Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 34

Cersil karya kho ping hoo serial pendekar tanpa bayangan episode harta karun kerajaan sung jilid 34
Sonny Ogawa
34. LIHAT PUNCAK BUKIT D SANA!

Yauw Tek atau Pangeran Youtechin menoleh dan memandang kepada Ai Yin, matanya mencorong dan dia tersenyum. “Kerajaan Sung telah dikalahkan Kerajaan Goan yang kini berkuasa dan menurut peraturan perang, semua milik yang kalah menjadi barang rampasan dan menjadi hak milik yang menang. Apalagi tadinya harta itu merupakan harta curian seorang Thai-kam korup dari Kerajaan Sung, dan disembunyikan di Bukit Surga dekat kota raja. Maka, pemerintah yang berhak memiliki harta karun itu.”

“Harta dari kerajaan mana pun berasal dari milik rakyat, maka rakyat pun berhak atas harta karun itu!” tiba-tiba ada yang berseru dan sekali ini yang berseru dengan suara amat nyaring karena mengancung tenaga sakti, adalah Pouw Cun Giok.

Yauw Tek menengok dan dia melihat betapa pemuda tampan dan gagah yang bicara lantang itu berdiri dekat Ceng Ceng dan Li Hong, maka dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu yang bernama Pouw Cun Giok dan berjuluk Bu-eng-cu (Pendekar Tanpa Bayangan). Dia tersenyum dan memandang kagum karena sudah banyak dia mendengar pujian Li Hong yang bercerita tentang Pouw Cun Giok. Dia mengangguk dan berkata, suaranya juga nyaring seperti suara Cun Giok tadi karena sekali ini, Pangeran Mongol itu mengerahkan sin-kang sehingga suaranya lantang sekali.

“Tepat sekali ucapan... Bu-eng-cu tadi! Saudara tentu Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang terkenal itu, bukan? Memang tepat, harta milik pemerintah itu berasal dari rakyat, maka sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk kepentingan rakyat pula! Dan penggunaan untuk rakyat Itu harus diatur oleh pemerintah, kalau tidak akan terjadi perebutan dan kekacauan. Pemerintah Kerajaan Goan juga bermaksud menggunakan harta itu untuk kesejahteraan rakyat jelata. Akan tetapi kami sangsi apakah kalau harta karun itu terjatuh ke tangan Cu-wi, juga akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat? Ataukah hanya untuk kepentingan golongan sendiri dan pribadi atau juga untuk menimbulkan kekacauan sehingga akibatnya bahkan merugikan rakyat?”

Hening sejenak setelah Pangeran Youtechin berhenti bicara. Dia lalu melanjutkan. “Akan tetapi karena harta karun itu sampai sekarang belum ditemukan, dan kita bersama tidak tahu apakah harta itu benar-benar ada, maka biarlah kita berlumba untuk menemukannya. Setelah ditemukan, baru kita bicarakan siapa yang berhak atas harta itu!”

Bagaimanapun juga, mereka yang berada situ merasa segan untuk berterang menentang pangeran yang menjadi wakil Kerajaan karena menentang seorang wakil Kaisar dapat berarti pemberontakan. Maka, satu demi satu rombongan itu pergi. Li Hong kini saling pandang dengan Cun Giok. Mereka berdiri berhadapan dan hati keduanya diliputi perasaan terharu.

“Li Hong, benarkah keterangan Ceng-moi bahwa engkau adalah adik misanku...?” Akhirnya Cun Giok bertanya.

Ll Hong yang cepat dapat menguasai keharuan hatinya, tersenyum, mengangguk dan berkata. “Tentu saja benar, Piauw-ko (Kakak Misan)! Mendiang ibumu yang bernama Tan Bi Lian adalah adik kandung Ayahku yang bernama Tan Kun Tek dan yang dulu tinggal di Seng-hai-lian.”

“Ah, senang sekali aku mempunyai seorang adik sepertimu, Hong-moi!” kata Cun Giok sambil tersenyum.

“Aku juga bangga mempunyai seorang kakak sepertimu, Giok-ko!” kata Li Hong. Kedua orang muda itu saling menghampiri dan mereka berangkulan seperti kakak dan adik.

Tiba-tiba terdengar suara lembut. “Li Hong, aku hendak melanjutkan perjalanan. Engkau mau ikut denganku ataukah dengan mereka?”

Li Hong melepaskan rangkulannya dan memutar tubuhnya. Tentu saja ia mengenal suara Yauw Tek, kekasihnya. “Tentu saja aku ikut denganmu, ko-ko!” katanya, lalu ia berpaling kepada Cun Giok dan Ceng Ceng. “Giok-ko, Enci Ceng, aku harus ikut dengan dia, ke mana pun dia pergi. Aku...... tak dapat hidup tanpa dia!” Setelah berkata demikian, gadis itu melompat dan bersama Pangeran Youtechin ia lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli, dan Kong Sek.

Cun Giok dan Ceng Ceng memandang sampai bayangah Li Hong menghilang di antara pohon-pohon, lalu mereka saling pandang. Tanpa bicara pun mereka berdua dapat merasakan dan tahu bahwa adik mereka yang tabah, liar dan galak itu agaknya telah jinak terhadap Yauw Tek atau Pangeran Mongol itu. Jelas bahwa keduanya saling mencinta. Mereka berdua merasa khawatir dan diam-diam mendoakan semoga Li Hong dapat hidup berbahagia dengan Pangeran Mongol itu.

Cun Giok dan Ceng Ceng mendengar langkah orang dan ketika mereka memandang, ternyata yang menghampiri mereka adalah Kui Lan, Kui Lin dan dua orang pemuda murid Bu-tong-pai, yaitu Liong Kun dan Thio Kui yang sudah mereka kenal baik ketika mereka semua berada di Thai-san-pai.

“Aih, kita semua dibohongi jahanam Kim Bayan itu!” kata Kui Lin. “Untung engkau muncul dan membuka rahasia itu dengan memukul hancur peti-peti itu. Kalau tidak, wah, kita semua akan memperebutkan peti-peti yang berisi batu-batu tak berharga!”

“Lin-moi, siasat Kim Bayan itu membuat kita merasa ragu apakah harta karun itu ada ataukah hanya kabar angin saja. Kim Bayan menggunakan siasat itu agaknya karena sudah putus asa dalam mencari harta itu,” kata Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar, gagah dan bersuara berat serius itu.

“Pendapat Thio-twako (Kakak Thio) itu agaknya memang benar sekali bahwa mendiang Kim Bayan sudah putus asa maka menggunakan siasat itu untuk memancing keluar semua pencari harta agar diketahui siapa kiranya yang telah mendapatkan harta itu,” kata Cun Giok.

“Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa harta karun itu memang ada, hanya di mana disembunyikannya, itulah yang harus kita cari,” kata Ceng Ceng. “Kiranya mendiang Ayahku tidak akan mempertahankan harta karun itu dengan nyawa Ayah dan Ibu kalau harta itu tidak ada, dan tidak akan meninggalkan peta itu kepadaku. Ayah amat setia kepada Kerajaan Sung dan amat membenci penjajah, maka dia bercita-cita membantu perjuangan mengusir penjajah dengan menyerahkan harta karun itu,” kata Ceng Ceng dengan suara lembut namun yakin.

“Enci Ceng Ceng benar,” kata Kui Lan yang pendiam. “Harta karun itu pasti ada dan kita harus mencarinya lagi. Sebaiknya kita berpencar mencarinya.”

“Baiklah, kita berpencar dan mencari dengan teliti. Sebaiknya setelah ada yang menemukan, langsung dibawa ke Thai-san-pai karena semua yang mendukung niat Ceng-moi pasti akan singgah dulu di sana untuk mencari keterangan sebelum mereka meninggalkan Thai-san. Di sana kita semua akan membicarakan bersama kepada siapa harta karun itu harus diserahkan,” kata Pouw Cun Giok.

Semua orang menyatakan setuju dan mereka pun berpencar meninggalkan tempat itu. Cun Giok pergi bersama Ceng Ceng, sedangkan gadis kembar itu pergi bersama dua orang pemuda murid Bu-tong-pai.

cerita silat online karya kho ping hoo

Malam itu bulan sedang purnama. Bulatan kuning emas itu merupakan bola emas yang memancarkan cahayanya yang lembut ke permukaan pegunungan Thai-san, membentuk bayang-bayang dan perpaduan antara gelap dan terang, mendatangkan pemandangan yang indah tak terlukiskan. Hawa sejuk menyusup di antara pohon-pohon di puncak-puncak banyak bukit yang terdapat di pegunungan Thai-san yang luas.

Suasananya menjadi tenteram, sunyi mencekam, indah romantis, akan tetapi juga mendatangkan sesuatu yang penuh rahasia, yang membuat orang merasa kagum, terpesona, hanyut dan terkadang juga seram. Suara gemersik daun-daun pohon yang ditiup angin semilir, suara gemericik air yang turun dari sumber air membentuk anak sungai berair jernih dan dingin, suara binatang dan serangga malam yang menciptakan musik ajaib, semua itu dapat menyihir manusia yang kebetulan berada di tempat itu.

Cun Giok dan Ceng Ceng duduk di tepi sebuah tebing jurang yang amat dalam. Mereka nemilih tempat ini untuk mengaso dan melewatkan malam karena tempat ini amat indah. Dari tepi jurang itu mereka dapat memandang ke depan bawah tanpa terhalang pohon-pohon besar. Bulan purnama menciptakan tamasya alam di depan sana, membuat kedua orang muda ini terpesona dan sejak tadi hanya duduk setengah samadhi karena terpesona keindahan alam. Mereka seolah kehilangan diri dan bersatu dengan alam. Mereka merupakan sebagian dari alam di malam yang luar biasa indahnya itu.

Cun Giok termenung ketika merasa dirinya tenggelam ke dalam keindahan malam syahdu itu. Dia teringat akan apa yang pernah dikatakan Ceng Ceng tentang kemurahan Tuhan Maha Pencipta bagi manusia. Kalau kita berada dalam, keadaan seperti itu, seolah diri terlebur menjadi bagian dari alam semesta, tampaklah jelas betapa segala ciptaan Tuhan itu diberikan kepada manusia untuk kesejahteraan hidup manusia di atas bumi ini.

Semua isi alam ini diperuntukkan manusia, bahkan membantu kehidupan manusia sehingga sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, untuk melestarikannya. Air, hawa udara, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain merupakan kebutuhan hidup kita, akan tetapi betapa kita, sadar mau pun tidak, mengotori dan merusaknya. Bahkan semua keindahan itu tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita dipenuhi harta benda yang kita puja sebagai sumber kesenangan.

Pengejaran harta benda yang kita puja-puja itu menimbulkan permusuhan dan segala bentuk kejahatan, membuat dunia menjadi panas dan manusia menjadi tipis prikemanusiaannya. Manusia hanya mementingkan apa yang menempel pada dirinya. Padahal, segala bagian alam yang berada di luar kita itu seharusnya kita pelihara seperti kita memelihara anggauta badan kita, karena semua yang di luar kita itu juga merupakan penunjang dan penyambung hidup kita.

“Giok-ko, lihat...” Tiba-tiba suara Ceng Ceng membuyarkan renungannya.

Cun Giok memandang gadis yang duduk di sebelah kirinya itu dan melihat Ceng Ceng memandang dengan penuh gairah ke depan sana. Cun Giok tersenyum. “Memang indah sekali, Ceng-moi. Aku juga sudah mengaguminya sejak tadi.”

“Bukan itu maksudku, Giok-ko. Lihat puncak bukit di sana, yang sebelah kiri itu!” Ceng Ceng menudingkan telunjuknya.

Cun Giok mengikuti arah itu dengan pandang matanya. Di sana terdapat sebuah puncak bukit yang tampak hitam bermandikan cahaya keemasan. Indah sekali! “Bukit itu juga indah, merupakan bagian dari semua keindahan ini, Ceng-moi.”

“Sadarlah sejenak, Giok-ko. Keluarlah dari pesona keindahan itu dan pandang dengan akal pikiranmu. Seperti apakah bentuk puncak yang hitam itu?”

Cun Giok memandang dengan penuh perhatian ke arah puncak bukit yang ditunjuk, memperhatikan bentuk lekuk-lengkung garis puncak bukit yang hitam itu. Dan dia pun berseru. “Ah, bukankah bentuknya seperti seekor naga? Memanjang dan berlekuk-lekuk, itu yang di kiri seperti ekornya dan kepalanya di sebelah kanan...”

“Benar, Giok-ko... dan sekarang lihat bukit di kanan itu, lihat puncaknya seperti tadi...”

Suara gadis itu agak gemetar sehingga Cun Giok menjadi tertarik sekali, juga merasa heran. Dia cepat memandang bukit yang di kanan, bukit yang sejajar dengan bukit pertama dan mencurahkan perhatiannya memandang ke puncak bukit kedua itu. Mula-mula memang hanya tampak puncak yang hitam dengan garis-garis lengkung yang berbeda dengan yang pertama. Kalau yang pertama memanjang seperti naga, yang kedua ini hanya bergerombol di tengah, mencuat di sana-sini. Khayalnya berkembang dan dia lalu berkata.

“Ceng-moi, yang kedua itu merupakan bentuk seekor ayam, ayam jantan karena ekornya menjulang ke atas dan memanjang...”

“Bukan ayam, Giok-ko, melainkan Burung Hong...” Suara gadis itu kini semakin gemetar seolah dalam keadaan tegang dan terharu.

Mendengar suara itu, Cun Giok mengalihkan perhatiannya kepada wajah gadis itu yang tampak terlongong memandang puncak kedua bukit itu berganti-ganti. Mulutnya agak terbuka dan wajahnya tampak tegang. “Burung Hong? Ceng-moi, mengapa engkau tampak begini tegang? Apa yang terjadi?” Karena khawatir, Cun Giok menjulurkan tangannya memegang lengan Ceng Ceng.

Seperti tanpa disadari Ceng Ceng membalas, memegang tangan pemuda itu dan meremasnya dengan kuat sehingga Cun Giok terpaksa mengerahkan tenaga agar tangannya tidak cidera. “Giok-ko... apakah engkau tidak ingat...? Peta itu... ada gambar naga dan burung Hong... bukankah ini cocok sekali dengan keadaan dua buah bukit di sana itu...?”

Cun Giok berdebar. Baru dia teringat dan kembali dia mengamati dua buah bukit itu. Memang tepat! Seperti yang tertera di peta. Kedua puncak itu merupakan gambar naga dan burung Hong dan... tempat penyimpanan harta karun itu tentu berada di sebelah selatan kedua bukit itu, di antara bukit-bukit lain!

“Aih, engkau benar, Ceng-moi! Kalau begitu, mungkin sekali harta karun itu memang disimpan di sini. Peti kosong yang berada di Bukit Sorga itu memang sengaja ditanam oleh Thaikam Bong untuk mengelabuhi para pencari harta dan tulisan THAI SAN itu merupakan petunjuk bahwa hartanya berada di sini. Bukan dicuri orang Thai-san seperti yang kita semua mengira.”

Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Ahh, mudah-mudahan saja benar demikian, Giok-ko. Menemukan harta karun itu amat penting artinya bagiku, karena hal itu berarti aku telah menaati dan melaksanakan pesan Ayah.”

Mereka berdua tidak bicara lagi, akan tetapi sampai jauh lewat tengah malam mereka masih duduk dan memandang ke arah dua buah bukit itu. Di dalam hati, mereka kini merasa gembira dan timbul harapan baru. Kemudian mereka tidur bergilir. Seorang tidur dan yang lain berjaga sambil duduk di dekat api unggun.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dan ketika sinar matahari mulai mengirim sinarnya menerangi bumi, dan mereka memandang ke arah dua bukit itu, Ceng Ceng berseru kaget. “Giok-ko, lihat...!”

Cun Giok memandang ke arah dua bukit yang ditunjuk Ceng Ceng, dan dia terkejut karena puncak dua buah bukit yang semalam di bawah sinar bulan purnama tampak jelas membentuk naga dan burung Hong, kini gambaran itu hilang sama sekali. Di kedua puncak itu kini hanya tampak gerombolan pohon yang mencuat ke sana-sini, sama sekali tidak tampak sebagai naga dan burung Hong!

“Eh, mana naga dan burung Hong itu, Ceng-moi?”

Ceng Ceng menghela napas panjang, “Aku tidak tahu, Giok-ko. Mungkin di bawah sinar bulan, gerombolan pohon itu tampak seperti bentuk naga dan burung Hong,” kata Ceng Ceng kecewa. “Ataukah kita terlalu terpengaruh gambar di peta sehingga membayangkan dua gambar itu?”

Mendengar suara gadis itu seperti orang kecewa dan menyesal, juga ada nada sedih, Cun Giok merasa iba dan tiba-tiba dia teringat akan gambar pada peta itu. “Ah, Ceng-moi, coba ingat baik-baik isi peta yang telah dirampas Kim Bayan itu. Bukankah di bawah gambar naga dan burung Hong itu ada bulatan besar? Nah, bukankah bulatan itu dimaksudkan bulan purnama? Jadi, puncak dua buah bukit itu hanya berbentuk naga dan burung Hong kalau ada bulan purnama!”

Wajah gadis itu berseri dan seolah baru melihat wajah itu untuk pertama kalinya, Cun Giok terpesona. Wajah yang baru bangun tidur itu, dengan rambut agak awut-awutan dan pakaian kusut, tanpa bedak gincu, tampak aseli dan kecantikannya bagaikan setangkai bunga mawar di waktu pagi masih segar oleh embun!

Melihat pemuda itu memandangnya seperti orang terkesima atau hilang ingatan, kulit muka Ceng Ceng berubah kemerahan dan tersipu karena ia baru ingat bahwa ia belum mencuci muka. Tentu ia tampak kusut dan buruk sekali! “Aih, aku mau cuci muka... eh, mandi dulu, Giok-ko!” katanya sambil bangkit dan memutar tubuhnya.

“Di sebelah sana ada sumber air, di balik batu besar itu, Ceng-moi.”

“Aku tahu, kemarin aku sudah melihatnya,” kata Ceng Ceng yang segera menuju ke batu besar sambil membawa buntalan pakaiannya.

Mereka bergantian mandi dan bertukar pakaian sambil mencuci pakaian kotor. Setelah itu mereka kembali duduk di tepi jurang.

“Hi-hi-hik…!” Ceng Ceng menahan tawanya dan menutupi mulutnya, namun suara tawanya masih terdengar oleh Cun Giok.

“Ceng-moi, mengapa engkau tertawa?”

“Aku mendengar suara ayam jantan berkeruyuk,” kata gadis itu sambil tersenyum.

Cun Giok memusatkan pendengarannya sejenak. “Aku tidak mendengar ayam jantan berkeruyuk,” katanya heran. “Di mana kau mendengarnya?”

“Di sini, dekat saja,” kata Ceng Ceng sambil menahan tawa dan menunjuk ke arah perut Cun Giok.

Cun Giok terbelalak, lalu tersenyum sambil mengelus perutnya.

“Ha-ha-ha, wah, memalukan, buka rahasia saja!” Dia menepuk perutnya. “Memang sejak malam tadi aku merasa lapar, Ceng-moi.

“Hemm, perut lapar tidak perlu malu, Giok-ko. Aku sendiri pun merasa lapar. Akan tetapi di tempat seperti ini, di mana kita bisa mendapatkan makanan?”

“Ceng-moi, lihat di lereng bawah itu. Ada kepulan asap, agaknya di sana ada sebuah desa atau setidaknya ada orang tinggal di sana. Mari kita ke sana, mencari makanan dulu baru melanjutkan penyelidikan.”

Mereka lalu menuruni puncak bukit itu dan tepat dugaan Cun Giok, di lereng bukit itu terdapat sebuah dusun kecil yang tertutup pohon-pohonan, hanya terdiri dari belasan rumah. Mereka adalah petani-petani sederhana yang menggantungkan nafkahnya dari menggarap tanah di lereng itu yang cukup subur...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.