39. PILIHAN JODOH PANGERAN MONGOL...?!
Cun Giok menghela napas panjang. Menghadapi Li Hong yang jujur, dia tidak dapat merahasiakan atau menyembunyikan keadaan hatinya lagi. Dan memang sebaiknya dia berterus terang agar dapat didengar pula oleh Ceng Ceng, karena dia akan selalu merasa tidak tenang sebelum menyampaikan pikiran yang menekan dan selalu mengganggu perasaannya mengenai hubungan cintanya dengan Ceng Ceng.
“Adik Li Hong, engkau sungguh keterlaluan!” Ceng Ceng menegur dengan suara halus. “Cinta dan pernikahan tidak dapat dipaksakan, mengapa engkau hendak memaksa Giok-ko?”
“Enci Ceng Ceng, sejak dulu aku tahu benar bahwa engkau dan Giok-ko saling mencinta. Kemudian Giok-ko mengatakan tidak mungkin berjodoh denganmu karena dia sudah mempunyai seorang tunangan. Akan tetapi sekarang, tunangannya itu telah meninggal dunia, maka tidak ada halangan lagi bagi kalian berdua untuk berjodoh dan menikah! Kalau Giok-ko mengingkari cintanya kepadamu, terpaksa akan kutentang dia!”
“Hong-moi dan Ceng-moi, biarlah aku menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengakuan. Aku tidak mengingkari bahwa sejak pertemuan pertama dengan Ceng-moi, aku telah jatuh cinta kepadamu Ceng-moi. Kemudian aku teringat akan ikatan perjodohanku dengan tunanganku Siok Eng dan aku tidak bisa mengingkari atau mengkhianati perjodohan kami itu. Aku telah berterus terang kepadamu, Ceng-moi, bahwa di antara kita tidak mungkin terdapat ikatan perjodohan karena aku telah bertunangan. Kemudian, Eng-moi ternyata telah tewas. Aku merasa berdosa kepadanya karena tidak mampu melindunginya dan biarpun kami belum menikah, aku menganggap diriku telah menjadi seorang duda. Inilah sebabnya mengapa aku menjadi ragu, apakah aku pantas menjadi jodoh Ceng-moi. Pertama, aku adalah seorang duda yang hidup sebatang kara dan miskin. Kedua, aku merasa berdosa kepada Siok Eng yang telah menantiku dengan setia sampai tewas terbunuh...”
“Akan tetapi engkau tidak bersalah, Giok-ko! Dan engkau sudah membalaskan kematiannya, bukan? Kukira sekarang tiada salah dan halangannya lagi bagi engkau dan Enci Ceng Ceng untuk mengikat perjodohan!”
Mendengar ucapan Li Hong itu, Ceng Ceng lalu bicara dengan suara bernada serius untuk menghentikan adik angkatnya itu bicara lebih banyak tentang urusan perjodohan yang hanya membuat ia dan Cun Giok merasa tidak enak saja.
“Sudahlah, Hong-moi, aku minta dengan sangat agar kita tidak membicarakan lagi urusan itu! Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Pulau Ular!”
Mendengar ucapan yang bernada kering dan melihat wajah Ceng Ceng yang mengerutkan alis sehingga sikapnya berbeda dari biasanya yang ramah, Li Hong tidak berani membantah lagi dan mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat. Karena Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong merupakan orang-orang muda yang lihai sekali dan mereka melakukan perjalanan cepat, maka dalam perjalanan itu mereka tidak menemui rintangan dan tidak lama kemudian mereka telah menyeberang dengan perahu ke Pulau Ular.
********************
Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu menyambut kedatangan tiga orang muda itu dengan gembira dan lega melihat betapa Li Hong dan Ceng Ceng kembali ke Pulau Ular dengan selamat. Apalagi setelah mereka melihat betapa mereka berhasil mendapatkan harta karun Kerajaan Sung yang diperebutkan itu. Ketika Li Hong memperkenalkan Pouw Cun Giok dan pemuda itu memberi hormat kepada kakak ibunya, Tan Kun Tek memegang kedua pundak pemuda itu dengan terharu dan girang.
“Aih, Cun Giok, sungguh bahagia sekali rasa hatiku dapat bertemu dengan putera Adikku Tan Bi Lian! Selama bertahun-tahun ini hatiku ikut merasa berduka mendengar akan nasib kedua orang tuamu. Aku tidak pernah bertemu dengan ibumu semenjak ia menikah dan pergi mengikuti ayahmu.”
“Saya yang mohon maaf kepada Paman dan Bibi karena baru saya ketahui dari Adik Li Hong bahwa mendiang ibu saya mempunyai seorang kakak.”
Ban-tok Niocu yang pernah bertemu dengan Cun Giok dan mengagumi pemuda itu juga menyambut dengan gembira. Perjamuan keluarga diadakan untuk menyambut mereka dan mereka sekeluarga lalu makan minum dengan gembira. Setelah makan mereka duduk di ruangan dalam dan di sini Ceng Ceng diminta untuk menceritakan keberhasilannya menemukan harta karun dari peta yang diwariskan ayahnya kepadanya. Dengan terkadang dibantu tambahan keterangan dari Li Hong dan Cun Giok, Ceng Ceng menceritakan semua pengalamannya di Thai-san sehingga ia akhirnya, dengan bantuan Cun Giok, mendapatkan setengah dari harta karun itu.
Tan Kun Tek dan dua orang isterinya mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa kagum. Akan tetapi mendengar bahwa akhirnya Ceng Ceng hanya mendapatkan setengah harta karun itu, Ban-tok Niocu merasa penasaran dan dengan alis berkerut ia bertanya. “Ceng Ceng, mengapa engkau hanya mendapatkan setengahnya?”
“Yang setengahnya lagi diambil oleh Pangeran Youtechin!” kata Li Hong dengan bersemangat dan wajahya berseri.
“Eh, mengapa begitu? Bukankah harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milikmu karena petanya diwariskan mendiang ayahmu kepadamu, Ceng Ceng?” tegur Ban-tok Niocu.
“Siapa pula itu Pangeran Youtechin?” tanya Tan Kun Tek heran.
Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memberitahu bahwa pangeran itu adalah pemuda yang dulu bernama atau dikenal sebagai Yauw Tek dan yang kini menjadi calon suami Li Hong. Mereka berdua memandang kepada Li Hong dengan pandang mata menuntut agar Li Hong yang memberi penjelasan dan pengakuan!
Dengan gaya yang lincah Li Hong yang maklum akan isi hati kakak misan dan kakak angkatnya, segera berkata kepada ayah dan kedua ibunya. “Begini persoalannya, Ayah dan Ibu berdua! Sebetulnya, setelah mengetahui bahwa Enci Ceng Ceng berniat menyerahkan harta karun kepada wakil rakyat pejuang, para tokoh yang tadinya ikut memperebutkan harta karun lalu mendukung Enci Ceng Ceng. Semua orang mencari harta karun akan tetapi akhirnya, Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng yang berhasil menemukan peti berisi harta karun Kerajaan Sung itu. Kemudian muncul Pangeran Youtechin yang minta agar harta karun diserahkan kepadanya sebagai wakil Kerajaan Goan dan utusan istimewa dari Kaisar.”
“Huh, enak saja! Dasar Pangeran Mongol yang curang dan jahat!” kata Ban-tok Niocu marah.
“Tidak, Ibu, tidak jahat!” Li Hong cepat membela pangeran itu. “Buktinya, dia tidak mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun, bahkan melarang dua orang pembantunya yang lihai, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang hendak merampas harta karun. Dia minta harta karun itu secara baik-baik, mengajukan alasan yang masuk akal.”
“Hemm, alasan masuk akal bagaimana yang dia ajukan?” Kini Tan Kun Tek bertanya kepada Li Hong.
“Begini, Ayah. Pangeran Youtechin mengatakan bahwa harta pusaka itu tadinya milik Kerajaan Sung, akan tetapi karena Kerajaan Sung telah kalah oleh pasukan Mongol maka semua harta miliknya menjadi barang rampasan Kerajaan Goan (Mongol). Pula, harta karun itu ditemukan di Thai-san yang juga menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Goan, maka sudah semestinya menjadi hak milik Kerajaan Goan yang diwakili Pangeran Youtechin. Maka, alasannya itu tak dapat dibantah kebenarannya dan cukup kuat,” kata Li Hong.
“Dan engkau lalu menyerahkan setengah bagian harta karun itu kepadanya, Ceng Ceng?” tanya Ban-tok Niocu.
“Tidak, Ibu.”
Ceng Ceng juga menyebut ibu kepada Ban-tok Niocu karena ia menjadi saudara angkat Li Hong dan otomatis menjadi anak angkat tiga orang tua di Pulau Ular itu. “Pangeran Youtechin berdebat dengan saya, masing-masing mengajukan alasan. Saya sebagai pelaksana pesan terakhir Ayah dan dia sebagai utusan istimewa Kaisar. Masing-masing tidak mau mengalah dan akhirnya Pangeran Youtechin menantang untuk diadakan pi-bu satu lawan satu. Yang menang berhak memiliki harta karun itu.”
“Hemm, aneh sekali! Bagaimana seorang Pangeran Mongol bersikap segagah itu?” tanya Ban-tok Niocu heran.
“Memang Pangeran Youtechin seorang pendekar, Ibu!” kata Li Hong. “Dia pantang bertindak curang, tidak mau mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun melainkan mengajak pi-bu secara adil seperti seorang pendekar!”
“Lalu bagaimana?” Tan Kun Tek ingin sekali mendengar kelanjutan cerita itu.
“Kakak Pouw Cun Giok mewakili saya dalam pi-bu itu. Pangeran itu lalu bertanding melawan Giok-ko. Mula-mula adu tenaga sakti, setelah ternyata sin-kang mereka berimbang kekuatannya, mereka lalu bertanding silat tangan kosong. Juga dalam pertandingan ini mereka berimbang.”
“Wah, hebat juga Pangeran Mongol itu!” kata Ban-tok Niocu yang sudah tahu akan kelihaian Cun Giok.
“Memang pangeran itu lihai sekali, Ibu!” kata Li Hong bangga.
“Kemudian mereka bertanding ilmu pedang. Biarpun ilmu pedang mereka seimbang juga, namun Giok-ko memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi sehingga akhirnya Pangeran Youtechin mengakui kekalahannya,” Ceng Ceng melanjutkan.
“Tentu saja! Giok-ko berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), gin-kangnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kalau tidak demikian, belum tentu pangeran itu kalah!” kembali Li Hong berkata dan jelas suaranya membela Sang Pangeran.
“Nah, kalau Cun Giok menang, berarti harta karun itu menjadi milikmu semua, mengapa hanya setengah dan mengapa pula yang setengah diserahkan kepada pangeran itu?” Ban-tok Niocu bertanya penasaran.
“Kalau tidak saya serahkan setengahnya, pangeran itu sebagai utusan istimewa Kaisar tentu akan menerima hukuman berat karena tugasnya mengalami kegagalan,” kata Ceng Ceng.
“Akan tetapi, peduli apa dia mau digantung atau dipenggal kepalanya? Kenapa kalian begitu melindungi seorang pangeran Mongol yang menjadi wakil Pemerintah Kerajaan Mongol?” tegur Ban-tok Niocu kepada gadis yang kini menjadi anak angkatnya itu.
“Ibu, kami tidak berurusan dengan Pemerintah Goan, melainkan urusan pribadi. Kami tidak ingin Pangeran Youtechin dihukum karena selain dia bertindak adil dan tidak menggunakan kekerasan merampas harta karun dengan pengerahan pasukan yang tentu tidak akan mampu kami lawan, juga mengingat bahwa Pangeran Youtechin itu adalah... calon ipar saya,” kata Ceng Ceng.
“Calon iparmu? Ceng Ceng, apa maksudmu dengan kata-kata itu?” tanya Tan Kun Tek dan semua orang memandang Ceng Ceng dengan mata terbelalak heran.
“Ayah, dengan membagi harta karun, Enci Ceng Ceng telah bertindak bijaksana dan adil. Berarti Enci Ceng Ceng dapat melaksanakan kewajibannya terhadap mendiang ayah kandungnya, dan Pangeran Youtechin juga dapat melaksanakan tugasnya sebagai utusan Kaisar. Dan dengan demikian, tidak terjadi pertempuran besar karena kalau pemerintah mengerahkan pasukan, tentu kami semua tidak mampu melawan. Selain itu, hendaknya Ayah dan Ibu berdua mengetahui bahwa aku telah... bertunangan dengan Pangeran Youtechin...”
“Gila!!” bentak Ban-tok Niocu dengan marah. “Li Hong, gilakah engkau? Bagaimana engkau memilih seorang Pangeran Mongol menjadi calon jodohmu? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan pandai, keturunan terhormat, apakah kurang pendekar-pendekar sakti yang gagah perkasa untuk menjadi jodohmu? Mengapa seorang Pangeran Mongol?”
“Li Hong,” kata Tan Kun Tek yang juga terkejut namun suaranya lebih lembut karena dia merasa tidak berhak memutuskan mengingat bahwa dia baru saja bertemu dengan anak kandungnya yang tumbuh dewasa di bawah asuhan Ban-tok Niocu di Pulau Ular. “Coba kau jelaskan, bagaimana engkau sampai memilih pangeran itu sebagai calon suamimu?”
Biarpun tiga orang tuanya tampak terkejut dan agaknya tidak suka mendengar ia akan berjodoh dengan pangeran itu, Li Hong tetap tenang dan tersenyum. “Ayah dan kedua Ibu, mantu seperti apakah yang kalian inginkan?”
“Tentu saja seorang pendekar seperti kakak misanmu ini!” kata Ban-tok Niocu.
“Ya, kami menginginkan mantu seorang pendekar budiman,” kata Tan Kun Tek dan isterinya yang sejak tadi diam saja hanya mengangguk-angguk membenarkan suaminya.
“Hemm, seorang pendekar seperti Yauw Tek itu?” tanya Li Hong. “Yang sudah kalian kenal kehebatannya itu?”
“Ya, seperti Yauw Tek itu! Oya, mengapa kalian tidak menceritakan tentang Yauw Tek yang dulu menemani kalian berdua pergi mencari harta karun? Ke mana dia dan bagaimana dengan dia?” kata Ban-tok Niocu.
“Ayah dan Ibu berdua, ketahuilah bahwa Yauw Tek itu bukan lain adalah Pangeran Youtechin,” kata Li Hong.
“Apa...?” Tiga orang tua itu terkejut.
“Kalau begitu, ketika dia ke sini itu, dia memang sengaja menyamar dan bermaksud buruk?” tanya Ban-tok Niocu.
“Sama sekali tidak, Ibu,” Li Hong membela kekasihnya. “Dia memang mendengar bahwa Enci Ceng Ceng, pemegang peta harta karun itu, berada di sini. Sebagai utusan Kaisar yang bertugas menemukan harta karun itu, tentu saja dia ingin mendekati Enci Ceng Ceng dan menyelidikinya. Akan tetapi ketika dia sudah dekat dengan pulau kita ini, dia bertemu dengan pasukan pemerintah. Pangeran Youtechin belum lama kembali dari perantauannya ke barat sejak remaja, maka pasukan itu tidak mengenalnya. Dan Pangeran Youtechin yang sedang menyamar juga tidak memperkenalkan diri, maka dia dikeroyok sehingga terluka dan kita menolongnya.”
“Akan tetapi, Li Hong, bagaimana ceritanya sampai engkau... mengambil keputusan bertunangan dengan seorang Pangeran Mongol? Tidak kelirukah pilihanmu itu?” Tan Kun Tek bertanya sambil mengerutkan alisnya dan Nyonya Tan juga menggelengkan kepalanya tanda kurang setuju.
Jantung dalam dada Li Hong berdebar kencang dan mukanya berubah merah ketika ia teringat akan pengalamannya dengan Yauw Tek atau Pangeran Youtechin. Tentu saja ia tidak mau menceritakan kepada siapapun juga bahwa ia telah berhubungan sebagai suami isteri dengan kekasihnya itu!
Melihat Li Hong agaknya ragu dan malu, Ban-tok Niocu tidak sabar dan berkata kepada Ceng Ceng. “Ceng Ceng, engkau yang melakukan perjalanan bersama Li Hong dan Yauw Tek tentu tahu apa yang telah terjadi. Ceritakan kepada kami!”
Ceng Ceng lalu bercerita dengan singkat. “Ketika itu kami bertiga, saya, Hong-moi dan Pangeran Youtechin yang kita kenal sebagai Yauw Tek membantu pihak Ang-tung Kai-pang menghadapi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko beserta anak buah mereka. Kami berhasil mengusir Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, dan sepasang iblis itu melarikan diri. Adik Li Hong mengejar mereka sedangkan saya lalu sibuk mengobati orang-orang Ang-tung Kai-pang yang terluka. Yauw Tek lalu pergi menyusul Hong-moi. Nah, demikianlah dan selanjutnya, saya kira Adik Li Hong sendiri yang akan dapat menceritakan dengan jelas.”
“Apa yang diceritakan Enci Ceng itu benar,” kata Li Hong. “Aku amat benci kepada Hek Pek Mo-ko dan melakukan pengejaran untuk membunuh mereka. Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi gelap, aku kehilangan jejak mereka. Dalam sebuah hutan aku terjebak dalam perangkap lalu tahu-tahu aku tertotok pingsan. Ketika aku siuman, aku telah berada dalam sebuah gubuk, kaki tanganku terikat dan di situ terdapat dua orang laki-laki yang menyeramkan dan tampak jahat sekali. Mereka itu bersikap kurang ajar, memaksa aku minum sesuatu yang membuat tubuhku tidak karuan rasanya dan... dan mereka melucuti pakaianku! Dalam keadaan yang amat gawat tanpa aku dapat melakukan sesuatu itu, tiba-tiba muncul Pangeran Youtechin dan dua orang itu dibunuhnya. Aku ditolong oleh pangeran itu. Nah, Ayah dan Ibu berdua tentu mengerti mengapa aku bertekad untuk berjodoh dengan Pangeran Youtechin. Pertama karena kami memang mencinta, dan kedua... bagaimana aku dapat menikah dengan laki-laki lain kalau Pangeran Youtechin telah melihatku dalam keadaan seperti itu, bertelanjang bulat? Akan tetapi yang lebih penting, aku menilai dia seorang yang bertabiat baik sekali, dan kami berdua saling mencinta!”
Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya hanya dapat saling pandang. Walaupun di dalam hati mereka terdapat perasaan yang kurang puas memiliki seorang mantu Pangeran Mongol, akan tetapi merekapun maklum akan kekerasan hati Li Hong. Dilarang dan ditentang tentu akan percuma karena kalau sudah memiliki kemauan, gadis itu tidak mungkin dapat dilarang lagi. Apalagi Tan Kun Tek dan Nyonya Tan merasa tidak memelihara dan mendidik Li Hong sejak kecil sampai dewasa, mereka tentu saja merasa tidak enak kalau melarang.