
T A M A T