Pedang Penakluk Iblis Jilid 02
Lie Bu Tek sudah mendengar tentang perkumpulan baru yang bernama Im-yang-bu pai ini. Di Tiongkok terdapat aliran yang menganut pelajaran atau filsafat Im-yang, sebuah pelajaran filsafat atau kebatinan yang bersumber pada pelajaran Lo Cu. Menurut apa yang di dengar oleh Lie Bu Tek, pada tahun-tahun terakhir ini, sifat dari Im-yang-bu-pai sudah banyak berbeda dengan dahulu, bahkan kalau dulu nama perkumpulannya Im-yang-kauw (Perkumpulan Agama Im Yang) sekarang diubah menjadi lm-yang-bu-pai atau Perkumpulan Silat Im Yang. Buruknya bahwa perhimpulan ini setelah menjadi perkumpulan yang amat kuat, lalu berubah tinggi hati dan memandang rendah kepada golongan lain, apalagi terhadap perkumpulan-perkumpulan agama lain mereka amat menghina dan memandang rendah.
Oleh karena inilah, maka begitu mendengar Liok San minta tolong tanpa ragu-ragu lagi Lie Bu Tek lalu menyerbu dan menangkis pedang tosu itu dengan pedangnya sendiri. Beradunya dua pedang menerbitkan suara nyaring dan tahulah Lie Bu Tek bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka ia segera mainkan pedangnya dan mengeluarkan jurus-jurus ilmu pedang Hoa-san-pai yang paling lihai. Liok San tidak tinggal diam dan membantunya.
Adapun tosu itu, setelah merasa bahwa kepandaian Lie Bu Tek tak boleh dipandang ringan dan ia takkan dapat menang menghadapi dua orang ini, lalu tertawa dan berkata, "Bagus. Hoa-san-pai memang tukang mencampuri urusan orang! Biarlah, Pinnie memberi ampun kali ini. akan tetapi tunggu saja hukuman dari Im -yang-bu-pai." Setelah berkata demikian ia melompat mundur dan lari pergi dari situ.
Liok San hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bu Tek. "Saudara Liok, musuh yang sudah lari tak perlu dikejar."
Liok San menghela napas. "Sayang kita tak dapat bikin mampus keparat itu. Sekarang aku telah membawa-bawa Hoa-san-pai sehingga dimusuhi oleh Im-yang-bu-pai, sungguh membuat hatiku tidak enak sekali terhadap Liang Gi Totiang."
"Saudara Liok, jangan kau berkata begitu. Sejak lama kami mendengar keburukan nama Im-yang-bu-pai, kalau sekarang mereka memusuhi partai kami itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, siapakah tosu tadi dan bagaimana kau dapat bertempur dengan dia di lereng Bukit Hoa-san ini?"
Kembali Liok San menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin hati sakit sekali. Aku telah mengantarkan keponakanku untuk belajar di Hoa-san-pai dan telah diterima oleh Liang Gi Totiang. Bahkan aku tinggal di puncak Hoa-san-pai selama satu pekan. Ketahuilah, Saudara Lie, Kakakku perempuan telah tewas bersama suaminya dalam pertempuran, dikeroyok oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Mula-mulanya terjadi bentrokan antara anggauta-anggauta Kwan-im-pai kami dan anggauta-anggauta Im-yang-bu-pai sehingga tak dapat dielakkan lagi terjadinya pertempuran hebat. Kami dipukul hancur, Kakakku dan suaminya tewas dan aku sendiri dikejar-kejar. Untuk menjaga keselamatan keponakanku, putera tunggal dari Kakakku, aku membawanya kepada Liang Gi Totiang untuk belajar ilmu silat. Keselamatan anak itu terancam karena selama masih ada orang Kwan-im-pai, tentu pihak Im yang-bu-pai tidak akan mau sudah begitu saja. Buktinya, ketika tadi aku turun gunung aku telah diserang oleh seorang di antara mereka dan tentu aku akan tewas kalau kau tidak datang menolong. Karena itu Lie Toako, harap kau merahasiakan adanya Liok Kong keponakanku itu di Puncak Hoa-san. Nah, sekarang selamat tinggal, aku harus mengumpulkan lagi kawan-kawanku yang cerai-berai. Betapapun juga, Kwan-im-pai harus dibentuk lagi dan memperkuat diri."
Liok San menjura lalu pergi dari situ dengan langkah cepat, Lie Bu Tek menggeleng-geleng kepalanya. "Kasihan sekali. Aku masih ingat akan Kakaknya yang bernama Liok Hui seorang wanita yang gagah perkasa."
“Gi-hu, siapakah ketua dari Kwan-im-pai?" tanya Sin Hong.
"Dahulu ketuanya adalah Sin-kun Liu-toanio, seorang nenek yang gagah perkasa dan yang membantu perjuangan merobohkan pemerintah Kin, akan tetapi nenek itu gugur oleh seorang tosu bernama Giok Seng Cu, murid dari seorang tokoh besar dari Tibet yang bernama Pak Hong Siansu. Setelah Sin-kun Liu toanio meninggal dunia, perkumpulan dipimpin oleh dua orang muridnya yakni kakak beradik Liok Hui dan Liok San tadi. Sepak terjang kaum Kwan-im-pai selama ini amat baik dan nama mereka harum di dunia kang-ouw, sekarang mereka dihancurkan oleh Im-yang-bu-pai maka dapat dinilai betapa jahatnya orang-orang Im-yang-bu-pai itu."
Lie Bu Tek lalu membawa Sin Hong naik ke puncak. Perjalanan kali ini amat sukarnya. Tidak saja tanah yang diinjak terdiri dari batu karang yang amat tajam, akan tetapi juga jalan yang naik amat terjal, licin dan terhalang oleh banyak jurang-jurang yang dalam. Kepandaian Sin Hong dalam ilmu silat masih amat rendah, maka tentu saja ia tidak sanggup melalui jalan yang demikian sukar dan berbahayanya. Biarpun ia memaksa untuk terjalan di dekat Lie Bu Tek sehingga sepatunya pecah dan kakinya berdarah, amkhirnya ia harus menyerah dan tak anggup berjalan lebih jauh lagi.
"Gi-hu, aku tidak kuat lagi...” keluhnya.
Liu Bu Tek tertawa. Ia amat kagum melihat kekerasan hati anak ini, baru menyerah kalah setelah kedua kakinya berdarah dan tak dapat berjalan lagi. Kalau sekitranya kedua kaki yang kecil itu tidak terluka dan biarpun sudah amat lelah, ia percaya anak ini tentu takkan mau menyerah begitu saja. Semenjak kecilnya, Sin Hong yang pada luarnya kelihatan lemah-lembut ini memang mempunyai kekerasan hati yang amat luar biasa.
"Mari kau kupondong biar cepat kita tiba di puncak." katanya. Tanpa menanti jawaban, ia menyambar tubuh anak angkatnya dan berlarilah Lie Bu Tek cepat-cepat ke puncak. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi dan dengan pengerahan ilmu lari cepat Cho-sang-hiu (Terbang di Atas Rumput), tanpa banyak`susah Bu Tek telah melalui bagian yang paling sukar dari puncak Hoa-san.
Ketika mereka tiba di puncak Hoa-san, Bu Tek melihat seorang anak laki tengah duduk melamun di depan pondok suhunya. Anak ini usianya kurang lebih sepuluh tahun, berwajah bersih dan bermata cerdik. Akan tetapi. melihat keadaan anak itu, Bu Tek mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa anak itu tentulah Liok Kok Ji, putera dari Liok Hui yang dibawa oleh Liok San ke atas Hoa-san. Yang membuat hati Bu Tek tak senang adalah karena ia melihat anak itu duduk melamun saja di dekat ladang sayur tanaman suhunya, sedangkan cangkul dan keranjang digeletakkan saja di atas tanali, itulah tanda kemalasan, pikir Bu Tek.
"Kau sedang bikin apa di situ?" Bu Tek menegur keras. Anak itu terkejut sekali karena memang Bu Tek sengaja meringankan tindakan kakinya sehingga tahu-tahu telah berada dekat dengan anak itu. Dalam kekagetan serta kegugupannya, anak itu cepat-cepat memegang cangkul dan keranjang dan hendak mulai bekerja!
Bu Tek tersenyum dan menegur lagi. "Bukankah kau yang bernama Liok Kong Ji?”
Anak itu kini melihat bahwa yang menegurnya tadi bukanlah Liang Gi Tojin seperti yang tadi dikiranya. Pada wajahnya yang tampan kelihatan tanda kemendongkolan hatinya, akan tetapi ia pandai menyembunyikan perasaan dan balas menegur.
"Kau ini siapakah berani datang tempat suci! Kalau Suhu melihatmu mengotori tempat ini, kau tentu akan mendapat marah. Tidak tahukah bahwa kau berada di tempat kediaman tokoh besar Hoa-san-pai. Guruku Liang Gi Tojin?
Melihat mata yang bersinar-sinar dan tabah itu, diam-diam Lie Bu Tek memuji bahwa anak ini betapapun juga memiliki semangat besar dan keberanian yang cukup. Sebelum ia menjawab, tiba tiba terdengar suara halus.
"Kong-Ji, jangan kau kurang ajar terhadap Suhengmu!" Maka muncullah seorang tosu tua di dalam pondok.
"Suhu...!" Bu Tek lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek ini sambil menurunkan Sin Hong dari pondongannya.
"Bu Tek, alangkah lamanya kita berpisah. Selama ini, apa saja yang kau alami?" Liang Gi Tojin, kakek itu yang menjadi tokoh pertama dari Hoa-san-pai maju dan memegang kedua pundak muridnya.
Adapun Liok Kong Ji ketika mendengar bahwa orang yang datang bersama anak kecil tadi adalah Lie Bu Tek, suhengnya yang pernah ia dengar namanya dari Liang Gi Tojin segera maju memberi hormat dan berkata, "Suheng, harap maafkan siauw-te yang bodoh dan tak mengenal kakak seperguruan sendiri."
"Tidak apa, Siauw sute.” Kemudian Bu Tek memperkenalkan Sin Hong kepada suhunya dan menuturkan semua pengalamannya. Pada akhir penuturannya ia berkata,
"Wan Sin Hong ini adalah putera tunggal dari Sumoi Thio Ling In dan Wan yen Kan."
"Di mana mereka sekarang?" tanya Liang Gi Tojin.
"Mereka telah dibunuh oleh Ba Mau Hoatsu. Baiknya anak ini sedang dibawa keluar oleh pelayannya. Karena teecu menganggap bahwa anak ini harus mendapat pendidikan sebaiknya, maka teecue membawanya pergi dan sekarang dia sudah cukup besar untuk menerima latihan dari Suhu, oleh karena itu teecu mohon sudilah suhu membimbingnya."
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk dan memandang tajam kepada Sin Hong yang berdiri dihadapannya. Mata kakek yang tajam ini dapat melihat bakat yang amat baik dalam diri anak itu. Ia menghela napas panjang.
"Sudah dapat dibayangkan bahwa nasib Ling In akan menghadapi banyak rintangan dan bahaya dalam perjodohannya dengan Pangeran Wan yen Kan. Ternyata kekhawatiranku terbukti dan guru suaminya sendiri yang datang membunuh mereka. Ah..." Kakek itu memandang kepada Sin Hong. "Anak, apakah kau suka belajar ilmu silat di sini, belajar dari pinto?"
"Locianpwe adalah Suhu dari Gi-hu dan Supek dari mendiang Ibuku, jadi adalah Sucouwku sendiri. Bagaimana teecu tidak suka belajar ilmu silat di sini? teecu suka sekali!"
"Sin Hong, kau ingin belajar ilmu silat untuk apakah?" Tiba-tiba kakek itu bertanya sambil memandang tajam.
Tanpa ragu-ragu Sin Hong menjawab sambil mengangkat kepalanya. "Seperti seringkali teecu dengar dari Gi-hu, teecu mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi terutama sekali agar teecu kelak dapat mencari musuh besar Ayah Bundaku dan memhalas dendam!"
Liang Gi Tojin tersenyum kemudian menarik napas panjang lagi. "Aah, Sin Hong, musuh besarmu itu adalah Ba Mau Hoatsu yang kepandaiannya amat tinggi. Pinto sendiri takkan sanggup mengalahkannya, apalagi engkau. Dengan menguras seluruh pengertianku, kau masih jauh untuk dapat mengalahkannya."
Kata-kata ini memang sesungguhnya dan Bu Tek juga mengerti bahwa suhunya berkata benar. Oleh karena itu ia memandang kepada putera angkatnya dengan hati duka. Tiba-tiba di dalam keadaan sunyi itu, terdengar Liok Kong Ji berkata riang.
"Suhu, mengapa putus asa? Adik Hong setelah tamat belajar dari Suhu dapat melanjutkan pelajarannya, dan teecu akan membantunya, mencari guru-guru yang pandai agar kelak dapat merobohkan Ba Mau Hoatsu!"
Sin Hong melirik ke arah Kong Ji dan melihat pandang mata Kong Ji penuh harapan, ia menjadi girang dan berkata. "Teecu merasa cocok dengan pernyataan tadi. Teecu takkan berhenti belajar untuk kemudian mencari Ba Mau Hoatsu yang sudah membunuh Ayah Bundaku."
"Bagus, bagus, pinto berjanji akan menghabiskan waktu hidup yang tinggal sedikit ini untuk mendidik kalian anak-anak yang malang," kata Liang Gi Tojin dengan girang.
Demikianlah, semenjak hari itu, Kong Ji dan Sin Hong menerima latihan-latihan ilmu silat Hoa-san-pai dari Liang Gi Tojin, dibantu dengan penuh perhatian oleh Lie Bu Tek.
Empat tahun kemudian, tanpa ada gangguan sesuatu, dua orang anak itu menerima gemblengan dari kakek ini dan memperoleh kemajuan pesat sekali. Yang menggirangkan hati Liang Gi Tojin adalah kecerdikan mereka yang luar biasa sehingga kalau dibandingkan dengan murid Hoa-san-pai yang dahulu, mereka berdua menang banyak. Adapun Lie Bu Tek juga tidak menyia-nyiakan waktunya di gunung itu. Ia menerima pelajaran lanjutan dari gurunya sehingga dalam waktu empat tahun, semua ilmu silat Hoa-san-pai telah ia miliki. Liang Gi Tojin sengaja menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Bu Tek dan kelak kalau ia sudah meninggal dunia, Lie Bu Tek yang berhak menjadi ketua Hoa-san-pai.
Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang naik ke Hoa-san. Yang seorang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Orang kedua dan ketiga adalah kakek-kakek berjubah putih. Yang pertama adalah seorang kakek bongkok yang memegang tongkat hitam di tangan kanan dan tongkat putih di tangan kiri, sedangkan orang kedua adalah seorang kakek botak yang pada punggungnya tergantung sepasang pedang. Yang bongkok itu adalah tokoh ketiga Im-yang-bu-pai, bernama Kwa Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi).
Yang kedua dan bertubuh besar pendek adalah tokoh kedua dari Im-yang-bu-pai bernama Lai Tek berjuluk Siang-mo-loam (Sepasang Pedang Iblis). Mereka ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tidak saja di perkumpulan Im-yang-bu-pai mereka menduduki tempat ke dua dan ke tiga dari perkumpulan Im-yang-bu-pai juga di dunia kang-ouw nama mereka amat terkenal karena mereka memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Kenapa keadaannya begini sunyi?” tanya Thian-te Siang-tang Kwa Siang sambil berlari.
"Di dalam dunia ini, yang paling miskin anggauta dan boleh dibilang sudah hampir bangkrut adalah partai Hoa-san-pai." kata Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. "Dahulu memang Hoa-san-pai termasuk partai yang besar dan berpengaruh, ketika empat orang tokohnya masih hidup, yakni Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, Liang Tek Sian-seng, dan Tan Seng Lo-enghiong. Akan tetapi sekarang di antara empat orang tokoh itu hanya tinggal Liang Gi Tojin seorang. Dahulu empat orang tokoh itu pun mempunyai banyak sekali anak murid, akan tetapi sekarang para murid itu banyak yang sudah tewas, dan hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tinggal jauh dari Hoa-san-pai. Agaknya Liang Gi Tojin tidak mau mengumpulkan murid-muridnya dan kalau tidak salah, sekarang orang tua itu hanya tanggal bersama muridnya, yaitu Hui-hong Lie Bu Tek.
"Hm, sudah hampir bangkrut masih saja sombong dan suka mencampuri urusan orang lain." Siang-mo-kiam Lai Tek tokoh ke dua dari Im-yang-bu-pai berkata kurang senang.
"Itulah sebabnya maka mereka harus dibasmi sama sekali agar kelak tidak menyusahkan partai kami saja," kata Giam-ong Ma Ek. Orang tua ini memang menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai setelah ia kena dikalahkan oleh Lie Bu Tek dalam keributan di hari tahun baru sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Adapun dua orang tokoh 1m yang bu-pai itu karena mendengar dari anak murid mereka bahwa Liok San tokoh Kwan-im-pai melarikan diri ke Hoa-san dan dibantu oleh Lie Bu Tek, kini datang untuk membalas dendam pula. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Giam-ong Ma Ek, maka ia lalu mengajak mereka untuk bersama pergi naik ke Hoa-san.
Memang betul apa yang diceritakan oleh Ma Ek tadi. Liang Bi Suthai tokoh ke dua dari Hoa-san-pai telah tewas oleh tokoh-tokoh pembantu pemerintah Kin, Liang Tek Sianseng juga telah meninggal dunia karena sakit. Sedangkan Tan Seng meninggal dunia karena usia tua. Tinggal Liang Gi Tojin seorang diri, yang tiada nafsu lagi untuk berurusan dengan keramaian dunia. Memang kakek ini lebih mengutamakan ilmu batin. Banyak hal-hal yang menyakitkan hati membuat ia makin tidak mempunyai semangat untuk membangun kembali partai Hoa-san-pai. Harapan satu-satunya hanya tergantung kepada mitridn}a, Lie Bu Tek, maka setelah Lie Bu Tek datang membawa Wan Sin Hong, kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk mewariskan kepandaiannya kepada murid tunggal ini, juga tentu saja ia memberi bimbingan kepada dua orang murid cilik yang baru, yakni Wan Sin Hong dan Liok Kong Ji.
Pada saat tiga orang kakek yang mempunyai maksud tidak baik terhadap Hoa-san-pai itu berlari-lari naik bukit, melompati jurang-jurang dengan gerakan laksana burung terbang, Liang Gi Tojin sedang duduk di luar pondok bersama Lie Bu Tek dan dua orang murid cilik. Kini Liok Kong Ji telah berusia empat belas tahun dan Wan Sin Hong sudah dua belas tahun, mereka kelihatan bersikap gagah. Akan tetapi, biarpun Sin Hong lebih muda, ia ternyata lebih halus sikapnya dan lebih luas pandangannya. Hanya dalam kecerdikan ia tidak lebih unggul daripada Kong Ji, bahkan dalam latihan ilmu silat, ia ketinggalan oleh suhengnya ini. Sebaliknya, kalau Sin Hong amat tertarik dan suka mempelajan ilmu surat dan kebatinan, adalah Kong Ji sama sekali tidak mempunyai bakat untuk kepandaian ini.
Empat orang itu sedang menikmati hawa udara yang amat sejuk dan segar di waktu pagi itu, dan menikmati sinar matahan yang menyehatkan tubuh. Liang Gi Tojin bermain catur bersama Sin Hong adapun Kong Ji mendengarkan keterangan tentang ilmu silat dari Lie Bu Tek. Tiba-tiba Lie Bu Tek berkata,
"Ada tamu datang!"
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk karena kakek ini juga sudah tahu, adapun dua orang pemuda cilik itu celingukan mencari-cari, karena mereka belum mengetahui akan hal ini. Baru saja Sin Hong hendak bertanya, berkelebat tiga bayangan orang dan sekejap kemudian tiga orang kakek berdiri di pinggir lapangan di depan pondok sambil tersenyum menyindir.
"Aha, tak kusangka bahwa nama besar Hoa-san-pai akan berakhir di tangan seorang kakek tiada guna tukang main catur dengan seorang bocah," Giam-ong Ma Ek berkata mengejek.
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai tidak berkata apa-apa, akan tetapi mereka lalu menggerakkan lengan baju dan bagaikan dua ekor burung garuda saja mereka melayang ke atas pondok, menginjak pecah genteng dan mengintai ke dalam, juga melihat dari tempat tinggi ke sekeliling pondok. Mereka mencari Liok San yang disangkanya berada di situ. Kemudian mereka melayang kembali ke bawah dan berdiri di belakang Siang-pian Giam-ong Ma Ek.
Melihat gerakan dua orang kakek tadi, diam-diam Lie Bu Tek terkejut sekali demiklan pula Liang Gi Tojin. Menghadapi ketua Bu-cin-pai tidak mengkhawatirkan hati Lie Bu Tek, akan tetapi gerakan yang diperlihatkan oleh dua orang tadi benar-benar hebat sekali.
Liang Gi Tojin berdiri dan menjura ke arah Ma Ek. "Selamat datang di puncak Hoa-san, Sam-wi Bengyu (Tiga Sahabat). Pinto mengenaI Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai sebagai orang gagah perkasa, akan tetapi pinto yang sudah tua dan kurang awas pandangan mata, belum pernah berkenalan dengan Jiwi-enghiong (Dua Orang Gagah) yang ikut datang pula. Keperluan apakah gerangan yang membawa Sam-wi datang di sini?"
Mata Siang-pian Giam-ong Ma Ek menyapu tempat itu dan akhirnya ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan mendelik. "Lebih baik kau bertanya kepada muridmu itu, karena dialah yang memaksa. kami datang menagih hutang kepada Hoa-san-pai."
Liang Gi Tojin tak perlu bertanya karena sesungguhnya ia telah mendengar dari Lie Bu Tek tentang pertempuran antara muridnya itu dengan Siang-pian Giam-ong Ma Ek, dan kemudian betapa Lie Bu Tek menolong Liok San dan serangan anak murid Im-yang-bu-pai. Mengertilah tokoh Hoa-san-pai ini bahwa mereka memang sengaja hendak mencari keributan dan dengan dalih menagih hutang mereka hendak merusak nama baik dan menghacurkan Hoa-san-pai. Sebelum gurunya sempat menjawab, Lie Bu Tek yang merasa bertanggungjawab penuh atas semua perbuatannya, melangkah maju dan berkata kepada ketua Bu-cin-pang itu,
"Siang pian Giam-ong, untuk peristiwa kecil dahulu itu, aku yang bodoh membantu pihak Hek-kin-kaipang yang diperlakukan sewenang-wenang oleh murid-muridmu, dan untuk itu aku pun sudah minta maaf kepadamu. Apakah kau masih penasaran dan hendak menarik panjang perkara itu? Kalau demikian kehendakmu marilah aku bersedia memenuhi kehendakmu dan untuk perkara ini aku Lie Bu Tek yang bertanggung jawab, jangan kau membawa-bawa nama Guruku dan Hoa-san-pai."
Ma Ek tertawa bergelak dengan lagak mengejek sekali. "Ha, ha, ha, kalau buahnya pahit, pohonnya pun buruk. Kalau muridnya tidak baik, gurunya tentu tidak benar. Membasmi pohon busuk harus mencabut sampai dengan akar-akarnya."
"Ma Ek! Kau orang tua tidak putus menerima penghormatan yang muda! Tutup mulutmu yang kotor, sekarang kau sudah datang, mau apakah?" Lie Bu Tek tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi, tangannya bergerak, pedang dicabut dan ia berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
"Lihat, Jiwi-cianpwe, betapa sombongnya orang Hoa-san-pai!" kata Siang pian Giam-ong Ma Ek kepada dua orang tokoh Im-yang-bu-pai. Siang-mo-kiam Lai Tek berkata dengan muka marah, "Ma enghiong, mengapa banyak cakap dengan orang muda ini. Lekas bereskan dia agar jangan memerahkan telinga."
Lie Bu Tek maklum bahwa ketua Bu-cin-pai ini sengaja hendak minta pertolongan dua orang Im-yang-bu-pai itu maka ia menyindir, "Betul, Ma Ek. Mengapa kau seperti anak kecil merengek-rengek, tidak mau turun tangan sendiri? Apakah kau takut padaku?"
Diejek demikian itu, Ma Ek menjadi marah dan ia mencabut siang-piannya. Semenjak kalah oleh Lie Bu Tek, ia memperdalam ilmu silatnya, dari tadi kalau ia sengaja membakar hati dua orang tokoh Im-yang-bu-pai, adalah karena ia merasa gentar melihat Liang Gi Tojin yang sikapnya demikian agung dan tenang.
"Bangsat kecil, kau rasakan pembalasanku!” bentaknya dan sepasang pian di tangannya bergerak ganas menyerang Lie Bu Tek. Jago dari Hoa-san-pai ini tidak menjadi gentar dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api beterbangan ketika dua senjata bertemu.
Ma Ek terkejut sekali. Dibandingkan dengan empat tahun yang lalu, tenaga lweekangnya sudah meninigkat tinggi, akan tetapi mengapa kini tangkisan Lie Bu Tek membuat tangannya tergetar? Ia tentu saja tidak tahu bahwa selama empat tahun itu. kalau ia memperdalam ilmu silatnya dengan tekun, musuhnya ini bahkan telah menguras semua ilmu silat dari Hoa-san-pai dan kini telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan hampir setaraf dengan kepandaian Liang Gi Tojin sendiri. Akan tetapi ia cepat dapat menguasai hatinya dan sepasang pian tangannya diputar cepat sekali, melakukan serangan yang mematikan ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya. Sepasang pian itu bergerak dari jurusan yang berlawanan sehingga merupakan dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, angin sambaran senjata berkesiur mendatangkan hawa dingin.
Namun Lie Bu Tek tidak menjadi gentar. Ila mengimbangi serangan lawan dengan gerakan pedangnya yang lihai. Jurus jurus yang tersulit dan paling berbahaya dari ilmu pedang Hoa-san Kiam hoat ia keluarkan untuk mendesak lawan yang lihai ini. Diam-diam Bu Tek harus akui bahwa kalau saja selama empat tahun ini ia tidak memperdalam kepandaiannya dengan berlatih secara rajin dari suhunya, agaknya ia takkan mampu menghadapi ketua Bu-cin-pai ini. Karena tahu bahwa pihak lawan masih ada dua orang yang kelihatannya amat tangguh, Lie Bu Tek tidak mau membuang banyak tenaga agar dapat menghadapi lain lawan dengan tenaga masih kuat. Ia segera menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa serta mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya.
"Gi-hu pasti menang!" teriak Sin Hong penuh semangat.
Kong Ji yang berdiri di dekatnya tidak berkata apa-apa, hanya diam-diam ia memandang pertempuran itu dan kadang-kadang ia melirik ke arah dua kakek yang pakaiannya hitam itu dengan pandang mata penuh kekhawatiran. Baru saja Sin Hong mengeluarkan kata-kata itu, terdengar suara keras disusul oleh teriakan Ma Ek yang tubuhnya terguling roboh. Ternyata bahwa pedang Bu Tek telah berhasil membabat putus pian di tangan kanannya dan kaki pendekar Hoa-san-pai ini telah mampir di dadanya sehingga tak dapat dicegah lagi kena dikalahkan.
Akan tetapi, sebagai ketua dari sebuah perkumpulan yang berpengaruh dan besar. Siang-pian Giam-ong Ma Ek tidak mau kalah muka dan cepat ia melompat berdiri dengan meringis karena dadanya telah terluka lumayan juga. Dengan siang-pian yang tinggal satu, yakni yang dipegang oleh tangan kiri. ia menyerang lagi! Tiba-tiba tubuhnya terhenti di tengah serangan ini karena lengan kanannya dipegang orang dari belakang pegangan yang amat kuat dan juga membuat ia tidak berdaya.
"Cukup, Saudara Ma Ek, biarkan pinto yang berkenalan dengan pedang Hoa-san-pai yang ganas!" kata orang yaitu memegang tangannya dan ternyata orang itu adalah tokoh ketiga dari Im-yan bu pai, yakni Thian-te Siang-tung Kwa Siang. Ma Ek diam-diam menarik napas lega. tadi pun ia telah merasa bahwa ia bukan tandingan jago dari Hoa-san pai itu, dan kini biarpun ia mengundurkan diri, namun ia masih dapat menjaga mukanya, karena ia berhenti bertempur bukan karena takut, melainkan karena dibujuk oleh Thian-te Siang-tong Kwa Siang. Sementara itu, tokoh ketiga dari Im-yang-bu-pai ini segera melepaskan pegangannya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah berhadapan dengan Lie Bu Tek. Dengan tongkat kanan yang hitam, serta tubuhnya membongkok-bongkok menjadi rendah sekali, kakek ini menuding ke arah muka Lie Bu Tek.
"Orang Hoa-san-pai, ketahuilah bahwa aku Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan suhengku Siang-mo-kiam Lai Tek datang untuk menagih hutang. Kau telah berani membela keparat Liok San dan pukul anak murid kami. Sungguh perbuatan yang amat sombong! Bukankah selamanya Im-yang-bu pai tak pernah pagganggu Hoa-san-pai? Agaknya kau amt menyomhongkan kepandaianmu, maka cobalah kauterima sepasang tongkatku ini!"
Sebelum Lie Bu Tek sempat menjawab, kakek ini sudah menggerakkan tongkat kirinya yang berwarna putih menotok jalan darah Tai-hwi-hiat di tubuh Bu Tek. Tentu saja Lie Bu Tek tidak mudah diserang begitu saja dan cepat mengelak. Akan tetapt tiba-tiba berkelebat sinar hitam dan tongkat hitam tangan kanan lawannya sudah menyerang dengan tusukan ke arah lambungnya. Inilah serangan yang amat lihai dan berbahaya sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini menyerang dengan maksud membunuh.
"Kwa-lo-enghiong, kau menghendaki pertempuran mati-matian? Baiklah, bukan aku yang mulai lebih dulu'" bentaknya dan sekali lagi Bu Tek mainkan pedangnya dengan hebatnya.
Namun kali ini ia menghadapi lawan yang memiliki kepandaian amat lihai. Begitu terbentur dengan tongkat putih ia merasa telapak tangannya dingin. terkejutlah hati Lie Bu Tek. Ia tahu bahwa lawannya itu adalah seorang ahli lwee- keh yang sudah pandai membagi tenaga lweekeh antara keras dun lembek. Tongkat hitam di tangan kanan itu mengandung tenaga lweekang yang keras dan panas, yakni tenaga Yang, sedangkan tongkat kiri yang putih itu mengandung tenaga Im yang lembek. Akan tetapi bahayanya sama saja karena kalau tongkat hitam Itu dapat merusak kulit daging, adapun tongkat putih itu dapat memutus urat dan jalan darah.
"Pergunakan Ngo-heng Kiam-hoat!" Liang Gi Tojin berseru kepada muridnya, karena ia maklum bahwa dengan ilmu pedang biasa saja muridnya tak mungkin dapat membuat kemenangan. Bu Tek segera merubah ilmu pedangnya dan kini pedangnya bergerak-gerak dari lima jurusan dan tenaganya juga berubah-ubah. Baru beberapa belas jurus saja ia dapat mengakui keunggulan lawannya yang benar-benar lihai sekali. Sepasang tongkat hitam dan putih itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dua macam hawa sambaran tongkat yang berlawanan benar-benar membingungkan hati Bu Tek.
Ngo-heng Kiam-hoat ternyata tidak dapat menahan datangnya desakan dari ilmu tongkat Thian-te Siang-tung, betapapun cepat Bu Tek menggerakkan pedangnya, namun pada jurus ke tiga puluh tongkat putih di tangan kiri lawannya dengan tepat telah menotok dada kanannya di bagian jalan darah besar. Bu Tek mengeluarkan seruan kesakitan dan separuh tubuhnya seperti lumpuh, pedangtnya terlepas dari pegangan. Sebelum ia roboh, tongkat hitam lawannya menotok lambungnya dan tubuh Bu Tek terkulai!
"Jangan bunuh Gi-hu!" Sin Hong berseru marah dan melompat ke depan sebelum gurunya sempat mencegahnya. Dengan kepalan tangannya yang kecil ia menerjang dan menyerang Thian-te Sian Tung Kwa Siang, yang tertawa-tawa dan sekali ia menendang, tubuh anak itu terpental dan bergulingan sampai empat tombak jauhnya! Namun Sin Hong biar pun sakit-sakit tubuhnya, melompat lagi dan hendak menyerang, akan tetapi Liang Gi Tojin membentaknya.
"Sin Hong, mundur!" Setelah membentak muridnya, kakek Hoa-san-pai ini lalu melangkah maju dan berkata kepada Thian-te Siang tung, "Setelah kau berlaku kejam kepada muridku, terpaksa pinto harus melupakan usia tua dan minta pelajaran dari Im yang-bu-pai."
"Sute, biar aku menghadapinya." kata Siang-mo-kiam Lai-Tek yang sudah mencabut sepasang pedangnya. Seperti juga tongkat yang dipegang oleh Kwa-Siang, pedang ini ternyata adalah pedang hitam dan putih dan berkilauan cahayanya.
"Liang Gi Tojin, dilihat dari sepak terjang Hoa-san-pai yang semenjak dahulu hanya mengacau dan mencampuri urusan orang lain, mudah diduga bahwa kalau kau bukan seorang tolol, tentu seorang yang tidak bersih. Oleh karena itu setelah Im-yang-bu-pai muncul menjagoi dunia kang-ouw, kami tak dapat membiarkan partai persilatan seperti Hoa-san-pai hidup terus."
Luang Gi Tojin tersenyum, lalu mencabut pedangnya. Dengan tenang ia berkata, "Biarpun kepandaian Hoa-san-pai tidak seberapa, namun dalam pengertian tentang perikebajikan kiranya tidak akan kalah oleh Im-yang-bu-pai. Sejak dahulu punto sudah mendengar tentang lm-yang-kauw (Agama Im Yang), yang sesungguhnya masih merupakan cabang daripada To-kauw, jadi sealiran dengan kebatinan yang kami pelajari. Akan tetapi, semenjak Im-yang-kauw merubah nama menjadi Im-yang-bu-pai, kiranya perkumpulan agama ini berubah menjadi perkumpulan tukang pukul dan ahli-ahli berkelahi yang suka membunuh orang. karena kalian sudah datang di puncak Hoa san pai dan sudah mencelakai muridku, marilah kita main-main sebentar."
Siang-mo-kiam Lai Tek tertawa mengejek. Ia menggerakkan pedang kanan yang hitam terdengar suara mengaung seperti harimau mengaum. Pedang kirinya yang putih digerakkan, terdengar suara angin mengiuk yang amat tajam menusuk telinga. Dengan dua kali gerakan ini saja tokoh Im-yang-bu-pai sudah memperlihatkan kelihaiannya dan diam-diam Liang Gi Tojin terkejut. Ia makum bahwa tenaga dari orang besar pendek ini besar sekali dan juga sepasang pedang itu merupakan pasangan pedang mustika. Yang putih terbuat daripada pek-kim (emas putih) dan yang hitam terbuat daripada batu hitam yang lebih keras daripada besi. Namun ia tidak menjadi gentar.
"Kau lihai Siang-mo-kiam akan tetapi untuk membela nama Hoa san-pai sampai mati pun pinto takkat melangkah mundur."
"Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup dan ingin mampus? Baiklah, mari kuantar kau menghadap Giam-kun (Raja Maut)!" kata Siang-mo-kiam Lai Tek yang menyerang dengan cepatnya. Sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulung sinar hitam dan putih, yang putih bergerak dari atas dan yang hitam bergerak dari bawah atau sebaliknya. Inilah ilmu pedang berdasarkan ilmu pedang Lo-hai-kiam-hoat (Ilmu Pedang Mengamuk Lautan) dari Kun-lun-pai yang telah dioper dan dijiplak oleh Im-yang-bu-pai dan diubah setelah dtsesuaikan dengan ilmu silat Im yang-kiam-hoat mereka.
Liang Gi Tojin sebagai seorang tokoh yang kenamaan tentu saja mengenal Ilmu Pedang Lo-hai-kiam-hoat dari Kun-lun pai ini, akan tetapi oleh karena ilmu pedang ini sudah disatukan dengan Im-yang kiam-hoat serta tokoh ke dua dari Im yang-bu-pai ini memang memiliki kepandaian amat tinggi, kakek Hoa-san-pai ini menjadi kewalahan sekali. Biarpun ia mengerahkaii tenaga dan kepandaian, mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang paling tersembunyi dan lihai, namun tetap saja ia tidak berdaya menahan gelombang desakan sepasang pedang lawan yang amat luar biasa. Dengan nekat kakek Hoa-san-pai ini lalu membarengi serangan lawan. Ketika pedang hitam di tangan kanan lawannya menusuk ke arah perutnya, ia cepat mengelak, miringkan tubuhnya sambil membarengi membabat ke arah leher lawan. Gerakan ini adalah gerakan nekad, karena kalau lawan melanjutkan serangannya, tentu ia akan mati akan tetapi di lain pihak pedangnya tentu akan mengenai sasaran pula!
Siang-mo-kiam Lai Tek tentu saja tidak sudi mengadu nyawa. Cepat sekali menarik pulang pedang hitamnya dan pedangnya yang putih menangkis dengan tenaga "menempel". Dua pedang itu menempel menjadi satu dan tak dapat dipisahkan lagi! Liang Gi Tojin cepat menggerakkan tangan kiri menonjok dada lawan. Akan tetapi ternyata Siang-mo kiam Lai Tek lihai luar biasa. Dengan membagi tenaga lweekangnya, ia menerima pukulan ini dan membarengi mengayun pedang hitamnya.
"Duk!" tubuh Lai Tek terpental setombak lebih akan tetapi tangan kiri kakek Hoa-san-pai itu putus sebatas sikunya! Darah mengalir dengan semburan mengerikan. Sin Hong menjerit ngeri melihat suhunya putus lengannya.
Namun kakek Hoa-san-pai ini benar- benar hebat. Tanpa memperlihatkan sedikit pun rasa sakit, ia mengempit pedangnya dan menggunakan tangan kanan untuk menotok pangkal lengannya, menghentikan darah yang mengalir keluar. Pada saat itu, Lai Tek sudah dapat berdiri kembali dengan wajah pucat. Biar pun ia, telah mengerahkan lweekangnya untuk menahan pukulan tadi, namun masih merasa betapa dadanya sakit dan sukar untuk bernapas. Setelah napasnya normal kembali, dengan amat marah menyerbu lagi!
Kasihan sekali Liang Gi Tojin. Dengan dua tangan masih utuh saja ia sudah terdesak hebat. Apalagi kini ia telah kehilangan tangan kirinya. Biarpun sambil menggigit bibir mempertahankan diri dengan pedangnya, namun dalam jurus ke sepuluh, pedang hitam menusuk dadanya dan pedang putih amblas ke dalam perutnya. Tanpa mengeluarkan sedikit pun suara, kakek ini roboh tak bernyawa lagi.
"Kau... kau membunuh Suhu dan mencelakakan Gi-hu...!" Sambil menangis Sin Hong lalu melompat dan menyerang Lai Tek. Akan tetapi sebelum anak itu dekat dengan Lai Tek, Kwa Siang telah menendangnya lagi dan kini tendangannya jauh lebih keras daripada tadi sehingga tubuh Sin Hong terlempar jauh sekali, bergulingan seperti sebuah bal karet. Namun anak ini tabah sekali. Tanpa memperdulikan rasa sakit ia bangkit lagi dan dengan air mata berlinangan, ia lari menyerbu lagi sambil mengepalkan dua tangannya yang kecil.
"Kubunuh kalian!" serunya, dan kini ia menyerang Kwa Siang. Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, anak yang usianya baru dua betas tahun ini dengan mudah akan dapat merobohkan seorang dewasa biasa.
Akan tetapi ia menghadapi Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke tiga dari Im- yang bu-pai, tentu saja ia tidak berdaya sama kali. Sebuah totokan yang dilakukan dengan sebuah jari, yakni ilmu totok It-ci tiam-hoat (Totokan Satu Jari) dari Go-bi-pai, Sin Hong seketika menjadi kaku dan berdiri seperti patung. totokan itu ditujukan pada jalan darah yang tidak saja dapat membikin orang menjadi kaku, akan tetap, juga mendatangkan rasa sakit yang menusuk jantung. Tiga orang tamu yang menghancurkan Hoa-san-pai itu menduga bahwa mereka akan melihat anak bandel ini menjerit-jerit kesakitan dan minta ampun, akan tetapi, aneh sekali. Anak itu berdiri seperti patung dan sepasang matanya yang masih dapat bergerak, memandang dengan mendelik dengan bibirnya digigit sampai berdarah tanda bahwa anak ini, menahan rasa sakit yang amat hebatnya! Totokan tadi dilakukan pada pusat jalan darah di pundak kanan, di bagian tai-hiat yang melumpuhkan kaki tangan akan tetapi dari leher ke atas masih dapat digerakkan.
"Kau tidak minta ampun?" tanya Lai Tek dengan heran dan kagum sekall. Sin Hong tidak menjawab, hanya mendelikan matanya.
"Ha, ha, ha! Biar kita lihat saja sampai di mana dapat bertahan!" kata Kwa Siang. "Sebelum minta ampun kau takkan kubebaskan."
"Monyet tua, jangan harap aku minta ampun!" kata Sin Hong.
Semua orang tercengang. Akibat totokan ini, kalau orang menutup mulut masih kurang hebat, akan tetapi begtu orang yang tertotok bicara, rasa sakit luar biasa sekali. Akan tetapi anak ini masih berani memaki! Adapun Thian-te Siang-tung Kwa-siang yang dimaki monyet tua oleh Wan Sin Hong, menjadi marah sekali.
"Bocah setan kau harus mampus!" katanya sambil menggerakkan tongkat hitamnya ke arah kepala Sin Hong.
"Sute jangan...!" Lam Tek mencegah sambil memegang pundak kakek bongkok itu.
"Suheng, mengapa kau melarang membunuhnya?"
"Anak ini mempunyai keberanian luar biasa, patut ia menjadi anggauta dan calon jago Im yang-bu-pai!" Sambil berkata demikian, Lam Tek memberi isyarat dengan matanya kepada Kwa Siang.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang maklum akan maksud suhengnya. Memang perkumpulan mereka selalu memandang tinggi orang-orang gagah dan anak ini kalau sampai bisa menjadi anggauta perkumpulan mereka, berarti akan bertambah kuatlah perkumpulan lm-yang bu-pai. Ia pun dapat melihat bahwa dalam diri anak kecil ini terdapat bakat yang luar biasa sekali.
"Kau betul, Suheng." Kemudian menotok bebas tubuh Sin Hong sambil berkata, "Anak baik, aku tadi hanya main-main saja."
Rasa sakit lenyap dari tubuh Sin Hong, akan tetapi anak ini sekarang menjadi lemas dan tidak dapat mengeluarkan suara. Memang Kwa Siang sengaja menawannya agar anak ini mudah dibawa, tidak gaduh dan rewel di tengah jalan.
Selama itu, Liok Kong Ji hanya berdiri dengan muka pucat. la dapat melihat bahwa para tamu tak diundang ini benar-benar lihai sekali dan ia pun merasa gelisah. Biarpun ia masih kecil sekali ketika ayah bundanya tewas dalam pertempuran melawan Im-yang-bu-pai, namun ia masih ingat dengan baik bahwa musuh-musuh besar ayah bundanya adalah orang-orang inilah. Mereka tentu akan membunuhnya kalau mengetahui bahwa dia adalah putera dari ketua Kwa-im-pai.
"He, kau... siapakah namamu? Apakah kau juga murid Liang Gi Tojin?" tanya Lam Tek kepada Kong Ji.
Diam-diam Sin Hong memandang dan hendak melihat sikap suhengnya itu. Alangkah heran clan kagetnya ketika ia melihat Kong Ji tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Lam Tek sambil menangis.
"Locianpwe, teecu adalah seorang anak sebatangkara yang dipaksa oleh bangsat Lie Bu Tek dibawa naik ke gunung ini dan dijadikan pelayan! Orang tua teecu bahkan dibunuh olehnya. Dendam teecu setinggi langit, maka sekarang Samwi Locianpwe datang ke sini membasmi Hoa-san-pai berarti teecu terbebas dari kesengsaraan! Teecu mohon sudilah Locianpwe menerima teecu sebagai murid Im-yang-bu-pai. Teecu berjanji untuk belajar dengan baik dan kelak dapat menjunjung tinggi nama baik Im-yang-bu-pai!"
Sin Hong hampir tak dapat mempercayai telinganya sendiri. Kalau saja dapat bicara tentu akan memaki Kong Ji.
"Hmm, begitukah?" kata Lai Tek sambil memandang tajam. Ia dapat melihat pula bahwa Kong Ji mempunyai tubuh yang amat baik dan bakat besar untuk menjadi ahli silat, terutama sekali sepasang mata anak itu membayangkan kecerdikan luar biasa. "Siapa namamu?"
"Teecu bernama Kong Ji, she Lui. Ayah telah dibunuh oleh Lie Bu Tek yang tergila-gila kepada lbu teecu. Akhirnya, karena Ibu tidak sudi menuruti kehendaknya, Ibu pun dibunuh..." Kembali Kong Ji menangis sedih.
Tiba-tiba Lai Tek mencabut pedangnya. Sin Hong sudah merasa girang karena mengira bahwa Lai Tek tentu tahu akan kebohongan Kong Ji dan hendak membunuh anak durhaka itu. Akan tetapi Kong Ji tidak takut sama sekali dan memandang dengan matanya yang tajam. Lai Tek bukan hendak membunuhnya, bahkan memberikan pedang itu yang berwarna hitam kepada Kong Ji sambil berkata. "Kau benar-benar telah dibikin sengsara oleh Lie Bu Tek. Nah, ambil pedang ini dan balaslah sakit hatimu. Kau boleh membunuhnya!"
Kong Ji menerima pedang itu dan berjalan menghampiri tubuh Lie Bu Tek yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya lagi. Setelah terkena totokan-totokan tongkat Kwa Siang, Lie Bu Tek tak dapat bangun kembali dan biarpun pancainderanya masih bekerja, ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Ia pun mendengar akan semua yang dikatakan oleh Kong Ji dan kini ia melihat anak itu mendekati sambil membawa pedang hitam dari Lai Tek!
Sin Hong membuka matanya dan mukanya pucat. Apakah yang akan dulakukan oleh Kong Ji? la melihat Kong Ji mendekati Lie Bu Tek dan mengangkat pedang hitam! Kemudian pedang itu digerakkan dengan cepat dan kuat ke bawah dan... lengan kanan Lie Bu Tek terbabat putus pada pangkalnya dekat pu dak! Lie Bu Tek tak mengeluarkan suara akan tetapi rasa sakit membuatnya jatuh pingsan. Wan Sin Hong merasa begitu kaget, marah, dan sakit hati sampai-sampai ia pun roboh tak sadarkan diri, melihat peristiwa hebat yang mengerikan hatinya itu.
Lai Tek melompat dan sekali tangannya bergerak, ia telah merampas pedang dari tangan Kong Ji. "Kong Ji, mengapa kau tidak menebas batang lehernya dan hanya memotong lengannya?" bentaknya menegur.
Kong Ji cepat berlutut di depan Siang-mo-kiam Lai Tek. "Mohon ampun sebanyaknya, Locianpwe. Ada dua hal yang memaksa teecu tidak mau membunuh jahanam itu. Pertama karena teecu merasa malu dan tidak sampai hati membunuh seorang yang sudah tak berdaya biarpun dia musuh besarku. Ke dua, karena teecu selamanya akan masih merasa penasaran kalau teecu membunuhnya sekarang karena ia roboh bukan karena oleh teecu. Teecu ingin belajar ilmu kepandaian yang kelak akan dapat teecu pergunakan untuk membalas dendam dan mengalahkannya dengan kedua tangan teecu sendiri."
"Ha-ha-ha-ha! Lai-suheng, kau benar. anak ini amat mengagumkan. Aku sendiri yang akan membimbingnya agar ia dapat memiliki kepandaian yang melebihi semua orang Hoa-san-pai. Lagi pula, kalau satu-satunya keturunan Hoa-san-pai dibinasakan, siapa kelak yang akan menggembirakan hati kita? Biarkan Lie Bu Tek hidup dan kita sama lihat saja apakah kelak dia masih berani menjual kepandaian. Ha-ha-ha! Akan luculah kalau. Lie Bu Tek yang tinggal sebelah tangan itu berani mencari kita untuk membuat perhitungan terakhir!"
"Sute, urusan sudah beres. Mari kita segera kembali!" kata Lai Tek yang segera menjura ke arah Siang-pian Giam-ong Ma Ek. "Ma-enghiong, kita berpisah di sini saja. Pulanglah ke Keng-sin-bun dan setiap kali perkumpulan Bu-can-pang hendak mengadakan atau melakukan sesuatu, jangan lupa memberi laporan kepada kami!"
Di dalam hatinya Ma Ek merasa mendongkol sekali. Bu-cin-pai atau Bu-cin pang adalah perkumpulannya yang besar dan ternama, sekarang eleh pihak Im-yang-bu-pai dipandang sebagai perkumpulan kecil saja. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa melainkan membalas dengan penghormatan dan menganggukkan kepala. Kemudian ia pergi dari situ dengan hati puas, karena ia telah berhasil membasmi Hoa-san-pai, yang takkan mungkin ia lakukan tanpa bantuan dua orang tokoh Im-yang-bu pai ini.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang memondong Kong Ji sedangkan Lai Tek juga mengempit tubuh Sin Hong dan kedua orang kakek yang lihai ini cepat berlari seperti terbang turun dari Hoa-san, meninggalkan Liang Gi Tojin yang sudah tewas dan Lie Bu Tek yang berada dalam keadaan setengah mati.
Lie Bu Tek menderita kesakitan hebat. Baiknya tubuhnya telah terlatih baik sehingga tak lama kemudian ia dapat siuman kembali sebelum darahnya habis mengalir keluar dari luka di pangkal lengannya. Ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam. Dengan amat susah payah barulah ia berhasil membebaskan diri dari totokan yang lihai dari sepasang tongkat Thian-te Siang-tung Kwa Siang.
Sambil menggigit bibir, ia menggerakkan tangan kirinya dan menotok jalan darah di pundak kanan untuk nienghentikan darahnya yang terus mengalir keluar. Dengan jalan ini barulah ia dapat mencegah darahnya mengalir habis. Kemudian dengan susah payah ia bangun dan duduk bersila, mengatur pernapasannya untuk mengobati luka yang dideritanya di dalam tubuh. Ia berusaha sekeras mungkin untuk melupakan keadaan suhunya yang mati berbaring di atas tanah tidak jauh dari tempat ia duduk. Pada saat seperti itu ia harus dapat melapangkan dada dan mengosongkan pikiran. Ia harus hidup bukan saja untuk membalas penghinaan dari Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga untuk mencari Sin Hong yang dibawa lari oleh musuh.
Tak lama kemudian sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali berlari-lari naik ke puncak Hoa-san. Bayangan ini adalah seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun akan tetapi masih nampak nyata kecantikannya. Ketika melihat keadaan di tempat pertempuran tadi, wanita itu mengeluarkan seruan tertahan dan cepat-cepat ia berlari menghampin Lie Bu Tek.
"Lie Bu Tek Taihiap... kau kenapakah?"
Bu Tek membuka matanya dan melihat wanita ini, wajahnya berubah. "Kiang Cun Eng, kau datang mau apakah. Apa kau juga hendak memusuhi Hoa-san-pai?"
Kiang Cun Eng mengerutkan kening melihat betapa tangan Bu Tek tinggal sebelah, ketika ia mengikuti pandang mata pendekar itu, ia lebih terkejut lagi lihat mayat Liang Gi Tojin di atas tanah.
"Taihiap...!" Apakah yang terjadi? Siapa yang begitu kurang ajar melakukan semua ini? Siapa yang memhunuh Liang Gi Tojin dan melukaimu? Katakan, aku bersumpah untuk mengejar dan membinasakannya'" seru wanita itu yang bukan lain adalah Kiang Cun Eng ketua dari Hek-kin Kaipang.
Bu Tek menggelengkan kepalanya. "Takkan ada gunanya. Mereka amat lihai. Yang datang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pang. Akan tetapi, yang lebih lihai adalah dua orang kawannya, yakni Thian-te Siang-tung Kwa-Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek, tokoh kedua dan ketiga dari Im yang-bu pai."
"Keparat! Aku akan mengerahkan kawan-kawan untuk membalas dendam ini!" seru Kiang Cun Eng, kemudian wanita ini berlutut dan memegang pundak Bu Tek sambil berlinang air mata. "Taihiap, alangkah buruk nasibmu… Sudah bertahun-tahun aku mencarimu tanpa hasil. Baru-baru ini aku mendengar dari anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang bahwa kau menolong mereka dari tangan orang-orang Bu-cin-pang. Oleh karena itu aku segera menyusul ke sini untuk menyatakan terima kasihku. Tak tahunya aku terlambat... kau telah dicelakai orang. Aku bersumpah untuk membalaskan sakit hatimu ini, Taihiap..."
Melihat orang menangis sambil megangi pundaknya, Bu Tek terharu sekali. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu mudanya. Pernah ia terlibat dalam urusan asmara dengan ketua Hek-kin-kaipang ini, dan biarpun wanita ini mempunyai watak yang buruk dan mata keranjang, namun belum pernah Kiang Cun Eng melakukan perbuatan jahat. Sekarang ia tidak berdaya, dan orang satu-satunya yang dapat diminta tolong hanya Hwa I Enghiong Go Ciang Le. Akan tetapi ia tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu, maka sekarang harapan satu-satunya tinggal pada ketua Hek-kin kaipang ini.
"Cun Eng, sudahlah jangan menangis. Apakah benar-benar kau sudi menolongku?”
"Tentu saja! Tidak saja aku mengingat perhubungan kita yang lalu," sampai di sini merahlah mukanya dan biarpun ia sudah setengah tua akan tetapi masih kelihatan cantik, "akan tetapi juga pihakku kini sudah menjadi musuh Bu-cin-pang dan lm-yang bu-pai. Katakan saja cara bagaimana aku dapat menolongmu, Taihiap. Apakah aku harus merawatmu dan mengurus jenazah Gurumu?”
"Bukan, Cun Eng. Kau tinggalkan saja, aku sendiri akan sanggup mengurus jenazah Suhu. Akan tetapi... yang amat menggelisahkan hatiku, adalah nasib Wan Sin Hong, anak angkatku. Dia dibawa pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Kuakejarlah mereka, akan tetapi jangan kau turun tangan, karena kau takkan menang. Mereka amat lihai. Pergunakan akal agar supaya kau dapat rampas kembali anak itu. Kasihan dia...”
"Baik. Taihiap. Akan kulakukan sekarang juga. Akan tetapi Kau perlu dirawat..."
"Tak usah, kau pergilah, Cun Eng. Aku Lie Bu Tek akan berterima kasih sekali kepadamu kalau kau dapat menolong Wan Sin Hong. Setelah kau berhasil merampasnya dari tangan orang-orang, Im-yang-bu-pai, kau bawalah dia ke Gunung Lu-liang-san, hadapkan dia kepada Luliang Sam Lojin (Tiga Kakek dari Gunung Luliang), mohon perlindungan kepada tiga Locianpwe itu. Hanya di sanalah Sin Hong akan selamat dan terbebas dari ancaman orang-orang Im-yang-bu-pai."
Mendengar disebutnya Luliangsan, Kiang Cun Eng kelihatan terkejut. "Kesana...? Taihiap, tidak tahukah kau bahwa sekarang ini Luliangsan sedang menjadi buah bibir semua tokoh kang-ouw? Bahwa kukira tak lama lagi semua orang gagah akan menyerbu ke sana untuk mencari dan merampas kitab peninggalan Pak Kek Siansu?"
Bu Tek mengangguk. "Aku sudah mendengar akan hal itu. Menurut desas-desus, mendiang Pak Hong Siansu membuka rahasia bahwa Pak Kek Siansu meninggalkan sebuah pedang yang disebut Pak-kek-sin-kiam (Pedang Sakti dari Kutub Utara) dan sebuah kitab pelajaran Ilmu Pedang Pak-kek Kitam-sut dan Ilmu Silat Pak kek Sin-ciang. Akan tetapi hal itu kebetulan sekali. Kalau kau membantu Sin Hong ke sana. tidak saja ia berada di tempat yang aman karena kepanddian ketiga Luliang Sam-lojin amat tinggi. Juga kalau Luliang-san diserang orang, tentu Taihiap Go Ciang Le akan melindungi gunung itu dan karenanya. Kalau ia melihat Sin Hong tentu ia akan membela anak itu."
"Lie Bu Tek Taihiap, kau tadi katakan bahwa anak yang bernama Wan Sin Hong itu adalah anak angkatmu. Sebenarnya putera siapakah?"
"Dia itu putera sumoiku yang telah tewas oleh musuh. Sudahlah, Cun Eng, kalau memang berkemauan baik, lekas susul orang-orang Im yang-bu-pai itu dan tolonglah Sin Hong...." Kiang Cun Eng lalu bangkit berdiri dan berkata perlahan.
"Lie Bu Tek Tai-hiap, mengingat hubungan kita dahulu, aku akan menolong anak itu dan kalau perlu akan menyediakan nyawaku untuk menolong dia memenuhi permintaanmu. Selamat tinggal...”
"Cun Eng, kau benar-benar mulia. Semoga Thian melindungi...." kata Lie Bu Tek terharu sambil memandang tubuh wanita itu yang mulai berlari cepat turun gunung.
Kiang Cun Eng adalah ketua dari Hek kin-kaipang, sebuah perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh. Anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang tersebar luas di seluruh kota dan jumlah mereka sampai ribuan orang. Oleh karena itu, begitu turun dari Hoa-san, Cun Eng dapat mengumpulkan orang-orangnya. Mudah saja baginya untuk mencari tahu ke jurusan mana orang orang Im-yang-bu-pai itu lari, dan cepat ia lalu mempergunakan seekor kuda yang baik untuk mengejar. Di samping ini ia pun memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan persiapan dan menyelidiki keadaan dua orang tokoh besar itu. Ia maklum bahwa kalau sampai dua orang tokoh besar itu membawa Sin Hong ke kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san yang menjadi pusat perkumpulan Im- yang bu-pai, akan sukarlah baginya merampas anak itu. Jalan satu-satunya adalah berusaha merampasnya di tengah perjalanan.
Tanpa mengingat lelah, siang malam Kiang Cun Eng membalapkan kudanya, bertukar-tukar kuda di tiap kota di mana anak buah Hek-kin-kaipang sudah siap untuk membantu ketua mereka. Dengan cara inilah ketua Hek-kin-kaipang ini berhasil mendahului perjalanan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek yang membawa dua orang anak dan sedang menuju ke Lam-si. Kiang Cun Eng menyebar mata-mata di setiap kota dan gerak-gerik kedua orang ini diawasi baik-baik oleh semua pengemis anggauta Hek-kin kaipang. Dari penyelidikan ini tahulah Kian Cun Eng, yang mana adanya Wan Sin Hong, karena tadinya ia ragu-ragu melihat bahwa dua orang tokoh itu membawa dua orang anak kecil. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidiknya, terharulah hati Cun Eng.
Di sepanjang jalan, Sin Hong diperlakukan buruk sekali. Hal ini adalah karena sikap yang keras kepala dari anak ini, sama sekali tidak sudi memperlihatkan sikap tunduk. Biarpun disiksa, tidak diberi makan dan diancam, tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan kepada dua orang tokoh 1m yang-bu-pai itu. Apa lagi terhadap Kong Ji, Sin Hong memperlihatkan sikap membenci dan menghina sekali. Tak pernah ia mau bicara dengan Kong Ji, dan pandang matanya seakan- akan ia hendak menghancurkan kepala Kong Ji. Sebaliknya, Kong Ji amat cerdik. Ia pandai mengambil hati dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga ia makin disayang. Bahkan atas bujukan Kong Ji, Sin Hong amat dibenci oleh kedua orang tua itu sehingga kalau saja Lui Tek tidak sayang melihat keberanian Sin Hong, ia tentu sudah dibunuh di tengah perjalanan.
"Kalian boleh lakukan apa yang kalian suka kepadaku, akan tetapi dengarkanlah. Aku Wan Sin Hong bersumpah bahwa aku akan membalas kejahatan Im yang-bu-pai, Bu-cin-pang dan anjing hina dina ini yang mengaku bernama Lui Kong Ji!” Suara ini adalah makian yang keluar dari mulut Wan Sin Hong ketika untuk ke sekian kalinya Kong Ji memukul sesuka hati atas perintah kedua orang tokoh Im-yang-bu-pai.
Mereka berempat telah tiba di dalam sebuah hutan di sebelah barat daerah gunungan Kim-san dan bermalam di sebuah kuil tua yang sudah kosong. Seperti biasa, Sin Hong memperlihatkan sikap bermusuhan dan kali ini secara main-main Lai Tek menyuruh Kong Ji yang mencoba untuk memaksa Sin Hong hertekuk lutut dan minta ampun. Akan tetapi, biarpun pukulan-pukulan Kong Ji telah membuat darah keluar dari bibirnya yang pecah-pecah, hasilnya malahan membuat Sin Hong naik darah dan ia memaki-maki serta menyumpah nyumpah.
"Ha-ha-ha, Sin Hong. Kau benar-benar tak tahu diri. Sebentar lagi akan mampus, bagaimana kau masih dapat bersumpah untuk membalas dendam,” kata Kong Ji tak kenal malu. Anak ini benar-benar cerdik, ia tak khawatir kalau-kalau Sin Hong akan membuka rahasianya bahwa dia adalah keturunan ketua Kwan-im-pai, karena ia tahu akan kejantanan hati Sin Hong. Pantang bagi Sin Hong untuk mengkhianatinya, biarpun ia telah berlaku jahat kepada Sin Hong. Hal ini ia yakin betul apalagi kalau dipikir bahwa ia telah berhasil merebut hati kedaua orang tokoh Im yang-bu-pai sehingga kalau sekiranya Sin Hong membuka mulut membongkar rahasianya, dua orang itu tak mau percaya kepada murid termuda dari Hoa-san-pai itu.
"Kong Ji, baik masih hidup maupun sudah mati, aku selalu akan mengejarmu dan membalas dendam. Kalau masih hidup, kelak kedua tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu, kalau aku sudah mati nyawaku akan menjadi setan penasaran yang akan mengejarmu selama kau masih hidup!"
Pucat wajah Kong Ji mendengar ini. Biarpun kata-kata ini dikeluarkan oleh seorang anak kecil, akan tetapi kehebatannya membuat bulu tengkuknya merenung saking seramnya. Juga dua orang tokoh Im-yang-bu-pai saling pandang dan merasa mengkirik. Hebat sekali keteguhan hati anak ini dan mereka mau tidak mau memandang kagum kepada anak kecil yang usianya paling banyak baru dua belas tahun itu. Sin Hong dengan muka benjol-benjol dan bibir berdarah, berdiri dengan kedua kaki dipentang lebar, dalam bayangan api lilin ia kelihatan amat gagah dengan sepasang mata bersinar-sinar, kedua tangan dikepal.
"Suheng, kalau tidak dihabiskan, anak ini benar-benar merupakan bahaya besar di kemudian hari," kata Kwa Siang samhil menundukkan muka, tidak kuat menentang pandang mata Sin Hong yang berapi-api dari sepasang mata kecil yang jarang berkedip itu.
Siang-mo-kiam Lai Teak menarik napas panjang. "Sayang bahan yang sebaik ini terpaksa harus dilenyapkan. Tunas begini baik terpaksa harus dicabut. Tak kusungka hatinya sekeras baja, pendiriannya sekokoh bukit. Memang tidak ada jalan lain kecuali melenyapkannya, karena dia ini kelak memang merupakan bahaya besar bagi Im-yang-bu-pai."
“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu membunuh tikus bermulut jahat ini!" kata Kong Ji girang. Anak ini memang akan -merasa amat lega dan gembira kalau Sin Hong sampai tewas, karena bahaya satu-satunya bahwa rahasianya akan terbongkar berada di tangan Sin Hong. Kalau Sin Hong mati, tentu ia akan aman dan dapat melanjutkan cita-citanya, yakni ilmu silat dari Im-yang-bu-pai, yang mempunyai banyak orang pandai.
Kwa Siang mengangguk. "Lakukanlah!” Biarpun Kwa Siang sudah amat biasa membunuh orang tanpa berkedip mata, -melihat kegagahan Sin Hong yang sedemikian rupa ia menjadi lemah dan tidak tega untuk menjattuhkan tangan maut kepada anak luar biasa ini.
Kong Ji pernah belajar ilmu silat, tidak saja dari orang tuanya, juga pamannya yaitu Liok San, dan paling akhir ia belajar dari Liang Gi Tojin, oleh karena ini, tanpa sebuah senjata pun di tangan, tentu saja ia tahu bagaimana harus mengirim pukulan tangan kosong untuk merenggut nyawa. Selama ini ia berhati-hati sekali sehingga dalam setiap gerakannya, tidak terlihat ilmu dari Kwan-im-pai dan ia hanya memperlihatkan ilmu silat Hoa-san-pai yang memang tidak mengherankan orang karena ia sudah berada empat tahun di puncak Gunung Hoa-san. Sambil tersenyum mengejek dan matanya yang tajam itu berapi dan kejam sekali, Kong Ji berjalan perlahan menghampiri Sin Hong...
Oleh karena inilah, maka begitu mendengar Liok San minta tolong tanpa ragu-ragu lagi Lie Bu Tek lalu menyerbu dan menangkis pedang tosu itu dengan pedangnya sendiri. Beradunya dua pedang menerbitkan suara nyaring dan tahulah Lie Bu Tek bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka ia segera mainkan pedangnya dan mengeluarkan jurus-jurus ilmu pedang Hoa-san-pai yang paling lihai. Liok San tidak tinggal diam dan membantunya.
Adapun tosu itu, setelah merasa bahwa kepandaian Lie Bu Tek tak boleh dipandang ringan dan ia takkan dapat menang menghadapi dua orang ini, lalu tertawa dan berkata, "Bagus. Hoa-san-pai memang tukang mencampuri urusan orang! Biarlah, Pinnie memberi ampun kali ini. akan tetapi tunggu saja hukuman dari Im -yang-bu-pai." Setelah berkata demikian ia melompat mundur dan lari pergi dari situ.
Liok San hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang oleh Lie Bu Tek. "Saudara Liok, musuh yang sudah lari tak perlu dikejar."
Liok San menghela napas. "Sayang kita tak dapat bikin mampus keparat itu. Sekarang aku telah membawa-bawa Hoa-san-pai sehingga dimusuhi oleh Im-yang-bu-pai, sungguh membuat hatiku tidak enak sekali terhadap Liang Gi Totiang."
"Saudara Liok, jangan kau berkata begitu. Sejak lama kami mendengar keburukan nama Im-yang-bu-pai, kalau sekarang mereka memusuhi partai kami itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, siapakah tosu tadi dan bagaimana kau dapat bertempur dengan dia di lereng Bukit Hoa-san ini?"
Kembali Liok San menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin hati sakit sekali. Aku telah mengantarkan keponakanku untuk belajar di Hoa-san-pai dan telah diterima oleh Liang Gi Totiang. Bahkan aku tinggal di puncak Hoa-san-pai selama satu pekan. Ketahuilah, Saudara Lie, Kakakku perempuan telah tewas bersama suaminya dalam pertempuran, dikeroyok oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Mula-mulanya terjadi bentrokan antara anggauta-anggauta Kwan-im-pai kami dan anggauta-anggauta Im-yang-bu-pai sehingga tak dapat dielakkan lagi terjadinya pertempuran hebat. Kami dipukul hancur, Kakakku dan suaminya tewas dan aku sendiri dikejar-kejar. Untuk menjaga keselamatan keponakanku, putera tunggal dari Kakakku, aku membawanya kepada Liang Gi Totiang untuk belajar ilmu silat. Keselamatan anak itu terancam karena selama masih ada orang Kwan-im-pai, tentu pihak Im yang-bu-pai tidak akan mau sudah begitu saja. Buktinya, ketika tadi aku turun gunung aku telah diserang oleh seorang di antara mereka dan tentu aku akan tewas kalau kau tidak datang menolong. Karena itu Lie Toako, harap kau merahasiakan adanya Liok Kong keponakanku itu di Puncak Hoa-san. Nah, sekarang selamat tinggal, aku harus mengumpulkan lagi kawan-kawanku yang cerai-berai. Betapapun juga, Kwan-im-pai harus dibentuk lagi dan memperkuat diri."
Liok San menjura lalu pergi dari situ dengan langkah cepat, Lie Bu Tek menggeleng-geleng kepalanya. "Kasihan sekali. Aku masih ingat akan Kakaknya yang bernama Liok Hui seorang wanita yang gagah perkasa."
“Gi-hu, siapakah ketua dari Kwan-im-pai?" tanya Sin Hong.
"Dahulu ketuanya adalah Sin-kun Liu-toanio, seorang nenek yang gagah perkasa dan yang membantu perjuangan merobohkan pemerintah Kin, akan tetapi nenek itu gugur oleh seorang tosu bernama Giok Seng Cu, murid dari seorang tokoh besar dari Tibet yang bernama Pak Hong Siansu. Setelah Sin-kun Liu toanio meninggal dunia, perkumpulan dipimpin oleh dua orang muridnya yakni kakak beradik Liok Hui dan Liok San tadi. Sepak terjang kaum Kwan-im-pai selama ini amat baik dan nama mereka harum di dunia kang-ouw, sekarang mereka dihancurkan oleh Im-yang-bu-pai maka dapat dinilai betapa jahatnya orang-orang Im-yang-bu-pai itu."
Lie Bu Tek lalu membawa Sin Hong naik ke puncak. Perjalanan kali ini amat sukarnya. Tidak saja tanah yang diinjak terdiri dari batu karang yang amat tajam, akan tetapi juga jalan yang naik amat terjal, licin dan terhalang oleh banyak jurang-jurang yang dalam. Kepandaian Sin Hong dalam ilmu silat masih amat rendah, maka tentu saja ia tidak sanggup melalui jalan yang demikian sukar dan berbahayanya. Biarpun ia memaksa untuk terjalan di dekat Lie Bu Tek sehingga sepatunya pecah dan kakinya berdarah, amkhirnya ia harus menyerah dan tak anggup berjalan lebih jauh lagi.
"Gi-hu, aku tidak kuat lagi...” keluhnya.
Liu Bu Tek tertawa. Ia amat kagum melihat kekerasan hati anak ini, baru menyerah kalah setelah kedua kakinya berdarah dan tak dapat berjalan lagi. Kalau sekitranya kedua kaki yang kecil itu tidak terluka dan biarpun sudah amat lelah, ia percaya anak ini tentu takkan mau menyerah begitu saja. Semenjak kecilnya, Sin Hong yang pada luarnya kelihatan lemah-lembut ini memang mempunyai kekerasan hati yang amat luar biasa.
"Mari kau kupondong biar cepat kita tiba di puncak." katanya. Tanpa menanti jawaban, ia menyambar tubuh anak angkatnya dan berlarilah Lie Bu Tek cepat-cepat ke puncak. Dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi dan dengan pengerahan ilmu lari cepat Cho-sang-hiu (Terbang di Atas Rumput), tanpa banyak`susah Bu Tek telah melalui bagian yang paling sukar dari puncak Hoa-san.
Ketika mereka tiba di puncak Hoa-san, Bu Tek melihat seorang anak laki tengah duduk melamun di depan pondok suhunya. Anak ini usianya kurang lebih sepuluh tahun, berwajah bersih dan bermata cerdik. Akan tetapi. melihat keadaan anak itu, Bu Tek mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa anak itu tentulah Liok Kok Ji, putera dari Liok Hui yang dibawa oleh Liok San ke atas Hoa-san. Yang membuat hati Bu Tek tak senang adalah karena ia melihat anak itu duduk melamun saja di dekat ladang sayur tanaman suhunya, sedangkan cangkul dan keranjang digeletakkan saja di atas tanali, itulah tanda kemalasan, pikir Bu Tek.
"Kau sedang bikin apa di situ?" Bu Tek menegur keras. Anak itu terkejut sekali karena memang Bu Tek sengaja meringankan tindakan kakinya sehingga tahu-tahu telah berada dekat dengan anak itu. Dalam kekagetan serta kegugupannya, anak itu cepat-cepat memegang cangkul dan keranjang dan hendak mulai bekerja!
Bu Tek tersenyum dan menegur lagi. "Bukankah kau yang bernama Liok Kong Ji?”
Anak itu kini melihat bahwa yang menegurnya tadi bukanlah Liang Gi Tojin seperti yang tadi dikiranya. Pada wajahnya yang tampan kelihatan tanda kemendongkolan hatinya, akan tetapi ia pandai menyembunyikan perasaan dan balas menegur.
"Kau ini siapakah berani datang tempat suci! Kalau Suhu melihatmu mengotori tempat ini, kau tentu akan mendapat marah. Tidak tahukah bahwa kau berada di tempat kediaman tokoh besar Hoa-san-pai. Guruku Liang Gi Tojin?
Melihat mata yang bersinar-sinar dan tabah itu, diam-diam Lie Bu Tek memuji bahwa anak ini betapapun juga memiliki semangat besar dan keberanian yang cukup. Sebelum ia menjawab, tiba tiba terdengar suara halus.
"Kong-Ji, jangan kau kurang ajar terhadap Suhengmu!" Maka muncullah seorang tosu tua di dalam pondok.
"Suhu...!" Bu Tek lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek ini sambil menurunkan Sin Hong dari pondongannya.
"Bu Tek, alangkah lamanya kita berpisah. Selama ini, apa saja yang kau alami?" Liang Gi Tojin, kakek itu yang menjadi tokoh pertama dari Hoa-san-pai maju dan memegang kedua pundak muridnya.
Adapun Liok Kong Ji ketika mendengar bahwa orang yang datang bersama anak kecil tadi adalah Lie Bu Tek, suhengnya yang pernah ia dengar namanya dari Liang Gi Tojin segera maju memberi hormat dan berkata, "Suheng, harap maafkan siauw-te yang bodoh dan tak mengenal kakak seperguruan sendiri."
"Tidak apa, Siauw sute.” Kemudian Bu Tek memperkenalkan Sin Hong kepada suhunya dan menuturkan semua pengalamannya. Pada akhir penuturannya ia berkata,
"Wan Sin Hong ini adalah putera tunggal dari Sumoi Thio Ling In dan Wan yen Kan."
"Di mana mereka sekarang?" tanya Liang Gi Tojin.
"Mereka telah dibunuh oleh Ba Mau Hoatsu. Baiknya anak ini sedang dibawa keluar oleh pelayannya. Karena teecu menganggap bahwa anak ini harus mendapat pendidikan sebaiknya, maka teecue membawanya pergi dan sekarang dia sudah cukup besar untuk menerima latihan dari Suhu, oleh karena itu teecu mohon sudilah suhu membimbingnya."
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk dan memandang tajam kepada Sin Hong yang berdiri dihadapannya. Mata kakek yang tajam ini dapat melihat bakat yang amat baik dalam diri anak itu. Ia menghela napas panjang.
"Sudah dapat dibayangkan bahwa nasib Ling In akan menghadapi banyak rintangan dan bahaya dalam perjodohannya dengan Pangeran Wan yen Kan. Ternyata kekhawatiranku terbukti dan guru suaminya sendiri yang datang membunuh mereka. Ah..." Kakek itu memandang kepada Sin Hong. "Anak, apakah kau suka belajar ilmu silat di sini, belajar dari pinto?"
"Locianpwe adalah Suhu dari Gi-hu dan Supek dari mendiang Ibuku, jadi adalah Sucouwku sendiri. Bagaimana teecu tidak suka belajar ilmu silat di sini? teecu suka sekali!"
"Sin Hong, kau ingin belajar ilmu silat untuk apakah?" Tiba-tiba kakek itu bertanya sambil memandang tajam.
Tanpa ragu-ragu Sin Hong menjawab sambil mengangkat kepalanya. "Seperti seringkali teecu dengar dari Gi-hu, teecu mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi terutama sekali agar teecu kelak dapat mencari musuh besar Ayah Bundaku dan memhalas dendam!"
Liang Gi Tojin tersenyum kemudian menarik napas panjang lagi. "Aah, Sin Hong, musuh besarmu itu adalah Ba Mau Hoatsu yang kepandaiannya amat tinggi. Pinto sendiri takkan sanggup mengalahkannya, apalagi engkau. Dengan menguras seluruh pengertianku, kau masih jauh untuk dapat mengalahkannya."
Kata-kata ini memang sesungguhnya dan Bu Tek juga mengerti bahwa suhunya berkata benar. Oleh karena itu ia memandang kepada putera angkatnya dengan hati duka. Tiba-tiba di dalam keadaan sunyi itu, terdengar Liok Kong Ji berkata riang.
"Suhu, mengapa putus asa? Adik Hong setelah tamat belajar dari Suhu dapat melanjutkan pelajarannya, dan teecu akan membantunya, mencari guru-guru yang pandai agar kelak dapat merobohkan Ba Mau Hoatsu!"
Sin Hong melirik ke arah Kong Ji dan melihat pandang mata Kong Ji penuh harapan, ia menjadi girang dan berkata. "Teecu merasa cocok dengan pernyataan tadi. Teecu takkan berhenti belajar untuk kemudian mencari Ba Mau Hoatsu yang sudah membunuh Ayah Bundaku."
"Bagus, bagus, pinto berjanji akan menghabiskan waktu hidup yang tinggal sedikit ini untuk mendidik kalian anak-anak yang malang," kata Liang Gi Tojin dengan girang.
Demikianlah, semenjak hari itu, Kong Ji dan Sin Hong menerima latihan-latihan ilmu silat Hoa-san-pai dari Liang Gi Tojin, dibantu dengan penuh perhatian oleh Lie Bu Tek.
Empat tahun kemudian, tanpa ada gangguan sesuatu, dua orang anak itu menerima gemblengan dari kakek ini dan memperoleh kemajuan pesat sekali. Yang menggirangkan hati Liang Gi Tojin adalah kecerdikan mereka yang luar biasa sehingga kalau dibandingkan dengan murid Hoa-san-pai yang dahulu, mereka berdua menang banyak. Adapun Lie Bu Tek juga tidak menyia-nyiakan waktunya di gunung itu. Ia menerima pelajaran lanjutan dari gurunya sehingga dalam waktu empat tahun, semua ilmu silat Hoa-san-pai telah ia miliki. Liang Gi Tojin sengaja menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Bu Tek dan kelak kalau ia sudah meninggal dunia, Lie Bu Tek yang berhak menjadi ketua Hoa-san-pai.
Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang naik ke Hoa-san. Yang seorang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Orang kedua dan ketiga adalah kakek-kakek berjubah putih. Yang pertama adalah seorang kakek bongkok yang memegang tongkat hitam di tangan kanan dan tongkat putih di tangan kiri, sedangkan orang kedua adalah seorang kakek botak yang pada punggungnya tergantung sepasang pedang. Yang bongkok itu adalah tokoh ketiga Im-yang-bu-pai, bernama Kwa Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi).
Yang kedua dan bertubuh besar pendek adalah tokoh kedua dari Im-yang-bu-pai bernama Lai Tek berjuluk Siang-mo-loam (Sepasang Pedang Iblis). Mereka ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tidak saja di perkumpulan Im-yang-bu-pai mereka menduduki tempat ke dua dan ke tiga dari perkumpulan Im-yang-bu-pai juga di dunia kang-ouw nama mereka amat terkenal karena mereka memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Kenapa keadaannya begini sunyi?” tanya Thian-te Siang-tang Kwa Siang sambil berlari.
"Di dalam dunia ini, yang paling miskin anggauta dan boleh dibilang sudah hampir bangkrut adalah partai Hoa-san-pai." kata Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. "Dahulu memang Hoa-san-pai termasuk partai yang besar dan berpengaruh, ketika empat orang tokohnya masih hidup, yakni Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, Liang Tek Sian-seng, dan Tan Seng Lo-enghiong. Akan tetapi sekarang di antara empat orang tokoh itu hanya tinggal Liang Gi Tojin seorang. Dahulu empat orang tokoh itu pun mempunyai banyak sekali anak murid, akan tetapi sekarang para murid itu banyak yang sudah tewas, dan hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tinggal jauh dari Hoa-san-pai. Agaknya Liang Gi Tojin tidak mau mengumpulkan murid-muridnya dan kalau tidak salah, sekarang orang tua itu hanya tanggal bersama muridnya, yaitu Hui-hong Lie Bu Tek.
"Hm, sudah hampir bangkrut masih saja sombong dan suka mencampuri urusan orang lain." Siang-mo-kiam Lai Tek tokoh ke dua dari Im-yang-bu-pai berkata kurang senang.
"Itulah sebabnya maka mereka harus dibasmi sama sekali agar kelak tidak menyusahkan partai kami saja," kata Giam-ong Ma Ek. Orang tua ini memang menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai setelah ia kena dikalahkan oleh Lie Bu Tek dalam keributan di hari tahun baru sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Adapun dua orang tokoh 1m yang bu-pai itu karena mendengar dari anak murid mereka bahwa Liok San tokoh Kwan-im-pai melarikan diri ke Hoa-san dan dibantu oleh Lie Bu Tek, kini datang untuk membalas dendam pula. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Giam-ong Ma Ek, maka ia lalu mengajak mereka untuk bersama pergi naik ke Hoa-san.
Memang betul apa yang diceritakan oleh Ma Ek tadi. Liang Bi Suthai tokoh ke dua dari Hoa-san-pai telah tewas oleh tokoh-tokoh pembantu pemerintah Kin, Liang Tek Sianseng juga telah meninggal dunia karena sakit. Sedangkan Tan Seng meninggal dunia karena usia tua. Tinggal Liang Gi Tojin seorang diri, yang tiada nafsu lagi untuk berurusan dengan keramaian dunia. Memang kakek ini lebih mengutamakan ilmu batin. Banyak hal-hal yang menyakitkan hati membuat ia makin tidak mempunyai semangat untuk membangun kembali partai Hoa-san-pai. Harapan satu-satunya hanya tergantung kepada mitridn}a, Lie Bu Tek, maka setelah Lie Bu Tek datang membawa Wan Sin Hong, kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk mewariskan kepandaiannya kepada murid tunggal ini, juga tentu saja ia memberi bimbingan kepada dua orang murid cilik yang baru, yakni Wan Sin Hong dan Liok Kong Ji.
Pada saat tiga orang kakek yang mempunyai maksud tidak baik terhadap Hoa-san-pai itu berlari-lari naik bukit, melompati jurang-jurang dengan gerakan laksana burung terbang, Liang Gi Tojin sedang duduk di luar pondok bersama Lie Bu Tek dan dua orang murid cilik. Kini Liok Kong Ji telah berusia empat belas tahun dan Wan Sin Hong sudah dua belas tahun, mereka kelihatan bersikap gagah. Akan tetapi, biarpun Sin Hong lebih muda, ia ternyata lebih halus sikapnya dan lebih luas pandangannya. Hanya dalam kecerdikan ia tidak lebih unggul daripada Kong Ji, bahkan dalam latihan ilmu silat, ia ketinggalan oleh suhengnya ini. Sebaliknya, kalau Sin Hong amat tertarik dan suka mempelajan ilmu surat dan kebatinan, adalah Kong Ji sama sekali tidak mempunyai bakat untuk kepandaian ini.
Empat orang itu sedang menikmati hawa udara yang amat sejuk dan segar di waktu pagi itu, dan menikmati sinar matahan yang menyehatkan tubuh. Liang Gi Tojin bermain catur bersama Sin Hong adapun Kong Ji mendengarkan keterangan tentang ilmu silat dari Lie Bu Tek. Tiba-tiba Lie Bu Tek berkata,
"Ada tamu datang!"
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk karena kakek ini juga sudah tahu, adapun dua orang pemuda cilik itu celingukan mencari-cari, karena mereka belum mengetahui akan hal ini. Baru saja Sin Hong hendak bertanya, berkelebat tiga bayangan orang dan sekejap kemudian tiga orang kakek berdiri di pinggir lapangan di depan pondok sambil tersenyum menyindir.
"Aha, tak kusangka bahwa nama besar Hoa-san-pai akan berakhir di tangan seorang kakek tiada guna tukang main catur dengan seorang bocah," Giam-ong Ma Ek berkata mengejek.
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai tidak berkata apa-apa, akan tetapi mereka lalu menggerakkan lengan baju dan bagaikan dua ekor burung garuda saja mereka melayang ke atas pondok, menginjak pecah genteng dan mengintai ke dalam, juga melihat dari tempat tinggi ke sekeliling pondok. Mereka mencari Liok San yang disangkanya berada di situ. Kemudian mereka melayang kembali ke bawah dan berdiri di belakang Siang-pian Giam-ong Ma Ek.
Melihat gerakan dua orang kakek tadi, diam-diam Lie Bu Tek terkejut sekali demiklan pula Liang Gi Tojin. Menghadapi ketua Bu-cin-pai tidak mengkhawatirkan hati Lie Bu Tek, akan tetapi gerakan yang diperlihatkan oleh dua orang tadi benar-benar hebat sekali.
Liang Gi Tojin berdiri dan menjura ke arah Ma Ek. "Selamat datang di puncak Hoa-san, Sam-wi Bengyu (Tiga Sahabat). Pinto mengenaI Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai sebagai orang gagah perkasa, akan tetapi pinto yang sudah tua dan kurang awas pandangan mata, belum pernah berkenalan dengan Jiwi-enghiong (Dua Orang Gagah) yang ikut datang pula. Keperluan apakah gerangan yang membawa Sam-wi datang di sini?"
Mata Siang-pian Giam-ong Ma Ek menyapu tempat itu dan akhirnya ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan mendelik. "Lebih baik kau bertanya kepada muridmu itu, karena dialah yang memaksa. kami datang menagih hutang kepada Hoa-san-pai."
Liang Gi Tojin tak perlu bertanya karena sesungguhnya ia telah mendengar dari Lie Bu Tek tentang pertempuran antara muridnya itu dengan Siang-pian Giam-ong Ma Ek, dan kemudian betapa Lie Bu Tek menolong Liok San dan serangan anak murid Im-yang-bu-pai. Mengertilah tokoh Hoa-san-pai ini bahwa mereka memang sengaja hendak mencari keributan dan dengan dalih menagih hutang mereka hendak merusak nama baik dan menghacurkan Hoa-san-pai. Sebelum gurunya sempat menjawab, Lie Bu Tek yang merasa bertanggungjawab penuh atas semua perbuatannya, melangkah maju dan berkata kepada ketua Bu-cin-pang itu,
"Siang pian Giam-ong, untuk peristiwa kecil dahulu itu, aku yang bodoh membantu pihak Hek-kin-kaipang yang diperlakukan sewenang-wenang oleh murid-muridmu, dan untuk itu aku pun sudah minta maaf kepadamu. Apakah kau masih penasaran dan hendak menarik panjang perkara itu? Kalau demikian kehendakmu marilah aku bersedia memenuhi kehendakmu dan untuk perkara ini aku Lie Bu Tek yang bertanggung jawab, jangan kau membawa-bawa nama Guruku dan Hoa-san-pai."
Ma Ek tertawa bergelak dengan lagak mengejek sekali. "Ha, ha, ha, kalau buahnya pahit, pohonnya pun buruk. Kalau muridnya tidak baik, gurunya tentu tidak benar. Membasmi pohon busuk harus mencabut sampai dengan akar-akarnya."
"Ma Ek! Kau orang tua tidak putus menerima penghormatan yang muda! Tutup mulutmu yang kotor, sekarang kau sudah datang, mau apakah?" Lie Bu Tek tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi, tangannya bergerak, pedang dicabut dan ia berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
"Lihat, Jiwi-cianpwe, betapa sombongnya orang Hoa-san-pai!" kata Siang pian Giam-ong Ma Ek kepada dua orang tokoh Im-yang-bu-pai. Siang-mo-kiam Lai Tek berkata dengan muka marah, "Ma enghiong, mengapa banyak cakap dengan orang muda ini. Lekas bereskan dia agar jangan memerahkan telinga."
Lie Bu Tek maklum bahwa ketua Bu-cin-pai ini sengaja hendak minta pertolongan dua orang Im-yang-bu-pai itu maka ia menyindir, "Betul, Ma Ek. Mengapa kau seperti anak kecil merengek-rengek, tidak mau turun tangan sendiri? Apakah kau takut padaku?"
Diejek demikian itu, Ma Ek menjadi marah dan ia mencabut siang-piannya. Semenjak kalah oleh Lie Bu Tek, ia memperdalam ilmu silatnya, dari tadi kalau ia sengaja membakar hati dua orang tokoh Im-yang-bu-pai, adalah karena ia merasa gentar melihat Liang Gi Tojin yang sikapnya demikian agung dan tenang.
"Bangsat kecil, kau rasakan pembalasanku!” bentaknya dan sepasang pian di tangannya bergerak ganas menyerang Lie Bu Tek. Jago dari Hoa-san-pai ini tidak menjadi gentar dan menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api beterbangan ketika dua senjata bertemu.
Ma Ek terkejut sekali. Dibandingkan dengan empat tahun yang lalu, tenaga lweekangnya sudah meninigkat tinggi, akan tetapi mengapa kini tangkisan Lie Bu Tek membuat tangannya tergetar? Ia tentu saja tidak tahu bahwa selama empat tahun itu. kalau ia memperdalam ilmu silatnya dengan tekun, musuhnya ini bahkan telah menguras semua ilmu silat dari Hoa-san-pai dan kini telah memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan hampir setaraf dengan kepandaian Liang Gi Tojin sendiri. Akan tetapi ia cepat dapat menguasai hatinya dan sepasang pian tangannya diputar cepat sekali, melakukan serangan yang mematikan ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari lawannya. Sepasang pian itu bergerak dari jurusan yang berlawanan sehingga merupakan dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, angin sambaran senjata berkesiur mendatangkan hawa dingin.
Namun Lie Bu Tek tidak menjadi gentar. Ila mengimbangi serangan lawan dengan gerakan pedangnya yang lihai. Jurus jurus yang tersulit dan paling berbahaya dari ilmu pedang Hoa-san Kiam hoat ia keluarkan untuk mendesak lawan yang lihai ini. Diam-diam Bu Tek harus akui bahwa kalau saja selama empat tahun ini ia tidak memperdalam kepandaiannya dengan berlatih secara rajin dari suhunya, agaknya ia takkan mampu menghadapi ketua Bu-cin-pai ini. Karena tahu bahwa pihak lawan masih ada dua orang yang kelihatannya amat tangguh, Lie Bu Tek tidak mau membuang banyak tenaga agar dapat menghadapi lain lawan dengan tenaga masih kuat. Ia segera menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa serta mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya.
"Gi-hu pasti menang!" teriak Sin Hong penuh semangat.
Kong Ji yang berdiri di dekatnya tidak berkata apa-apa, hanya diam-diam ia memandang pertempuran itu dan kadang-kadang ia melirik ke arah dua kakek yang pakaiannya hitam itu dengan pandang mata penuh kekhawatiran. Baru saja Sin Hong mengeluarkan kata-kata itu, terdengar suara keras disusul oleh teriakan Ma Ek yang tubuhnya terguling roboh. Ternyata bahwa pedang Bu Tek telah berhasil membabat putus pian di tangan kanannya dan kaki pendekar Hoa-san-pai ini telah mampir di dadanya sehingga tak dapat dicegah lagi kena dikalahkan.
Akan tetapi, sebagai ketua dari sebuah perkumpulan yang berpengaruh dan besar. Siang-pian Giam-ong Ma Ek tidak mau kalah muka dan cepat ia melompat berdiri dengan meringis karena dadanya telah terluka lumayan juga. Dengan siang-pian yang tinggal satu, yakni yang dipegang oleh tangan kiri. ia menyerang lagi! Tiba-tiba tubuhnya terhenti di tengah serangan ini karena lengan kanannya dipegang orang dari belakang pegangan yang amat kuat dan juga membuat ia tidak berdaya.
"Cukup, Saudara Ma Ek, biarkan pinto yang berkenalan dengan pedang Hoa-san-pai yang ganas!" kata orang yaitu memegang tangannya dan ternyata orang itu adalah tokoh ketiga dari Im-yan bu pai, yakni Thian-te Siang-tung Kwa Siang. Ma Ek diam-diam menarik napas lega. tadi pun ia telah merasa bahwa ia bukan tandingan jago dari Hoa-san pai itu, dan kini biarpun ia mengundurkan diri, namun ia masih dapat menjaga mukanya, karena ia berhenti bertempur bukan karena takut, melainkan karena dibujuk oleh Thian-te Siang-tong Kwa Siang. Sementara itu, tokoh ketiga dari Im-yang-bu-pai ini segera melepaskan pegangannya dan sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah berhadapan dengan Lie Bu Tek. Dengan tongkat kanan yang hitam, serta tubuhnya membongkok-bongkok menjadi rendah sekali, kakek ini menuding ke arah muka Lie Bu Tek.
"Orang Hoa-san-pai, ketahuilah bahwa aku Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan suhengku Siang-mo-kiam Lai Tek datang untuk menagih hutang. Kau telah berani membela keparat Liok San dan pukul anak murid kami. Sungguh perbuatan yang amat sombong! Bukankah selamanya Im-yang-bu pai tak pernah pagganggu Hoa-san-pai? Agaknya kau amt menyomhongkan kepandaianmu, maka cobalah kauterima sepasang tongkatku ini!"
Sebelum Lie Bu Tek sempat menjawab, kakek ini sudah menggerakkan tongkat kirinya yang berwarna putih menotok jalan darah Tai-hwi-hiat di tubuh Bu Tek. Tentu saja Lie Bu Tek tidak mudah diserang begitu saja dan cepat mengelak. Akan tetapt tiba-tiba berkelebat sinar hitam dan tongkat hitam tangan kanan lawannya sudah menyerang dengan tusukan ke arah lambungnya. Inilah serangan yang amat lihai dan berbahaya sekali dan tahulah dia bahwa kakek ini menyerang dengan maksud membunuh.
"Kwa-lo-enghiong, kau menghendaki pertempuran mati-matian? Baiklah, bukan aku yang mulai lebih dulu'" bentaknya dan sekali lagi Bu Tek mainkan pedangnya dengan hebatnya.
Namun kali ini ia menghadapi lawan yang memiliki kepandaian amat lihai. Begitu terbentur dengan tongkat putih ia merasa telapak tangannya dingin. terkejutlah hati Lie Bu Tek. Ia tahu bahwa lawannya itu adalah seorang ahli lwee- keh yang sudah pandai membagi tenaga lweekeh antara keras dun lembek. Tongkat hitam di tangan kanan itu mengandung tenaga lweekang yang keras dan panas, yakni tenaga Yang, sedangkan tongkat kiri yang putih itu mengandung tenaga Im yang lembek. Akan tetapi bahayanya sama saja karena kalau tongkat hitam Itu dapat merusak kulit daging, adapun tongkat putih itu dapat memutus urat dan jalan darah.
"Pergunakan Ngo-heng Kiam-hoat!" Liang Gi Tojin berseru kepada muridnya, karena ia maklum bahwa dengan ilmu pedang biasa saja muridnya tak mungkin dapat membuat kemenangan. Bu Tek segera merubah ilmu pedangnya dan kini pedangnya bergerak-gerak dari lima jurusan dan tenaganya juga berubah-ubah. Baru beberapa belas jurus saja ia dapat mengakui keunggulan lawannya yang benar-benar lihai sekali. Sepasang tongkat hitam dan putih itu memiliki gerakan yang amat aneh dan dua macam hawa sambaran tongkat yang berlawanan benar-benar membingungkan hati Bu Tek.
Ngo-heng Kiam-hoat ternyata tidak dapat menahan datangnya desakan dari ilmu tongkat Thian-te Siang-tung, betapapun cepat Bu Tek menggerakkan pedangnya, namun pada jurus ke tiga puluh tongkat putih di tangan kiri lawannya dengan tepat telah menotok dada kanannya di bagian jalan darah besar. Bu Tek mengeluarkan seruan kesakitan dan separuh tubuhnya seperti lumpuh, pedangtnya terlepas dari pegangan. Sebelum ia roboh, tongkat hitam lawannya menotok lambungnya dan tubuh Bu Tek terkulai!
"Jangan bunuh Gi-hu!" Sin Hong berseru marah dan melompat ke depan sebelum gurunya sempat mencegahnya. Dengan kepalan tangannya yang kecil ia menerjang dan menyerang Thian-te Sian Tung Kwa Siang, yang tertawa-tawa dan sekali ia menendang, tubuh anak itu terpental dan bergulingan sampai empat tombak jauhnya! Namun Sin Hong biar pun sakit-sakit tubuhnya, melompat lagi dan hendak menyerang, akan tetapi Liang Gi Tojin membentaknya.
"Sin Hong, mundur!" Setelah membentak muridnya, kakek Hoa-san-pai ini lalu melangkah maju dan berkata kepada Thian-te Siang tung, "Setelah kau berlaku kejam kepada muridku, terpaksa pinto harus melupakan usia tua dan minta pelajaran dari Im yang-bu-pai."
"Sute, biar aku menghadapinya." kata Siang-mo-kiam Lai-Tek yang sudah mencabut sepasang pedangnya. Seperti juga tongkat yang dipegang oleh Kwa-Siang, pedang ini ternyata adalah pedang hitam dan putih dan berkilauan cahayanya.
"Liang Gi Tojin, dilihat dari sepak terjang Hoa-san-pai yang semenjak dahulu hanya mengacau dan mencampuri urusan orang lain, mudah diduga bahwa kalau kau bukan seorang tolol, tentu seorang yang tidak bersih. Oleh karena itu setelah Im-yang-bu-pai muncul menjagoi dunia kang-ouw, kami tak dapat membiarkan partai persilatan seperti Hoa-san-pai hidup terus."
Luang Gi Tojin tersenyum, lalu mencabut pedangnya. Dengan tenang ia berkata, "Biarpun kepandaian Hoa-san-pai tidak seberapa, namun dalam pengertian tentang perikebajikan kiranya tidak akan kalah oleh Im-yang-bu-pai. Sejak dahulu punto sudah mendengar tentang lm-yang-kauw (Agama Im Yang), yang sesungguhnya masih merupakan cabang daripada To-kauw, jadi sealiran dengan kebatinan yang kami pelajari. Akan tetapi, semenjak Im-yang-kauw merubah nama menjadi Im-yang-bu-pai, kiranya perkumpulan agama ini berubah menjadi perkumpulan tukang pukul dan ahli-ahli berkelahi yang suka membunuh orang. karena kalian sudah datang di puncak Hoa san pai dan sudah mencelakai muridku, marilah kita main-main sebentar."
Siang-mo-kiam Lai Tek tertawa mengejek. Ia menggerakkan pedang kanan yang hitam terdengar suara mengaung seperti harimau mengaum. Pedang kirinya yang putih digerakkan, terdengar suara angin mengiuk yang amat tajam menusuk telinga. Dengan dua kali gerakan ini saja tokoh Im-yang-bu-pai sudah memperlihatkan kelihaiannya dan diam-diam Liang Gi Tojin terkejut. Ia makum bahwa tenaga dari orang besar pendek ini besar sekali dan juga sepasang pedang itu merupakan pasangan pedang mustika. Yang putih terbuat daripada pek-kim (emas putih) dan yang hitam terbuat daripada batu hitam yang lebih keras daripada besi. Namun ia tidak menjadi gentar.
"Kau lihai Siang-mo-kiam akan tetapi untuk membela nama Hoa san-pai sampai mati pun pinto takkat melangkah mundur."
"Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup dan ingin mampus? Baiklah, mari kuantar kau menghadap Giam-kun (Raja Maut)!" kata Siang-mo-kiam Lai Tek yang menyerang dengan cepatnya. Sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulung sinar hitam dan putih, yang putih bergerak dari atas dan yang hitam bergerak dari bawah atau sebaliknya. Inilah ilmu pedang berdasarkan ilmu pedang Lo-hai-kiam-hoat (Ilmu Pedang Mengamuk Lautan) dari Kun-lun-pai yang telah dioper dan dijiplak oleh Im-yang-bu-pai dan diubah setelah dtsesuaikan dengan ilmu silat Im yang-kiam-hoat mereka.
Liang Gi Tojin sebagai seorang tokoh yang kenamaan tentu saja mengenal Ilmu Pedang Lo-hai-kiam-hoat dari Kun-lun pai ini, akan tetapi oleh karena ilmu pedang ini sudah disatukan dengan Im-yang kiam-hoat serta tokoh ke dua dari Im yang-bu-pai ini memang memiliki kepandaian amat tinggi, kakek Hoa-san-pai ini menjadi kewalahan sekali. Biarpun ia mengerahkaii tenaga dan kepandaian, mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang paling tersembunyi dan lihai, namun tetap saja ia tidak berdaya menahan gelombang desakan sepasang pedang lawan yang amat luar biasa. Dengan nekat kakek Hoa-san-pai ini lalu membarengi serangan lawan. Ketika pedang hitam di tangan kanan lawannya menusuk ke arah perutnya, ia cepat mengelak, miringkan tubuhnya sambil membarengi membabat ke arah leher lawan. Gerakan ini adalah gerakan nekad, karena kalau lawan melanjutkan serangannya, tentu ia akan mati akan tetapi di lain pihak pedangnya tentu akan mengenai sasaran pula!
Siang-mo-kiam Lai Tek tentu saja tidak sudi mengadu nyawa. Cepat sekali menarik pulang pedang hitamnya dan pedangnya yang putih menangkis dengan tenaga "menempel". Dua pedang itu menempel menjadi satu dan tak dapat dipisahkan lagi! Liang Gi Tojin cepat menggerakkan tangan kiri menonjok dada lawan. Akan tetapi ternyata Siang-mo kiam Lai Tek lihai luar biasa. Dengan membagi tenaga lweekangnya, ia menerima pukulan ini dan membarengi mengayun pedang hitamnya.
"Duk!" tubuh Lai Tek terpental setombak lebih akan tetapi tangan kiri kakek Hoa-san-pai itu putus sebatas sikunya! Darah mengalir dengan semburan mengerikan. Sin Hong menjerit ngeri melihat suhunya putus lengannya.
Namun kakek Hoa-san-pai ini benar- benar hebat. Tanpa memperlihatkan sedikit pun rasa sakit, ia mengempit pedangnya dan menggunakan tangan kanan untuk menotok pangkal lengannya, menghentikan darah yang mengalir keluar. Pada saat itu, Lai Tek sudah dapat berdiri kembali dengan wajah pucat. Biar pun ia, telah mengerahkan lweekangnya untuk menahan pukulan tadi, namun masih merasa betapa dadanya sakit dan sukar untuk bernapas. Setelah napasnya normal kembali, dengan amat marah menyerbu lagi!
Kasihan sekali Liang Gi Tojin. Dengan dua tangan masih utuh saja ia sudah terdesak hebat. Apalagi kini ia telah kehilangan tangan kirinya. Biarpun sambil menggigit bibir mempertahankan diri dengan pedangnya, namun dalam jurus ke sepuluh, pedang hitam menusuk dadanya dan pedang putih amblas ke dalam perutnya. Tanpa mengeluarkan sedikit pun suara, kakek ini roboh tak bernyawa lagi.
"Kau... kau membunuh Suhu dan mencelakakan Gi-hu...!" Sambil menangis Sin Hong lalu melompat dan menyerang Lai Tek. Akan tetapi sebelum anak itu dekat dengan Lai Tek, Kwa Siang telah menendangnya lagi dan kini tendangannya jauh lebih keras daripada tadi sehingga tubuh Sin Hong terlempar jauh sekali, bergulingan seperti sebuah bal karet. Namun anak ini tabah sekali. Tanpa memperdulikan rasa sakit ia bangkit lagi dan dengan air mata berlinangan, ia lari menyerbu lagi sambil mengepalkan dua tangannya yang kecil.
"Kubunuh kalian!" serunya, dan kini ia menyerang Kwa Siang. Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, anak yang usianya baru dua betas tahun ini dengan mudah akan dapat merobohkan seorang dewasa biasa.
Akan tetapi ia menghadapi Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke tiga dari Im- yang bu-pai, tentu saja ia tidak berdaya sama kali. Sebuah totokan yang dilakukan dengan sebuah jari, yakni ilmu totok It-ci tiam-hoat (Totokan Satu Jari) dari Go-bi-pai, Sin Hong seketika menjadi kaku dan berdiri seperti patung. totokan itu ditujukan pada jalan darah yang tidak saja dapat membikin orang menjadi kaku, akan tetap, juga mendatangkan rasa sakit yang menusuk jantung. Tiga orang tamu yang menghancurkan Hoa-san-pai itu menduga bahwa mereka akan melihat anak bandel ini menjerit-jerit kesakitan dan minta ampun, akan tetapi, aneh sekali. Anak itu berdiri seperti patung dan sepasang matanya yang masih dapat bergerak, memandang dengan mendelik dengan bibirnya digigit sampai berdarah tanda bahwa anak ini, menahan rasa sakit yang amat hebatnya! Totokan tadi dilakukan pada pusat jalan darah di pundak kanan, di bagian tai-hiat yang melumpuhkan kaki tangan akan tetapi dari leher ke atas masih dapat digerakkan.
"Kau tidak minta ampun?" tanya Lai Tek dengan heran dan kagum sekall. Sin Hong tidak menjawab, hanya mendelikan matanya.
"Ha, ha, ha! Biar kita lihat saja sampai di mana dapat bertahan!" kata Kwa Siang. "Sebelum minta ampun kau takkan kubebaskan."
"Monyet tua, jangan harap aku minta ampun!" kata Sin Hong.
Semua orang tercengang. Akibat totokan ini, kalau orang menutup mulut masih kurang hebat, akan tetapi begtu orang yang tertotok bicara, rasa sakit luar biasa sekali. Akan tetapi anak ini masih berani memaki! Adapun Thian-te Siang-tung Kwa-siang yang dimaki monyet tua oleh Wan Sin Hong, menjadi marah sekali.
"Bocah setan kau harus mampus!" katanya sambil menggerakkan tongkat hitamnya ke arah kepala Sin Hong.
"Sute jangan...!" Lam Tek mencegah sambil memegang pundak kakek bongkok itu.
"Suheng, mengapa kau melarang membunuhnya?"
"Anak ini mempunyai keberanian luar biasa, patut ia menjadi anggauta dan calon jago Im yang-bu-pai!" Sambil berkata demikian, Lam Tek memberi isyarat dengan matanya kepada Kwa Siang.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang maklum akan maksud suhengnya. Memang perkumpulan mereka selalu memandang tinggi orang-orang gagah dan anak ini kalau sampai bisa menjadi anggauta perkumpulan mereka, berarti akan bertambah kuatlah perkumpulan lm-yang bu-pai. Ia pun dapat melihat bahwa dalam diri anak kecil ini terdapat bakat yang luar biasa sekali.
"Kau betul, Suheng." Kemudian menotok bebas tubuh Sin Hong sambil berkata, "Anak baik, aku tadi hanya main-main saja."
Rasa sakit lenyap dari tubuh Sin Hong, akan tetapi anak ini sekarang menjadi lemas dan tidak dapat mengeluarkan suara. Memang Kwa Siang sengaja menawannya agar anak ini mudah dibawa, tidak gaduh dan rewel di tengah jalan.
Selama itu, Liok Kong Ji hanya berdiri dengan muka pucat. la dapat melihat bahwa para tamu tak diundang ini benar-benar lihai sekali dan ia pun merasa gelisah. Biarpun ia masih kecil sekali ketika ayah bundanya tewas dalam pertempuran melawan Im-yang-bu-pai, namun ia masih ingat dengan baik bahwa musuh-musuh besar ayah bundanya adalah orang-orang inilah. Mereka tentu akan membunuhnya kalau mengetahui bahwa dia adalah putera dari ketua Kwa-im-pai.
"He, kau... siapakah namamu? Apakah kau juga murid Liang Gi Tojin?" tanya Lam Tek kepada Kong Ji.
Diam-diam Sin Hong memandang dan hendak melihat sikap suhengnya itu. Alangkah heran clan kagetnya ketika ia melihat Kong Ji tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Lam Tek sambil menangis.
"Locianpwe, teecu adalah seorang anak sebatangkara yang dipaksa oleh bangsat Lie Bu Tek dibawa naik ke gunung ini dan dijadikan pelayan! Orang tua teecu bahkan dibunuh olehnya. Dendam teecu setinggi langit, maka sekarang Samwi Locianpwe datang ke sini membasmi Hoa-san-pai berarti teecu terbebas dari kesengsaraan! Teecu mohon sudilah Locianpwe menerima teecu sebagai murid Im-yang-bu-pai. Teecu berjanji untuk belajar dengan baik dan kelak dapat menjunjung tinggi nama baik Im-yang-bu-pai!"
Sin Hong hampir tak dapat mempercayai telinganya sendiri. Kalau saja dapat bicara tentu akan memaki Kong Ji.
"Hmm, begitukah?" kata Lai Tek sambil memandang tajam. Ia dapat melihat pula bahwa Kong Ji mempunyai tubuh yang amat baik dan bakat besar untuk menjadi ahli silat, terutama sekali sepasang mata anak itu membayangkan kecerdikan luar biasa. "Siapa namamu?"
"Teecu bernama Kong Ji, she Lui. Ayah telah dibunuh oleh Lie Bu Tek yang tergila-gila kepada lbu teecu. Akhirnya, karena Ibu tidak sudi menuruti kehendaknya, Ibu pun dibunuh..." Kembali Kong Ji menangis sedih.
Tiba-tiba Lai Tek mencabut pedangnya. Sin Hong sudah merasa girang karena mengira bahwa Lai Tek tentu tahu akan kebohongan Kong Ji dan hendak membunuh anak durhaka itu. Akan tetapi Kong Ji tidak takut sama sekali dan memandang dengan matanya yang tajam. Lai Tek bukan hendak membunuhnya, bahkan memberikan pedang itu yang berwarna hitam kepada Kong Ji sambil berkata. "Kau benar-benar telah dibikin sengsara oleh Lie Bu Tek. Nah, ambil pedang ini dan balaslah sakit hatimu. Kau boleh membunuhnya!"
Kong Ji menerima pedang itu dan berjalan menghampiri tubuh Lie Bu Tek yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya lagi. Setelah terkena totokan-totokan tongkat Kwa Siang, Lie Bu Tek tak dapat bangun kembali dan biarpun pancainderanya masih bekerja, ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Ia pun mendengar akan semua yang dikatakan oleh Kong Ji dan kini ia melihat anak itu mendekati sambil membawa pedang hitam dari Lai Tek!
Sin Hong membuka matanya dan mukanya pucat. Apakah yang akan dulakukan oleh Kong Ji? la melihat Kong Ji mendekati Lie Bu Tek dan mengangkat pedang hitam! Kemudian pedang itu digerakkan dengan cepat dan kuat ke bawah dan... lengan kanan Lie Bu Tek terbabat putus pada pangkalnya dekat pu dak! Lie Bu Tek tak mengeluarkan suara akan tetapi rasa sakit membuatnya jatuh pingsan. Wan Sin Hong merasa begitu kaget, marah, dan sakit hati sampai-sampai ia pun roboh tak sadarkan diri, melihat peristiwa hebat yang mengerikan hatinya itu.
Lai Tek melompat dan sekali tangannya bergerak, ia telah merampas pedang dari tangan Kong Ji. "Kong Ji, mengapa kau tidak menebas batang lehernya dan hanya memotong lengannya?" bentaknya menegur.
Kong Ji cepat berlutut di depan Siang-mo-kiam Lai Tek. "Mohon ampun sebanyaknya, Locianpwe. Ada dua hal yang memaksa teecu tidak mau membunuh jahanam itu. Pertama karena teecu merasa malu dan tidak sampai hati membunuh seorang yang sudah tak berdaya biarpun dia musuh besarku. Ke dua, karena teecu selamanya akan masih merasa penasaran kalau teecu membunuhnya sekarang karena ia roboh bukan karena oleh teecu. Teecu ingin belajar ilmu kepandaian yang kelak akan dapat teecu pergunakan untuk membalas dendam dan mengalahkannya dengan kedua tangan teecu sendiri."
"Ha-ha-ha-ha! Lai-suheng, kau benar. anak ini amat mengagumkan. Aku sendiri yang akan membimbingnya agar ia dapat memiliki kepandaian yang melebihi semua orang Hoa-san-pai. Lagi pula, kalau satu-satunya keturunan Hoa-san-pai dibinasakan, siapa kelak yang akan menggembirakan hati kita? Biarkan Lie Bu Tek hidup dan kita sama lihat saja apakah kelak dia masih berani menjual kepandaian. Ha-ha-ha! Akan luculah kalau. Lie Bu Tek yang tinggal sebelah tangan itu berani mencari kita untuk membuat perhitungan terakhir!"
"Sute, urusan sudah beres. Mari kita segera kembali!" kata Lai Tek yang segera menjura ke arah Siang-pian Giam-ong Ma Ek. "Ma-enghiong, kita berpisah di sini saja. Pulanglah ke Keng-sin-bun dan setiap kali perkumpulan Bu-can-pang hendak mengadakan atau melakukan sesuatu, jangan lupa memberi laporan kepada kami!"
Di dalam hatinya Ma Ek merasa mendongkol sekali. Bu-cin-pai atau Bu-cin pang adalah perkumpulannya yang besar dan ternama, sekarang eleh pihak Im-yang-bu-pai dipandang sebagai perkumpulan kecil saja. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa melainkan membalas dengan penghormatan dan menganggukkan kepala. Kemudian ia pergi dari situ dengan hati puas, karena ia telah berhasil membasmi Hoa-san-pai, yang takkan mungkin ia lakukan tanpa bantuan dua orang tokoh Im-yang-bu pai ini.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang memondong Kong Ji sedangkan Lai Tek juga mengempit tubuh Sin Hong dan kedua orang kakek yang lihai ini cepat berlari seperti terbang turun dari Hoa-san, meninggalkan Liang Gi Tojin yang sudah tewas dan Lie Bu Tek yang berada dalam keadaan setengah mati.
Lie Bu Tek menderita kesakitan hebat. Baiknya tubuhnya telah terlatih baik sehingga tak lama kemudian ia dapat siuman kembali sebelum darahnya habis mengalir keluar dari luka di pangkal lengannya. Ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam. Dengan amat susah payah barulah ia berhasil membebaskan diri dari totokan yang lihai dari sepasang tongkat Thian-te Siang-tung Kwa Siang.
Sambil menggigit bibir, ia menggerakkan tangan kirinya dan menotok jalan darah di pundak kanan untuk nienghentikan darahnya yang terus mengalir keluar. Dengan jalan ini barulah ia dapat mencegah darahnya mengalir habis. Kemudian dengan susah payah ia bangun dan duduk bersila, mengatur pernapasannya untuk mengobati luka yang dideritanya di dalam tubuh. Ia berusaha sekeras mungkin untuk melupakan keadaan suhunya yang mati berbaring di atas tanah tidak jauh dari tempat ia duduk. Pada saat seperti itu ia harus dapat melapangkan dada dan mengosongkan pikiran. Ia harus hidup bukan saja untuk membalas penghinaan dari Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga untuk mencari Sin Hong yang dibawa lari oleh musuh.
Tak lama kemudian sesosok bayangan yang gesit dan ringan sekali berlari-lari naik ke puncak Hoa-san. Bayangan ini adalah seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun akan tetapi masih nampak nyata kecantikannya. Ketika melihat keadaan di tempat pertempuran tadi, wanita itu mengeluarkan seruan tertahan dan cepat-cepat ia berlari menghampin Lie Bu Tek.
"Lie Bu Tek Taihiap... kau kenapakah?"
Bu Tek membuka matanya dan melihat wanita ini, wajahnya berubah. "Kiang Cun Eng, kau datang mau apakah. Apa kau juga hendak memusuhi Hoa-san-pai?"
Kiang Cun Eng mengerutkan kening melihat betapa tangan Bu Tek tinggal sebelah, ketika ia mengikuti pandang mata pendekar itu, ia lebih terkejut lagi lihat mayat Liang Gi Tojin di atas tanah.
"Taihiap...!" Apakah yang terjadi? Siapa yang begitu kurang ajar melakukan semua ini? Siapa yang memhunuh Liang Gi Tojin dan melukaimu? Katakan, aku bersumpah untuk mengejar dan membinasakannya'" seru wanita itu yang bukan lain adalah Kiang Cun Eng ketua dari Hek-kin Kaipang.
Bu Tek menggelengkan kepalanya. "Takkan ada gunanya. Mereka amat lihai. Yang datang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pang. Akan tetapi, yang lebih lihai adalah dua orang kawannya, yakni Thian-te Siang-tung Kwa-Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek, tokoh kedua dan ketiga dari Im yang-bu pai."
"Keparat! Aku akan mengerahkan kawan-kawan untuk membalas dendam ini!" seru Kiang Cun Eng, kemudian wanita ini berlutut dan memegang pundak Bu Tek sambil berlinang air mata. "Taihiap, alangkah buruk nasibmu… Sudah bertahun-tahun aku mencarimu tanpa hasil. Baru-baru ini aku mendengar dari anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang bahwa kau menolong mereka dari tangan orang-orang Bu-cin-pang. Oleh karena itu aku segera menyusul ke sini untuk menyatakan terima kasihku. Tak tahunya aku terlambat... kau telah dicelakai orang. Aku bersumpah untuk membalaskan sakit hatimu ini, Taihiap..."
Melihat orang menangis sambil megangi pundaknya, Bu Tek terharu sekali. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu mudanya. Pernah ia terlibat dalam urusan asmara dengan ketua Hek-kin-kaipang ini, dan biarpun wanita ini mempunyai watak yang buruk dan mata keranjang, namun belum pernah Kiang Cun Eng melakukan perbuatan jahat. Sekarang ia tidak berdaya, dan orang satu-satunya yang dapat diminta tolong hanya Hwa I Enghiong Go Ciang Le. Akan tetapi ia tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu, maka sekarang harapan satu-satunya tinggal pada ketua Hek-kin kaipang ini.
"Cun Eng, sudahlah jangan menangis. Apakah benar-benar kau sudi menolongku?”
"Tentu saja! Tidak saja aku mengingat perhubungan kita yang lalu," sampai di sini merahlah mukanya dan biarpun ia sudah setengah tua akan tetapi masih kelihatan cantik, "akan tetapi juga pihakku kini sudah menjadi musuh Bu-cin-pang dan lm-yang bu-pai. Katakan saja cara bagaimana aku dapat menolongmu, Taihiap. Apakah aku harus merawatmu dan mengurus jenazah Gurumu?”
"Bukan, Cun Eng. Kau tinggalkan saja, aku sendiri akan sanggup mengurus jenazah Suhu. Akan tetapi... yang amat menggelisahkan hatiku, adalah nasib Wan Sin Hong, anak angkatku. Dia dibawa pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Kuakejarlah mereka, akan tetapi jangan kau turun tangan, karena kau takkan menang. Mereka amat lihai. Pergunakan akal agar supaya kau dapat rampas kembali anak itu. Kasihan dia...”
"Baik. Taihiap. Akan kulakukan sekarang juga. Akan tetapi Kau perlu dirawat..."
"Tak usah, kau pergilah, Cun Eng. Aku Lie Bu Tek akan berterima kasih sekali kepadamu kalau kau dapat menolong Wan Sin Hong. Setelah kau berhasil merampasnya dari tangan orang-orang, Im-yang-bu-pai, kau bawalah dia ke Gunung Lu-liang-san, hadapkan dia kepada Luliang Sam Lojin (Tiga Kakek dari Gunung Luliang), mohon perlindungan kepada tiga Locianpwe itu. Hanya di sanalah Sin Hong akan selamat dan terbebas dari ancaman orang-orang Im-yang-bu-pai."
Mendengar disebutnya Luliangsan, Kiang Cun Eng kelihatan terkejut. "Kesana...? Taihiap, tidak tahukah kau bahwa sekarang ini Luliangsan sedang menjadi buah bibir semua tokoh kang-ouw? Bahwa kukira tak lama lagi semua orang gagah akan menyerbu ke sana untuk mencari dan merampas kitab peninggalan Pak Kek Siansu?"
Bu Tek mengangguk. "Aku sudah mendengar akan hal itu. Menurut desas-desus, mendiang Pak Hong Siansu membuka rahasia bahwa Pak Kek Siansu meninggalkan sebuah pedang yang disebut Pak-kek-sin-kiam (Pedang Sakti dari Kutub Utara) dan sebuah kitab pelajaran Ilmu Pedang Pak-kek Kitam-sut dan Ilmu Silat Pak kek Sin-ciang. Akan tetapi hal itu kebetulan sekali. Kalau kau membantu Sin Hong ke sana. tidak saja ia berada di tempat yang aman karena kepanddian ketiga Luliang Sam-lojin amat tinggi. Juga kalau Luliang-san diserang orang, tentu Taihiap Go Ciang Le akan melindungi gunung itu dan karenanya. Kalau ia melihat Sin Hong tentu ia akan membela anak itu."
"Lie Bu Tek Taihiap, kau tadi katakan bahwa anak yang bernama Wan Sin Hong itu adalah anak angkatmu. Sebenarnya putera siapakah?"
"Dia itu putera sumoiku yang telah tewas oleh musuh. Sudahlah, Cun Eng, kalau memang berkemauan baik, lekas susul orang-orang Im yang-bu-pai itu dan tolonglah Sin Hong...." Kiang Cun Eng lalu bangkit berdiri dan berkata perlahan.
"Lie Bu Tek Tai-hiap, mengingat hubungan kita dahulu, aku akan menolong anak itu dan kalau perlu akan menyediakan nyawaku untuk menolong dia memenuhi permintaanmu. Selamat tinggal...”
"Cun Eng, kau benar-benar mulia. Semoga Thian melindungi...." kata Lie Bu Tek terharu sambil memandang tubuh wanita itu yang mulai berlari cepat turun gunung.
Kiang Cun Eng adalah ketua dari Hek kin-kaipang, sebuah perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh. Anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang tersebar luas di seluruh kota dan jumlah mereka sampai ribuan orang. Oleh karena itu, begitu turun dari Hoa-san, Cun Eng dapat mengumpulkan orang-orangnya. Mudah saja baginya untuk mencari tahu ke jurusan mana orang orang Im-yang-bu-pai itu lari, dan cepat ia lalu mempergunakan seekor kuda yang baik untuk mengejar. Di samping ini ia pun memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan persiapan dan menyelidiki keadaan dua orang tokoh besar itu. Ia maklum bahwa kalau sampai dua orang tokoh besar itu membawa Sin Hong ke kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san yang menjadi pusat perkumpulan Im- yang bu-pai, akan sukarlah baginya merampas anak itu. Jalan satu-satunya adalah berusaha merampasnya di tengah perjalanan.
Tanpa mengingat lelah, siang malam Kiang Cun Eng membalapkan kudanya, bertukar-tukar kuda di tiap kota di mana anak buah Hek-kin-kaipang sudah siap untuk membantu ketua mereka. Dengan cara inilah ketua Hek-kin-kaipang ini berhasil mendahului perjalanan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek yang membawa dua orang anak dan sedang menuju ke Lam-si. Kiang Cun Eng menyebar mata-mata di setiap kota dan gerak-gerik kedua orang ini diawasi baik-baik oleh semua pengemis anggauta Hek-kin kaipang. Dari penyelidikan ini tahulah Kian Cun Eng, yang mana adanya Wan Sin Hong, karena tadinya ia ragu-ragu melihat bahwa dua orang tokoh itu membawa dua orang anak kecil. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidiknya, terharulah hati Cun Eng.
********************
Di sepanjang jalan, Sin Hong diperlakukan buruk sekali. Hal ini adalah karena sikap yang keras kepala dari anak ini, sama sekali tidak sudi memperlihatkan sikap tunduk. Biarpun disiksa, tidak diberi makan dan diancam, tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan kepada dua orang tokoh 1m yang-bu-pai itu. Apa lagi terhadap Kong Ji, Sin Hong memperlihatkan sikap membenci dan menghina sekali. Tak pernah ia mau bicara dengan Kong Ji, dan pandang matanya seakan- akan ia hendak menghancurkan kepala Kong Ji. Sebaliknya, Kong Ji amat cerdik. Ia pandai mengambil hati dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga ia makin disayang. Bahkan atas bujukan Kong Ji, Sin Hong amat dibenci oleh kedua orang tua itu sehingga kalau saja Lui Tek tidak sayang melihat keberanian Sin Hong, ia tentu sudah dibunuh di tengah perjalanan.
"Kalian boleh lakukan apa yang kalian suka kepadaku, akan tetapi dengarkanlah. Aku Wan Sin Hong bersumpah bahwa aku akan membalas kejahatan Im yang-bu-pai, Bu-cin-pang dan anjing hina dina ini yang mengaku bernama Lui Kong Ji!” Suara ini adalah makian yang keluar dari mulut Wan Sin Hong ketika untuk ke sekian kalinya Kong Ji memukul sesuka hati atas perintah kedua orang tokoh Im-yang-bu-pai.
Mereka berempat telah tiba di dalam sebuah hutan di sebelah barat daerah gunungan Kim-san dan bermalam di sebuah kuil tua yang sudah kosong. Seperti biasa, Sin Hong memperlihatkan sikap bermusuhan dan kali ini secara main-main Lai Tek menyuruh Kong Ji yang mencoba untuk memaksa Sin Hong hertekuk lutut dan minta ampun. Akan tetapi, biarpun pukulan-pukulan Kong Ji telah membuat darah keluar dari bibirnya yang pecah-pecah, hasilnya malahan membuat Sin Hong naik darah dan ia memaki-maki serta menyumpah nyumpah.
"Ha-ha-ha, Sin Hong. Kau benar-benar tak tahu diri. Sebentar lagi akan mampus, bagaimana kau masih dapat bersumpah untuk membalas dendam,” kata Kong Ji tak kenal malu. Anak ini benar-benar cerdik, ia tak khawatir kalau-kalau Sin Hong akan membuka rahasianya bahwa dia adalah keturunan ketua Kwan-im-pai, karena ia tahu akan kejantanan hati Sin Hong. Pantang bagi Sin Hong untuk mengkhianatinya, biarpun ia telah berlaku jahat kepada Sin Hong. Hal ini ia yakin betul apalagi kalau dipikir bahwa ia telah berhasil merebut hati kedaua orang tokoh Im yang-bu-pai sehingga kalau sekiranya Sin Hong membuka mulut membongkar rahasianya, dua orang itu tak mau percaya kepada murid termuda dari Hoa-san-pai itu.
"Kong Ji, baik masih hidup maupun sudah mati, aku selalu akan mengejarmu dan membalas dendam. Kalau masih hidup, kelak kedua tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu, kalau aku sudah mati nyawaku akan menjadi setan penasaran yang akan mengejarmu selama kau masih hidup!"
Pucat wajah Kong Ji mendengar ini. Biarpun kata-kata ini dikeluarkan oleh seorang anak kecil, akan tetapi kehebatannya membuat bulu tengkuknya merenung saking seramnya. Juga dua orang tokoh Im-yang-bu-pai saling pandang dan merasa mengkirik. Hebat sekali keteguhan hati anak ini dan mereka mau tidak mau memandang kagum kepada anak kecil yang usianya paling banyak baru dua belas tahun itu. Sin Hong dengan muka benjol-benjol dan bibir berdarah, berdiri dengan kedua kaki dipentang lebar, dalam bayangan api lilin ia kelihatan amat gagah dengan sepasang mata bersinar-sinar, kedua tangan dikepal.
"Suheng, kalau tidak dihabiskan, anak ini benar-benar merupakan bahaya besar di kemudian hari," kata Kwa Siang samhil menundukkan muka, tidak kuat menentang pandang mata Sin Hong yang berapi-api dari sepasang mata kecil yang jarang berkedip itu.
Siang-mo-kiam Lai Teak menarik napas panjang. "Sayang bahan yang sebaik ini terpaksa harus dilenyapkan. Tunas begini baik terpaksa harus dicabut. Tak kusungka hatinya sekeras baja, pendiriannya sekokoh bukit. Memang tidak ada jalan lain kecuali melenyapkannya, karena dia ini kelak memang merupakan bahaya besar bagi Im-yang-bu-pai."
“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu membunuh tikus bermulut jahat ini!" kata Kong Ji girang. Anak ini memang akan -merasa amat lega dan gembira kalau Sin Hong sampai tewas, karena bahaya satu-satunya bahwa rahasianya akan terbongkar berada di tangan Sin Hong. Kalau Sin Hong mati, tentu ia akan aman dan dapat melanjutkan cita-citanya, yakni ilmu silat dari Im-yang-bu-pai, yang mempunyai banyak orang pandai.
Kwa Siang mengangguk. "Lakukanlah!” Biarpun Kwa Siang sudah amat biasa membunuh orang tanpa berkedip mata, -melihat kegagahan Sin Hong yang sedemikian rupa ia menjadi lemah dan tidak tega untuk menjattuhkan tangan maut kepada anak luar biasa ini.
Kong Ji pernah belajar ilmu silat, tidak saja dari orang tuanya, juga pamannya yaitu Liok San, dan paling akhir ia belajar dari Liang Gi Tojin, oleh karena ini, tanpa sebuah senjata pun di tangan, tentu saja ia tahu bagaimana harus mengirim pukulan tangan kosong untuk merenggut nyawa. Selama ini ia berhati-hati sekali sehingga dalam setiap gerakannya, tidak terlihat ilmu dari Kwan-im-pai dan ia hanya memperlihatkan ilmu silat Hoa-san-pai yang memang tidak mengherankan orang karena ia sudah berada empat tahun di puncak Gunung Hoa-san. Sambil tersenyum mengejek dan matanya yang tajam itu berapi dan kejam sekali, Kong Ji berjalan perlahan menghampiri Sin Hong...