Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 28

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar tanpa bayangan episode harta karun kerajaan sung jilid 28
Sonny Ogawa
28. MURID BU TONG PAI SIAP MEMBANTU

“Eng-hiong (Pendekar) berempat telah menyelamatkan kami dari ancaman siluman, kami menghaturkan banyak terima kasih!” kata kepala dusun yang memimpin mereka itu dan mereka semua memberi hormat dan riuh rendah suara mereka mengucapkan terima kasih. Akan tetapi terdengar dua orang wanita menangis menjerit-jerit.

“Kembalikan anakku... kembalikan anakku...!” Dua orang wanita itu menangis.

Kui Lan melihat bahwa seorang dari mereka adalah wanita yang pertama kali ia lihat lari keluar dari rumahnya. Ia dapat menduga bahwa wanita yang kedua tentulah ibu dari anak yang pertama diculik siluman. Ia sudah mendengar bahwa iblis betina itu telah dua kali menculik bayi.

“Kami akan mencoba untuk menolong dua orang bayi itu. Akan tetapi ke mana kami harus mencari? Kami tidak tahu di mana iblis betina itu berada,” katanya dengan lembut dan penuh rasa iba.

Seorang laki-laki muda berkata lantang. “Saya tahu tempatnya! Siang tadi ketika saya berburu binatang di hutan sebelah selatan itu, saya melihat nenek berpakaian putih duduk bersila di bawah sebatang pohon besar. Karena saya takut, saya tidak berani mendekat dan melarikan diri secepatnya.”

“Bagus! Kalau begitu mari kita ke sana! Siapa tahu kita masih akan dapat menolong dua orang bayi itu dan membunuh iblis betina keparat itu!” seru Kui Lan dan para penduduk dusun yang kini berbesar hati dengan adanya empat orang pendekar yang mampu mengalahkan dan mengusir siluman itu, lalu siap ikut dengan membawa obor.

Beramai-ramai hampir semua laki-laki penduduk dusun itu mengikuti empat orang pendekar menuju ke hutan seperti yang ditunjukkan oleh pembicara tadi. Tak lama kemudian mereka tiba di bawah pohon besar itu. Akan tetapi Song-bun Mo-li tidak berada di situ dah ketika mereka mencari-cari, terdengar jerit memilukan dari dua orang ayah yang menemukan mayat anak-anak bayi mereka. Dua mayat itu tergeletak di atas rumput dalam keadaan mengerikan. Tubuh mereka telah kering kerontang tinggal kulit membungkus tulang, seperti serangga yang telah dihisap semua cairan dari tubuhnya.

Mereka lalu membawa pulang dua mayat itu, disambut tangis riuh oleh para wanita di dusun. Kepala dusun mempersilakan empat orang pendekar itu untuk mengaso dan memberi dua buah kamar yang cukup besar untuk mereka berempat. Kemudian, empat orang itu ditinggalkan sendiri dan kepala dusun sibuk mengurus perkabungan dan persiapan penguburan dua orang bayi itu untuk dimakamkan esok hari.

Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang muda itu untuk bicara dan saling memperkenalkan diri. Mereka duduk berhadapan di sekeliling meja. Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu memandang kepada sepasang gadis di depannya dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa kedua orang gadis itu persis sama dan dia merasa dapat menduga bahwa mereka tentulah gadis kembar. Juga pemuda tinggi besar berpakaian biru, dia juga menatap wajah kedua orang gadis dengan heran dan kagum.

“Ih, mengapa kalian berdua memandang kami seperti orang melihat hantu?” Kui Lin membentak dan bibirnya cemberut.

Pemuda yang berbaju kuning tertawa. “Heh-heh-heh, sama sekali bukan seperti hantu, Nona, melainkan seperti bidadari! Sepasang bidadari dari sorga!”

Kui Lin memandang marah dan bibirnya cemberut. “Eh, kalian mau kurang ajar, ya?”

“Lin-moi...!” Kui Lan menegur adiknya yang hendak marah. Ia sendiri menganggap pemuda baju kuning itu tidak kurang ajar karena ucapan itu dilakukan dengan sikap berkelakar dan pandang matanya juga tidak kurang ajar.

“Suheng, harap engkau hentikan main-main itu agar orang tidak salah menilai kepada kita!” pemuda baju biru juga menegur suhengnya.

Pemuda baju kuning itu masih tersenyum, akan tetapi dia cepat bangkit dan menjura kepada dua orang gadis itu dan berkata, sekarang bersungguh-sungguh walaupun suaranya masih mengandung kegembiraan.

“Nona berdua, maaf kalau tadi aku berkelakar sehingga dianggap kurang ajar. Sesungguhnya kami berdua merasa kagum, terkejut dan heran setelah sekarang dalam keadaan terang kami melihat betapa kalian berdua begitu serupa, sukar dibedakan satu dengan yang lain. Tentu kalian adalah saudara kembar. Perkenalkanlah, kami berdua adalah murid-murid Bu-tong-pai yang diutus ketua kami untuk mewakili Bu-tong-pai datang ke Thai-san melihat keramaian orang-orang mencari harta karun Kerajaan Sung. Namaku adalah Liong Kun dan ini suteku bernama Thio Kui.”

Karena tidak ingin adiknya kembali memperlihatkan kegalakannya, Kui Lan berkata, “Kiranya Ji-wi Eng-hiong adalah murid-murid Bu-tong-pai. Perkenalkan, aku bernama The Kui Lan dan ini adik kembarku bernama The Kui Lin. Kami berdua adalah puteri majikan Lembah Seribu Bunga.”

“Ah, pantas kalian memiliki ilmu silat yang hebat! Kiranya datang dari Lembah Seribu Bunga yang terkenal!” kata Liong Kun kagum. “Apakah Nona berdua juga hendak memperebutkan harta karun itu?”

Kembali Kui Lin berkata dengan nada mengejek. “Siapa datang ke Thai-san hanya untuk nonton keramaian? Ucapan seperti itu bohong! Semua yang datang ke sini sudah pasti mempunyai keinginan untuk memperebutkan harta karun itu. Bu-tong-pai tentu tidak terkecuali!”

Thio Ki yang berwatak penyabar, pendiam namun berwibawa itu tidak ingin kalau suhengnya bertengkar dengan Kui Lin karena kedua orang itu agaknya memiliki watak yang sama, yaitu lincah, jenaka, namun keras dan pemberani. Maka dia cepat mendahului suhengnya.

“Sesungguhnya benar seperti yang engkau katakan, Nona The Kui Lin. Kami mendapat tugas dari ketua kami untuk meninjau keadaan di sini dan membantu pihak yang benar dalam perebutan itu.”

“Hemm, siapakah pihak yang benar itu?” Kui Lin bertanya sambil menatap wajah Thio Kui yang gagah dengan tubuhnya yang tinggi besar dan tegap.

“Ketua kami mengatakan bahwa harta pusaka itu milik Kerajaan Sung, maka harus dijaga agar jangan terjatuh ke tangan Kerajaan Mongol,” kata Thio Kui pula.

Liong Kun yang lincah melanjutkan. “Benar, Nona-nona, kami mendengar bahwa harta karun Kerajaan Sung itu dahulunya ditemukan oleh mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, seorang panglima Sung yang setia, juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Maka kami diutus untuk membantu pihak yang benar untuk menentang mereka yang ingin memiliki harta karun itu untuk kepentingan sendiri atau untuk diserahkan kepada Pemerintah Mongol.”

“Itu baik sekali,” kata Kui Lan sambi1 mengangguk. “Kami berdua juga ingin membantu puteri dari mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng untuk mendapatkan harta karun itu. Nona Liu Ceng Ceng dan para pendekar sahabatnya bermaksud untuk menyerahkan harta karun itu kepada para pendekar patriot yang memperjuangkan pembebasan tanah air dan bangsa dari penjajah Mongol.”

“Hebat!” Liong Kun berseru dengan gembira sekali. “Kami mendukung sepenuhnya dan akan membantu kalian berdua sekuat tenaga kami! Bukankah begitu, Sute?”

Thio Kui mengangguk. “Apa yang dikatakan Suheng tadi memang benar. Kami dari Bu-tong-pai akan membantu sekuat tenaga agar harta karun itu dapat diserahkan kepada para pendekar patriot untuk menentang penjajah Mongol.”

Karena satu tujuan, mereka menjadi akrab dan sepasang gadis kembar itu lalu menceritakan bahwa mereka tadinya melakukan penyelidikan bersama Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan dan kini mereka mencari secara berpisah untuk sebulan kemudian bertemu di Thai-san-pai.

“Pendekar Tanpa Bayangan? Bukankah dia itu yang pernah menggegerkan kota raja karena membunuh Panglima Besar Kong Tek Kok, Panglima Mongol itu dan para perajurit yang mengeroyoknya?”

“Benar, dan masih ada lagi pendekar-pendekar muda yang tadinya bersama Giok-ko, yaitu Liu Ceng Ceng puteri mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, dan adik angkatnya bernama Tan Li Hong, puteri dari Ban-tok Kui-bo dari Pulau Ular,” Kui Lin menerangkan.

“Wah, bagus sekali kalau begitu!” kata Liong Kun. “Memang kita golongan bersih perlu bersatu karena kita pasti akan berhadapan dengan golongan sesat yang amat kuat. Tadi saja, baru muncul seorang nenek iblis itu sudah demikian lihai.”

“Memang kami juga berpikir demikian,” kata Kui Lan. “Masih banyak pihak yang sependapat dengan kita, yaitu membantu agar harta itu tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat dan penjajah Mongol. Thai-san-pai sudah menyatakan akan membantu. Memang, hanya dengan bersatu dengan para pendekar kita akan dapat menentang golongan sesat sehingga harta karun itu akan dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu Liu Ceng Ceng yang menerima warisan dari ayahnya, mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng. Kita membantu Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng karena ia bermaksud menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang akan menentang penjajah.”

“Kami siap!” kata Liong Kun penuh semangat.

“Kalau begitu, sebaiknya kita berempat pergi ke Thai-san-pai untuk bertemu kembali dengan Giok-ko, kemudian kita bersama mengadakan hubungan dengan mereka yang sehaluan,” kata Kui Lin.

Demikianlah, mereka berempat setuju untuk pergi ke Thai-san-pai. Setelah melewatkan malam di dusun itu, pada keesokan harinya mereka meninggalkan dusun dan pergi ke Thai-san-pai. Hubungan antara mereka berempat menjadi semakin akrab sehingga kini dua orang murid Bu-tong-pai itu menyebut moi-moi (adik) kepada Kui Lan dan Kui Lin, sedangkan kedua orang gadis kembar itu menyebut “twako” (kakak).

cerita silat online karya kho ping hoo

Berita yang tersebar cepat di dunia kang-ouw tentang harta karun Kerajaan Sung itu membikin geger. Karena berita itu hanya mengatakan bahwa harta karun yang amat besar jumlahnya itu dicuri orang yang tinggal di Thai-san, maka banyak tokoh kang-ouw mendatangi Thai-san. Akan tetapi karena berita itu tidak menyebutkan siapa pencurinya, maka semua orang menjadi bingung dan hanya menduga-duga sehingga timbul saling tuduh dan pertikaian di mana-mana!

Rombongan pertama yang tiba di Thai-san adalah Panglima Besar Kim Bayan dengan pasukannya. Karena dia sudah memisahkan diri dari guru-gurunya, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang dianggap hendak menguasai sendiri harta karun yang diperebutkan, maka Kim Bayan membawa pasukan besar berjumlah duaratus orang lebih ke Thai-san. Sebelum rombongan dan orang-orang lain datang, dia sudah menyebar orang-orangnya yang menyamar dengan pakaian preman untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang patut dicurigai mencuri harta karun Kerajaan Sung yang tadinya berada di Bukit Sorga tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.

Namun, setelah berminggu-minggu dia menyebar para perajuritnya dan tidak juga mendapatkan keterangan yang jelas, Kim Bayan mulai mencari akal. Dia memang seorang panglima ahli perang dan juga amat cerdik, maka dia lalu mengatur muslihat bersama para perwira pembantunya. Dia ingin mengetahui siapa saja yang datang ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun karena dari para anak buahnya dia mendengar bahwa ada beberapa rombongan orang dan perorangan kang-ouw datang ke pegunungan itu.

Lebih baik mereka itu diadu domba, pikirnya, selain untuk melemahkan mereka, juga untuk memancing keluar pencuri harta karun. Maka dia lalu menyuruh anak buahnya yang diharuskan mengganti pakaian seragam dengan pakaian sipil biasa, berpencar ke seluruh bagian pegunungan itu dan menyebar berita bahwa harta karun itu berada di tangan perkumpulan Thai-san-pai!

Berita itu cepat tersiar dan didengar oleh para pendatang. Mendengar bahwa harta karun yang dicari-cari itu berada pada Thai-san-pai, tentu saja mereka semua berbondong-bondong datang ke perkumpulan itu. Akan tetapi, sebelum ada yang tiba di Thai-san-pai, lebih dulu The Kui Lan dan The Kui Lin bersama Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid Bu-tong-pai, tiba di situ. Mereka disambut Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai.

Ketika sepasang gadis kembar itu memperkenalkan bahwa dua orang pemuda itu murid Bu-tong-pai, maka ketua itu menyambut mereka dengan gembira. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar gagah itu masih satu marga dengan dia, yaitu marga Thio. Kakek ini semakin senang hatinya mendengar dari sepasang gadis kembar bahwa dua orang murid Bu-tong-pai itu siap membantu pihak yang berniat mendapatkan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang.

“Lo-cianpwe, apakah Twako Pouw Cun Giok belum kembali ke sini?” tanya Kui Lin setelah mereka semua duduk di ruangan dalam.

“Belum,” jawab Ketua Thai-san-pai. “Sebetulnya pinto juga mengharapkan kedatangannya karena ada berita yang gawat dan mengancam Thai-san-pai.”

“Ah, berita apakah itu, Lo-cianpwe?” tanya Kui Lan sambil menatap wajah kakek itu.

Thai-san Sianjin menghela napas panjang. “Entah siapa yang menyebar berita, akan tetapi agaknya di mana-mana terdapat berita bahwa harta karun Kerajaan Sung itu berada di sini seolah kami Thai-san-pai yang mencurinya.”

“Keparat! Ini mestinya fitnah yang disebarkan Hek Pek Mo-ko yang kita curigai, untuk mengalihkan perhatian!” kata Kui Lin marah.

“Atau oleh Huo Lo-sian yang dulu pun telah mencurigai bahwa yang mengambil harta karun itu adalah Thai-san-pai,” kata Kui Lan.

“Jangan khawatir, Lo-cianpwe. Kalau ada yang datang menuduh Thai-san-pai, aku dan Enci Lan yang akan menghajar mereka!” kata Kui Lin galak.

“Lo-cianpwe, kami berdua juga siap untuk membantu Thai-san-pai!” kata Thio Kui.

Ketua itu mengangguk-angguk. “Terima kasih atas janji bantuan kalian berempat. Akan lebih besar hati kami kalau Pouw-sicu datang membantu.”

Untuk menjaga segala kemungkinan dengan tersiarnya berita itu, Ketua Thai-san-pai lalu memanggil semua murid Thai-san-pai yang berjumlah seratus orang lebih dan menyuruh mereka semua waspada dan menghentikan penyelidikan, berkumpul ke perkampungan mereka dan melakukan penjagaan ketat siang malam. Pada keesokan harinya para murid Thai-san-pai melaporkan kepada ketua mereka bahwa di luar perkampungan mulai berdatangan orang-orang kang-ouw.

Akan tetapi mereka itu agaknya masih hendak melihat perkembangan dan belum ada yang mencoba untuk memasuki perkampungan Thai-san-pai. Mungkin mereka merasa gentar juga karena Thai-san-pai merupakan sebuah partai persilatan besar yang cukup disegani.

Biarpun mereka tertarik oleh berita yang mendorong mereka untuk mendatangi Thai-san-pai, namun hati mereka masih diliputi keraguan. Rasanya sulit diterima bahwa Thai-san-pai, perkumpulan yang selain mempelajari ilmu silat, juga mempelajari Agama To itu melakukan pencurian harta karun. Mereka saling menanti munculnya satu pihak yang mulai menuntut atau menentang Thai-san-pai.

Para murid Thai-san-pai memberi laporan kepada ketua mereka bahwa yang telah tampak berkumpul di sekeliling perkampungan mereka adalah rombongan anggauta Ang-tung Kai-pang berjumlah tiga puluh orang yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, Kui Tung Sin-kai dan bersama mereka tampak pula beberapa orang wanita murid Go-bi-pai. Juga tampak lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu yang dikenal dengan julukan Hoa-san Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur Hoa-san).

Pada hari-hari berikutnya, muncul Huo Lo-sian bersama Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Juga muncul Kong Sek yang datang bersama Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-Ii. Kim Bayan yang sengaja menyebar berita itu tidak tampak karena dia hanya ingin melihat perkembangannya setelah dia menyebar berita itu. Banyak anak buahnya yang menyamar sebagai orang biasa melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi. Selain rombongan tokoh-tokoh dan datuk-datuk itu, terdapat belasan orang kang-ouw yang datang secara pribadi untuk mengadu untung mencari harta karun Kerajaan Sung.

Liu Ceng Ceng dan enam orang murid Go-bi-pai, satu di antaranya Thian-li Niocu, sudah berkunjung ke Ang-tung Kai-pang. Ia disambut Ketua Kai-pang itu dan ketika Ceng Ceng memperkenalkan Thian-li Niocu sebagai tokoh Go-bi-pai bersama lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai menyambut dengan hormat dan gembira. Apalagi ketika mendengar bahwa Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang sehaluan, yaitu membantu Ceng Ceng menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, mereka menjadi lebih akrab.

Kedatangan rombongan Ang-tung Kai-pang yang disertai Ceng Ceng itu menarik perhatian Hoa-san Ngo-heng-tin. Thian-huo Tosu, orang pertama dari lima saudara seperguruan itu, segera menghampiri Ceng Ceng dan memberi hormat.

“Siancai! Nona Liu Ceng Ceng juga berada di sini?”

Ceng Ceng tersenyum dan membalas penghormatan Thian-huo Tosu.

“Totiang, sayalah orang pertama yang berhak mengurus tentang harta karun itu karena mendiang ayah saya telah mewariskannya kepada saya. Apakah Totiang berlima juga hendak ikut memperebutkan harta karun itu?”

Wajah Thian-huo Tosu berubah merah. Kalau bukan Ceng Ceng yang bertanya demikian, dia tentu sudah marah. “Siancai! Nona seperti tidak mengenal kami dari Hoa-san-pai saja! Kami tidak murka akan harta benda. Kami diutus oleh Suheng, Ketua Hoa-san-pai untuk melihat keadaan setelah mendengar tentang harta karun itu. Bukan untuk ikut berebut. Bahkan kami sudah mendengar bahwa harta karun itu merupakan peninggalan mendiang Pendekar Liu Bok Eng kepadamu. Suheng berpesan kepada kami untuk bertanya kepadamu, apakah Nona menginginkan harta karun itu untuk diri Nona sendiri?”

Ceng Ceng tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. “Untuk apa aku harta karun sebanyak itu? Tidak, Totiang. Biarpun mendiang Ayah mewariskan peta harta karun itu kepada saya, namun kalau saya berhasil menemukannya, akan saya serahkan kepada para patriot pejuang untuk mengusir penjajah!”

“Siancai! Bagus sekali, sungguh kami merasa kagum! Akan tetapi mengapa Nona datang bersama rombongan Ang-tung Kai-pang dan kalau tidak salah, bukankah para wanita itu murid-murid Go-bi-pai. Bagaimana kalian dapat datang bersama?”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.