SILUMAN PEMAKAN BAYI
“Nona, bagaimana kami akan dapat mempercayai kesanggupanmu untuk melindungi anak kami dan melawan siluman itu? Apakah yang Nona andalkan untuk mengalahkannya?”
Kui Lin hendak membentaknya akan tetapi didahului Kui Lan yang berkata. “Kapankah siluman itu minta agar anak bayi itu dikeluarkan di halaman rumah?”
“Mintanya... eh, setelah matahari terbenam...”
“Hemm, kalau begitu sekarang?” tanya Kui Lan sambil membuka daun jendela sehingga tampak keadaan di luar. Memang pada saat itu, senja telah tiba dan cuaca di luar mulai remang-remang.
Tuan rumah dan penduduk yang membawa dua orang gadis kembar itu ke situ mengangguk dengan wajah ketakutan. Sementara itu, ibu si anak mendekap anaknya dan menggeleng-geleng kepala.
“Tidak boleh! Anakku tidak boleh dipakai umpan...”
Kui Lan memandang adiknya, pandang mata yang mengandung isyarat dan biasanya di antara kedua orang gadis ini memang ada hubungan batin yang peka sekali sehingga apa yang dimaksudkan seorang dari mereka dapat ditangkap oleh yang lain hanya dengan pandang mata saja. Lalu Kui Lan mendekati ayah si anak tadi sambil berkata,
“Engkau menghendaki bukti bahwa kami dapat melawan siluman itu?”
“Yang penting dapat melindungi anak kami!” kata tuan rumah. Tiba-tiba dia terkulai roboh, disusul isterinya. Suami isteri itu tertotok roboh oleh Kui Lan dan Kui Lin secepat kilat telah mengambil bayi itu dari pondongan ibunya.
Suami isteri yang membawa dua orang gadis itu ke situ, hanya memandang dengan terbelalak dan mereka berdua merasa bingung dan curiga. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa dua orang gadis yang segala-galanya sama itu. Jangan-jangan siluman itu adalah mereka ini! Akan tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, hanya memandang kepada ayah dan ibu bayi itu yang rebah di atas lantai tanpa dapat bergerak.
Kui Lan memberi isyarat kepada adiknya dan Kui Lin segera membawa bayi itu dengan selimutnya keluar rumah. Ia membentangkan selimut itu di atas pekarangan rumah, lalu menggunakan sebagian selimut itu untuk menyelimuti bayi yang kini menangis lagi. Kui Lan dan Kui Lin berjongkok di belakang semak-semak yang tumbuh di halaman itu, menanti dengan penuh kewaspadaan. Kui Lan sudah mencabut pedangnya, sedangkan Kui Lin memegang dua buah batu sebesar kepalan tangan di kedua tangannya. Mereka siap siaga untuk menyerang siluman yang akan muncul dan akan mengambil bayi yang menangis itu.
Suami isteri pertama yang kini mengintai di balik jendela gemetar seluruh tubuh mereka, dan suami isteri yang tertotok tadi biarpun tidak mampu bergerak, namun mereka mampu mendengar. Mendengar tangis bayi mereka, dapat dibayangkan betapa risau, khawatir dan sedih rasa hati mereka. Juga kini semua penduduk mendengarkan dengan ketakutan. Mereka mendengar tangis bayi itu dan tidak dapat melihat apa yang terjadi. Mereka membayangkan hal yang ngeri-ngeri.
Kui Lan dan Kui Lin tidak harus menanti terlalu lama. Agaknya tangis bayi itu menarik siluman itu datang lebih cepat. Tiba-tiba angin bertiup, menggerakkan daun-daun pohon di pekarangan itu. Lalu terdengar suara tawa bercampur tangis dan sesosok bayangan putih berkelebat memasuki halaman. Inilah saat yang dinanti-nanti Kui Lan dan Kui Lin. Kui Lin segera menyambitkan dua buah batu itu dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah bayangan putih itu, lalu bersama Kui Lan ia melompat keluar dari balik semak-semak, lari menghampiri bayangan itu.
“Iihhhh...!!” Bayangan putih itu mengeluarkan jeritan marah dan tubuhnya mengelak dari sambaran batu pertama lalu tangan kirinya menangkis batu kedua sehingga batu itu pecah berantakan!
Akan tetapi Kui Lan dan Kui Lin sudah berdiri di depannya membelakangi bayi sehingga mereka berdua menghadang bayangan itu. Dalam keremangan cuaca mereka masih dapat melihat bahwa bayangan itu ternyata adalah seorang nenek kurus agak bongkok, mukanya putih pucat seperti mayat dan bajunya serba putih terbuat dari kain mori kasar seperti yang biasa dipakai orang yang sedang berkabung. Sepatunya kulit hitam berlapis besi dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam.
Biarpun Kui Lan dan Kui Lin belum pernah melihat nenek yang usianya tentu lebih dari enampuluh tahun itu, namun mereka sudah mendengar dari ibu mereka tentang para datuk persilatan, baik dari golongan hitam sesat maupun golongan putih berjiwa pendekar. Maka, melihat nenek yang pucat seperti mayat dan mengenakan pakaian berkabung itu, Kui Lan langsung berkata,
“Kiranya yang membuat kekacauan di dusun ini adalah Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)!”
“Nenek siluman jahat! Untuk apa engkau menculik anak-anak bayi?” Kui Lin membentak marah. Mereka berdua sudah mendengar dari ibu mereka betapa lihainya nenek ini, namun mereka terutama Kui Lin sama sekali tidak merasa gentar.
Nenek itu mengeluarkan suara gerengan seperti tawa bercampur tangis. Tadinya ia marah sekali ketika ada dua buah batu menyambar dan ketika ia menangkis satu di antaranya, terasa betapa lemparan batu itu dilakukan orang dengan tenaga lemparan yang amat kuat. Akan tetapi ketika berhadapan dengan dua orang gadis kembar dan ternyata dua orang gadis itu mengenalnya, ia merasa heran. Biasanya, yang mengenal ia adalah para datuk dan tokoh besar persilatan. Akan tetapi kini, dua orang gadis muda, tampaknya kembar, mengenalnya, bahkan berani menghinanya dengan makian! Tentu saja ia menjadi marah sekali dan ia ingin tahu lebih dulu siapa mereka sebelum ia membunuh mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Song-bun Mo-li dan Cui-beng Kui-ong, kakak beradik seperguruan ini tadinya membantu murid mereka, Kim Bayan ketika Kim Bayan berusaha mendapatkan harta karun Kerajaan Sung. Kemudian setelah tempat itu ditemukan menurut petunjuk peta yang mereka rampas dari Ceng Ceng, ternyata peti harta karun itu kosong dan yang ada hanya tulisan THAI SAN. Kim Bayan khawatir kalau-kalau harta karun itu akan dimiliki kedua orang gurunya, maka dia sengaja memisahkan diri, kemudian dia memimpin pasukan yang cukup besar untuk mencari sendiri ke Thai-san.
Adapun sepasang Iblis Tua itu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, diajak oleh Kong Sek dan mereka bertiga juga pergi ke Thai-san. Setelah tiba di kaki pegunungan, Song-bun Mo-li kumat kesukaannya untuk menghisap darah bayi! Dahulu, hal ini dilakukan untuk memperkuat daya rendah yang kotor guna mempelajari ilmu sesat yang dapat membuat nenek ini melakukan sihir. Akan tetapi kemudian ia merasa kecanduan dan satu dua tahun sekali ia kumat dan baru puas kalau sudah menghisap darah beberapa orang bayi. Di tempat itu ia lalu mencari bayi-bayi dan kebetulan dusun di lereng itulah yang menjadi korban.
“Hu-hu-heh-heh-heh, kalian berdua ini bocah-bocah bosan hidup sudah mengenal aku. Hayo katakan siapa kalian sebelum aku membunuhmu dan jangan mati tanpa nama!”
Kui Lin yang marah mendahului encinya. “Huh, nenek siluman yang jahat! Sebentar lagi engkau akan berkabung untuk kematianmu sendiri! Bukalah telingamu dan dengarlah bahwa kami berdua adalah penghuni Lembah Seribu Bunga!”
Song-bun Mo-li terkejut juga mendengar disebutnya Lembah Seribu Bunga yang amat terkenal di dunia persilatan, terutama bagi para datuk. “Lembah Seribu Bunga? Apakah kalian murid-murid The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga?” tanyanya.
“Kami puterinya!” jawab Kui Lan.
“Ah, kiranya puteri Majikan Lembah Seribu Bunga. Pantas saja kalian berani menentang Song-bun Mo-li! Mengingat ibu kalian, biarlah aku mengampuni kalian, akan tetapi jangan mencampuri urusanku. Pergilah dan jangan menggangguku atau aku akan lupa bahwa kalian adalah puteri-puteri The Toanio Majikan Lembah Seribu Bunga!”
“Huh, enak saja menyuruh kami pergi!” Kui Lin berseru marah. “Song-bun Mo-li, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk dan sore ini bersiaplah untuk mampus tangan kami.”
Marahlah Song-bun Mo-li, apalagi melihat Kui Lan sekarang mengambil bayi yang menangis itu, memondong dan membawanya masuk ke dalam rumah, menyerahkannya ke dalam pondongan ibu anak itu yang sudah terbebas dari totokan oleh Kui Lan sebelum menyerahkan anak itu. Kini dengan cepat Kui Lan sudah berdiri di samping adiknya lagi.
“Bocah-bocah kurang ajar! Sekarang aku tidak peduli lagi kalian anak dewa ataupun anak setan! Kalian terimalah ini!”
Setelah berkata demikian, nenek itu melompat ke depan dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat secara bertubi kepada dua orang gadis kembar itu. Tongkat yang menjadi gulungan sinar hitam itu mula-mula menyambar ke arah dada Kui Lan dan ketika Kui Lan mengelak, tongkat itu langsung menyambar ke arah leher Kui Lin! Gerakannya selain amat cepat, juga ganas dan kuat sekali sehingga setiap serangan merupakan jangkauan maut!
Namun dua orang gadis kembar itu dapat menghindar dengan cepatnya, bahkan Kui Lan segera membalas dengan sambaran pedangnya, sedangkan Kui Lin menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Kui Lin memang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong tidak seperti kakaknya yang ahli silat pedang, maka biarpun ia menyerang dengan tangan kosong, serangannya itu berbahaya sekali. Pukulannya selain cepat juga didorong sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga didahului angin pukulan yang mengandung hawa panas!
“Trang! Plakk! Trangg! plakk!”
Dua kali tongkat hitam Song-bun Mo-li menangkis pedang Kui Lan dan dua kali pula tangan kirinya menangkis pukulan Kui Lin. Pertemuan tenaga antara Song-bun Mo-li dengan kedua orang gadis kembar itu membuat Kui Lan dan Kui Lin terhuyung, akan tetapi Song-bun Mo-li juga merasa tergetar lengannya. Hal ini menandakan bahwa biarpun nenek itu masih lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak.
Song-bun Mo-li merasa penasaran. Masa ia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda itu, sungguhpun mereka puteri The Toanio dari Lembah Seribu Bunga? Tingkat kepandaiannya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian The Toanio mungkin seimbang, maka memalukan kalau ia sampai tidak mampu mengalahkan dua orang puteri atau muridnya itu! Ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tongkatnya digerakkan semakin cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung yang menyambar ke arah Kui Lan dan Kui Lin menjadi serangan maut yang amat berbahaya.
Kui Lan dan Kui Lin maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Sepasang saudara kembar ini tentu saja memiliki kepekaan yang luar biasa antara satu sama lain sehingga ketika bertanding, mereka pun menggunakan penggabungan ilmu silat mereka. Pedang Kui Lan menjadi pertahanan dan tongkat hitam nenek itu selalu tertangkis pedang, sedangkan Kui Lin yang memiliki gerakan cepat itu melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan kedua tangannya dan tendangan kedua kaki berganti-ganti.
Dengan kerja sama yang amat kompak ini, biarpun tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Song-bun Mo-li, sepasang gadis kembar itu dapat mendesak nenek yang lihai itu. Song-bun Mo-li menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan ilmu silatnya, akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Sepasang gadis kembar itu memiliki gerakan gesit sekali dan kerja sama mereka amat kompak yang melipatgandakan kekuatan mereka.
Tiba-tiba Song-bun Mo-li mengeluarkan suara tangis yang menggetarkan jantung Kui Lan dan Kui Lin. Suara tangis itu demikian kuat pengaruhnya sehingga kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan dan ikut menangis! Mereka mempertahankan agar tidak terisak-isak, akan tetapi mata mereka mengeluarkan air mata yang menetes-netes membasahi pipi mereka. Akan tetapi dengan tekad yang amat kuat keduanya masih terus mendesak Song-bun Mo-li.
Nenek itu melompat ke belakang, melempar tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke depan, menyerang sepasang gadis kembar itu bagaikan seekor ular hidup yang dapat terbang! Kui Lan dan Kui Lin terkejut sekali. Mereka berdua mengelak dan menangkis. Kui Lan mencoba untuk mematahkan tongkat hidup itu dengan pedangnya, namun sia-sia. Tongkat hidup itu menyambar-nyambar cepat dan kini dua orang gadis kembar itulah yang kewalahan.
Apalagi kini terdengar teriakan melengking-lengking dari mulut Song-bun Mo-li dan teriakan ini membuat Kui Lan dan Kui Lin semakin terdesak. Lengking itu seolah menembus gendang telinga mereka dan menusuk jantung! Kini keadaan mereka berbahaya sekali, dan agaknya tidak lama lagi mereka berdua akan menjadi korban kekejaman Iblis Betina itu. Selagi keadaan Kui Lan dan Kui Lin berada dalam ancaman bahaya dan gawat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Nenek iblis keji! Engkau tidak layak dibiarkan hidup!” Dan tampak dua sosok bayangan yang langsung menerjang Song-bun Mo-li.
Mereka adalah dua orang pemuda yang menyerang Song-bun Mo-li dengan pedang mereka. Gerakan mereka kuat dan cepat, dan permainan pedang mereka lihai sekali. Song-bun Mo-li yang sedang mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat tongkatnya menyambar-nyambar dua orang gadis kembar, tentu saja menjadi terkejut sekali. Cepat ia melompat ke belakang menghindarkan sambaran dua batang pedang itu dan menarik tongkatnya yang kembali terbang ke arahnya. Ia menyambut tongkat hitamnya dan pada saat itu, dua orang muda sudah menyerangnya lagi.
“Trang-trangg...!”
Tongkat hitam nenek itu menangkis, membuat dua batang pedang itu terpental, akan tetapi ia pun terkejut karena merasa lengannya tergetar. Dua orang muda itu memiliki tenaga sin-kang yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan sepasang gadis kembar!
Baru menghadapi dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu saja sudah amat sukar untuk menang, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang sama tangguhnya. Kalau harus menghadapi pengeroyokan empat orang muda itu, pasti ia akan terancam maut. Maka, sambil mengeluarkan teriakan setengah tangis setengah tawa, nenek itu melompat jauh dan menghilang di balik pohon-pohon dan tertelan cuaca yang sudah mulai gelap.
Kui Lin yang masih merasa marah dan penasaran berseru, “Nenek siluman, jangan lari!” Ia lalu bergerak hendak mengejar. Akan tetapi seorang di antara dua pemuda itu, yang bertubuh tinggi besar, berseru dan suaranya mengandung wibawa kuat.
“Jangan kejar, Nona. Nenek itu jahat dan licik, engkau akan terjebak!”
Mendengar seruan yang penuh wibawa itu, Kui Lin menghentikan langkahnya dan memandang pemuda yang tinggi besar itu. Kui Lan sendiri heran melihat betapa adiknya yang biasanya, bandel itu, kini agaknya menuruti nasihat pemuda tinggi besar berpakaian biru itu. Ia memandang pemuda yang lain.
Pemuda ini tubuhnya sedang, tidak tinggi besar seperti temannya, wajahnya tampan dan berseri, mulutnya tersenyum, matanya bersinar-sinar. Teringat bahwa dua orang pemuda itu telah membantu dan menyelamatkan mereka yang tadi dalam keadaan gawat sekali, Kui Lan lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan berkata lembut.
“Ji-wi Eng-hiong (Pendekar Berdua) telah membantu kami. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda Berdua).”
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu membalas penghormatan sepasang gadis kembar, diikuti oleh pemuda baju biru yang tinggi besar, “Aih, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) jangan berterima kasih kepada kami. Kami memang sedang mencari siluman itu setelah mendengar berita dari dusun-dusun bahwa ada nenek siluman yang menculik anak-anak. Setelah kami kebetulan lewat dan melihat ia bertanding melawan Nona berdua, tentu saja kami turun tangan melawannya. Kami kira semua orang yang berjiwa pendekar pasti akan menentang nenek iblis itu!”
“Suheng berkata benar! Nenek iblis itu adalah Song-bun Mo-li yang jahat, harus dibasmi!” kata pemuda tinggi besar dengan singkat, dan sikapnya juga serius, tidak tersenyum-senyum dan banyak bicara seperti pemuda pertama yang dia sebut suheng (kakak seperguruan).
“Hemm, memang Song-bun Mo-li harus dibasmi!” kata Kui Lin agak marah. “Akan tetapi mengapa engkau melarang aku ketika hendak melakukan pengejaran agar aku dapat membunuh nenek iblis itu?”
“Maaf, aku tadi sama sekali tidak melarang, Nona. Aku hanya memperingatkan karena mengejar Mo-li (Iblis Betina) dalam kegelapan sungguh berbahaya sekali bagimu,” kata pemuda tinggi besar itu dengan suaranya yang tenang.
“Lin-moi, Eng-hiong (Pendekar) ini benar, kalau engkau tadi mengejar, mungkin engkau akan terperangkap. Song-bun Mo-li berbahaya sekali,” kata Kui Lan mencela adiknya yang marah-marah.
“Aku tidak takut!” Kui Lin yang masih mendongkol berseru sambil memandang pemuda tinggi besar itu.
“Ha-ha-ha, Sute (Adik Seperguruan), sekarang engkau tersandung batu karang! Maka jangan sembarangan bertindak. Nona-nona ini adalah pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa dan pemberani, maka cegahanmu untuk tidak mengejar tadi tentu saja membuat orang marah. Coba engkau membiarkan mereka tadi mengejar, mungkin sekarang Iblis Betina Berkabung itu akan berkabung untuk kematiannya sendiri!” kata pemuda baju kuning sambil menertawakan sutenya.
Pada saat itu, terdengar suara riuh dan ketika empat orang muda itu memandang, ternyata semua penduduk dusun itu membuka pintu rumah dan berbondong keluar dari rumah mereka. Banyak yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enampuluh tahun, mereka semua lalu menghampiri empat orang muda itu dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut...