29. NAMAKU LIU CENG CENG...!
“Totiang, ketahuilah, Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga mendukung saya untuk mendapatkan harta karun dan diserahkan kepada para patriot pejuang. Karena sepaham dan sehaluan, maka kami datang bersama.”
“Bagus! Sungguh kami berbahagia mendengarnya. Kalau begitu, engkau boleh memasukkan kami ke dalam barisan para pendukungmu, Nona Liu! Kami berlima akan siap siaga di sini untuk sewaktu-waktu membantumu jika diperlukan. Akan tetapi engkau sekarang datang di sini, apakah berita bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun itu benar, Nona?”
“Saya kira berita itu bohong, Totiang. Tentu Totiang sendiri tidak percaya kebenaran berita itu. Kita mengenal nama besar Thai-san-pai, bahkan saya mengenal nama besar Thai-san Sianjin. Tidak mungkin mereka yang mengambil harta itu. Biarlah malam nanti saya akan menyelinap ke dalam dan menemui Thai-san Sianjin.”
“Baik sekali kalau begitu, Nona. Pinto sendiri juga sulit untuk percaya bahwa Thai-san-pai murka akan harta benda.”
Pihak Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga merasa girang mendengar bahwa Hoa-san-pai juga berdiri di pihak mereka, dengan demikian maka kedudukan mereka yang ingin menyumbangkan harta karun itu untuk keperluan perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajahan bangsa Mongol, menjadi semakin kuat.
Malam itu langit gelap oleh mendung. Sesosok bayangan putih berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata dan bayangan yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu, dapat melompati pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Thai-san-pai dengan mudah. Tidak ada murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan ketat melihat berkelebatnya bayangan putih itu.
Setelah melewati kebun belakang tanpa terlihat dan tiba di rumah induk yang merupakan kuil Agama To yang cukup besar dan berada di tengah perkampungan, Ceng Ceng menyelinap masuk setelah melompati dinding belakang. Kuil merangkap rumah tinggal Thai-san Sianjin itu besar dan saat itu tampak sunyi.
Hal ini adalah karena para murid semua berada di luar, melakukan penjagaan secara bergilir dengan ketat agar jangan sampai perkampungan mereka kebobolan.
Ketika ia melompat ke dalam sebuah ruangan yang luas di tengah kuil itu, dalam cuaca remang-remang karena ruangan yang luas itu hanya diterangi dua batang lilin besar yang bernyala, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Penjahat dari mana berani masuk ke sini?” Bentakan itu ditutup dengan serangan pukulan yang amat kuat dan cepat, dilakukan oleh Kui Lin yang Iebih dulu melihat Ceng Ceng karena ia kebetulan hendak keluar dari dalam kamarnya mencari angin di tempat terbuka.
Serangan Kui Lin itu dahsyat sekali. Gadis ini memang seorang ahli silat tangan kosong yang pandai dan telah memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Mendapatkan serangan ini, Ceng Ceng berkelebat mengelak. Kui Lin terkejut melihat betapa gadis berpakaian putih yang diserangnya itu dapat mengelak sedemikian ringan dan cepatnya.
“Tangkap penjahat!” Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thio Kui sudah muncul, menyerang Ceng Ceng dengan pedangnya.
Kembali Ceng Ceng terkejut karena serangan pemuda tinggi besar berbaju biru itu pun dahsyat sekali. Ia terpaksa mengerahkan gin-kangnya berkelebat cepat untuk mengelak. Akan tetapi kini dua orang penyerangnya itu mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi. Kui Lin dan Thio Kui terkejut dan kagum melihat betapa bayangan gadis berpakaian putih itu berkelebatan amat cepatnya sehingga sampai beberapa jurus, serangan mereka selalu hanya mengenai tempat kosong.
“Tahan, sobat! Kalian berdua salah sangka, aku bukan penjahat!” kata Ceng Ceng lembut sambil berkelebat menjauh.
Kui Lin hendak melanjutkan serangan, akan tetapi Thio Kui berkata kepadanya. “Lin-moi, biar kita mendengar dulu keterangannya!”
Heran sekali. Biasanya Kui Lin yang galak itu sukar menerima nasihat orang, akan tetapi sekali ini suara Thio Kui baginya demikian berwibawa sehingga ia menahan diri lalu memandang kepada Ceng Ceng dergan sinar mata penuh curiga.
“Nah, katakan siapa engkau dan mau apa engkau malam-malam masuk ke sini seperti pencuri!” katanya galak.
“Hei, ada apakah?” terdengar seruan kaget dan muncullah Kui Lan dan Liong Kun yang terbangun mendengar ribut-ribut itu. Mereka kini berdiri dekat Kui Lin dan Thio Kui dan memandang kepada Ceng Ceng dengan heran. Bagaimanakah tahu-tahu ada gadis cantik berpakaian putih berada di ruangan tengah itu, padahal di luar kuil dan di perkampungan itu terjaga ketat oleh para murid Thai-san-pai?
Melihat munculnya dua orang muda lagi dan gadis yang baru muncul itu serupa benar dengan gadis pertama, Ceng Ceng dapat menduga bahwa mereka tentu saudara kembar. Bukan hanya wajah mereka yang serupa, akan tetapi bentuk badan dan pakaian serta tata rambut mereka persis sama. Ia yakin bahwa mereka yang tinggal di kuil Thai-san-pai ini pasti orang-orang muda yang berjiwa pendekar. Tadi pun ia sudah merasakan betapa dahsyatnya serangan pemuda tinggi besar dan gadis cantik itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di depan dadanya lalu berkata dengan lembut dan ramah.
“Kumohon maaf kepada kalian berempat dan kepada semua warga Thai-san-pai atas kelancanganku memasuki kuil ini malam-malam dan tanpa ijin. Hal ini terpaksa kulakukan melihat keadaan yang mengancam Thai-san-pai. Aku bukan penjahat dan bukan lawan, melainkan kawan. Aku sengaja menyelundup ke sini dengan niat untuk menghadap Thai-san Sianjin dan membicarakan hal yang amat penting mengenai harta karun Kerajaan Sung.”
Melihat gadis yang amat cantik dan sikapnya amat lembut itu, kecurigaan empat orang muda itu berkurang dan Kui Lan bertanya halus. “Sobat, katakan dulu siapakah engkau?”
“Namaku Liu Ceng Ceng...”
“Aih, engkau puteri mendiang Panglima Kerajaan Sung yang terkenal bernama Liu Bok Eng itu?” kata Kui Lan.
“Benar, mendiang Liu Bok Eng adalah Ayahku.”
“Wah, kami sudah mendengar banyak sekali tentang engkau dari Twako Pouw Cun Giok!” seru Kui Lin.
“Apakah Giok-ko berada di sini?” Ceng Ceng bertanya dan jantungnya terasa berdebar.
“Tadinya dia bersama kami berkunjung ke Thai-san-pai ini, akan tetapi kini dia melakukan penyelidikan terpisah dan belum kembali ke sini.”
Terdengar suara banyak orang memasuki ruangan itu. Ternyata Thai-san Sianjin sendiri bersama belasan orang muridnya datang ke ruangan itu, siap dengan senjata di tangan.
“Apa yang terjadi? Siapakah Nona ini?” tanya Thai-san Sianjin dengan heran.
“Lo-cianpwe, Nona ini adalah Nona Liu Ceng Ceng...”
“Ah, puteri mendiang Panglima Liu Bok Eng, pewaris peta harta karun itu? Nona, kami sudah mendengar tentang Nona dari Sicu Pouw Cun Giok. Akan tetapi... malam-malam begini Nona datang, ada keperluan apakah?”
“Maafkan saya, Lo-cianpwe. Sesungguhnya saya bermaksud menghadap dan bicara denganmu, dan karena di luar perkampungan terdapat banyak orang kang-ouw, saya tidak ingin diketahui orang dan menyelinap masuk ke sini.”
“Tidak mengapa, Nona. Mari kita bicara di ruangan dalam!” kata Ketua Thai-san-pai itu. Dia menyuruh para muridnya untuk keluar lagi melakukan penjagaan, kemudian dia mengajak Ceng Ceng, kedua gadis kembar dan dua orang saudara seperguruan Bu-tong-pai itu memasuki sebuah ruangan lain.
Setelah mereka duduk mengelilingi meja besar, Ceng Ceng berkata. “Lo-cianpwe, saya mendengar berita yang mengatakan bahwa harta karun itu berada di sini...”
“Nanti dulu, Nona Liu. Sebaiknya Nona mengenal dulu tamu-tamu kami ini. Dua orang nona ini adalah The Kui Lan dan The Kui Lin, sepasang gadis kembar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Adapun dua orang pemuda ini adalah Liong Kun dan Thio Kui, dua orang murid perguruan Bu-tong-pai. Nah, sekarang lanjutkan ceritamu.”
“Seperti saya katakan tadi, saya mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dikabarkan berada di sini...”
“Kabar itu bohong, fitnah belaka!” kata Kui Lin.
“Lin-moi, biarkan Enci Ceng Ceng melanjutkan ceritanya,” kata Kui Lan.
Ceng Ceng tersenyum. Di bawah sinar lampu yang terang, ia segera dapat membedakan mana Kui Lan dan mana Kui Lin. Ia melihat persamaan watak antara Kui Lin dan Li Hong, lincah, bersemangat, dan galak! Sedangkan Kui Lan berwatak tenang dan serius.
“Lo-cianpwe, mungkin semua orang sudah mendengar bahwa mula-mula mendiang Ayah saya mewariskan peta harta karun kepada saya. Kemudian peta dirampas Panglima Kim Bayan dan saya dipaksa untuk membantunya mencari harta karun. Akan tetapi setelah tempat harta karun ditemukan, hanya ada peti kosong yang terdapat tulisan huruf THAI SAN. Maka banyak orang kang-ouw berdatangan ke sini. Saya sendiri juga menyelidiki ke sini dan saya bertemu dengan Thian-li Niocu dari Go-bi-pai bersama lima orang muridnya. Ternyata mereka dari Go-bi-pai mendukung dan hendak membantu saya menemukan harta karun itu. Kemudian saya mendengar bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai. Saya dan Thian-li Niocu tentu saja tidak mempercayai berita itu. Melihat betapa perkampungan Thai-san-pai telah dikepung banyak orang yang tentu berniat merebut harta karun yang dikabarkan berada di sini, maka saya diam-diam lalu menyelundup ke sini untuk bertemu dan bicara dengan Lo-cianpwe.”
Thai-san Sianjin menghela napas panjang. “Siancai! entah siapa yang menyebar berita bohong itu dan entah apa maksudnya mengabarkan bahwa harta karun itu berada di sini. Akan tetapi kami siap menghadapi segala kemungkinan. Tentu saja kami akan menyangkal dan membela diri. Kebetulan sekali kedua Nona The datang bersama dua orang gagah murid Bu-tong-pai ini yang siap membela kami.”
“Harap Lo-cianpwe tidak khawatir. Untuk mendapatkan kembali harta karun agar saya dapat memenuhi pesan mendiang Ayah, yaitu menyerahkan harta karun itu kepada para patriot pejuang, saya didukung banyak pihak. Bukan saja Go-bi-pai yang mendukung, melainkan juga Hoa-san-pai dan Ang-tung Kai-pang yang kini telah berada pula di luar perkampungan ini.”
“Siancai! Itu bagus sekali!” kata Thai-san Sianjin.
“Karena itu, Lo-cianpwe, apabila terjadi sesuatu yang buruk menimpa Thai-san-pai, kami sudah siap untuk membantu. Dan saya kira, hanya mereka dari golongan sesat saja yang mempunyai niat buruk terhadap Thai-san-pai. Mereka yang terdiri dari golongan bersih atau para pendekar pasti tidak mau memusuhi Thai-san-pai tanpa alasan yang kuat dan hanya karena desas-desus itu saja,” kata Ceng Ceng.
“Akan tetapi, kami merasa dikepung tanpa mengetahui apa yang mereka kehendaki, tidak tahu pula apa yang akan mereka lakukan terhadap Thai-san-pai. Hal ini sungguh membuat hati kami merasa tidak tenang. Apa yang sebaiknya kami lakukan dalam keadaan seperti ini?” kata Ketua Thai-san-pai sambil memandang kepada lima orang muda itu.
“Maaf, Lo-cianpwe, kalau menurut pendapat saya, hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus bertindak!” kata Thio Kui.
“Aku setuju sekali!” kata Kui Lin bersemangat. “Kalau Lo-cianpwe diam saja, tentu mereka itu semakin percaya bahwa Thai-san-pai merasa bersalah dan benar-benar telah mengambil harta karun itu. Mereka telah memasuki wilayah Thai-san-pai, sebaiknya usir saja mereka, kalau tidak mau pergi secara halus, kita usir dengan kekerasan. Kami akan membantumu, Lo-cianpwe!”
“Bagus, saya juga siap!” kata Liong Kun dengan gembira dan penuh semangat.
“Maaf, Lo-cianpwe dan saudara-saudara sekalian,” kata Ceng Ceng dengan tenang dan lembut. “Menggunakan kekerasan hanya memancing permusuhan dan perkelahian yang pasti akan menjatuhkan banyak korban. Karena harta karun itu belum diketahui berada di mana, maka pertempuran itu sama saja dengan memperebutkan karung kosong! Sebaiknya, besok pagi Lo-cianpwe membuka gerbang depan lalu keluar dan mengundang mereka yang mengepung itu untuk bicara di luar perkampungan. Di situ Lo-cianpwe dapat menyangkal desas-desus itu, kalau ada yang tidak percaya dan hendak menggunakan kekerasan, barulah kita membela diri. Para bijaksana mengatakan bahwa barang siapa memulai sebuah permusuhan, dialah yang bersalah! Jadi, biarkan mereka yang menggunakan kekerasan, kita membela diri dan saya yakin banyak yang akan mendukung Thai-san-pai.”
“Sungguh mengagumkan pendapat Enci Ceng Ceng!” kata Kui Lan. “Saya setuju sekali!”
Ketua Thai-san-pai juga setuju dan merasa lebih tenang. Malam itu tidak terjadi sesuatu dan Ceng Ceng bermalam di situ, sekamar dengan Kui Lan dan Kui Lin sehingga mereka bertiga dapat bercakap-cakap, mempererat perkenalan dan semakin banyak mengetahui keadaan masing-masing. Dari percakapan dua orang gadis kembar itu, dengan hati senang Ceng Ceng dapat melihat bahwa Kui Lan tertarik kepada Liong Kun sedangkan Kui Lin tertarik kepada Thio Kui. Hal ini terungkap dari suara dan tarikan muka dua orang gadis kembar itu ketika bicara tentang dua orang pemuda Bu-tong-pai itu.
Ia juga merasa girang mendengar mereka bercerita tentang Pouw Cun Giok, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir karena tidak mendengar tentang adik angkatnya, Li Hong, dan Yauw Tek. Akan tetapi ia berharap agar kedua orang itu dalam keadaan selamat dan mereka berdua tentu akan mendengar pula berita tentang adanya harta karun di Thai-san-pai dan mendengar ini, mereka pasti akan datang pula di Thai-san-pai.
Dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu pun dengan hati kagum dan senang mendengar tentang diri Ceng Ceng dan pengalaman gadis cantik jelita dan lembut itu ketika terpaksa menyerahkan peta harta karun peninggalan ayahnya kepada Kim Bayan untuk menolong Tan Li Hong yang menjadi tawanan Kim Bayan. Menceritakan ketika ia bersama Pouw Cun Giok membantu Kim Bayan mencari harta karun lalu mendapatkan peti harta karun telah kosong.
“Huh, si keparat jahanam Kim Bayan!” Kui Lin memaki marah. “Kalau aku bertemu dengan dia, pasti akan kupukul remuk kepalanya!”
“Aih, Adik Kui Lin, mengapa engkau agaknya demikian benci kepada Panglima Kim Bayan?” tanya Ceng Ceng heran.
“Enci Ceng Ceng,” kata Kui Lan. “Ayah kandung kami tewas oleh pasukan yang dipimpin Panglima Mongol Kim Bayan.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk, lalu berkata memperingatkan kepada Kui Lin. “Adik Kui Lin, kalau besok Ketua Thai-san-pai mengadakan pertemuan, andaikata Panglima Kim Bayan muncul, harap engkau tidak memancing keributan dengan menyerang dia karena hal itu akan dapat menggagalkan usaha Thai-san-pai untuk melepaskan diri dari fitnah. Kalau engkau tidak mampu menahan kesabaran dan menyerang Kim Bayan, mungkin saja hal itu bagaikan api dapat menyulut kebakaran lain dan Thai-san-pai menjadi ajang pertempuran.”
“Enci Ceng Ceng berkata benar, Lin-moi. Engkau tidak boleh mengacaukan pertemuan besok karena dengan begitu, berarti kita tidak membantu Thai-san-pai malah sebaliknya mendatangkan malapetaka kepada Thai-san-pai,” kata Kui Lan.
Kui Lin cemberut. “Baiklah, baiklah! Memang aku tukang membikin kacau!”
Ceng Ceng dan Kui Lan hanya tersenyum melihat ulah gadis yang galak dan manja itu.
********************
Pada keesokan harinya, ketika matahari naik cukup tinggi, pintu gerbang Thai-san-pai dibuka dan keluarlah Thai-san Sianjin dari dalam, diiringkan oleh lima orang sutenya, yaitu Song Bu Tosu, Song Tek Tosu, Koa Lai Kim Tosu, Wong Kian Tosu, dan Wong Han Tosu. Di sampingnya keluar pula Ceng Ceng, Kui Lan dan Kui Lin, Liong Kun, dan Thio Kui. Para murid Thai-san-pai dengan senjata lengkap mengiringkan ketua mereka, hampir seratus orang banyaknya karena sebagian kecil masih melakukan penjagaan di sekeliling perkampungan mereka.
Berita tentang keluarnya ketua Thai-san-pai segera terdengar oleh semua orang yang sedang berada di sekitar perkampungan Thai-san-pai dan berbondong-bondong mereka datang memasuki halaman depan perkampungan yang luas. Diam-diam Thai-san Sianjin dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang mendampinginya, mengamati siapa yang datang berkumpul.
Thai-san Sianjin merasa terkejut juga ketika melihat betapa banyaknya para tokoh kang-ouw yang kini berkumpul di luar pekarangan depan perkampungan Thai-san-pai. Yang membuat dia dan lima orang sutenya, juga lima orang muda yang menjadi tamunya, merasa agak khawatir adalah hadirnya dua rombongan, yaitu Huo Lo-sian dan anak buahnya yang didampingi Bu-tek Sin liong Cu Liong, majikan Bukit Merak dan puterinya Cu Ai Yin!
Para pimpinan Thai-san-pai itu memang tidak mengenal Ai Yin, akan tetapi mereka tahu siapa kakek tinggi besar muka merah itu! Rombongan kedua yang membuat mereka terkejut adalah rombongan yang terdiri dari tiga orang, yaitu Kong Sek, Cui-beng Kui-ong, dan Song-bun Mo-1i. Mereka memang tidak mengenal Kong Sek, akan tetapi mereka tahu siapa kakek dan nenek itu, yang merupakan datuk sesat yang amat terkenal dan ditakuti di dunia kang-ouw.
Selain dua rombongan ini, masih ada beberapa orang tokoh sesat yang hadir, termasuk para tokoh sungai telaga (golongan pembajak) dan para tokoh rimba persilatan (golongan perampok). Akan tetapi, perasaan Thai-san Sianjin Ketua Thai-san-pai menjadi tenang ketika dia melihat pula hadirnya mereka dari golongan bersih, partai-partai persilatan yang terdiri dari para pendekar seperti Thian-li Niocu dan lima orang muridnya dari Go-bi-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin dari Hoa-san-pai, Ang-tung Kai-pang dan beberapa orang hwesio yang mereka duga adalah murid-murid Siauw-lim-pai. Kemudian baru muncul Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka...