26. GEROMBOLAN ANJING REBUTAN TULANG
“Su-kouw (Bibi Guru), kita harus membalas dendam kepada jahanam Cui-beng Kui-ong atas penghinaan dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap dua orang Sumoi (Adik Seperguruan)!” kata murid Go-bi-pai yang bermata sipit dengan suara mengandung kesedihan dan kemarahan.
Thian-li Niocu menghela napas panjang. “Aah, kita sudah pernah mengeroyoknya namun kita bukan tandingannya.”
“Kita minta bantuan Nona Liu, tentu akan dapat mengalahkannya!”
“Bibi, saya sendiri pernah bertemu dan bertanding melawan datuk itu. Saya kira saya sendiri tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi perlukah melakukan balas dendam? Sebaiknya Bibi kelak melaporkan hal itu kepada Ketua Go-bi-pai agar diambil keputusan. Dendam di hati merupakan racun yang berbahaya, membuat orang terkadang menjadi kejam dan bahkan nekat. Membiarkan dendam sama dengan membiarkan api berkobar dalam hati, kalau tidak dapat membalas dendam kematian menjadi kecewa dan penasaran, sebaliknya kalau mampu membalas dendam kematian akan menghadapi dendam pula dari pihak lawan. Mengapa tidak membiarkan saja dendam itu lewat tanpa mempengaruhi kita?”
“Ah, Nona Liu!” Murid Go-bi-pai yang bermata sipit itu berseru dengan lantang, suaranya mengandung penasaran. “Karena engkau tidak merasakan kehilangan adik seperguruan, tentu saja engkau dapat berkata begitu. Akan tetapi kami yang kehilangan, bagaimana mungkin tidak menaruh dendam?”
Thian-li Niocu hendak menegur keponakan seperguruannya, akan tetapi Ceng Ceng yang tersenyum sudah mendahului menjawab dengan bertanya kepada Si Mata Sipit. “Enci yang baik, dapatkah engkau menjelaskan kepadaku, mana yang lebih berat antara adik seperguruan dan ayah ibu?”
Tanpa berpikir lagi Si Mata Sipit menjawab. “Tentu saja ayah ibu yang lebih berat. Ayah ibu merupakan orang-orang pertama yang paling dekat dengan kita!”
“Nah, kalau begitu ketahuilah, Enci yang baik, bahwa Ayah dan Ibuku juga tewas dibunuh orang. Yang membunuhnya adalah Cui-beng Kui-ong pula, bersama muridnya, yaitu Panglima Mongol Kim Bayan.”
“Siancai!” Thian-li Niocu berseru kaget. “Jadi Ayah Ibumu juga terbunuh oleh datuk sesat itu? Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas dendam kematian mereka, Nona Liu?”
“Seperti sudah saya katakan tadi, Bibi. Dendam itu racun yang amat berbahaya. Saya tidak mau dibakar dendam yang akan meracuni dan merusak diri sendiri.”
“Tapi mengapa begitu?” Murid Go-bi-pai bermata sipit itu berseru, penuh rasa heran dan penasaran. “Apakah orang sejahat datuk Iblis itu dibiarkan saja merajalela dengan kejahatannya? Bukankah sebagai pendekar silat kita berkewajiban untuk menentang kejahatan?”
Dengan sikap tenang Ceng Ceng menjawab. “Sesungguhnya, bukan hanya ahli silat saja yang berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Setiap manusia berkewajiban untuk menentang kejahatan dengan hidup yang baik dan benar karena hanya dengan demikianlah kehidupan di dunia ini menjadi tenteram dan sejahtera. Berlandaskan kasih dalam hati, semua orang saling bantu, saling tolong dan tidak pernah ada kebencian dan kekerasan. Saya sendiri setiap saat siap untuk menentang kejahatan, akan tetapi harap diingat, yang ditentang itu adalah kejahatannya, bukan manusianya. Kalau orang-orang yang sesat hidupnya seperti misalnya Cui-beng Kui-ong itu melakukan kejahatan, sudah pasti saya menentangnya. Akan tetapi saya menentangnya karena dia melakukan kejahatan dan berbahaya bagi keselamatan orang lain, bukan saya tentang berdasarkan dendam pribadi.”
“Siancai...! Aku semakin heran dan kagum kepadamu, Nona Liu. Bahkan di antara sekian banyaknya pendeta dan pertapa, tidak banyak yang tidak lagi dikuasai ke- akuannya yang menimbulkan kebencian dan dendam. Kami semakin yakin bahwa engkaulah orangnya yang pantas mendapatkan harta karun itu untuk melaksanakan pesan ayahmu. Kami akan membantumu sekuat kemampuan kami, Nona Liu.”
“Terima kasih, Bibi.”
Thian-li Niocu lalu berkata kepada lima orang keponakan muridnya. “Kalian sudah mendengar pendapat Nona Liu. Semua ucapannya tadi benar sekali, maka kalian sepatutnya mencontohnya. Kita tentu akan menentang orang-orang sesat seperti Cui-beng Kui-ong, akan tetapi kita menentang kejahatannya, bukan menentang orangnya untuk membalas dendam. Sekarang yang terpenting kita membantu Nona Liu untuk mendapatkan kembali harta karun, dan jangan membiarkan dendam membakar hati kalian.”
Setelah Thian-li Niocu pulih kembali kesehatannya, ia bersama lima orang muridnya menemani Ceng Ceng melanjutkan penyelidikannya di daerah Thai-san itu. Atas permintaan Ceng Ceng, mereka menuju ke bagian Utara pegunungan itu untuk menyelidiki Hek Pek Mo-ko karena selain sepasang iblis ini dianggap mencurigakan, juga Ceng Ceng hendak mencari Yauw Tek dan Tan Li Hong yang tempo hari melakukan pengejaran terhadap sepasang iblis itu.
********************
Dalam perjalanan mereka mencari pencuri harta karun, Pouw Cun Giok, The Kui Lan, dan The Kui Lin di sepanjang perjalanan mendengar bahwa banyak rombongan maupun perorangan dari dunia kang-ouw berdatangan di Pegunungan Thai-san. Bahkan di sana-sini terjadi bentrokan di antara mereka.
“Hemm, perebutan dan persaingan sudah dimulai,” kata Cun Giok.
“Mereka itu orang-orang aneh. Harta karun belum juga ditentukan mengapa mereka sudah saling serang?” kata Kui Lin.
“Sejak dulu kita sudah mendengar bahwa orang-orang kang-ouw memang aneh dan mereka suka sekali berkelahi. Mungkin dalam kesempatan mencari harta karun ini mereka pergunakan untuk mengukur kelihaian masing-masing,” kata Kui Lan.
“Memang demikianlah. Orang-orang seperti mereka itu menganggap bahwa mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun hanya untuk berkelahi, memperlihatkan kepandaian dan mencari kemenangan. Karena itu, orang-orang kang-ouw itu cenderung tersesat dan mengutamakan kekerasan,” kata Cun Giok.
“Huh, tolol mereka semua itu. Seperti segerombolan anjing memperebutkan tulang dan asyik berkelahi sehingga tidak lagi mempedulikan tulang yang mereka perebutkan. Akhirnya, mereka itu babak belur akan tetapi tulangnya sudah dibawa pergi pihak lain!” kata pula Kui Lin.
Cun Giok tertawa. “Ha-ha, mudah-mudahan saja kita yang menjadi pihak lain itu!”
Makin naik ke lereng lebih tinggi, mereka semakin banyak mendengar akan keributan-keributan yang terjadi di daerah Pegunungan Thai-san itu.
“Lan-moi dan Lin-moi,” kata Cun Giok. “Agaknya pencari harta karun semakin banyak dan ramai. Karena itu, kukira lebih baik kalau untuk sementara kita mencari dengan terpencar. Aku mencari ke arah sana dan kalian berdua ke arah yang berlawanan. Sebulan kemudian kita bertemu kembali di perkampungan Thai-san-pai. Bagaimana pendapat kalian?”
Kui Lin mengerutkan alisnya. Rasanya berat untuk berpisah dari pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi Kui Lan segera berkata “Pendapat Giok-ko benar. Dengan berpencar kita dapat lebih banyak mengetahui keadaan dan siapa tahu, Giok-ko atau kami berdua dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang pencuri harta karun.”
Karena encinya sudah berkata demikian, Kui Lin tidak berani membantah, juga tentu saja ia malu untuk mengatakan bahwa dia tidak suka berpisah dari Cun Giok!
Demikianlah, tiga orang itu berpisah menjadi dua, Cun Giok melanjutkan penyelidikannya seorang diri, sedangkan Kui Lan dan Kui Lin mencari ke arah lain. Sebetulnya bukan hanya alasan yang dikemukakan kepada dua orang gadis kembar itu yang membuat Cun Giok mengambil kebijaksanaan untuk berpencar, melainkan juga karena dia mengkhawatirkan keadaan Li Hong dan Ceng Ceng yang belum juga dapat dijumpainya.
Setelah mereka berdua berpisah dari Cun Giok dan berjalan cukup jauh, Kui Lin mengomel kepada encinya. “Lan-ci, kenapa engkau setuju berpisah dari Giok-ko? Tempat ini amat berbahaya, kalau tidak ada Giok-ko, apakah kita berdua tidak akan terancam bahaya?”
“Ih, Lin-moi, benarkah ini engkau yang bicara? Sejak dulu aku tahu akan keberanianmu menempuh bahaya apa pun. Akan tetapi mengapa sekarang engkau begitu penakut? Belum juga muncul bahaya engkau sudah takut lebih dulu.”
“Akan tetapi, Lan-ci, perjalanan kita sekali ini menempuh bahaya yang besar. Engkau merasakan sendiri. Baru bertemu Huo Lo-sian seorang saja, kita berdua tidak mampu menandinginya dan kalau tidak ada Giok-ko, tentu kita sudah celaka di tangan datuk itu.”
“Sudahlah, Lin-moi, kita harus lebih percaya kepada diri sendiri. Engkau telah bersikap lancang ketika berhadapan dengan Huo Lo-sian sehingga hampir saja kita celaka kalau tidak dibantu oleh Giok-ko. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati, jangan mudah naik darah dan mencari permusuhan dengan siapa pun. Keperluan kita ke sini adalah untuk membantu Giok-ko mencari harta karun itu, bukan mencari permusuhan.”
Kui Lin cemberut. “Enci Lan, datuk iblis macam Huo Lo-sian itu sudah sepatutnya kita musuhi!”
“Bukan kita musuhi, Lin-moi. Kalau dia menyerang kita, terpaksa kita harus melawan mati-matian. Akan tetapi kalau tidak, untuk apa kita mencari penyakit? Pendeknya, selanjutnya aku melarang engkau turun tangan menggunakan kekerasan menyerang siapa saja sebelum aku beri tanda. Ingat pesan Ibu, dalam perjalanan ini engkau sudah berjanji untuk menaati kata-kataku!”
Kui Lin makin bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah lagi. “Baiklah, Enciku yang baik, mulai sekarang aku akan menaati semua perintahmu.” Ia merajuk dan sikapnya seolah menghadap seorang puteri raja yang harus dipatuhi dan dihormati!
Mau tidak mau Kui Lan tersenyum geli melihat sikap adiknya yang sinis itu. “Adikku yang baik, semua yang kupikirkan, katakan atau perbuat semata-mata untuk kebaikan dan keselamatan kita berdua. Kita sekarang hanya berdua, apakah engkau mengajak aku bertengkar? Kalau engkau tidak merasa puas, baiklah mulai sekarang engkau yang memimpin dan aku akan memaati semua petunjukmu!”
“Ah, jangan begitu, Lan-ci. Sekarang engkau yang merajuk!” Kui Lin setengah cemberut setengah tertawa sehingga Kui Lan tertawa. Mereka lalu berangkulan.
“Lihat, Lin-moi, matahari sudah condong ke barat. Kita harus cepat mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam yang akan segera tiba.” Mereka kini berlari cepat dan ketika dari atas sebuah bukit mereka melihat rumah-rumah pedusunan bergerombol di lereng bawah, mereka cepat menuruni bukit menuju ke dusun kecil itu.
Dusun di lereng itu hanya kecil saja, dihuni tidak lebih dari limapuluh kepala keluarga. Melihat keadaan rumah-rumah di situ dapat diduga bahwa penghuni dusun itu berkeadaan cukup baik. Rumah mereka kokoh dan jalan di dusun itu pun rapi dan terawat bersih. Akan tetapi ketika dua orang gadis kembar itu memasuki dusun, mereka terheran-heran. Matahari belum terbenam dan cuaca masih terang, apalagi waktu itu langit pun bersih tidak ada mendung. Akan tetapi mengapa semua pintu dan jendela rumah itu tertutup semua dan tidak tampak seorang pun manusia di luar rumah?
“Heran, apakah dusun ini tidak ada penghuninya?” Kui Lin mengomel.
“Sstt, dengar. Kukira di dalam semua rumah itu ada penghuninya, hanya entah mengapa masih terang begini mereka sudah menutup pintu dan jendela. Agaknya tidak berani keluar,” kata Kui Lan.
Kui Lin diam dan memperhatikan dengan pendengarannya. Ia menangkap juga gerakan dari dalam rumah-rumah itu. Mereka berjalan sampai ke tengah dusun dan tetap saja tidak melihat seorang pun di luar rumah.
Kui Lin merasa penasaran dan ia melangkah ke depan sebuah rumah hendak berteriak memanggil, namun Kui Lan mencegahnya. “Jangan ganggu mereka, Lin-moi. Melihat sikap mereka, agaknya mereka ketakutan. Pasti ada sesuatu yang buruk terjadi di dusun ini.”
Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis lirih sekali. Hanya isak yang ditahan-tahan, tangis seorang wanita yang agaknya menutupi mulutnya dengan kain agar suara tangisnya tidak terdengar orang. Lalu ada suara laki-laki berbisik lirih menyuruh wanita itu menghentikan tangisnya. Akan tetapi agaknya yang menangis itu tidak dapat menahan diri sehingga isaknya menerobos keluar dari tangan yang menutupinya. Kemudian, terdengar jeritannya tertahan.
“Anakku... aku mau mencari anakku...” Suara kaki berlari dan pintu sebuah rumah terdekat terbuka. Tampak seorang wanita muda berlari keluar dengan sanggul rambut terlepas.
“Cun-nio... kembalilah...!” Seorang laki-laki berlari mengejar.
Wanita itu terhuyung dan ketika tiba di depan Kui Lan dan Kui Lin, ia tersandung dan jatuh di depan kaki Kui Lan. Kui Lan cepat menghampiri dan membantunya bangkit berdiri.
Pada saat itu, laki-laki yang tadi mengejar sudah sampai di situ. “Siluman jahat, jangan ganggu isteriku!” Dan dia lalu menerjang dan menyerang Kui Lan!
Akan tetapi serangan itu tidak ada artinya bagi Kui Lan karena hanya serangan seorang laki-laki biasa tanpa didukung ilmu silat dan tenaga dalam. Dengan mudah Kui Lan mengelak dan sebelum laki-laki itu menyerang lagi, Kui Lin telah mendorongnya dari samping sehingga tubuh laki-laki itu terpelanting dan terguling-guling.
Biarpun tubuhnya nyeri karena terbanting-banting, laki-laki itu bangkit kembali dan dengan nekat menyerang sambil memaki. “Siluman jahat, kembalikan anakku dan jangan ganggu isteriku!” Dia maju lagi menerjang dan memukul. Akan tetapi Kui Lan cepat bergerak menotoknya sehingga dia roboh terkulai lemas, tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi. Wanita yang tadi lari menangis itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Lan dan Kui Lin.
“Ampunkan suami saya... ampunkan kami... mohon dikembalikan anak kami...” Wanita itu meratap.
“Hei, kalian ini apakah sudah gila?” Kui Lin membentak. “Masa kami dituduh menjadi siluman jahat yang menculik anak kalian!”
Kui Lan berkata kepada suami isteri itu yang kini keduanya berlutut sambil menangis. “Kalian tenanglah dan hentikan tangismu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi? Kami berdua hanya kebetulan lewat saja di dusun ini, mengapa kalian menganggap kami menculik anak kalian?”
Agaknya suami isteri itu baru menyadari bahwa mereka salah sangka, maka wanita itu berkata, “Ah, ji-wi Li-hiap, maafkan kami yang salah sangka... tolonglah kami, Li-hiap, selamatkan kami...” Wanita itu menangis.
“Apa yang terjadi? Hayo katakan, apa yang terjadi?” Kui Lin bertanya tak sabar.
Kini suami itu berkata, “Harap Ji-wi memasuki rumah kami, di dalam saja kita bicara dan kami akan menceritakan semua. Kalau di luar sini berbahaya sekali...”
“Hemm, berbahaya apa? Siapa yang mengancam kalian? Biar kuhancurkan kepalanya!” teriak Kui Lin.
Kui Lan mengangkat bangun suami isteri itu. “Marilah kita bicara di dalam rumah kalian.”
Mereka berempat lalu memasuki rumah. Daun pintu segera ditutup oleh si Suami. Cuaca di Iuar masih terang, akan tetapi karena semua jendela dan pintu ditutup, cuaca dalam rumah itu agak gelap.
“Nyalakan lampu!” kata Kui Lin.
“Kami takut...!”
“Tidak perlu takut. Siapa mengganggu kalian, akan kami hajar!” kata Kui Lin. Biarpun takut dan gugup, suami itu menyalakan sebuah lampu meja dan cuaca menjadi lebih terang.
“Nah, ceritakan, apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa semua orang menutup pintu?” tanya Kui Lan.
Biarpun masih tampak pucat, namun kehadiran dua orang gadis cantik jelita yang tampak pemberani itu membuat suami isteri itu agak tenang. Si Suami kini menceritakan dengan suara lirih seperti takut kalau terdengar orang luar rumah.
“Ketahuilah, Ji-wi Li-hiap (Pendekar Wanita Berdua) bahwa sekitar lima hari yang lalu, dusun kami kedatangan siluman yang suka menculik anak-anak bayi. Sudah dua orang bayi yang ia culik, dan yang terakhir anak kami yang baru berusia tiga bulan diculiknya.”
“Huh, macam apa siluman itu?” tanya Kui Lin.
“Kami sedusun tidak ada yang pernah melihatnya, Li-hiap. Pertama-tama, lima hari yang lalu, pada malam itu hanya terdengar suara wanita seperti menangis atau tertawa, aneh sekali dan menyeramkan. Lalu terdengar suaranya yang serak dan menakutkan. Ia minta agar disediakan seorang bayi. Tentu saja kami menjadi marah dan belasan orang laki-laki tua muda di dusun ini keluar untuk melawan siluman itu. Akan tetapi kami tidak melihat adanya orang, hanya suara tawa setengah tangis itu dan tiba-tiba ada angin menyambar-nyambar dan kami roboh berpelantingan. Kemudian, seorang anak bayi yang baru sebulan usianya, terdengar menangis dan ketika keluarga dalam rumah itu memasuki kamar, anak bayi itu telah lenyap!”
“Siluman keparat!” Kui Lin memaki marah.
“Selanjutnya bagaimana?” tanya Kui Lan.
“Selama tiga hari, siluman itu tidak muncul, kemudian kemarin malam, siluman itu muncul, atau lebih tepat, suaranya muncul minta seorang bayi. Semua laki-laki dalam dusun kami, dipimpin oleh kepala dusun, berjumlah limapuluh orang, keluar untuk melawan. Akan tetapi kemudian tampak sesosok wanita baju putih, gerakannya demikian cepat sehingga kami tidak dapat melihat jelas wajahnya, berkelebatan dan kami semua roboh. Untung bahwa kami hanya menderita luka tidak parah, akan tetapi anak kami yang berusia tiga bulan telah hilang setelah kami mendengar bunyi tangisnya.”
Kini Si Isteri itu menangis terisak-isak, teringat akan anak bayinya yang diculik siluman.
“Lanjutkan ceritamu!” kata Kui Lan.
Suami itu melanjutkan dengan wajah sedih dan takut. “Sejak kemarin malam, kami seluruh penduduk dusun ketakutan, apalagi ketika terdengar suara siluman itu bahwa malam ini kami harus menyediakan seorang bayi yang usianya kurang dari tiga bulan. Kalau kami tidak menyediakan bayi itu, dusun ini akan dibakar dan penduduknya akan dibasmi. Karena itu, kami ketakutan dan tidak berani membuka pintu dan jendela.”
“Siluman keparat! Aku akan membunuhnya!” Kui Lin sudah bangkit berdiri dan mengamangkan tinju ke arah pintu.
Akan tetapi Kui Lan memberi tanda kepada adiknya agar diam, lalu bertanya kepada tuan rumah. “Apakah permintaannya itu malam ini dipenuhi?”
“Aih, Li-hiap, orang tua mana yang merelakan anak bayinya dibawa siluman itu? Tentu saja tidak ada yang mau memberikan anaknya walaupun di dusun ini terdapat beberapa orang anak bayi di bawah tiga tahun.”
“Kalau begitu, sekarang juga bawalah kami kepada orang tua yang mempunyai anak bayi kurang dari tiga bulan itu. Kami akan minta kepadanya untuk menyerahkan anak mereka. Apakah siluman itu mengatakan di mana anak itu harus diserahkan?”
“Ia hanya mengatakan agar anak itu diletakkan di halaman rumah dan ia akan mengambilnya. Akan tetapi, Li-hiap, kami yakin bahwa orang tua itu tidak akan memperbolehkan anak mereka diserahkan kepada siluman!”
“Maksudku bukan diserahkan, hanya untuk memancing agar siluman itu datang. Kalau ia datang, kami berdua yang akan menghadapinya dan anak itu kami jamin selamat,” kata Kui Lan dengan suara meyakinkan.
Suami isteri itu lalu mengantarkan Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah rumah tak jauh dari situ. Setelah mengetuk pintu dan suami itu memperkenalkan diri, daun pintu dibuka. Mereka berempat masuk dan di sini pun Kui Lin minta agar lampu dinyalakan.
“Kami tidak berani...!” kata Ibu si anak.
“Jangan takut, ada kami di sini. Kalau ada siluman atau iblis muncul, kami yang akan menghancurkan kepalanya!” kata Kui Lin galak.
Tiba-tiba anak kecil itu menangis dan cepat-cepat ibunya menghentikan suaranya dengan memasukkan payudaranya ke dalam mulut bayi itu. Sekarang suaminya berkata kepada Kui Lin dengan nada suara ragu dan penasaran.