38. PEMBAGIAN HARTA KARUN...
Di samping keheranannya, hati Ceng Ceng yang lembut tersentuh dan ia merasa terharu sekali. Ia tidak ingin melihat cinta kasih antara Li Hong dan Pangeran Youtechin berantakan mengakibatkan Li Hong hidup menderita sengsara karena pangeran itu gagal mendapatkan harta karun. Maka dengan hati tetap ia melangkah maju menghampiri pangeran dan adik angkatnya itu, lalu berkata lembut.
“Pangeran, engkau adalah seorang gagah yang mencinta negara dan mengemban tugas untuk mendapatkan harta karun dengan setia. Demikian pula aku mengemban tugas dari mendiang ayahku tercinta dengan setia. Keadaan dan kedudukan kita berdua sesungguhnya tidak banyak berbeda. Mengingat akan keadaan ini, apalagi mengingat bahwa engkau adalah calon suami adik angkatku, bagaimana aku tega membiarkan engkau gagal melaksanakan tugas dan terancam hukuman? Mengingat bahwa kemenanganku memperebutkan harta karun ini tidak sepenuhnya murni karena aku dalam pi-bu diwakili Giok-ko, dan kalau aku maju sendiri melawanmu agaknya aku akan kalah, maka sudah adil kalau aku membagi harta karun ini denganmu. Dengan begini, tugasmu tidak sepenuhnya gagal, demikian pula tugasku. Ambillah setengah dari harta karun itu, Pangeran!”
Pangeran Youtechin menatap wajah. Ceng Ceng dengan mata terbelalak. “Apa? Engkau... rela membagi harta karun ini demi... keselamatanku, Nona Liu Ceng Ceng?”
Ceng Ceng tersenyum. “Bukan hanya demi keselamatanmu, Pangeran, akan tetapi terutama sekali demi Adikku Li Hong.”
“Enci Ceng...!” Li Hong menubruk dan merangkul Ceng Ceng penuh rasa haru akan tetapi juga bahagia. “Terima kasih, Enci Ceng Ceng... sungguh engkau seorang yang bijaksana dan berhati mulia...!”
Ceng Ceng balas merangkul. “Hong-moi, Pangeran Youtechin benar, sebaiknya engkau menunggu di Pulau Ular. Engkau harus memberitahu tentang perjodohanmu dengan Pangeran Youtechin kepada orang tuamu dan menunggu datangnya lamaran di sana. Aku yakin, Pangeran Youtechin adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janjinya kepadamu. Giok-ko, tolonglah bagi isi peti harta karun itu menjadi dua agar yang separuh dapat dibawa Pangeran Youtechin ke kota raja.”
Cun Giok hanya mengangguk. Dalam hatinya dia merasa penasaran, akan tetapi juga kagum dan terharu karena dia maklum sepenuhnya bahwa Ceng Ceng melakukan hal itu demi kebahagiaan Tan Li Hong! Dia lalu mengeluarkan semua isi peti dan membaginya separuh.
“Silakan bawa yang separuh itu, Pangeran,” kata Ceng Ceng setelah kedua bagian harta karun itu dibungkus kain.
Pangeran Youtechin mengangguk dan memberi hormat kepada Ceng Ceng. “Nona Liu Ceng Ceng, benar apa yang dikatakan Adinda Tan Li Hong. Engkau adalah seorang pendekar wanita yang berhati mulia dan bijaksana. Sayang sekali bahwa kita berdiri di dua pihak yang bertentangan. Akan tetapi aku merasa bangga dan bahagia mengetahui bahwa Adinda Tan Li Hong mempunyai seorang kakak angkat sepertimu. Terima kasih atas kerelaanmu ini.” Pangeran Youtechin lalu mengambil sebuah buntalan kain dan digendongnya di punggung. Lalu dia berkata kepada Li Hong.
“Dinda Li Hong, engkau tunggulah di Pulau Ular dan aku akan segera mengirim utusan untuk meminangmu. PercayaIah, aku tidak akan menyia-nyiakan cintamu dan kepercayaan Nona Liu Ceng Ceng kepadaku. Nah, selamat berpisah untuk sementara.” Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata tiga orang muda, Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong.
“Ceng-moi, sekarang bagaimana rencanamu? Ke manakah engkau akan membawa harta karun itu?” tanya Cun Giok kepada Ceng Ceng setelah bayangan pangeran itu lenyap di balik pohon-pohon.
“Untuk sementara ini, harta karun itu akan kusimpan dulu, Giok-ko, sambil mencari keterangan dan menanti siapa pimpinan rakyat pejuang yang pantas menerimanya,” kata Ceng Ceng.
“Enci Ceng, akan berbahaya sekali kalau engkau sendiri yang menyimpan harta karun itu, karena tentu akan banyak orang jahat yang akan mencoba untuk merampasnya darimu. Sebaiknya, kaubawa harta itu ke Pulau Ular. Di sana harta karun itu akan aman dan tidak ada orang berani sembarangan naik ke Pulau Ular untuk merampas harta karun. Pula, kita dapat bertanya kepada ayah dan terutama kepada Ibu Ban-tok Niocu, pimpinan pejuang mana yang sekiranya pantas menerima harta karun itu. Pula, bukankah engkau kakak angkatku dan dengan sendirinya ayah ibuku juga menjadi ayah ibumu?”
“Ucapan Hong-moi itu benar sekali, Ceng-moi. Memang tidak ada tempat yang lebih aman dan tepat untuk menyimpan harta karun itu daripada Pulau Ular.”
“Dan aku pun membutuhkan bantuanmu untuk ikut meyakinkan hati ayah ibuku akan perjodohanku dengan Pangeran Youtechin, bahwa aku tidak salah pilih, Enci Ceng,” bujuk pula Li Hong.
Ceng Ceng tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku akan membawa harta karun itu ke Pulau Ular. Aku akan pergi bersamamu, Hong-moi. Dan engkau sendiri, Giok-ko, engkau hendak pergi ke manakah?”
Pertanyaan Ceng Ceng itu membuat Cun Giok mengerutkan alisnya. Ke mana dia hendak pergi? Dia tidak mempunyai keluarga dan tidak ada sesuatu lagi yang harus dikerjakan, maka sejenak dia tidak dapat menjawab. “Aku... aku... akan melanjutkan perantauanku, Ceng-moi.”
“Tidak, Enci Ceng! Giok-ko juga pergi bersama kita ke Pulau Ular!” Tiba-tiba Li Hong berkata dengan nada suara tegas.
“Eh, Hong-moi, mengapa kau berkata begitu?” Cun Giok bertanya.
“Engkau harus menemani kita pergi ke Pulau Ular, Giok-ko!”
“Harus?” Cun Giok mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya ingin sekali pergi bersama mereka karena berat sekali rasanya kalau dia harus berpisah dari Ceng Ceng, akan tetapi dia merasa penasaran juga kalau dipaksa.
“Ya, harus!” kata Li Hong. “Ada dua hal yang mengharuskan engkau ikut bersama kami ke Pulau Ular, Giok-ko. Pertama, kami membawa harta karun dan engkau tahu betapa para tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi mengincar harta karun itu. Engkau tentu tidak tega membiarkan kami berdua menghadapi rintangan dan terancam bahaya dalam perjalanan. Kedua, engkau adalah keponakan ayahku, ayah dan ibu amat mengharapkan bertemu denganmu dan apakah engkau tidak ingin bertemu dan memberi penghormatan kepada pek-hu (uwa) dan pek-bomu?”
Di”todong” seperti ini, Cun Giok kehabisan kata untuk dapat menolak atau membantahnya. Alasan-alasan yang dikemukakan Li Hong amat kuat dan menolak dua alasan itu akan membuat dia menjadi seorang yang tega membiarkan dua orang gadis itu terancam bahaya dan membuat dia seorang muda yang tidak sopan dan tidak menghormati uwaknya sendiri, kakak mendiang ibunya!
“Adik Li Hong, jangan terlalu memaksa Giok-ko. Kalau dia tidak mau...”
“Baiklah, aku ikut kalian ke Pulau Ular!” kata Cun Giok dan ucapannya ini disambut senyum lebar dua orang gadis itu. Mereka lalu berangkat, meninggalkan Pegunungan Thai-san dan Cun Giok yang menggendong buntalan harta karun itu di punggungnya.
********************
Dua hari kemudian, pada suatu siang mereka bertiga baru meninggalkan daerah Pegunungan Thai-san dan tiba di kaki pegunungan. Dari lereng paling bawah yang mereka tinggalkan tadi mereka melihat genteng banyak rumah, menandakan bahwa di sana terdapat perumahan orang, mungkin sebuah dusun yang lumayan keadaannya karena rumah-rumahnya sudah memakai genteng. Mereka kini menuju ke perumahan itu untuk mencari makanan karena perut mereka sejak pagi tadi belum terisi.
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar tahu-tahu sudah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu berusia sekitar limapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya merah dan ditumbuhi jenggot dan kumis pendek yang terawat baik sehingga tampak gagah. Tiga orang muda itu segera mengenalnya karena dia adalah Bu-tek Sin-liong Cu Liong majikan Bukit Merak.
“Dia Bu-tek Sin-liong,” bisik Cun Giok kepada Ceng Ceng dan Li Hong.
Dua orang gadis itu sudah mendengar akan nama besar datuk ini, maka mereka bersikap waspada. Setelah mereka bertiga tiba di depan datuk itu, Pouw Cun Giok yang sudah mengenalnya karena dia pernah hampir dua tahun yang lalu ditolong oleh Cu Ai Yin, puteri datuk itu di Bukit Merak, melangkah maju dan memberi hormat kepadanya.
“Kiranya Lo-cianpwe Bu-tek Sin-liong yang berada di sini.”
Dengan sikap acuh tak acuh datuk itu memandang kepada dua orang gadis cantik di samping Cun Giok, kemudian dia berkata kepada pemuda itu. “Pouw Cun Giok, engkau masih ingat kepada kami?”
“Tentu saja, Lo-cianpwe dan Adik Cu Ai Yin pernah menolong saya di Bukit Merak,” kata Cun Giok, masih menduga-duga apa maksud datuk itu menghadang perjalanannya. Dua orang gadis itu memandang penuh curiga dan mereka menduga bahwa datuk itu tentu bermaksud merampas harta karun yang digendong Cun Giok di punggungnya.
“Pouw Cun Giok, aku hendak bicara penting sekali denganmu dan engkau harus dapat memberi keputusan sekarang juga!”
Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sekarang dapat menduga pula bahwa datuk ini, seperti para tokoh lain, tentu menginginkan harta karun itu, maka dia berkata dengan sikap tetap hormat. “Lo-cianpwe, hendaknya Lo-cianpwe maklum bahwa harta karun itu bukanlah hak milik kami, melainkan hak milik rakyat yang akan kami serahkan kepada yang berhak kelak.”
“Huh, siapa peduli akan harta karun!” bentak Bu-tek Sin-liong, “Harta karun itu tidak ada artinya bagiku. Yang terpenting bagiku adalah urusan puteriku, Cu Ai Yin.”
“Ada apakah dengan Adik Cu Ai Yin, Lo-cianpwe?” tanya Cun Giok heran dan dia memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah gadis itu ikut datang bersama ayahnya.
“Pouw Cun Giok, sekarang juga engkau harus ikut denganku ke Bukit Merak dan kita langsung saja rayakan pernikahan puteriku denganmu!”
“Menikah...?”
Ucapan ini keluar dari mulut tiga orang, yaitu Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong karena mereka sungguh terkejut mendengar ucapan datuk itu.
“Maaf, Lo-cianpwe, saya sungguh tidak mengerti apa yang Lo-cianpwe maksudkan. Kenapa saya harus ikut ke Bukit Merak dan... menikah dengan Adik Cu Ai Yin?”
“Kenapa? Engkau masih bertanya kenapa?” bentak Bu-tek Sin-liong dengan mata melotot dan mukanya menjadi semakin merah. “Masih berpura-pura suci lagi. Pouw Cun Giok, engkau tinggal pilih, menikah dengan Ai Yin atau mati di tanganku!”
Cun Giok menjadi semakin penasaran, juga Ceng Ceng dan Li Hong memandang heran. Li Hong sudah menjadi marah sekali, akan tetapi dua orang gadis itu diam saja, hanya mendengarkan karena mereka tidak tahu urusannya.
“Lo-cianpwe, sebelum saya memilih, harap jelaskan dulu mengapa Lo-cianpwe hendak memaksa saya menikah dengan puterimu,” kata Cun Giok dengan sikap masih sabar.
“Bocah tak tahu diri, tidak mengenal budi dan kurang ajar! Ai Yin telah menyelamatkanmu ketika engkau pingsan di dekat sungai dan tentu akan mati dimakan binatang buas kalau tidak ditolong Ai Yin dan dibawa ke tempat tinggal kami. Kemudian untuk kedua kalinya Ai Yin menolongmu ketika engkau akan dibunuh oleh Kong Sek. Semua itu dilakukan puteriku karena ia jatuh cinta padamu. Akan tetapi apa yang telah kau lakukan? Dengan kurang ajar engkau menciumi mulutnya ketika Ai Yin dalam keadaan tidak sadar, dan membuka punggung bajunya! Karena itu, engkau harus menikah dengannya atau aku akan membunuhmu sekarang juga!”
“Lo-cianpwe, dengarkan dulu penjelasanku...”
“Tidak perlu penjelasan lagi! Pilih saja, mau menikah dengan Ai Yin atau mati?” Datuk itu sudah mencabut Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) dari pinggangnya dengan mata mengancam.
“Lo-cianpwe, saya mengakui bahwa Nona Cu Ai Yin memang telah berkali-kali menolong saya. Saya kagum dan suka padanya bahkan kami berdua telah menjadi sahabat baik. Akan tetapi saya hanya menjadi sahabatnya, tidak ingin menjadi suaminya. Dalam hal perjodohan ini harap Lo-cianpwe tidak memaksa karena perjodohan yang dipaksakan hanya akan mendatangkan kesengsaraan kepada puterimu sendiri kelak.”
“Berarti engkau menolak mengawininya setelah engkau ciuminya dan...”
“Hal itu dapat saya jelaskan, Lo-cianpwe!” kata Cun Giok yang dapat menduga bahwa Ai Yin tentu sudah bercerita kepada ayahnya tentang peristiwa itu.
“Engkau menolak berarti mati!” Bu-tek Sin-liong sudah tak dapat menahan diri dan hendak menyerang.
“Ayaaahhh...! Jangan...!” Tiba-tiba terdengar jeritan dan muncullah Cu Ai Yin, gadis pendekar yang cantik dan berjuluk Pek-hwa Sianli itu. Mukanya agak pucat dan basah, tampak jelas bahwa ia tadi menangis.
Gadis itu sudah berdiri menghadang di antara Bu-tek Sin-liong dan Pouw Cun Giok, menghadapi ayahnya dan berkata. “Ayah, sudah kukatakan bahwa Cun Giok sama sekali tidak bersalah! Dia tidak bertindak kurang ajar kepadaku. Ketika dia... mencium mulutku, hal itu dia lakukan untuk memberi pernapasan kepadaku karena napasku berhenti setelah aku tenggelam dalam air dan dia membuka punggung bajuku untuk mengobati luka di punggungku yang terkena anak panah. Dia tidak bersalah, Ayah dan hal ini sudah kuceritakan kepadamu, mengapa Ayah masih hendak memaksanya?”
“Hemm, Ai Yin, bukankah engkau mengaku bahwa engkau cinta kepada pemuda tak tahu diri ini?” ayahnya menegur.
“Ayah, hal itu bukan alasan untuk memaksa dia menikah denganku. Aku sekarang mengerti bahwa Cun Giok menyayangku sebagai seorang sahabat. Ayah, aku tidak suka dipaksa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku. Kalau Ayah hendak memaksa, lebih baik aku mati di depan Ayah!” Gadis cantik itu pun mencabut sepasang pedangnya.
Sejenak ayah dan anak ini saling tatap dengan pandang mata tajam. Kemudian Bu-tek Sin-liong membanting kakinya dengan jengkel. “Anak bodoh...!” Dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan marah.
Ai Yin membalikkan tubuh menghadapi Cun Giok. Kedua matanya basah. Lalu ia memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng, kemudian ia berkata lirih kepada Cun Giok. “Cun Giok, kau maafkan Ayahku...”
“Tidak mengapa, Ai Yin. Justeru aku yang minta maaf kepadamu,” kata Cun Giok dengan hati terharu karena dia telah membuat gadis itu kecewa. Kini dia tahu bahwa Ai Yin telah mengaku cinta padanya kepada ayahnya.
Ai Yin tidak menjawab, hanya memutar tubuh dan berlari cepat mengejar ayahnya. Suasana hening setelah ayah dan anak itu pergi jauh. Ceng Ceng yang berwatak lembut dan peka itu merasa terharu dan kasihan kepada Cu Ai Yin. Ia dapat menduga bahwa Pek-hwa Sianli itu telah jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi pemuda itu tidak membalas cintanya. Ia pun merasa yakin karena sudah mengenal watak pemuda itu bahwa Cun Giok benar-benar hendak menyelamatkan nyawa Cu Ai Yin ketika 'mencium' dan membuka punggung bajunya, tidak ada niat lain yang tidak senonoh. Ia lalu teringat kepada Siok Eng, tunangan Cun Giok yang telah tewas dalam keadaan menyedihkan itu dan dari pergaulannya dengan Cun Giok, Ceng Ceng juga dapat merasakan dan tahu bahwa kesetiaan Cun Giok terhadap Siok Eng bukan karena cinta, melainkan karena Cun Giok seorang laki-laki sejati yang menghargai dan memegang teguh janji perjodohan itu!
Pemuda itu ditunangkan dengan Siok Eng dan tidak menolak karena hendak menyenangkan dan berbakti kepada guru dan ayah angkatnya, mendiang Suma Tiang Bun. Kemudian ia teringat kepada Li Hong yang kini berdiri di dekatnya. Juga gadis ini pernah tergila-gila kepada Cun Giok yang ternyata sekarang adalah kakak misannya sendiri. Li Hong demikian mencinta Cun Giok sampai hampir membunuhnya karena cemburu. Akan tetapi ia bersyukur bahwa Li Hong telah mendapatkan penggantinya, yaitu Pangeran Youtechin yang tampan dan gagah. Teringat akan itu semua, dan teringat kepada dirinya sendiri yang tak dapat ia sangkal juga amat mencinta Cun Giok, Ceng Ceng menarik napas panjang. Betapa banyak gadis yang jatuh hati kepada Pendekar Tanpa Bayangan ini.
“Enci Ceng Ceng, kenapa engkau menghela napas panjang?” tanya Li Hong.
Ceng Ceng mengerling kepada Cun Giok yang melangkah sambil menundukkan muka dan alisnya berkerut seperti orang sedang melamun. “Aku kasihan sekali kepada puteri Bu-tek Sin-liong itu, Hong-moi. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga berwatak baik dan jujur.”
“Bagaimana engkau bisa tahu bahwa ia baik dan jujur, Enci Ceng?”
“Ia telah menyelamatkan nyawa Giok-ko sampai dua kali, itu berarti ia berwatak baik. Dan kata-katanya ketika mencegah ayahnya menyerang Giok-ko tadi menunjukkan bahwa ia seorang yang jujur. Sungguh patut dikasihani. Aih, betapa cinta telah banyak memakan korban, menghancurkan kebahagiaan banyak orang...”
“Ah, tidak semua cinta gagal dan menyengsarakan orang, Enci Ceng! Contohnya aku sendiri. Aku mencinta Pangeran Youtechin dan dia pun mencintaku, dan kami berdua bahagia dan akan menjadi suami isteri yang berbahagia!” Ia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Cun Giok dan melanjutkan kata-katanya. “Dan lihat Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok ini, dan engkau sendiri, Enci Ceng. Bukankah kalian berdua saling mencinta dan berbahagia?”
“Hong-moi...!” Cun Giok menegur.
“Kenapa Giok-ko? Bukankah aku bicara jujur dan apa adanya? Engkau tidak dapat menyangkal bahwa engkau sejak dulu mencinta Enci Ceng Ceng dan sebaliknya Enci Ceng Ceng juga mencintamu. Ingat, Giok-ko, janjiku dulu masih berlaku sehingga sekarang, yaitu, bahwa apabila engkau menyia-nyiakan cinta Enci Ceng Ceng dan tidak mau menikahinya, aku akan melupakan bahwa engkau ini kakak misanku dan engkau akan kumusuhi!”
“Hong-moi...!” Kini Ceng Ceng yang menegur dan wajah gadis ini menjadi merah sekali.